Kumpulan 15 Cerpen, Oktober 2022

(1)

Perang Siobak

Tak ingin menjadi pecundang, Suliang mengatur siasat. Ia membujuk Dirga, laki-laki yang biasanya memasok daging kambing ke warung Masawan. Kadang-kadang ia menerima titipan membeli bumbu dan rempah-rempah dari Masawan.

Oleh: GDE ARYANTHA SOETHAMA, 30 Oktober 2022

Wajah Dirga merah padam, tak kuasa menahan geram karena Suliang ingkar janji.

”Aku tak pernah menjanjikan motor baru, Dir, cuma motor bekas.”

”Ah, jangan berkilah, Sul, aku ingat betul, kau menjanjikan motor baru, gres.”

”Tak pernah aku ngomong begitu. Aku bilang, kalau kerjamu bagus, kukasi motor, tak ada kubilang baru.”

Dirga diam lama, terhenyak, kecewa sangat. Ia telah melakukan yang terbaik, namun Suliang berkhianat.

”Ini motor baru tiga tahun kubeli, jarang dipakai.”

”Kan tidak gres, Sul. Aku ingin motor dengan surat-surat langsung atas nama anakku.”

”Kamu bisa balik nama, Dir.”

”Tetap ketahuan bekas, namamu tercantum di surat-surat.”

Suliang menyerahkan surat-surat motor dan kunci, Dirga menerima dengan enggan. Ia sangat dongkol tidak bisa mendapat motor baru seperti dijanjikan Suliang. Kepada anaknya yang kelas dua di sekolah menengah kejuruan pariwisata, ia berjanji membelikan motor baru, langsung atas namanya. Dan si anak memang cuma mau motor baru, tak sudi bekas, tak apa mencicil.

Motor hadiah itu masih sangat mulus, nyaris tak terasa getarannya ketika Dirga mengendarai melewati Jalan Ahmad Yani, menikung ke Jalan Parkit. Di warung Masawan yang menjual siobak kambing, ia berhenti. Sore-sore begini warung Masawan biasanya dipadati pembeli. Orang-orang antre sabar menunggu untuk dapat meja. Tapi petang ini tidak. Garis polisi dipasang mengelilingi warung itu, karena sebelas pelanggan terserang diare sampai masuk rumah sakit setelah menyantap siobak kambing kemarin siang.

Siobak itu masakan China yang menjadi ciri khas Kota Singaraja, dengan adonan bumbu dari cengkeh, bawang merah, kayu manis, bawang putih, lada, gula merah, dan tauco. Bahan utamanya daging dan jeroan babi direbus. Air rebusan ini dipisah, dicampur tepung maizena untuk saus, buat mengguyur siobak ketika dihidangkan. Yang paling terkenal adalah warung milik Suliang di Jalan Kutilang, tikungan pertama memasuki pertigaan Jalan Dewi Sartika. Warung siobak kambing Masawan di Jalan Parkit dan warung Suliang tak jauh, bertetangga, satu kawasan di Kaliuntu, tapi mereka berseteru kencang, bak perang.

Siobak itu pasti daging babi, tak pernah daging ayam atau sapi, apalagi kelinci. Tak sedikit warga kota menjadikan siobak Suliang yang terkenal ke seantero Bali itu sebagai kuliner wajib. Banyak yang menganggap belum lengkap ke Singaraja kalau belum menyantap siobak Suliang, jika piknik ke Bali Utara. Tapi Masawan penjual nasi campur, mencoba menu baru: siobak kambing.

”Ha-ha-ha mana bisa jeroan kambing buat siobak.” Suliang tertawa ngakak, meremehkan. Baginya siobak itu makanan berlemak, dan lemak babi paling enak dan gurih. ”Lemak kambing kan padat, lengket seperti lem, menempel di langit-langit mulut kalau disantap.”

Tapi Masawan piawai mengolah lemak kambing menjadi aduhai nikmat. Bagi dia, jika pintar mengolah, jeroan kambing jauh lebih mantap dibanding jeroan babi. Menyuguhkan siobak kambing ia siasati dengan menghangatkannya, sehingga lemaknya mencair, meluber seperti lelehan pasta atau makaroni, meliuk di sela marbling daging dan jeroan. Aromanya menyengat, menggoda selera.

Orang-orang akhirnya lebih menyukai siobak kambing dibanding babi, digemari segala lapisan masyarakat dan etnik, karena dibuat dari jeroan kambing. Yang paling digemari adalah lumuran lemak itu, disuguhkan dengan plate panas, hangat berkebul-kebul, membuat orang ketagihan.

Siobak Suliang sepi perlahan, redup, kehilangan banyak pelanggan yang pindah ke warung Masawan. Berderet-deret pembeli dari seluruh Bali mampir ke warung yang dinaungi dua pohon akasia rindang itu. Warung Suliang yang biasanya buka sampai pukul sepuluh, kini tutup sebelum pukul enam petang. Warung Masawan buka sampai pukul sebelas, tetap ramai. Akhir pekan dan hari libur bisa buka sampai tengah malam.

Tak ingin menjadi pecundang, Suliang mengatur siasat. Ia membujuk Dirga, laki-laki yang biasanya memasok daging kambing ke warung Masawan. Kadang-kadang ia menerima titipan membeli bumbu dan rempah-rempah dari Masawan. Kebutuhan daging babi Siulang juga dipasok oleh Dirga.

Suatu hari, ketika Dirga menyerahkan daging babi, Suliang menukar garam yang dititip Masawan. ”Kau bawa ini saja,” ujar Suliang menyerahkan sebungkus plastik garam.

”Garam apa ini?”

”Tak usah banyak tanya, kau serahkan saja pada tukang masak Masawan.”

”Tak mau aku kalau tidak diberi tahu.”

”Ini garam inggris.”

Samar-samar Dirga pernah mendengar kehebatan garam inggris itu, sebagai urus-urus, pencahar, pencuci perut, membuat orang diare.

”Apa imbalannya buat aku?” taya Dirga ketika Suliang terus mendesak.

Dirga setuju karena ia yakin akan mendapat motor baru. Tapi akhirnya ia geram dan merasa ditipu, kemudian berniat sepenuh hati membalas dendam. Ia mendatangi Masawan yang duduk termangu lesu di teras rumahnya.

”Aku yakin Suliang menukar garam itu,” ujar Dirga.

”Bagaimana bisa kau yakin?”

”Pasti Suliang menukarnya ketika aku mengantar daging. Kita lapor polisi, Mas.”

Masawan menggeleng. ”Kita tak punya bukti Suliang melakukannya.”

”Kau biarkan pengecut busuk itu menikmati kemenangan?”

”Akan kuselesaikan sendiri. Sampaikan aku menantangnya berkelahi, duel.”

Dirga terkesiap mendengar tekad Masawan, dan dada Suliang berdegup kencang menerima tantangan itu.

”Apa syaratnya?” tanya Suliang.

”Kalau kamu menang, Masawan akan menutup warungnya. Selamanya dia tak akan menjual siobak kambing. Menjual nasi campur pun tidak. Dia akan pulang kampung ke Banyupoh menjadi petani anggur. Tak ada saingan lagi kan Sul? Siobakmu akan kembali menduduki puncak tangga.”

”Kalau aku kalah?”

”Kau sekeluarga harus menggelar upacara guru piduka menghaturkan sesaji, tanda permohonan maaf dan ampun pada keluarga Masawan dan leluhurnya.”

”Apakah aku masih diizinkan menjual siobak?”

”Tak masalah.”

Suliang tak hendak berpikir panjang, karena tidak ingin disebut pengecut. Ini saat melampiaskan dengki dan iri hati. Mereka menentukan hari bertarung saat bulan mati di kuburan Singaraja yang luas dengan pohon kepuh menjulang, beringin rindang, dan semak belukar padat sepanjang sisi makam. Dirga akan menjadi saksi pertarungan dua pengusaha siobak itu.

Dirga memeriksa sekujur tubuh dua petarung itu, memastikan mereka tidak membawa senjata tajam. Masawan mengenakan celana pendek dan kaus oblong, Suliang memakai celana jins dan kemeja. Sudah larut, lewat jauh tengah malam, sebuah lampu merkuri di ujung jalan menerangi remang-remang kuburan itu. Selebihnya gelap oleh bayang-bayang pohon.

Mereka sepakat berlaga di bawah beringin, menjaga jarak tiga langkah. Saking geram, Masawan mencoba menatap tajam Suliang, namun tak kuasa karena gelap. Masawan belum sepenuhnya bersiap ketika Suliang merangsak maju menumpukan kekuatan pada siku, sekuat tenaga ia bergerak lurus, namun geraknya lamban, terhuyung karena kaki terantuk pada akar pohon yang melintang. Masawan memiringkan tubuh, mengirim pukulan sekuat ia sanggup ke tengkuk Suliang.

Suliang tersungkur, Masawan mengejar, berjongkok, mencengkeram kepala Suliang dan menekan tengkuknya dengan lutut. Suliang menggelepar, kepalanya miring ke kiri, terbenam dalam debu. Masawan terus menekannya dengan lutut, semakin kuat, sampai terdengar bunyi gemeretak, dan Suliang menggelepar-gelepar, tangan kanannya menggapai-gapai mohon ampun.

”Cukup Mas… cukup!” teriak Dirga.

Tapi Masawan, yang dalam duel itu dibekap amarah, tak hendak melepas. Dia mengangkat kepala Suliang, membenturkannya ke tanah. Suliang meringis, melengking, mata terpejam, otot-otot wajah mengerut, napasnya pendek-pendek tertahan.

”Sudah Mas…, cukup…. Bisa mati dia.”

Masawan berdiri, mengusap-usap telapak tangan, kemudian berlalu, melangkah ke jalan raya. Kota sepi, tak terdengar lolong anjing, bunyi serangga pun tidak. Malam Agustus begitu dingin, pohon-pohon termangu.

Dirga membopong Suliang ke motor, memboncengnya pulang. Betapa gembira Dirga menyaksikan Suliang terseok-seok memasuki gerbang rumah. Terbayang Suliang akan meminta tolong untuk mempersiapkan sesaji mohon maaf. Dirga tahu rumah orang-orang suci penjual sesaji, yang belakangan semakin banyak. Ia paham, sebagai perantara akan menerima untung lumayan, upah besar, karena sesaji guru piduka itu mahal. Semakin banyak untung dia renggut kalau membengkakkan harga.

Dirga berencana menjual motor hadiah itu, akan ia tambah dengan fee sesaji untuk membeli motor baru. Kalaupun masih kurang, ia akan menggenapi dengan meminjam di lembaga perkreditan desa.

”Yang penting berusaha, rezeki tak akan ke mana,” kata hati Dirga riang, berbunga-bunga, serasa dicium pujaan hati bertubi-tubi.

***

Gde Aryantha Soethama,banyak menulis cerpen dan esai tentang tanah kelahirannya, Bali. Tahun ini menerbitkan ulang karyanya kumpulan dua lakon sebabak Langit Dibelah Dua. Kumpulan cerpennya, Malam Pertama Calon Pendeta, segera terbit, memuat belasan cerpennya yang pernah dimuat Kompas.

 

(2)

Episode Gadis Pedagang Tiwul di Sebuah Halte

Dia selalu dengan tenang tanpa banyak bertanya ketika aku membaca. Menghayati tiap kalimat yang menggambarkan alur cerita.

Oleh: M.Z. BILLAL, 29 Oktober 2022

Sudah dua pekan sejak aku mengenalnya, menjelang angkutan umum yang selalu mengantarku ke tempat kerja datang menjemputku, aku selalu dengan senang hati membacakan untuknya sekitar dua halaman dari sebuah novel yang terbaru kubeli. Tidak peduli meski ada beberapa orang di tempat itu. Mereka yang juga menunggu angkutan sepertinya sudah memahami kebiasaan ini.

Dia selalu dengan tenang tanpa banyak bertanya ketika aku membaca. Menghayati tiap kalimat yang menggambarkan alur cerita. Sembari sesekali kunikmati sarapan pagi yang kubeli darinya. Sebungkus tiwul hangat yang rasanya enak. Sikapnya yang ramah dan santun semakin membuatku menikmati penantian pagi bersama hobi membacaku. Bahkan, kadang aku tak berharap angkutan datang cepat ke halte ini.

Padahal bisa saja aku menyelesaikan novel ini dalam seminggu dan segera kubeli yang baru, namun membacakan dan memahami isi buku bacaan secara bersama itu juga hal yang mengasyikkan. Apa lagi untuknya. Gadis muda pedagang tiwul di halte. Mirfa namanya. Gadis berwajah manis yang pada saat pertama kali bertemu denganku ia langsung berani menyapa dengan santun dan bertanya perihal hobi membacaku. Ia menganggap hobiku hebat. Karyawan dengan setumpuk pekerjaan masih menyempatkan diri untuk membaca novel yang isinya tak ada kaitannya dengan profesi. Aku tidak terlalu tersanjung dengan pujiannya. Sebab siapa pun dengan profesi apa pun bisa memiliki hobi yang sering dinyatakan oleh sembilan puluh lima persen manusia di bumi ini. Yakni membaca. Aku anggap pujian kala itu adalah prosedurnya untuk mendapatkan pembeli.

Namun semakin aku mengenalnya semakin pula ia menceritakan siapa dirinya. Barulah aku tahu bahwa Mirfa adalah gadis muda yang kurang beruntung. Ia sama sekali tak bisa membaca. Hanya sekadar mengenal huruf alfabet, tak dapat merangkainya menjadi sebuah kata sekali pun itu kata “B-U-D-I” yang sering diajarkan pada umumnya oleh guru di kelas satu sekolah dasar. Ia bercerita padaku, ia hanya bersekolah kelas satu selama sebulan lalu orang tuanya memutuskan untuk pindah dan tinggal di kebun kampung. Selama di kebun kampung ia malah tak melanjutkan sekolahnya. Benar-benar tak menemukan buku. Bahkan penerangan di gubuk hanyalah lampu minyak. Sehari-hari ia hanya melihat hutan karet yang masih penuh dengan tanaman liar dan pohon-pohon tinggi tempat singgah burung-burung berukuran besar. Barulah setelah kepindahannya ke kota ini dan mempunyai seorang adik yang baru masuk kelas satu sekolah dasar, ia merasa bebas memiliki hidup yang lebih baik meski hanya menjadi pedagang tiwul keliling.

Aku merasa sangat tersentuh dengan cerita hidup Mirfa. Ia adalah gadis yang punya semangat, tak kenal putus asa. Meski keadaan memaksanya untuk berhenti meraih keinginnya. Tapi harapan yang ia bakar dalam jiwanya membuat ia kuat, lebih kuat dari gadis muda seusianya yang hidup dalam kecukupan. Ia tak ingin adik satu-satunya memiliki nasib yang sama dengannya. Hal itulah yang membuatku semangat untuk menemani paginya yang berkabut. Kadang sembari membaca kubeli sepuluh bungkus tiwulnya seharga seribu per bungkusnya setiap pagi dan kubagikan ke teman-teman sekantorku. Ia juga kuajari mengenal satu sampai tiga kata setiap paginya. Ia seperti adik perempuan bagiku. Kadang kulihat ia tampak sedih dan sedikit kecewa ketika kami tidak bertemu di akhir pekan. Sebab itu artinya ia harus bersabar menunggu sampai hari Senin untuk mendengarkanku membaca dan juga mengajarinya mengenal kata. Seperti pagi Jum’at ini misalnya. Angkutan umum datang lebih cepat dari biasanya.

“Sampai besok hari Senin ya, Dik! Kamu harus terus belajar di rumah sesudah berjualan.” Aku tersenyum padanya sambil kumasukkan buku dan sepuluh bungkus tiwul ke dalam tas. “Semoga tiwulmu laris. Semangat!”

“Iya, Kak,” balasnya sambil menganggukkan kepalanya.

Segera aku masuk ke dalam mobil angkutan. Sebelum mobil bergerak menjauh kulambaikan tangan padanya. Ia juga melambaikan tangannya dan tersenyum. Barangkali orang-orang yang berada di dalam angkutan ini merasa aneh dengan sikapku kepada gadis pedagang tiwul keliling itu, kecuali Pak Sopir yang sudah akrab dengan apa yang aku lakukan. Namun aku tidak pernah mau ambil pusing. Siapa pun berhak melakukan apa pun asal itu tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Mengenal Mirfa adalah sebuah kenyamanan meski ia bukan putri dari seorang pejabat.

***

Sejak mengenalku, Mirfa mengatakan bahwa hari Senin seperti hari kelahirannya. Ia merasa ulang tahunnya dirayakan seminggu sekali. Dan orang yang rajin mengucapkan kata selamat itu padanya adalah aku. Sebab itu artinya selama lima hari ke depan ia akan banyak mendapat ilmu membaca dariku. Selain itu, ia juga bilang bahwa halte seperti sekolahnya dulu saat masih kecil. Sementara aku adalah wali kelasnya yang baik hati. Itu benar-benar menggelitik hatiku. Membuatku kadang tersenyum sendiri ketika mengingat ucapan Mirfa.

Mirfa selalu tampak bersemangat ketika melihatku sudah duduk di halte, sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Tak peduli meski cuaca kadang membuatnya tampak kurang sehat. Ia tetap tersenyum secerah matahari kepadaku dan siapa saja yang ia hampiri untuk ditawari tiwul dagangannya.

“Selamat pagi, Kak.”

Aku mengangguk membalas sapanya sembari tersenyum. Tidak ingin menasehatinya terlalu jauh, aku hanya menyarankannya agar ia beristirahat dulu di rumah jika kondisi badan masih kurang sehat. Ia mengangguk mengiyakan ucapanku.

“Maaf ya, Dik. Hari ini kakak lupa membawa buku ceritanya. Mungkin karena buru-buru ke sini. Tapi malah tertinggal di rumah,” kataku memberi kabar padanya. Mirfa tampak sedikit kecewa karena ia tadi sudah tidak sabar mendengar kelanjutan kisah perjuangan seorang gadis dalam novel tersebut. Namun ia segera memaafkanku yang juga tidak enak hati padanya.

“Hmm.. kakak mau bertanya saja hari ini,” kataku segera mengalihkan kekecewaannya.

“Apa itu, Kak?” balasnya mendadak gugup. “Wah, jangan susah-susah ya, Kak.”

“Menurut Mirfa, apa sih merdeka itu, Dik? Jawab saja semampumu ya.”

Mirfa kelihatan salah tingkah. Ia kebingungan menemukan jawaban. Barangkali ia juga mungkin kurang mengerti arah pertanyaanku. Agar ia tak terlalu gugup aku memintanya untuk mengatakan apa yang dipikirkan olehnya. Tidak perlu berpikir keras agar aku terkesima dengan jawabannya.

“Menurutku sih, merdeka itu ya merdeka, Kak. Setiap rumah pasang bendera merah-putih dan bendera warna-warni lainnya. Supaya meriah. Katanya sih, biar arwah pahlawan senang karena jasa-jasanya diingat.”

Mendengar jawaban Mirfa yang polos, membuatku nyaris mendengus ingin tertawa. Namun aku sadar itu akan membuatnya semakin panik dan tampak bodoh. Ia akan sedih. Maka aku hanya tersenyum seraya menatap tepat ke matanya yang jernih belum tercemar oleh kemajuan teknologi. Ia gugup dan menunduk. Mungkin menganggap bahwa jawabannya sama buruknya dengan nasibnya yang kurang beruntung.

“Kakak suka jawabanmu, Dik,” kataku memuji. Agar ia segera bangkit dari keragu-raguannya. “Ya merdeka memang seperti itu. Meriah. Tidak ada yang salah dengan jawabanmu.”

“Terima kasih, Kak,” balasnya tersipu malu.

“Kakak ingin memberi hadiah untukmu,” kataku sambil mengeluarkan sebuah buku membaca untuk pemula hasil buatanku sendiri yang kudesain semalaman di rumah dan kucetak dengan menggunakan kertas HVS yang sampulnya berwarna bendera Indonesia. “Ini untukmu.”

Kusodorkan buku jilidan itu padanya. Ia berterima kasih dan tampak begitu bahagia menerimanya. Belum pernah ada orang lain yang memberinya hadiah. Ia mengatakan akan semakin semangat untuk belajar membaca agar tidak menjadi perempuan yang buta huruf. Ia juga ingin mengajari adiknya membaca. Ia ingin seperti anak perempuan seusianya yang bebas membaca buku kesukaan mereka. “Kamu harus lebih hebat dari hari ini. Kamu akan menemukan dunia yang luas dengan membaca,” pesanku padanya.

***

Sehari sesudah Hari Kemerdekaan, aku lebih bersemangat. Libur pada hari itu membuatku merdeka sejenak dari tumpukan pekerjaan. Menyaksikan banyak kemeriahan di mana-mana. Merelaksikan jaringan syaraf yang tegang. Aku tak sabar bertukar cerita padanya, gadis pedagang tiwul keliling itu, sambil menikmati tiwul hangat buatannya.

Namun rasanya sudah sangat lama aku menunggu kemunculannya yang tak juga tampak. Aku mulai agak cemas. Menduga-duga tentang kondisinya semampu pikiranku. Apakah ia sedang sakit atau dalam masalah lain? Entahlah.

Sampai akhirnya angkutan umum yang biasa mengantarku ke kantor telah berada di depan halte dan memanggilku untuk segera masuk ke dalam mobil. Aku ragu, ada rasa ganjil yang tidak biasa menderaku. Aku ingin menunggunya, tapi aku juga harus segera berangkat ke kantor. Maka kuputuskan untuk masuk ke dalam mobil.

Menurutku sih, merdeka itu ya merdeka, Kak. Setiap rumah pasang bendera merah-putih dan bendera warna-warni lainnya. Supaya meriah. Katanya sih, biar arwah pahlawan senang karena jasa-jasanya diingat.

Di dalam angkutan umum, seperti biasanya aku duduk paling depan di sebelah Pak Sopir. Jika di hari-hari biasanya aku banyak mengobrol dengannya, pagi ini aku memilih untuk diam sambil terus memikirkan tentang Mirfa. Aku merindukannya. Aku merindukan gadis muda yang punya tekad dan semangat itu.

Barangkali karena terus termenung Pak Sopir akhirnya mengajakku bicara. Membahas tentang Mirfa. Dan apa yang dikatakan Pak Sopir membuatku tersentak.

“Jangan menunggu dia lagi, Mas.”

“Ke-kenapa, Pak?” tanyaku cemas. “Ada apa?”

Pak Sopir tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya menyodorkan kertas yang tergeletak di depannya kepadaku. Dengan gugup kubuka lipatan kertas itu perlahan. Tidak ada yang benar-benar tahu dan mengerti bagaimana perasaanku ketika aku membaca apa yang tertulis di kertas itu. Sebuah kalimat ditulis tidak rapi yang membuatku bergetar dan terharu.

“TERIMA KASIH KAK. MERDEKA!”

Aku benar-benar tidak menyangka Mirfa menuliskan itu untukku. Ia mengungkapkan rasa terima kasihnya. Namun hatiku masih terganjal oleh sebab kenapa Mirfa mengirimiku pesan singkat itu, juga perkataan Pak Sopir yang menyuruhku untuk tidak lagi menunggu Mirfa di halte. Aku segera bertanya kepada Pak Sopir untuk mendapatkan jawabannya.

“Kemarin pas libur tujuh belasan, Bapak bertemu sama dia, Mas. Dia kelihatan senang. Terus dia minta Bapak memberikan kertas itu buat Mas Syahdan. Dia juga bilang, kalau dia akan pindah. Mungkin tidak akan kembali ke kota ini lagi kecuali nasib yang buat dia kembali. Dia mendoakan Mas Syahdan supaya sukses dalam pekerjaan dan selalu menjadi orang yang tulus hatinya. Dia berjanji tidak akan pernah melupakan Mas Syahdan.”

Aku hanya bisa terdiam tanpa memberikan argumen kepada Pak Sopir. Aku sudah mendapatan jawabannya. Rasa sedih menjalari tubuhku. Aku ingin meneteskan air mata untuk perpisahan itu. Tapi aku juga tak bisa melawan takdir. Mirfa memutuskan apa yang terbaik menurutnya. Dan ucapan terima kasih disertai kata ‘merdeka’ yang ia tulis di kertas itu adalah sepotong kalimat sederhana yang membuatku bahagia. Mirfa benar-benar berusaha untuk memerdekakan dirinya sendiri dari ketidaktahuan.

Dari jendela mobil, aku memandang langit pagi yang cerah. Merekah seperti bunga Morning Glory yang semarak. Aku hanya bisa berdoa untuknya dan berharap suatu hari nanti waktu mempertemukanku dengannya kembali. Mirfa, gadis pedagang tiwul keliling itu.

***

M.Z. Billal, lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam beberapa kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Antologi Rantau Komunitas Negeri Poci (2020)), Antologi Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021) dan telah tersebar di berbagai media seperti Pikiran Rakyat, Haluan Padang, Riau Pos, Fajar Makassar, Kedaulatan Rakyat, Radar Malang, Bangka Pos, ide.ide.id, biem.co, magrib.id, bacapetra.co dll. Bergabung dengan komunitas menulis Kelas Puisi Alit (Kepul) dan Genitri.

 

(3)

Matinya Serai dan Ruku-ruku Ibu

Aku menyuruk ketika dari kejauhan ibu melihat gerombolan itu, ibu tidak bisa berbuat banyak selain mematung di halaman.

Oleh: ARIF PURNAMA PUTRA, 27 Oktober 2022

Lihatlah, ayah, orang-orang itu memiuh serai dan ruku-ruku di halaman rumah kita seperti mengambil nakal dari penyamun orang pantai barat. Tidak kulihat ia meminta izin kepada ibu untuk memiuh tanaman kesayangannya itu, selain basa-basi mematah batang. Tidak aku dengar pula ibu marah-marah pada mereka. Halaman kita disiangi olehnya, lapang seperti anak-anak selesai bermain. Rumput-rumput mati, tanah tinggal jejak sepatu. Aku menyuruk ketika dari kejauhan ibu melihat gerombolan itu, ibu tidak bisa berbuat banyak selain mematung di halaman.

“Tarik pelatuk dari bedilmu itu!!” teriak seorang serdadu dari jauh.

“Ikat dia di pohon, buat buhul mati untuk kedua tangannya. Sumpal mulutnya sekalian. Orang mau mati tidak boleh berisik!”

Tiba-tiba suara bedil meletus, seorang pria jatuh bersimbah darah. Merahnya seperti amarah yang mengalir di rumah-rumah dusun kita. Tapi ibu masih berdiri di halaman rumah, sedang aku menyuruk tak tanggung takutnya. Dari celah dinding rumah kita, aku sesekali mengintip.

Lihatlah, ayah, serai dan ruku-ruku ibu tinggal tanaman reyot. Bunganya telah menjadi tanah liat bekas jejak serdadu, aromanya menyebar, seketika hilang dibawa angin. Biasanya ibu akan memberikan tangannya untuk aku cium, agar aku tau bau serai dan ruku-ruku. Atau sesekali ia menyuruhku membedakan mana terong masak dan terong beracun. Ibu memang kerap memberikan pelajaran-pelajaran demikian.

Tapi, ayah, lihatlah. Tak ada lagi yang tumbuh di halaman rumah kita selain tangis sungsang dari letusan bedil, dari satu peluru serdadu yang menembus sampai ke ubun-ubun pria malang itu. Ibu hampir saja jadi sebatang pohon serai di halaman rumah, saking lamanya ia berdiri. Tak ada air mata keluar dari mata ibu aku lihat, apa lagi histeris. Semakin lama aku menatap wajah ibu, semakin merah padam pula raut wajahnya. Matanya sirah seperti nyala matahari, air wajahnya tak surut seperti pasang di dusun kita.

Aku benar-benar tidak bisa berbuat banyak, ayah. Kau pasti tau bagaimana perintah ibu tidak boleh dilanggar. Aku tetap menyuruk di sudut paling jauh, sudut yang kau sendiri tidak dapat menemukannya. Ibu membuatkan sudut khusus untukku, bila sewaktu-waktu situasi genting, setidaknya aku bisa menyelamatkan diri di sana.

Tak ada lagi yang tumbuh di halaman rumah kita selain tangis sungsang dari letusan bedil, dari satu peluru serdadu yang menembus sampai ke ubun-ubun pria malang itu. Ibu hampir saja jadi sebatang pohon serai di halaman rumah, saking lamanya ia berdiri. Tak ada air mata keluar dari mata ibu aku lihat, apa lagi histeris. Semakin lama aku menatap wajah ibu, semakin merah padam pula raut wajahnya. Matanya sirah seperti nyala matahari, air wajahnya tak surut seperti pasang di dusun kita.

Sayang sekali kau belum sempat ke persembunyian ini. Tapi jangan takut, bila musim berbilang baik, kita akan bersembunyi di sana. Lihatlah, ayah, ibu tak kuasa menahan tangisnya setelah para serdadu pergi meninggalkan halaman rumah. Ia masih tetap memberikan isyarat kepadaku untuk tetap menyuruk. Setelahnya aku baru melihat air mata ibu jatuh seperti hujan tengah hari. Hujan yang deras, tapi matahari tetap nyalang. Itu hujan penyakit kalau orang-orang dusun kita katakan. Tapi saat itu aku tidak tau persis, apa yang dirasakan ibu selain amuk—amarah berkelindan.

Setelahnya orang-orang kita keluar, mengkremasi mayat malang itu, satu lubang sudah dipersiapkan untuknya. Tanpa ritual apa-apa layaknya orang mati di dusun kita. Aku melihat dengan jelas ayah, matanya menatap tajam sesampai dalam liang, tak ada kelihatan wajah risau yang mengantarkannya kepada hari naas. Ia berbaring di liang dengan tangan bersimpul ke perut. Sesekali orang-orang melantunkan doa-doa, sebagian menahan tangis, sebagian lagi bisik-bisik gerutu. Lagi, ayah, aku menatap wajah ibu merah padam, sirah seperti matahari tenggelam. Tapi matanya hanya binar yang tak kunjung mengeluarkan bulir air. Aku tidak tau apa yang dipakai ibu bisa sebegitu tenang. Malah, aku melihat sosok berbeda dari ibu yang aku kenal. Ia berubah sejak kejadian di halaman rumah; tidak banyak bicara dan air wajahnya tak surut-surut. Layaknya seorang peminum tuak ragi yang sanggup mengantarkan matanya tak tidur berhari-hari, persis sama seperti merah matamu.

Lihatlah, ayah, apa yang tak mampu lagi kau lihat. Orang-orang yang datang dari sudut-sudut khusus hanya meninggalkan sepatah doa pengantar kematian. Lubang-lubang dibuat sebagai sudut khusus, setelah itu menjadi tempat paling abadi pula dalam hidupnya. Betapa serdadu-serdadu itu meneror kita setiap hari, padahal mereka tidak punya tujuan jelas mendatangi dusun. Entah apa yang mereka cari, entah apa pula yang mau mereka ambil. Toh, semua yang kita punya sudah jadi kepunyaan mereka.

Sudut yang dibuat ibu barangkali kelak juga menjadi liang kematianku. Aku hanya menunggu dewasa, kemudian tinggal sepatah doa pula dari kawan sejawat. Tapi harapanku pada ibu bukan tentang kematian, melainkan bagaimana ia mempekerjakan dirinya berbeda dengan orang-orang lainnya. Nampak seperti perempuan umumnya, namun tak pernah sanggup dipegang siapa-siapa. Kelihatan murah hati, tetapi tak pernah terjebak barangsekali. Para serdadu tak ubahnya seperti gerombolan jawi di tengah padang rumput, jika tak sanggup berebut di sana, mereka akan menyasar padang gerombolan kambing. Aku kira, kita adalah kambingnya. Setelah mereka tak mendapatkan makanan di kota-kota besar, maka dipesuruhlah oleh tuanya untuk bergerilya ke dusun-dusun. Aku benar-benar jadi sentimen kepada mereka, ayah. Tapi sebagaimana yang pernah kau ingatkan, sentimen hanya akan membuat kemampuan kita gampang diterka lawan. Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar seorang lemah yang ketika mendengar teriakan “prak!” saja langsung suruk.

***

Begitulah, ayah. Setelah dan sesudah kau tak ada, ibu tidak lagi menanam serai dan ruku-ruku di halaman rumah. Dia lebih acap menghabiskan waktu keluar masuk rimba. Kau ingat seorang pria parubaya yang pernah menampar ibu di depan rumah kita lantaran kau menyeledupkan tuak beracun ke acara pernikahan anaknya. Pria tua buruk menikahi ibu, dan merelakan malam-malam jahanam seranjang. Ibu habis pengharapan, tapi air wajahnya kian surut, matanya tak lagi menyimpan nyala matahari. Tinggal awan kelam bagai mata setan yang kadang-kadang bersembunyi dengan solek tamparan bedak.

Aku masih menyuruk di sudut yang pernah dibuat ibu, ayah. Memadan-madankan diri dari kejaran dan sibuk dengan pelarian-pelarian bodoh yang aku sendiri tidak tau entah siapa yang mengejar. Tubuhku telah dipenuhi ketakutan, kehilanganmu ternyata merenggut banyak pengharapanku. Ditambah lagi, ibu menyerahkan hari-harinya hanya karena ancaman bakal membawa aku untuk kerja paksa, jika ia tidak mengiyakan kata pria tua buruk itu.

Lihatlah, ayah, anak-anak di dusun kita terus lahir. Tetapi sekian banyak yang beranjak dewasa, sebanyak itu pula diangkut oleh para serdadu entah ke mana. Kata karib lama saat kami bersua suatu waktu, “Mereka yang kalah perang, kita pula yang dijajah.” Begitu katanya mengumpat saat kami bersua suatu malam ketika itu orang-orang dusun diburu serdadu lainnya. Ternyata, gugus serdadu itu ada banyak, bukan saja satu gugus yang pernah mengobrak-abrik tanaman serai dan ruku-ruku ibu. Rupanya tiap tahun mereka bergantian dari satu daerah ke daerah lainnya. Sudah seperti binatang saja.

Aku tau, kalau kau mendengar ini langsung di depanku, pasti sudah kau tampar wajahku. Kau akan naik pitam bila mendengar kata-kata provokasi seperti ini, narasi-narasi yang memancing amarahmu. Sama halnya waktu itu, saat seorang serdadu yang kau tantang menarik pelatuk dari bedilnya. Hanya dengan satu peluru kau terkapar seperti seekor ular daun yang tak berbisa, tapi tampak mau menerkam. Sebelumnya kau lihat wajah ibu? Ia bersijihin mengatakan, padamu jangan menjawab dan menantang, tapi kau pantang pula menurut.

Dengarlah, ayah, jika kau tinggal pergi saja ketika mereka memiuh serai dan ruku-ruku di halaman rumah, pasti tidak akan habis percuma hari ibu. Ibu memasang raut wajah begitu surut sebelum kau datang, membiarkan gerombolan serdadu memiuh serai dan ruku-ruku miliknya. Tapi kau malah meneriaki mereka, melemparkan kain sampingmu ke wajah seorang serdadu. Sialnya itu adalah ketua gugus serdadu, sehingga ia punya alasan untuk menyuruh salah seorang anggota melihatkan keberaniannya. Ditambah lagi setelah kejadian itu, aku anakmu ini tak dianggap untuk bisa ikut melawan para gerombolan serdadu. Kata meraka aku tidak punya keberanian. Kau tau siapa yang menarik pelatuk itu? Dia adalah seorang anak laki-laki seumuran denganku. Persis sama denganku, jangankan untuk menarik pelatuk bedil, keluar malam untuk kencing saja dia sangat ketakutan. Tapi setelah hari itu, ia menjadi orang kepercayaan para serdadu di dusun kita. Sedang aku mengembara dari lubang ke lubang persembunyian.

Lihatlah, ayah, serai dan ruku-ruku di halaman rumah kita tak lagi pernah tumbuh. Ibu melarikan diri dari amuk dan kelindan amarah. Air wajahnya kian hari kian surut, dan tampak reyot bagai tanaman yang ambuk diinjak-injak. Tenanglah, ayah, kau telah menyelesaikan segala sesuatu penting di dusun kita; perbudakan dan perlawanan. Kini anak-anak telah tumbuh sebagai seorang pengecut dan sibuk memiuh serai dan ruku-rukunya masing-masing. Lihatlah, ayah, lihatlah. Aku memahat wajah diantara pelarian-pelarian, perlawananku tak cukup menghabisi perjuangan yang sudah kau mulai jauh-jauh hari.

Bersijihin : seseorang yang menangis penuh ratapan.

****

Arif Purnama Putra, lahir di Surantih, Pantai Barat Sumatra. Buku tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel “Binga” (Purata Publishing, 2019). Selain menulis satra, Arif juga menulis karya jurnalistik dan ilmiah; esai perjalanan, artikel, opin dan resensi. Karya-karyanya pernah dimuat beberapa media, seperti Suara Merdeka, Haluan, dan Solopos. Sekarang berkegiatan di komunitas Serikat Marewai, redaktur di website Marewai.

 

(4)

Aini dan Sandiwara Kami

Malam itu Aini tampil dan seperti dugaanku, dia bernyanyi dan bermain sangat bagus. Malam itu aku melepas sekeping papan dinding balai desa dan masuk diam-diam, saya ingin menonton Aini langsung.

Oleh: HASAN ASPAHANI, 23 Oktober 2022

SEWAKTU kanak-kanak dulu kami pernah punya kelompok sandiwara. Tampil tiga malam berturut-turut di pekan dana amal di kampung kami, sandiwara kami menjadikan acara tahunan itu memecahkan rekor jumlah dana yang terkumpul.

Ada drama di balik drama yang kami mainkan itu. Semuanya tak akan terjadi seperti itu kalau tak ada Pak Rusdi, guru kesenian kami, penyuluh pertanian di kampung kami, dan pelatih kami.

”Nah, ini naskahnya selesai,” kata Pak Rusdi. Ia menyerahkan kertas dengan tulisan tangan. Itulah naskah drama untuk kami pentaskan.

Kami membacanya bersama. Ceritanya tentang sekelompok anak yang hendak menolong seorang nenek. Nenek itu tinggal sendirian di rumah tua ujung kampung. Banyak kabar buruk tentangnya. Ada yang bilang dia tak mati-mati karena memelihara jin terkait ilmu gelap, bekas tukang teluh, dan lain-lain. Empat anak kampung, tiga laki-laki dan seorang perempuan, penasaran. Mereka mengintip. Mereka melihat nenek itu shalat, mengaji, dan memelihara kucing.

”Suatu hari, nenek itu sakit. Tak ada yang membantu. Anak-anak itulah yang membantu. Nenek itu ternyata menyimpan harta berharga, perhiasan emas yang sebelum mati ia berikan pada anak-anak yang membantunya,” kata Pak Rusdi, menceritakan ringkasan cerita yang ia karang.

Kami menyukai ceritanya dan mulai berlatih. Pak Rusdi yang jadi pelatih kami, sekaligus menjadi sutradara pementasan nanti.

Pak Rusdi adalah penyuluh pertanian yang ditugaskan di kampung kami. Ia mengisi waktu luangnya dengan mengajar di sekolah kami. Seminggu sekali dia mengajar kesenian. Sekolah kami selalu kekurangan guru.

Bakat kami bermain drama, kata Pak Rusdi, dilihat oleh dia, ketika kami iseng-iseng bermain menirukan sandiwara keliling di balai desa. Ceritanya tentang istri yang tak lagi mencintai suaminya, suka dengan lelaki lain. Ada peran anak kecil, seusia kami. Anak kecil itu anggota rombongan sandiwara keliling.

Pada satu malam dari rangkaian beberapa malam mereka tampil di balai desa kami, si anak kecil itu sakit demam tinggi. Dia tak bisa bermain. Si pemimpin rombongan sandiwara kalang kabut mencari pemain pengganti. Dia kirim pesan lewat sopir angkutan antarkota yang melintasi kampung kami ke temannya di kota. Petang sopir itu membawa pesan kembali dia tak bisa kirim pemain pengganti.

Saya bilang ke kawan saya Aini, ”Kamu saja yang gantikan anak itu, Ni…”

”Kok saya?” kata Aini ragu.

”Karena kamu bisa,” kata saya.

Aini anak bendahara desa. Dia teman sekelasku. Dia bernyanyi bagus dan dia suka bernyanyi. Kalau ada pelajaran menyanyi, kami akan menunggu gilirannya bernyanyi. Kami suka melihat dia bernyanyi.

Aini disuruh ayahnya menjadi petugas penjaga karcis tiap malam. Sebagian dari uang karcis jadi milik desa. Balai desa kami juga difungsikan sebagai bioskop. Kalau ada pemutaran film, Aini juga disuruh ayahnya menjaga loket tiket.

Aini anak ketiga dari lima bersaudara. Semua saudaranya perempuan. Semuanya manis-manis seperti ibunya. Ibu yang manis. Tapi ibunya Aini galak. Kami takut sama ibunya.

Tanpa menunggu persetujuan Aini saya katakan usul itu kepada pemimpin sandiwara. Dia memandangi Aini yang sejak tadi bermain bersama kami di halaman balai desa.

Aini tiap malam menonton sandiwara itu di deretan kursi terdepan. Kami yang tak punya uang buat beli tiket menggintip dari celah dinding papan di belakang balai desa.

Bukannya menonton pertunjukan, saya dan teman-teman saya malah lebih sering memperhatikan Aini. Sambil nonton Aini meniru mimik dan seperti mengikuti dialog para pemain.

”Kamu bisa bernyanyi?” tanya si pemimpin. Saya yang menjawab, ”Bisa, malah lebih bagus….” Aini mencubit lengan saya. Di awal pertunjukan anak kecil pelakon itu bernyanyi. Aini pernah menyanyikan lagu itu di sekolah. Karena itu, saya tahu Aini bernyanyi lebih bagus.

Malam itu Aini tampil dan seperti dugaanku, dia bernyanyi dan bermain sangat bagus. Malam itu aku melepas sekeping papan dinding balai desa dan masuk diam-diam, saya ingin menonton Aini langsung, tidak mengintip dari celah dinding.

Sejak itu kami suka bermain-main sandiwara di kelas. Kami meniru-niru penggalan adegan drama keliling yang kami tonton. Sekali waktu Pak Rusdi menonton kami, dan dia bilang kami berbakat. Dia mulai melatih kami.

Di kampung kami tiap tahun ada acara malam pengumpulan dana untuk membangun masjid, sekolah agama, dan lain-lain. Orang kampung menyumbang apa saja untuk dilelang, kue, barang berharga, dan agar menarik orang kampung berkumpul, juga orang dari kampung lain, maka ditampilkan pertunjukan musik, rebana, band, juga sandiwara.

Pak Rusdi menantang kami apakah kami mau menyumbang pertunjukan drama di acara pengumpulan dana tahun itu. Kami mau. Kami tertantang. Kami mempersiapkan diri dengan bersemangat.

Empat pemeran anak-anak sudah terpilih, yaitu saya, Udan, Iman, dan Aini. Yang jadi nenek tua Pak Rusdi sendiri. Suaranya bisa meniru suara nenek-nenek, mirip sekali, dan terdengar seram.

Teman-teman sekelas kami semua terlibat dalam persiapan. Ada tim yang bikin rumah tua untuk ditampilkan di panggung nanti, ada tim yang mempersiapkan kostum dan properti pertunjukan lain.

Persiapan kami lancar. Beberapa kali kami sudah bikin pentas percobaan dari awal sampai akhir di depan kelas. Kami tampil dengan baik dan lancar.

Lima hari sebelum tampil, kami latihan tiap hari, selepas jam sekolah. Pada hari H-5, Aini tak datang. Ia tak memberi kabar. Saya datangi dia ke rumahnya, naik sepeda. Sampai di depan rumahnya saya dengar ibu dan ayahnya memarahi Aini. Saya dengar soal uang tiket pertunjukan sandiwara yang hilang, uang yang harusnya disetor ke kas desa.

”Kalau tak bisa mengganti uang itu, kamu tak boleh main drama,” kata ibunya. Saya mendengar itu dari depan rumahnya. Saya kembali ke sekolah dan menceritakan pada Pak Rusdi kawan-kawan tentang apa yang saya dengar itu.

”Aduh, gawat. Siapa yang bisa menggantikan dia?” kata Pak Rusdi. Tak ada. Tak ada yang mau dan tak ada yang bisa.

”Apa tak sebaiknya Pak Rusdi ketemu orangtuanya dulu? Bicara dulu, Pak?” kataku.

”Tak mungkin,” kata Pak Rusdi. ”Kalian tak akan paham kalaupun saya jelaskan.”

Saya mendengar kakak tertua Aini suka sama Pak Rusdi. Dia kirim surat, tapi Pak Rusdi menolak. Pak Rusdi punya tunangan di Banjarmasin, kota asalnya. Sejak itu kakaknya Aini, ibunya Aini, dan saudaranya selalu menyebar kabar yang memburuk-burukkan Pak Rusdi. Mungkin itu sebabnya Pak Rusdi tak mau datang ke rumah Aini.

Hari itu kami latihan tanpa Aini.

Di sekolah, Aini berubah jadi pemurung. Pagi itu dia tak banyak bicara. Saya bicara padanya bahwa saya ada di depan rumahnya saat dia dimarahi orangtuanya.

”Makanya, saya tak bisa ikut main sandiwara, saya mundur dari sandiwara kita,” kata Aini sedih. ”Kecuali kalau saya bisa gantikan uang yang hilang. Sekarang saya harus kerja di rumah, dihitung upah kerjanya sebagai cicilan untuk mengganti uang yang hilang itu,” kata Aini.

Orangtua Aini punya pabrik es lilin. Tiap hari banyak pekerja di rumahnya, bekerja bikin es lilin. Dari memarut kelapa, memasak santan dan gula, menuang cairan bahan es ke tuangan sampai mengeluarkannya dan memasukkan ke termos-termos es.

”Kalau kami bisa dapat uang untuk menggantikan uang itu gimana?” tanyaku.

”Tak usah, Gus. Lagi pula kalian mau dapatkan uang dari mana?” kata Aini.

”Biar kami yang pikirkan,” kataku.

Sehabis jam sekolah, sebelum latihan, saya ajak teman-teman membicarakan hal itu. Banyak usulan dari teman-teman. Ada yang usul kami pungut donasi dari semua murid di sekolah kami, mengumpulkan botol dan panci bekas, macam-macamlah, yang rasanya tak ada masuk akal.

”Tak cukup waktu mengejar hari pertunjukan. Tinggal empat hari lagi,” kataku.

Satu usul yang paling masuk akal datang dari Rafai. Anak juragan ikan itu bilang harga tudai sedang mahal, dan permintaan dari kota sedang tinggi. Muara laut kampung kami itu ladang subur kerang dara.

”Kalau kita satu kelas ditambah anak kelas lain kalau ada yang mau ikut, satu hari saja turun menudai pasti bisa dapat tudai yang kalau kita jual cukup untuk membantu Aini,” kata Rafai.

Beberapa anak di antara kami jago menudai. Mereka terbiasa ikut menudai bersama ibu atau bapak. Saya tak terlalu pandai tapi beberapa kali pernah juga, main-main saja. Bila pasang besar telah surut, muara jadi bentangan lumpur. Bawa sepotong papan, bawa ember kecil. Persis seperti main seluncur. Dorong papan pelan-pelan sambil perhatikan permukaan lumpur, bila ada lubang-lubang kecil dengan semburan udara atau air, berarti di situ ada tudai-nya.

Usul yang cerdas. Kami berseru girang, memeluk, mengangkat, dan melambung-lambungkan tubuh Rafai yang enteng kurus itu. Esoknya, kami minta izin membolos. Kami turun ke muara. Beberapa anak kelas lain tanpa izin bergabung dengan kami.

Seharian itu, dari pagi sampai tengah hari, kami dapat mengumpulkan dua karung tudai, karung beras 25 kilogram. Kami menjualnya ke ayahnya Rafai. Oleh beliau kami dibayar lebih. Uang yang kami peroleh lebih dari yang kami perlukan. Masih dengan kaki, badan dan wajah berlumpur kami mendatangi rumah Aini.

Kami ramai-ramai mengucapkan salam. Aini keluar menemui kami, kami sempat melihat ibunya menangis dengan mata sembab, dan ayahnya terduduk lesu. ”Kakakku minggat,” kata Aini.

”Minggat?” tanya kami.

”Iya. Pergi. Diam-diam. Katanya sama sutradara sandiwara itu,” kata Aini.

Kami terdiam.

”Ternyata dia yang membawa uang tiket untuk kas desa.” Kata Aini.

Baru kami ingat apa tujuan kami datang ke rumahnya ramai-ramai. Kami serahkan uang hasil penjualan tudai. Aini memandangi uang itu. Berpikir sebentar. Lalu menarik tanganku masuk ke rumahnya. Memintaku bicara pada ayahnya. Saya kaget dan rikuh. Dari kaki sampai kepala saya penuh lumpur.

”Ayah, ini Agus temanku mau bicara,” kata Aini. Aini menyerahkan uang ke ayahnya.

”Eh, iya, Pak. Anu. Eh…, itu uang dari kami untuk menggantikan uang yang hilang itu. Kami dapat dari menudai. Maksud kami, kami mau bantu Aini. Supaya dia tetap boleh main sandiwara. Boleh, ya, Pak…” kataku tergagap.

Ayahnya Aini memandang pada ibunya. Ibunya makin sembab matanya dan beranjak memeluk Aini. Kalau badanku tak sedang kotor penuh lumpur, rasanya ingin juga sama memeluknya.

Begitulah drama di balik drama, bagaimana sandiwara kami akhirnya bisa juga tampil. Aini bermain sangat bagus. Ia bintang pertunjukan. Ia pemeran utama. Pada hari-hari latihan terakhir, peran utama dialihkan Pak Rusdi dari tadinya anak lelaki yang saya perankan ke anak perempuan yang diperankan Aini. Pak Rusdi juga menambahkan adegan Aini bernyanyi.

Pada malam terakhir pertunjukan, Pak Bendahara Desa, ayahnya Aini, minta izin beri sambutan. Dia menyumbangkan seluruh dana yang hasil penjualan tudai yang dia terima dari kami. ”Saya malu menerima uang ini. Saya sumbangkan ke panitia malam amal, atas nama mereka,” katanya. Semua orang bertepuk tangan, dan kami berpelukan di panggung.

Seperti kusebutkan di awal cerita ini, sandiwara kami sukses. Malam dana tahun itu adalah malam dana paling ramai sepanjang sejarah penyelenggaraannya. Dana yang terkumpul pun mencatatkan rekor tertinggi, cukup untuk merenovasi masjid tua di kampung kami.

Setiap kali mudik, dan memandang masjid itu, menaranya yang menjulang, kubahnya yang berkilau-kilau, saya teringat sandiwara kami. Saya teringat Aini. Dan teringat Pak Rusdi.

Jakarta, 21 September 2022.

***

Hasan Aspahani, penulis, penyair, jurnalis. Lahir 1971, di Handil Baru, Samboja, Kutai Kartanegara, Kaltim. Menulis beberapa buku puisi dan nonfiksi. Kini menetap di Jakarta.

h penghargaan Lempad Prize dari Sanggar Dewata tahun 2000.

 

(5)

Negeri Bulan Terang

Di lembah ini tidak ada kejahatan bahwa di balik air terjun ini ada sebuah negeri yang damai sentosa. Tidak sembarang orang bisa masuk hanya orang pilihan saja.

Oleh: I WAYAN KERTAYASA, 22 Oktober 2022

Pada malam yang begitu panjang terjadilah kesepakatan antara Mawut, Dolar dan Binar. Mereka akan pergi ke sebuah lembah untuk memancing. Mereka sangat yakin mancing di saat bulan purnama akan mendapatkan ikan yang banyak dan besar-besar. Berangkatlah mereka dengan membawa perlengkapan seperti lampu senter, umpan cacing dan kopi lima saset. Tiba di lembah itu mereka terkejut sebab airnya warna-warani. Ikan warna silver dan emas berlompatan ke sana-kemari tanpa beban. Bukan cuma itu, ada delapan bidadari main air beserta empat laki-laki pengawalnya.

Mereka mengintip dari balik pohon besar. Mawut sebenarnya takut sebab ada mitos bahwa lembah ini keramat namun Dolar dan Binar menganggap ini seperti di negeri dogeng di mana kehidupan bisa terjadi atas dasar cinta dan kasih sayang. Mawut tetap ingin pulang tidak ingin mancing di lembah yang menurutnya keramat ini. Tidak sengaja dia menginjak ranting pohon yang mengakibatkan dua burung beterbangan. Sontak mereka ketahuan lalu pengawal itu mendekat kepadanya. Mawut lari namun sejauh kaki melangkah tetap sampai di tempat ini. Pengawal bilang untuk jangan takut, di lembah ini tidak ada kejahatan bahwa di balik air terjun ini ada sebuah negeri yang damai sentosa. Tidak sembarang orang bisa masuk hanya orang pilihan saja. Mawut, Dolar dan Binar adalah orang pilihan yang dikirim oleh takdir untuk bisa jalan-jalan ke negeri ini. Orang sini menyebutnya Negeri Bulan Terang karena kehidupan berdasarkan atas cinta dan kasih sayang.

“Marilah mendekat akan kuantar kalian ke negeri kami.”

“Tidak! Aku mau pulang,” kata Mawut

“Kalian telah dikirim ke sini tidak bisa pulang begitu saja.”

“Berapa hari kami harus di negerimu?” tanya Binar

“Cobalah tiga hari saja kalau ketagihan kami tidak tanggung jawab.”

“Lalu keluarga kami bagaimana?” tanya Dolar

“Tiga hari di negeri kami itu berarti sehari di negeri kalian.”

“Ok gaslah, anggap ini study banding seperti DPR saja,” kata Binar.

Sampailah mereka di pintu gerbang Negeri Bulan Terang, betapa terkejutnya mereka melihat alam yang hijau dan air laut tenang. Ada buah apel di sepanjang jalan dan ada buah-buahan bergizi lainnya yang tumbuh liar. Selama berada di Negeri Bulan Terang mereka akan ditemani satu pemandu yang tidak mau disebutkan namanya. Mereka bertanya kenapa tumbuhan yang bernilai ekonomis tinggi begini tidak dicuri atau diambil oleh seseorang. Kata pemandunya, rakyat di sini sibuk merayakan cinta ketimbang mencuri buah-buahan. Penduduk di sini ramah-ramah, tidak diskriminasi apalagi main hakim sendiri.

Sambil jalan ke istana negara mereka dijelaskan pembagian wilayahnya. Negeri Bulan Terang dibagi menjadi tiga bagian yakni tengah, timur dan barat. Undang-undang dasarnya atas kemanusiaan yang berlandaskan cinta dan kasih sayang. Sehingga setiap penduduk tidak akan bertanya apa agamamu untuk saling tolong-menolong. Memang secara geografis kami tidak tercatat di peta Bumi, namun itu bukan masalah sebab pengakuan atas dasar cinta dan kasih sayang telah kami lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah rakyat yang sedari tadi kita lewati rumahnya apa ada yang murung, bersedih atau bingung untuk mencari uang. Kita pastikan itu tidak ada, sebab alam telah memberikan kami hasil panen yang melimpah sehingga untuk urusan dapur pemerintah yang menanggungnya. Rakyat kami hanya fokus merayakan cinta setiap hari.

Kemarilah sebentar lagi kita sampai di istana negara. Jangan kaget banyak orang di sana karena memang istana dibuka untuk umum sebab angka kriminalitas di negeri kami nol persen. Jangan tersinggung kami tidak bermaksud pamer ke negerimu anggap saja ini seperti studi banding yang kamu bilang tadi. Rutan di sini sepi tidak ada seorang pun berminat menjadi penghuninya sehingga kerjaan sipir berkebun. Jangan heran juga dari rutan-rutan inilah bisa membantu kebutuhan pokok masyarakat. Ada yang bilang rutan rasa kebun, sipir berkedok petani dan sebagainya. Itu tidak masalah bagi kami yang penting bernegara tidak membosankan di negeri kami ini.

“Lalu bagaimana bernegara di negeri kalian?”

“Waduh, aku tidak mengerti urusan bernegara, kami bertiga hanya petani biasa,” jawab Mawut.

“Aku punya beberapa petak sawah yang harus diberi pupuk tetapi pupuknya mahal. Selain jalan-jalan ke negerimu bolehkah aku membeli pupuk di sini siapa tahu lebih murah,” kata Dolar.

“Pupuk di sini tidak diperjualbelikan, lagian di sini hanya menggunakan kotoran ayam saja tidak ada campuran bahan lainnya lagi.”

“Pakai kotoran ayam tetapi bisa tumbuh subur gini ya, atau mungkin ada sihir dan mantra-mantra gitu?” tanya Mawut.

“Tidak ada sama sekali, mungkin karena kami senang dan ikhlas menanamnya sehingga tumbuhan juga ikhlas berbuah.”

“Benar juga sih, apa karena di negeri kita terlalu komersil dan banyak ambisinya ya?” tanya Binar

“Lah, itu penting biar punya uang dan bisa beli beras,” kata Dolar.

“Bukankah kalian petani kenapa beli beras lagi?”

“Hasil panen kami jual untuk kebutuhan lainnya seperti biaya sekolah anak, bbm yang sudah naik dan kebutuhan dapur,” kata Mawut.

“Negeri kalian lucu sekali, petani harus membeli berasnya lagi.”

“Ya begitulah keadaannya,” kata Dolar.

Kita lanjutkan obrolan tentang negeri kalian nanti lagi, sekarang kita sudah sampai di istana negara. Sebelah barat terdiri dari halaman samping yang dipakai untuk menikmati sore terbenam. Presiden suka ngopi sambil ngobrol dengan para menterinya. Obrolannya yang ringan-ringan saja misal tentang kopi yang mereka minum berasal dari petani kopi di wilayah timur dan gulanya berasal dari wilayah barat dan diminum di wilayah tengah dengan banyak rasa syukur. Kami punya budaya menyaksikan sore terbenam dari tempatnya masing-masing. Kalian lihat saja di teras-teras rumah warga menggelar tikar lalu mengobrol dengan pasangannya diiringi kilauan sore yang hampir terbenam. Indah dan romantis bukan! Semua ini tidak mungkin terjadi jika dalam suatu peradaban sibuk bertengkar, caci-maki, menghakimi dan memenuhi tuntutan hidup.

Di negeri kami juga ada budaya pejabat jarang menyebut frasa demi bangsa dan negara itu sakral, salah-salah rakyat tidak percaya lagi kepada pemerintah. Pejabat di sini lebih kepada memberi tindakan dulu baru berbicara tentang apa saja yang sudah dilakukan. Ini penting bagi kami sebab kepercayaan inti dari bernegara yang aman sentosa. Lanjut ke halaman belakang istana ada dua lapangan sepak bola. Siapa saja boleh bermain di sini sebab kami yakin sepak bola dapat mempersatukan bangsa. Dari ujung barat hingga ke timur suka bermain bola pada masing-masing wilayah sudah difasilitasi lapangan yang baik. Di lapangan-lapangan itulah timbul percikan-percikan sportivitas yang dibawa hingga ke kehidupan yang sebenarnya.

Hari terakhir berada di Negeri Bulan Terang mereka bertiga sudah nyaman sekali. Di sini mereka tidak memikirkan duniawi yang selalu tentang pencapaian. Seperti kata pemandu sebelumnya bahwa setelah tiga hari di sini kalau nyaman itu bukan tanggung negeri ini. Hari terakhir diajaklah mereka ke puncak di wilayah barat. Betapa indah dan damainya seperti di negeri dongeng. Stroberi, melon, semangka, sayur dan paprika ada disepanjang jalan. Tidak ada ambisi dan kapitalisme, siapa yang ingin boleh meminta tanpa membayar. Dari sini kelihatan istana negara seperti rumah semua manusia. Oleh karenya musisi tidak kekurangan inspirasi membuat lagu tentang gunung, laut, danau dan kebhinekaan. Begitu menawan dan dihargainya kemanusian di sini. Mereka tidak peduli peradaban jika lupa menghargai dan mengasihi. Negeri ini membuat Mawut, Dolar dan Binar semakin betah sampai Mawut hampir termakan omongannya sendiri ingin menetap selamanya di negeri ini.

Pemandu bilang tidak sembarang orang yang bisa menetap di sini harus punya visa dan passpor yang dipenuhi perasaan cinta dan kasih sayang. Jika ada ambisi dan niat yang buruk maka mereka tidak akan pernah melihat pintu gerbang di balik air terjun. Pemandu berpesan kepada Mawut, Dolar dan Binar untuk terus menjadi orang baik. Jangan pernah mau mencederai nurani jika memang suatu saat nanti ingin menetap di sini lagi. Ajak keluarga sekalian tidak apa-apa namun diberitahu bahwa negeri ini bukan negeri ambisi. Pencapaian atas duniawi tidak berarti apa-apa jika lupa merayakan cinta dan kasih sayang. Perbatasan di sini sangat dijaga ketat tidak pernah ada seorangpun berhasil masuk dengan illegal.

Pemandu mengatakan ada satu pantangan di sini yakni jangan pernah ke perbatasan utara. Pemandu menunjuk kearah di balik gunung. Di sana perbatasan antara Negeri Bulan Mati dengan Negeri Bulan Terang. Tentara kami bersiap 24 jam menjaganya memastikan tidak konfrontasi. Di negeri itu kehidupan sangat tandus akibat penguasa yang tidak menghargai sore, mencederai nurani dan ambisi merajalela.

Jangan sampai masuk ke sana, sekali masuk tidak akan bisa keluar lagi. Pasti kalian akan menjadi budak hawa nafsu, saling mencaci-maki, mengklaim kebenaran dan ngomongnya selalu demi bangsa dan negara. Kebenaran dimanipulasi sehingga populasi menjadi alat propaganda penguasa. Intinya kalian bertiga jangan mau diiming-imingi apapun oleh mereka. Sudah terbukti banyak penyesalan di antara rumah-rumah yang tidak layak itu. Mereka bekerja bukan dengan hati sehingga kemuakan, rasa bosan dan frustrasi menyelimuti dirinya. Negeri Bulan Mati terlalu mengejar peradaban lupa kemanusiaan. Selalu menebar citra baik ke publik tetapi bermain dua kaki di lain pihak. Di sana penjara penuh, kriminalitas tinggi dan ego ada di mana-mana.

Pemandu mengatakan ada satu pantangan di sini yakni jangan pernah ke perbatasan utara. Pemandu menunjuk kearah di balik gunung. Di sana perbatasan antara Negeri Bulan Mati dengan Negeri Bulan Terang. Tentara kami bersiap 24 jam menjaganya memastikan tidak konfrontasi. Di negeri itu kehidupan sangat tandus akibat penguasa yang tidak menghargai sore, mencederai nurani dan ambisi merajalela.

Hari ini ini Dolar, Mawut dan Binar diantar pulang. Pemandu menyampaikan salam dari presiden yang tidak bisa menemui mereka sebab masih ada kunjungan kerja ke timur. Presiden sedang menikmati kemah dengan masyarakat di sana lalu menikmati pagi dan sore tanpa terburu-buru. Sampailah mereka di gerbang lembah itu secara otomatis air memberi jalan untuk mereka menginjakkan kaki di bumi pertiwi lagi. Mudah-mudahan studi banding yang tanpa anggaran negara ini menjadi pedoman hidup minimal bagi mereka bertiga. Bahwa petani pun berhak hidup senang dan bergembira di tanah kelahirannya sendiri. Lambaian tangan Mawut beserta dua temannya mengiringi perpisahannya dengan pemandu itu. Lalu air terjun menutup pintu gerbang Negeri Bulan Terang hilang tak berbekas seperti ruang dan waktu maya.

Sampailah ketiga petani ini di rumahnya masing-masing dengan perasaan yang gembira. Walaupun tidak membawa ikan untuk digoreng namun mereka membawa perspektif baru ke ruang tamu agar bisa menjalani hidup ini dengan suka cita. Mereka ceritakan tentang Negeri Bulan Terang, awalnya dibilang halu namun setelah melihat perilaku suaminya berubah mereka percaya. Setiap pagi bersyukur lalu ketika sore sedang cantik-cantiknya mengajak anak dan istri untuk mengobrol kesana-kemari yang membuat cinta semakin hangat. Melupakan sejenak tentang duniawi sebab ingin merayakan cinta sebagaimana mereka pacaran dulu. Hal-hal sederhana inilah yang membuat keluarga mereka bisa berdamai dengan diri sendiri dan keadaan.

Bahkan melupakan mimpi untuk bisa jalan-jalan ke Eropa seperti Paris dan sekitarnya karena lebih tertarik mengunjungi Negeri Bulan Terang yang damai sentosa. Mudah-mudahan suatu saat nanti mereka sekeluarga bisa berkunjung ke Negeri Bulan Terang atau minimal bisa melihat pintu gerbang menuju ke sana dulu. Syaratnya tidak main-main bahwa harus memastikan diri penuh cinta dan kasih sayang sehingga visa dan paspor bisa didapatkan.

***

I Wayan Kertayasa, pengajar literasi di Yayasan Was. Saat ini, penulis tinggal di Banjar Kedungu, Taro, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Novel yang sudah diterbitkan Romansa Lagu (2020) dan antologi puisi Semoga Aku Sampai (2021).

 

(6)

Malam Pertobatan

Tubuhnya beringsut, dan tangannya membenahi kain sarungnya. Jantungnya berdebar. Ia merapatkan kain sarung dan jaket secara bersamaan, mengambil nafas melalui hidung dan sekaligus mulutnya.

Oleh: RANANG AJI SP, 20 Oktober 2022

Dalam beberapa bulan, ditemukan orang-orang mati di dalam karung. Dua di antaranya adalah temannya. Kabar itu membuatnya memutuskan tak keluar rumah. Saat itu bulan Juli 1983, suhu malam hanya delapan belas derajat. Jaket dan sarung terasa atis menembus kulit. Merasa tak tahan dengan udara dingin, dan hanya meringkuk beku di kursi, Baron berdiri dan berniat membuat kopi di dapur untuk menghangatkan tubuhnya. Setelah menunggu seperempat jam yang beku, akhirnya dia mendapatkan kopi panasnya dan membawanya ke ruang tamu dengan langkah waspada. Meletakkan secara hati-hati di atas meja persegi dan kembali duduk meringkuk di atas kursi. Malam itu masih sekitar pukul tujuh malam, tak ada kabut di luar, tapi sepenuhnya kabut itu berada di hati dan pikirannya.

“Apakah mereka juga menyasarku?” Dia bicara pelan, ragu di antara letupan nafasnya yang pecah dan dingin.

Tubuhnya beringsut, dan tangannya membenahi kain sarungnya. Jantungnya berdebar. Ia merapatkan kain sarung dan jaket secara bersamaan, mengambil nafas melalui hidung dan sekaligus mulutnya. Tapi, segera setelah dua menit, dia membongkar balutan kain sarungnya untuk meminum kopinya. Tangannya merasakan perubahan yang cepat pada permukaan gelas kopinya. Suhunya mungkin turun sekitar dua derajat sejak air mendidih itu dituangkan. Tapi air kopi itu masih cukup mampu membuat mulutnya hangat. Setelah itu dia mengambil satu batang rokok kreteknya dan membakarnya dengan keratan merk Kereta Api. Matanya menangkap cahaya api, dan jarinya gemetaran oleh rasa dingin dan kekhawatiran.

“Mereka kejam sekali,” gumannya.

Baron mengomentari itu, seolah melupakan beberapa peristiwa kejam yang pernah dilakukannya. Matanya menerawang setelah menghisap rokoknya, dan melupakan kopinya yang semakin dingin. Pikirannya masih di antara para pembunuh itu, dan teman-temannya yang mati di dalam karung. Pikiran itu, membuat seluruh sendinya lemas. Ada perasaan menyumpal dalam rongga dada yang membuatnya sesak. Setelah meminum kopinya sekali lagi, dia berjinjit menuju jendela, melihat keadaan luar – lalu masuk ke kamarnya setelah hanya melihat ketegangan batang sawo di halaman. Dengan sedikit membungkuk, dia meraih peti persegi warna hitam. Menariknya keluar dari bawah ranjang yang diikuti suara derit, dan membukanya. Tangan kanannya mengeluarkan pedang pendek yang terbungkus kain hitam. Ia juga mengambil sepucuk revolver Type 26.

Sembari duduk bersandar pada ranjang, matanya mengamati dua jenis senjata yang ia letakkan di atas lantai. Dua senjata itu dia dapatkan setelah aksi perampokan pertamanya berhasil beberapa tahun lalu. Dia membelinya dari seseorang di Lampung. Dia suka dengan pedang pendek itu. Ada sesuatu yang memancar kuat dari besi tuanya.

“Dulu ini milik Samurai, seorang kapten yang mati karena Seppuku,” kata orang itu.

“Apa itu?”

“Iya pokoknya bunuh diri.” Pria itu menolak menjelaskan.

“Pistol ini?”

“Itu juga punya kapten itu.”

“Wah, senjata para ksatria yang diwariskan pada kriminal.”

“Salah,” kata pria itu, “mereka juga kriminal.”

“Tapi mereka punya tujuan dan harga diri,” tambahnya.

Baron tertawa.

“Jadikan jimatmu,” saran pria itu.

Dua benda itu selalu dalam peti itu. Sebagai jimat. Dia lebih suka seperti itu daripada menggunakannya. Kadang dia memang sengaja memamerkannya pada teman-temannya dengan cara melap-lapnya hingga mengkilat. Bukan sebagai benda pusaka, tapi sengaja untuk membuat mereka takut dan menghormatinya. Tapi, sebenarnya bukan semata karena dua senjata itu mereka takut. Mereka paham siapa dirinya. Tak banyak ‘gali’ segila dirinya.

Cukup lama matanya menatap nanar pada dua senjata itu. Membiarkannya tetap tergeletak di atas lantai. Dia memikirkan perlawanan bila mereka datang. Tapi hatinya bimbang. Tak yakin mampu menggunakannya. Matanya suram. Kesal karena tiba-tiba menjadi lemah oleh bayangan para pembunuh misterius itu. Mereka lebih menakutkannya dari yang dipikirkannya. Lalu dia menghela nafasnya bersamaan bunyi tokek yang membuatnya kaget.

“Sshh…diam!” Suaranya mendesis marah. Matanya menatap ke arah atap. Suara binatang itu putus, tapi berlanjut seperti tak peduli.

“Tok-Tok-Tok-ek..”

Baron bangkit dan berbaring di atas ranjang dengan kepala pusing dan perut mual. Otaknya terus menerka apa yang bakal terjadi padanya. Apakah aku bisa selamat? dia bertanya dalam kebimbangannya. Ruangan berdenging dalam cahaya kuning yang samar. Ruangan dikurung suara serangga. Dua cicak jatuh dari atap.

Tap! Kaki Baron terangkat dengan sentakan kaget.

Beberapa bulan lalu dia sudah mendengar kabar pembantain itu. Saat itu, dia tengah minum kopi di warung depan terminal. Semua orang di sana memberi komentar tentang penembak misterius. Gombloh, pemilik warung bahkan memberinya peringatan.

“Jangan-jangan sampai di kota ini, Ron,” Katanya sambil menatapnya. “Lebih baik hati-hati.” Suara Gombloh itu membuat semua pelanggan menatapnya . Tapi dia tak begitu peduli.

Pulang dari warung, teman-temanya juga membicarakan hal yang sama. Tapi saat itu dia merasa bahwa semua itu hanyalah berita yang berjarak. Tak ada yang membuatnya merasa harus melakukan sesuatu. Tapi, setelah dua temannya menjadi korban di luar kota, Baron baru sadar bahwa semua itu bukan bualan, dan itu membuatnya cemas sepanjang waktu. Dalam beberapa hari, sejak kematian dua temannya dia memutuskan tak keluar rumah. Mencoba mencari aman. Tapi bayangan kematian itu menghantuinya, dan membuatnya mual. Tiba-tiba otaknya membayangkan alam kubur. Sebuah dunia yang asing dan tak pasti. Itu benar-benar membuatnya ketakutan.

“Ya Tuhan.”

Udara semakin dingin, tapi tubuh Baron hangat oleh rasa cemasnya. Matanya menatap lekat kayu-kayu atap yang coklat dan suram. Telapak tangannya ketas. Setiap tubuhnya bergerak, suara ranjangnya menjerit dan membuat hatinya seperti terjepit. Ia mulai menyesal dan memikirkan kesalahannya meremehkan informasi sejak awal. Baron mulai memikirkan keharusannya yang telah lewat. Seharusnya ketika Gombloh memberinya peringatan, harusnya dia memikirkan matang-matang untuk bisa menghindar. Pikirannya semakin acak dan tak mampu fokus. Tapi kemudian dia mencoba melihat kesempatannya bisa selamat.

Di saat mulai merenungkan keadaannya, dia membayangkan kedua orangtuanya sebagai suatu kesempatan. Mungkin bila pulang, dia bisa memperbaiki hubungan. Lagipula sudah lima tahun dia tak pulang ke rumah orangtuanya. Dia anak satu-satunya. Mereka pasti bisa menerima keadaannya, terutama ibunya. Ibunya pasti bisa melindunginya. Ibunya pasti bisa membuatnya selamat. Pikiran itu membuatnya tersentak dan bangun dari ranjang.

“Aku harusnya bertobat dan bersujud di kaki ibu.” Suaranya lirih mengeluh, agak serak.

Ketika tengah memikirkan itu, bayangan kematian tiba-tiba kembali menelusup dan membuatnya kehilangan daya hidup. Setelah menyebut ibunya dalam gumanan yang berat, dia mencoba melawan bayangan mengerikan itu. Lalu dia ingat ayahnya dulu bicara pada temannya.

“Tak ada yang bisa mempercepat atau melambatkan kematian. Semua sudah ada waktunya masing-masing.”

Ingatan itu membuatnya sedikit lega. Rasanya seperti diberkati. Ayahnya mungkin benar. Dua temannya mati, tapi lainnya masih hidup. Pikiran itu membuatnya lebih tenang, meskipun tubuhnya masih merasakan lemas. Dia menghela nafasnya dalam-dalam, kemudian bangkit. Dengan dua tangannya dia membawa dua senjatanya ke ruang tamu. Meletakkannya di atas meja, dan tangannya meraih gelas kopinya yang dingin. Meneguk kopinya sekali.

Ketika pukul sembilan malam lebih sepuluh, tiba-tiba dia merasakan tubuhnya melemah lagi. Pikirannya kembali diserang oleh kecemasan apakah dirinya termasuk target. Sejauh ini, tak sekalipun dirinya masuk penjara. Itu karena teman-temannya adalah orang-orang yang setia. Mereka tak pernah membawa nama teman-temannya ketika ditangkap. Kedua temannya yang mati, mungkin masuk daftar karena mereka pernah masuk penjara. Jadi wajar saja bila mereka masuk daftar target. Dengan gelisah dia menyimpulkan itu. Dalam ketidakpastiannya, dia merokok lagi untuk meredakan badai di otaknya. Ruangan menjadi berasap putih dan beraroma kretek. Udara samar, dan matanya menatap pintu kayu yang tegang.

Di saat itu dia mulai menimbang untuk pulang ke rumah orangtuanya, sebelum kemudian mencari tempat aman. Pulang dan menyatakan tobat terlebih dahulu pada kedua orangtuanya. Itu paling penting. Tapi dia ragu sendiri, apakah itu bisa menjadi jalan keluar. Dia tertawa muram dan geram. Dipukulnya bantalan kursi yang menyembul di antara selangkangannya. Matanya tak berkedip. Tubuhnya tegak, mencoba mengerahkan dirinya. Lalu tangannya meraih pistol dan meletakkan mocongnya ke jidatnya. Bunuh diri seperti samurai itu mungkin lebih baik, pikirnya.

“Ah, bertobat-bertobat…” Mulutnya tiba-tiba mengucapkan itu sembari menurunkan pistolnya. Tapi, bersamaan dengan itu, tubuhnya tersentak ketika tiba-tiba terdengar suara berisik di luar. Jantungnya seolah berhenti, sebelum akhirnya berdetak lagi, dan dia bisa menguasai dirinya. Dengan waspada dia bangkit berjinjit, mencoba melihat apa yang terjadi di luar melalui jendela. Hatinya lega ketika matanya hanya melihat dua ekor anjing berkeliaran di luar. Beberapa kendaraan masih juga terlihat di jalanan dalam cahaya kuning samar. Angin dingin berdesir melewati lubang ventilasi.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja di luar, Baron bergegas masuk ke kamarnya mengambil jaket dan selempang. Dia juga mengemasi senjatanya. Memasukkan pedang ke dalam tas, dan menyelipkan pistol di pinggangnya untuk berjaga. Tapi dia ragu. Berdiri kaku sembari memikirkan tentang pertobatan yang bersih di hadapan orangtuanya. Tak baik membawa senjata di hadapan mereka, pikirnya. Akhirnya dia mengurungkan niatnya membawa senjata. Setelah menyimpannya kembali, melalui pintu sebelah, Baron mengeluarkan motornya dan memarkirnya di depan pintu gerbang.

Usai mengunci semua pintu rumah, dia menuntun perlahan motornya keluar pagar. Sebelum berangkat matanya menatap arlojinya yang menunjukkan pukul sebelas lima belas malam. Dia menghitung waktu. Setidaknya dia akan sampai ke rumah orangtuanya sebelum subuh. Semua akan baik-baik saja setelah sampai. Pikiran itu sedikit membuatnya merasa lega. Malam berdengung, dan udara basah merambat ke kulit. Kakinya menyelah pedal motor ketika sebuah Jeep datang dari arah belakang. Berhenti tepat satu meter di sampingnya. Lalu, tiga orang tegap terlihat turun dengan gerakan tergesa. Satu di antaranya berseru memanggilnya, “Baron!” Ia menoleh kaget. Lalu, Door! []

***

Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021).

 

(7)

Khasiat Embun Pohon Putih

Pertanyaan itu lagi. Kau hanya diam, berpura-pura merapatkan jaket, memandang ke dalam gelap. Kau berusaha menenangkan diri dari ingatan pada wajah lucu dan sorot mata Siti.

Oleh: AHDA IMRAN, 16 Oktober 2022

KABUT. Lepas tengah malam, suara dayung di permukaan air. Perahu terus bergerak, menembus gelap dan dingin, menuju pulau kecil di tengah danau. Tak ada yang tampak di pulau, kecuali sesekali terlihat samar pohon putih di puncak bukit kecil. Dalam gelap, pohon putih seakan melayang dan menempel di kertas hitam, lalu menjadi bagian dari kabut.

Belum lagi separuh perjalanan, sambil menyulut rokoknya yang kedua, si pendayung tak bisa menahan keinginannya berbicara. Maka, diulangnya lagi pertanyaan pada lelaki yang duduk memunggunginya, “Jadi, ingatan pada siapa yang ingin Sanak lupakan?”

KATA Tuanku Imam, dari cerita yang didengar kakek gurunya, seorang pengembara yang saleh mengatakan iblislah dulu yang menanam pohon putih. Apa alasan iblis menanam pohon itu di kampung kami, hanya iblislah yang tahu, seperti tak seorang jua yang tahu apa penyebab kematian pengembara yang saleh itu ketika suatu pagi seorang penjala ikan mendapati mayatnya dalam perahu yang terapung di danau.

Kalau hari tak berkabut, Sanak bisa melihat pohon putih menjulang di pulau tengah danau. Pohon mirip beringin yang batang sampai dahan, bahkan semua daunnya, berwarna putih seperti dikebat kain tetoron. Di bawah bulan purnama, atau setelah hari hujan, pohon itu terlihat begitu putihnya seakan mengeluarkan cahaya.

Sanak tahu, sebanyak pohon dalam rimba, tidak ada satu jua pohon yang serupa dengannya. Kata Nasir, yang berladang di pulau, belum pernah ia melihat seekor saja pipit hinggap di pohon putih. Kecuali ular, tak ada hewan yang terlihat mendekati pohon putih.

Tentu di kampung kami masih banyak tersedia “ceritanya” dan “katanya” mengenai pohon putih. Mana yang benar jadi tak penting benar. Yang terang, entah sejak bila pohon putih membuat orang datang ke kampung kami yang lengang ini. Bermalam, lalu setengah diam-diam, pagi buta mereka menembus kabut, berperahu menuju pulau. Naik ke bukit mendatangi pohon putih, meminum embun di daunnya.

Embun itu bukan berkhasiat menyembuhkan penyakit, tapi menghilangkan ingatan kita pada siapa dan apapun yang membebani pikiran serta perasaan. Setelah meminumnya, semua ingatan yang menggelisahkan kita akan lenyap, termasuk ingatan akan rasa cinta. Lalu semua ingatan itu seakan tak pernah ada terjadi. Jika pun masih ada, tidak ada lagi perasaan apa pun. Sebanyak orang yang tak percaya, tak berkurang jua mereka yang mendatangi pohon putih.

Bagaimana pangkal mula orang mengetahui khasiat embun pohon putih, lagi-lagi tak seorang jua yang tahu. Yang terang, khasiat embun pohon putih tidak membuat kampung kami bertambah ramai. Dari tahun ke tahun bahkan semakin lengang saja. Banyak orang kampung pergi ke banyak negeri, tak lagi pernah pulang, hilang cinta dan ingatannya pada kampung ini. Apakah mereka juga sudah meminum embun pohon putih, tampaknya begitu.

Kata Tuanku Imam… .

PEMILIK kedai itu terus bercerita. Lelaki bertubuh kurus yang kesenangannya bercerita sama besarnya dengan kesenangannya merokok. Apalagi ia sudah menduga apa keperluanku mendatangi kampung ini. Selain pemilik kedai, ia juga memiliki perahu dan sering mengantar orang ke pulau untuk mendatangi pohon putih. Sambil sesekali mereguk teh telur yang hangat, seperti diharapkannya, aku mendengar ceritanya penuh minat. Kupikir aku telah menemukan orang yang ciri-cirinya seperti dikatakan Bapak.

Dua jam setelah menyelesaikan makan, tak ada pengunjung yang lain di kedai ini selain aku seorang. Di meja yang lain sejak tadi Siti asyik menggambar. Dia anak pemilik kedai, berumur lima tahun, berwajah lucu dengan sepasang mata yang indah. Sesekali ia berteriak dan menghampiri ayahnya, memamerkan gambarnya. Lalu bapak dan anak itu riang bercengkerama.

Kepadaku Siti memanggil “Om” seakan ia sudah lama mengenaliku. Ia memperlihatkan gambarnya, perahu dan orang yang terbaring di dalamnya. “Ayah Siti sedang bobo di perahu, Om,” katanya. Aku hanya mengangguk tidak peduli, pura-pura tidak tahu bahwa Siti mengharapkan pujian. Sebelum senyum dan sepasang mata Siti menelan perasaanku, aku harus menjaga jarak.

“Ini, Sanak, lihat!” Pemilik kedai memperlihatkan layar ponselnya, foto dirinya di ponsel bersama seorang lelaki yang sudah berumur. “Lihat, Sanak, dia duduk persis di kursi Sanak sekarang. Pensiunan tentara katanya, pasukan khusus, minta diantar ke pohon putih. Dia nak menghapus ingatan pada wajah orang-orang yang pernah dibunuh dan diperkosanya dulu. Dia hidup tidak tenang, dikejar-kejar dosa, padahal dia mau berangkat haji.” Ia menggeser layar ponselnya, foto yang lain.

“Nah, ini pengacara terkenal, pasti Sanak mengenalnya. Dulu awak juga yang mengantarnya ke pulau. Buat awak, setiap kali dia ada di TV dan ngomong ‘keadilan’, lawak sekali terdengarnya!” Ejeknya sambil tertawa. Lalu disebutnya juga banyak orang yang pernah mendatangi pohon putih, tak terkecuali mereka yang terlilit ingatan dan perasaan cinta dan asmara.

“Yang tak terpikir oleh awak, ada pula rupanya mereka yang sengaja datang untuk menghapus ingatan pada apa yang semestinya terus diingat. Orang-orang itu ingin leluasa berbuat kemungkaran. Tampaknya, bersua juga perkataan pengembara yang saleh dulu, iblislah yang menanam pohon putih.” Ia berkata sambil mengocek kopi yang baru dibuatnya.

Lihat, Sanak, dia duduk persis di kursi Sanak sekarang. Pensiunan tentara katanya, pasukan khusus, minta diantar ke pohon putih. Dia nak menghapus ingatan pada wajah orang-orang yang pernah dibunuh dan diperkosanya dulu. Dia hidup tidak tenang, dikejar-kejar dosa, padahal dia mau berangkat haji.

“Pasti Abang sering juga mengantar pembesar ke pulau, dan pasti bayarannya besar!” Kataku dengan nada kagum. Ia tersenyum-senyum bangga. Umpanku disambutnya. Ia bercerita tentang seorang pembesar yang dua hari lalu diantarnya ke pulau.

“Dia pembesar yang sangat ternama. Hampir awak tak percaya bertemu beliau. Semua orang tahu apa yang telah dikatakan dan dijanjikannya dulu kalau ia berkuasa.“ Meski suaranya terdengar agak ragu, namun ia meneruskan juga. “Tapi dia malah mendatangi pohon putih. Menurut awak yang bengak ini, jadi untuk apa lagi orang menunggu bukti kata-kata dan janjinya dulu!” Dia tertawa.

Kupikir sudah cukup. Setelah sepakat ia akan mengantarku ke pulau, aku beranjak. Menjelang keluar dari kedai, tiba-tiba pemilik kedai itu bertanya, “Jadi ingatan pada siapa yang ingin Sanak lupakan?”

Pertanyaan itu lagi. Kau hanya diam, berpura-pura merapatkan jaket, memandang ke dalam gelap. Kau berusaha menenangkan diri dari ingatan pada wajah lucu dan sorot mata Siti. Lalu suara lelaki yang kepadanya semua orang memanggil “Bapak”. Penguasa yang terlalu baik untuk tidak menggelisahkan semua janji yang pernah dikatakannya. Janji dan kata-kata yang ternyata tak bisa dilakukannya setelah ia berkuasa.

Ada banyak dalih, tapi kata-kata dan janji itu terus menggema dalam dirinya, membuatnya merasa bersalah telah mengkhianati mereka yang telah memberinya kekuasaan. Gema itu akhirnya tidak lagi terdengar berkat khasiat embun pohon putih. Dan hanya satu orang yang tahu bahwa ia telah mendatangi pohon putih.

Saat perintah itu kau terima kau sudah paham apa yang harus dilakukan. Seseorang mesti dikorbankan karena sebuah rahasia harus diselamatkan. Lebih lagi, semua hal mengenai Bapak yang bersifat rahasia mustahil dipisahkan dari rahasia negara. Setelah sebentar memandang ke arah pohon putih, kau berbalik menghadap si pendayung, mendekat.

Lelaki pemilik kedai itu baru saja menyalakan rokok sebelum ia merasakan suatu gerakan cepat di kepala dan lehernya, sebelum ia sempat mengaduh.

Setenang biasanya, kau membaringkan mayat pemilik kedai itu di perahu. Lalu dengan penuh hormat, kau menutup matanya, merapikan letak kedua tangannya, dan sebentar kau menunduk seraya bergumam. Kau lalu terus mendayung sampai ke pulau, lalu menuju pohon putih, mereguk embun di daun-daunnya. Embun yang terasa manis. Dan benar saja, embun pohon itu sangat berkhasiat, tak ada lagi yang kau ingat.

Sepulang dari pulau, di tempat sepi kau naik ke daratan, mendorong dan membiarkan perahu hanyut, terapung kembali ke tengah danau, ditelan kabut. Tiba-tiba kau merasa mendengar suara seorang anak, “Ayah Siti sedang bobo di perahu, Om.” *

Ciampel, 2 Oktober 2022

***

Ahda Imran, Lahir di Baruhgunung Kabupaten 50 Kota Sumatera Barat, menulis cerpen, puisi, lakon, dan esai. Bukunya yang telah terbit novel biografis Jais Darga Namaku (2018) dan kumpulan puisi Lidah Orang Suci (2020). Bergiat di Selasar Bahasa dan Titimangsa Foundation.

 

(8)

Sepeda Tua Ayah

Aku berjalan menyusuri ruang kecil rumahku yang memisahkan antara dapur dengan ruang televisi yang tanpa meja, kursi, dan perabotan rumah lainnya. Aku melihat Ayah yang sedang asyik menonton televisi.

Oleh: SITI MAHARANI, 14 Oktober 2022

Tubuh tua nan renta Ayah membuatku berpikir keras dan membayangkan bagaimana hari-hariku tanpanya. Ayah adalah keluarga satu-satunya yang aku miliki saat ini. Kami berdua ditinggalkan oleh Ibu dan kedua kakakku 5 tahun lalu. Mereka meninggal dalam kecelakaan mini bus saat hendak pulang kampung menghadiri pemakaman almarhumah Nenekku. Sejak saat itulah Ayah berusaha sebaik mungkin merawat dan mendidikku dengan penuh kasih sayang.

Aku berjalan menyusuri ruang kecil rumahku yang memisahkan antara dapur dengan ruang televisi yang tanpa meja, kursi dan perabotan rumah lainnya. Ruang itu menjadi ruang tamu sekaligus juga ruang keluarga. Aku melihat Ayah yang sedang asyik menonton televisi.

”Eh, Gema,” seru Ayah yang menyadari kehadiranku.

”Sini nak,” ajaknya padaku.

”Nonton apa Ayah? Besok Ayah jualan apa tidak yah?” tanyaku pada Ayah sambil mendudukkan tubuhku di sebelahnya.

”Inih tuh liat pelawak,” jawab Ayah. ”Hahaha, tuh tuh lucu tuh hahaha,” sambungnya lagi sambil tertawa terbahak-bahak. ”Besok Ayah nggak jualan dulu deh, punggung Ayah sakit dari tadi pagi,” ucapnya lagi sambil menunjuk punggungnya.

”Maaaana? Sini Gema pijitin, ya udah yah besok Gema aja yang jualan,” ucapku sembari memijit punggungnya.

”Kamu nggak sekolah?” tanya Ayah.

”Ayah nih hahaha, besok kan Minggu ya libur lah,” jawabku sambil tertawa kecil.

”Ooo iya iya, lupa. Maklumlah Ayahmu ini sudah tua heheheh,” ucapnya sambil ikut tertawa juga.

Entah mengapa aku tidak suka Ayah ngomong seperti itu, ucapannya itu menyadarkan aku bahwa cepat atau lambat dia akan meninggalkan aku entah itu sebab penyakit atau sebab usianya yang sudah tua.

Sejak Ibu dan kedua saudariku meninggal, Ayah meminjam uang untuk modal berjualan bakso. Ia berjualan dengan menggunakan sepeda ontel miliknya yang walaupun sudah terkumpul uang dan berhasil membayar hutang, sepeda itu tetap ia pakai berjualan hingga sekarang. Ayah biasa berjualan di depan SD dan SMP dekat rumah kami. Dulu ia mampu berjualan lebih jauh lagi tapi sekarang tidak. Aku sudah menyuruhnya berjualan dengan menggunakan sepeda motor yang sudah berhasil ia beli, tapi Ayah tidak mau dan sepeda motor itu diserahkan padaku untuk transportasi menuju sekolahku.

Jika saat libur aku tidak sibuk, aku lebih memilih untuk menggantikannya berjualan seperti esok hari.

Sambil aku memijit punggung Ayah, aku iseng bertanya, ”Kenapa sih.. Ayah nggak mau jualan pakai motor saja?”

”Nggak ah, kamu pakai saja buat ke sekolah,” jawabnya.

”Kalau Ayah pakai motorkan Ayah nggak akan terlalu lelah seperti mengayuh sepeda,” ucapku.

”Ayah nggak masalah, yang penting kamu lancar-lancar belajarnya, cepat lulus, nilainya bagus, nanti masuk kampus yang kamu mau jadi gampang,” jelasnya lagi.

”Gema juga nggak masalah pakai sepeda Ayah, Gema bahkan lebih suka naik sepeda Ayah, sekalian olahraga, anak muda itu harus sering-sering olahraga kata guru Gema,” ucapku lagi.

”….” Ayah terdiam cukup lama.

”Kenapa yah?” tanyaku yang merasa heran dengan kebisuan Ayah.

Ayah menggelengkan kepalanya, ”Nggak papa, Ayah cuma teringat sesuatu,” jawabnya.

”Ingat apa?” tanyaku lagi.

”Sebenarnya…” Ayah bercerita bahwa sepeda itu dulunya adalah hadiah dari almarhumah Ibu. Dulu saat belum memiliki uang yang cukup untuk membeli motor, Ibu mengumpulkan uang untuk membeli sepeda. Ibu kasihan lihat Ayah jualan gulali dengan dipikul. Setiap malam Ayah mengeluh punggungnya sakit, Ibu jadi semakin sedih.

Jadi, Ibu membelikan sebuah sepeda secara diam-diam untuk memberikan Ayah surprise, dan itu cukup berhasil membuat ayah terkejut dan bahagia sekali. Walaupun saat itu Ayah sempat menceramahi Ibu agar uangnya seharusnya disimpan saja untuk biaya sekolah anak-anak mereka nanti. Tapi Ibu berkata dengan sepeda ini Ayah bisa juga mencari lagi uang yang banyak.

Lalu esoknya Ayah berjualan dengan menggunakan sepeda. Terkadang sepeda itu juga sebagai transportasi Ayah dan Ibu ke pasar dan berjalan-jalan di sore hari. Sampai lahir kakak pertamaku, kemudian sepeda itu Ayah gunakan untuk menghibur kakakku, mengajak anak gadisnya itu mengitari kampung. Maka dari itu, Ayah tidak mau mengganti sepeda tersebut, sebab sepeda tersebut memiliki banyak kenangan bersama Almh. Ibu dan Almh. Kedua kakakku bahkan kenangan bersamaku juga. Sepeda ontel Ayah sudah menemaninya melalui banyak momen, baik itu suka maupun duka. Tak khayal Ayah sangat menyayangi sepedanya itu.

”Tapi tetap saja Ayah, lebih baik Ayah berjualan dengan motor, toh Ayah juga sudah mahir menggunakan sepeda motor,” ucapku, mencoba membujuknya lagi agar ia mau menukar sepedanya.

”Nanti, Ayah pikir-pikir dulu. Ya udah Ayah mau tidur duluan, nanti jangan lupa matikan TV-nya,” ucapnya lalu pergi menuju kamar.

”Iya yah,” balasku lalu aku lanjut menonton televisi.

Tidak lama menonton aku sudah merasa ngantuk, kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku langsung mematikan televisi dan beranjak ke kamarku lalu tidur.Kamar yang hanya memiliki ukuran 4 × 4 meter inilah yang selalu jadi tempat ternyamanku untuk tidur dan belajar.

Esoknya aku bangun jam 4 subuh untuk membantu Ayah membuat adonan bakso, aku juga membereskan kotak jualan yang akan diletakkan di bagian belakang sepeda.

”Letakkan di sepeda motor aja, biar kamu gampang jualannya,” seru Ayah.

Aku senang mendengarnya, ”Serius yah? Berarti Ayah nanti jualannya terus menggunakan motor kan?” tanyaku kegirangan.

Ayah mengangguk.

”Alhamdulillah, semoga rezeki Ayah ngalir terus,” ucapku lagi penuh syukur dan doa.

”Aamiin,” sahut Ayah sembari tersenyum.

Kami kembali sibuk memindahkan bakso yang sudah jadi kedalam wadah jualan. Disela-sela kesibukan Ayah bertanya, ”Sekarang umur kamu berapa Gema?”

”18 tahun yah, sebentar lagi Gema lulus SMA,” jawabku santai.

”Ooo iya, Ayahmu ini bahkan nggak ingat lagi umur anaknya, hahahah,” ucapnya lagi sambil tertawa.

”Yang penting Ayah sehat terus, bisa nemani Gema sampai Ayah punya cucu,” balasku.

”Aamiin, Aamiin…, Insya Allah napas Ayah masih panjang, sepanjang Sungai Nil,” ungkapnya penuh doa.

”Hehehe…, Iya Ayah, Aamiin,” ucapku juga penuh doa.

Setelah selesai mempersiapkan dagangan, aku dan Ayah bergantian untuk mandi dan merapikan diri.

Tepat pukul 7 lewat 30 menit, aku pamit pada ayah untuk pergi berjualan. Karena menggunakan sepeda motor aku mampu berjualan hingga kampung sebelah. Tidak sampai setengah hari bakso yang aku jual sudah habis. Lalu aku kembali ke rumah dan mengambil sisa bakso di rumah untuk kembali aku jual.

Sore itu panas sekali dan sekarang aku tengah memarkirkan motor di sebelah tukang sate. Tak lama ada kakek-kakek penjual bubur melintasiku. Ia berjualan dengan sepeda, mengingatkanku pada Ayah. Aku memanggilnya dan membeli 2 bungkus bubur yang kakek itu jual. Lalu aku melihat bak daganganku, baksonya sudah sisa sedikit. Dan aku memutuskan untuk pulang saja.

Setibanya di rumah, aku langsung mengangkut kotak jualan masuk kedalam rumah. Kulihat Ayah di dalam kamar sedang memijit kedua kakinya.

”Kaki Ayah sakit juga?” tanyaku.

”Eh, iya nih,” jawab Ayah dengan sedikit terkejut.

”Nih, yah, makan dulu,” aku serahkan bubur yang sudah ku tuangkan kedalam mangkuk kepadanya.

”Wahh kamu beli bubur, beli di mana?” tanyanya.

”Di pasar tadi yah, tukang buburnya mengingatkan Gema pada Ayah,” jawabku.

”Masa sih? Emang dia ngapain?” tanya Ayah lagi.

”Jualan pakai sepeda ontel juga, sama kayak Ayah kan,” jawabku lagi.

”Ohhh iya berarti, sama hahahah…”

Melihat tawa ayah, lelahku berjualan hilang. Entah pun sama halnya ketika ia melihatku senang dan sukses pasti ia akan ikut bahagia juga. Layaknya sepeda ontel Ayah yang selalu menemaninya di kala suka dan duka, aku pun berharap Ayah akan terus menemaniku dengan penuh suka. Semoga kelak akupun seperti Ayah, menjadi suami sekaligus Ayah yang hebat, Aamiin.

***

Siti Maharani, Lahir di Desa Sidomulyo, Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada 2 April 2001. Sedang menempuh pendidikan semester 7 di Institut Seni Budaya Indonesia Aceh pada tahun 2022. Mulai menulis cerpen dan puisi sejak duduk di bangku SMA dan menulis di beberapa platform online. Sekarang mencoba untuk menulis cerpen di Kompas sembari menekuni dunia pendidikan di bidang seni.

 

(9)

Kenangan Indah

Kemarin muncul berita tentang terbongkarnya prostitusi ”online” dan si cewek yang terkenal sebagai artis cantik itu mengaku kepada media bahwa dirinya memasang tarif ratusan juta untuk sekali kencan.

Oleh: MARIA M BHOERNOMO, 13 Oktober 2022

”Kamu betul-betul luar biasa. Mau-maunya membayar mahal hingga ratusan juta hanya untuk sekali kencan. Uang begitu banyak bisa kau pakai untuk menyantuni anak-anak yatim dan kelak akan membuatmu masuk sorga.”

Kalimat itu dibacanya setelah ia membuka WA. Hari masih pagi ketika ia bangun tidur. Kemarin muncul berita tentang terbongkarnya prostitusi online dan si cewek yang terkenal sebagai artis cantik itu mengaku kepada media bahwa dirinya memasang tarif ratusan juta untuk sekali kencan. Ia pun disebut oleh si cewek itu sebagai salah satu pengusaha yang pernah kencan dengannya.

Kemarin, begitu selesai membaca berita itu di layar HP, ia langsung minum obat tidur agar sepanjang malam bisa tidur nyenyak hingga pagi tiba. Di apartemen itu, ia perlu istirahat dan tak ingin terganggu oleh apa dan siapa pun. Paginya, setelah bangun tidur, ia melihat banyak pesan di WA dari sejumlah rekan pengusaha.

Terpaksa sebelum mandi ia membaca pesan-pesan itu. Ternyata pesan-pesan itu berisi ungkapan rasa heran: Kok mau-maunya membayar ratusan juta untuk sekali kencan? Memangnya apa yang ingin kau dapatkan? Kencan dengan cewek cantik yang terkenal sebagai artis apa bedanya dengan cewek-cewek yang begitu banyak bisa dijumpai di kafe-karaoke dan di hotel-hotel?

Ia tersenyum menahan rasa geli. Sejumlah rekan pengusaha yang mengirim pesan itu sebetulnya juga suka kencan berbayar. Tapi mereka keberatan jika harus membayar ratusan juta untuk sekali kencan. Mereka lebih memilih cewek sembarangan yang tak memasang tarif atau terserah berapa uang yang akan diterimanya setelah kencan.

Ia tiba-tiba merasa berbeda dengan rekan-rekannya dalam hal kencan dengan cewek berbayar. Ia mau membayar mahal karena ia ingin mendapatkan kenangan indah.

Baginya, setiap kenangan indah memang mahal. Banyak orang sudi mengeluarkan miliaran rupiah untuk mendapatkan kenangan indah.

Bahkan, ia pun tahu betapa banyak rekannya yang setia saat ingin mendapatkan kenangan indah bersama istri harus kencan di hotel termegah di dunia yang menghabiskan ratusan juta, itu pun masih harus pergi pulang naik pesawat kelas VIP dengan tiket yang mahal pula.

”Kenangan indah memang mahal.” Itulah kalimat yang kemudian ditulis untuk membalas pesan-pesan yang masuk di WA. Kalimat itu cukup singkat tapi bagi yang membacanya pasti akan membutuhkan waktu lama untuk mengakui kebenarannya. Dan, bagi masing-masing orang, tentu berbeda dalam merumuskan arti kata mahal.

Bagi yang punya banyak uang, misalnya punya deposito ratusan milyar, membayar cewek dua ratus juta untuk sekali kencan agar mendapatkan kenangan indah tentu tidak bisa diartikan mahal.

Begitu pula bagi suami yang sudah bosan kencan dengan istri, lalu membutuhkan kenangan indah dengan kencan berbayar ratusan juta, agar mendapatkan kenangan indah yang bisa menghapus rasa bosannya kepada istri bahkan bisa membuatnya sangat bergairah lagi di depan istri karena saat bercumbu dengan istri ia membayangkan cewek cantik yang pernah dikencaninya dengan tarif ratusan juta, tentu lain lagi ceritanya. Dan cerita seperti itulah yang dialaminya, sehingga ia tak menganggap mahal ketika membayar cewek cantik itu untuk sekali kencan.

Memang, sudah lama ia semakin bosan kencan dengan istri. Bahkan ia makin sering susah payah memuaskan istri karena gairahnya terkendala rasa bosan. Maka ia pun mencoba saran yang pernah diberikan seorang rekan.

”Coba kencan dengan cewek yang bertarif puluhan juta atau ratusan juta agar mendapatkan kenangan indah. Pasti kenangan indah itu akan membuatmu kembali bergairah diajak kencan oleh istri. Sebab, saat kencan dengan istri, kamu pasti akan mengenang saat-saat indah kencan dengan cewek yang berbayar mahal itu.”

Saran dari seorang rekannya itu betul-betul bukan isapan jempol belaka. Ia bisa kembali bergairah diajak kencan oleh istri, karena kenangan indah memenuhi ingatannya.

Bahkan, ketika ia memandangi wajah istri yang terlihat adalah wajah cewek yang pernah dibayar ratusan juta. Ketika ia memandangi bagian-bagian tubuh istri yang terlihat juga bagian-bagian tubuh cewek itu.

Setelah mendapatkan kenangan indah, tak pernah lagi ia menggunakan obat atau jamu kuat untuk menambah gairah. Wajahnya pun selalu berbinar ceria. Istrinya jadi bahagia, meskipun sempat heran dan pernah berseloroh: ”Kamu sepertinya sangat bahagia, Pak. Jangan-jangan kamu punya banyak simpanan?”

Seloroh istrinya betul-betul membuatnya makin bahagia dan makin mudah menikmati kenangan indah. Karena itu, ia tak mau ikut-ikutan rekan yang tak mau membayar mahal untuk sekali kencan karena lebih suka menyimpan cewek cantik sekian tahun sehingga bisa sering kencan tapi hanya perlu memberikan uang belanja tiap bulan yang jumlahnya tak seberapa dan cukup diambilkan dari bunga deposito.

Ia kemudian teringat sejumlah rekannya yang punya cewek simpanan dan akhirnya ketahuan istri lalu istri minta cerai dan anak-anak pun membencinya. Itulah risiko berat yang bisa menimpa, jika yang ingin didapatkan adalah kencan berkali-kali dengan cewek cantik yang masih muda yang dijadikan simpanan selama sekian tahun.

Risiko itu dianggapnya sangat berat dibanding risiko sekali kencan yang tarifnya mahal. Sebab, kalau kasus sekali kencan itu terbongkar, tinggal minta maaf kepada istri dan anak-anak, dengan mengaku khilaf dan kapok. Istri dan anak-anak akan memaafkannya, karena urusannya tidak berlarut-larut dan berbelit-belit sebagaimana yang lazimnya terjadi jika menyimpan cewek sekian tahun apa lagi jika si cewek sampai punya anak.

Ibarat tergoda atau terpaksa mencoba menu istimewa di sebuah restoran yang belum pernah dinikmatinya di saat lapar dan haus, sesederhana itu tamsil sekali kencan bertarif ratusan juta tapi dari kencan itu mendapatkan kenangan indah yang bisa menyegarkan gairah di rumah.

Ia pun kemudian teringat cerita seorang rekan saat ditanya istri mengapa gairahnya makin hebat di rumah?

”Jawab yang jujur,” desak istri. ”Apa pun yang telah kamu lakukan, aku akan belajar mengerti.”

Rekan itu kemudian mengaku terus terang, gairahnya makin hebat karena terbayang kenangan indah saat kencan dengan cewek cantik yang dibayarnya mahal. ”Maaf, aku terpaksa selingkuh, tapi hanya sekali saja, karena aku butuh kenangan indah untuk menyegarkan gairah bersamamu. Tak akan aku selingkuh lagi. Tak akan aku menyimpan cewek tanpa sepengetahuan kamu. Aku sudah puas bisa kembali bergairah bersamamu.”

Di luar dugaan, si istri justru mengaku lega dan percaya, tidak marah sama sekali. Sebab, kalau sampai marah, istri mungkin akan rugi besar yang sulit dibayangkan. Selain itu, istri lebih suka melihat suami bergairah hebat saat diajak kencan, tanpa jamu tanpa obat lagi.

Ia kemudian mandi. Habis mandi nanti ada jadwal pertemuan dengan rekan pengusaha dalam rangka membahas proyek besar yang akan dikerjakan bersama. Dari proyek besar itu ia akan mendapatkan miliaran rupiah. Pertemuannya akan berlangsung di aparteman itu. Ia memang sudah lama memakai apartemen itu untuk menyendiri dan untuk tempat pertemuan dengan rekan-rekan pengusaha. Apartemen itu bersebelahan dengan hotel dan resto besar, jadi semua kebutuhan akomodasi dan konsumsi bagi rekan-rekan, sebelum, selama dan sesudah pertemuan, bisa mudah terpenuhi. Pada saat ini, berbisnis sangat praktis, bisa dijalankan di apartemen, dengan laptop untuk menyimpan, membuat dan mengolah semua data.

Maaf, aku terpaksa selingkuh, tapi hanya sekali saja, karena aku butuh kenangan indah untuk menyegarkan gairah bersamamu. Tak akan aku selingkuh lagi. Tak akan aku menyimpan cewek tanpa sepengetahuan kamu. Aku sudah puas bisa kembali bergairah bersamamu.

Ia sangat mencintai istri dan anak-anak. Ia pun sangat bahagia karena istri dan semua anak mengerti kesibukannya sebagai pengusaha. Jika ia sudah bilang sedang di apartemen, istri dan anak-anak tidak akan menemuinya kecuali jika ia memanggil mereka.

Kini, ia menduga istri dan anak-anak terganggu oleh munculnya berita terbongkarnya prostisusi online bertaraf ratusan juta yang menyeret namanya itu. Tapi ia percaya, istri dan anak-anak akan pura-pura tidak peduli pada berita itu. Dan, untungnya, semua kerabat dan tetangga dekat tak suka gosip. Setiap muncul berita tentang kehidupan seseorang akan pura-pura tidak tahu.

Ia betul-betul bisa santai, meski namanya terseret kasus terbongkarnya prostitusi online bertarif mahal itu, karena taraf usahanya terus naik sehingga hanya sejumlah rekan lama yang suka mengajak membicarakan kasus itu, sedangkan semua rekan baru tak mau tahu. Begitulah, lazimnya teman lama memang cenderung tak sungkan-sungkan ingin membicarakan urusan pribadi, sedangkan sebaliknya bagi teman-teman baru pasti sungkan membicarakan urusan pribadi yang hanya akan memperkeruh urusan bisnis.

Sebagai pengusaha yang terus naik daun, ia sudah menyerahkan urusan bisnis lama kepada asisten pribadi, sehingga rekan-rekan pengusaha yang sudah lama bekerja sama makin jarang ditemui. Kalau mereka masih sering kirim pesan di WA, tinggal dibalas jika memang perlu dibalas, itu pun dengan singkat, untuk konfirmasi bahwa ia sekarang makin sibuk dengan rekan baru yang kelasnya lebih tinggi. Tepat pukul 09.14, jadwal pertemuan dengan rekan pengusaha di apartemen itu dimulai.

”Pak Kasan betul-betuk disiplin. Tepat jam 09.14 menit nih.” Ia mulai bicara di depan pengusaha yang terkenal alim dan dekat dengan tokoh-tokoh ulama besar itu.

”Saya memang sudah terbiasa tepat waktu, Pak. Itu dari kebiasaan saat belajar di pesantren.”

”Pak Kasan dulu mondok di pesantren mana?” Ia tertarik untuk sejenak berbasa-basi sebelum membicarakan proyek besar yang akan digarap bersama.

”Saya dulu suka berpindah-pindah pesantren, Pak. Untuk mendapatkan kenangan indah yang banyak berkah. Kata orang tua, makin banyak belajar kepada banyak ulama akan makin berkah. Setiap belajar kepada seorang ulama pasti akan mendapatkan kenangan yang indah.”

Ia tersinggung mendengarkan jawaban Pak Kasan. Sepertinya Pak Kasan memang sengaja ingin menyinggungnya. Pasti Pak Kasan juga membaca berita terbongkarnya prostitusi online bertarif ratusan juta yang menyeret namanya dan nama sejumlah pengusaha lain.

”Sejak dulu saya percaya bahwa kenangan indah memang mahal. Karena itu saya mengerti jika ada yang bersedia mengeluarkan begitu banyak uang hanya untuk mendapatkan kenangan indah. Yang penting, kenangan indah yang mahal itu jadi berkah bagi kehidupan selanjutnya. Bukankah begitu, Pak?” Pak Kasan bicara dengan wajah ceria seperti menahan tawa.

Ia pun mengangguk dan tersenyum. Lalu pembicaraan bisnis dimulai hingga berakhir dengan kesepakatan yang saling menguntungkan.

Sebelum Pak Kasan pamitan mau kembali ke hotel tempatnya menginap, sempat membagikan link pengajian oleh seorang ulama muda yang sedang populer di Youtube.

Ia duduk santai ketika membuka link yang dibagikan oleh Pak Kasan. Ternyata, ada pengajian yang membahas tentang kenangan indah yang bisa menjadi kunci neraka, karena faktanya bisa menjerumuskan banyak orang berperilaku tidak jujur terus menerus, seperti setiap kali kencan dengan istri sambil membayangkan kencan dengan cewek lain yang lebih menggairahkan.

”Kunci neraka berupa kenangan indah sekarang sering sangat mahal, bahkan tarifnya konon ada yang ratusan juta hingga miliaran rupiah. Misalnya, sekali kencan dengan cewek terkenal yang memasang tarif sangat mahal. Anehnya, kok ya banyak orang kaya mau membeli kunci neraka yang begitu mahalnya,” tutur ulama dalam pengajian yang sudah ditonton jutaan orang di Youtube itu.

Ia betul-betul menyesal, karena menjadi salah satu orang yang pernah membeli kunci neraka yang sangat mahal. Ia pun makin menyesal karena kenangan indah itu seperti telanjur melekat kuat di dalam hati dan otak yang mungkin tak akan bisa dihapus, sampai ajal menjemput, cepat atau lambat.

Matanya berkaca-kaca. Ia ingin bertobat, tapi dengan cara bagaimana ia bisa menghapus kenangan indah yang sudah seperti menjadi kunci neraka itu? Tiba-tiba ia ingin mencoba menghapus kenangan indah itu dengan sengaja melompati pagar balkon apartemen di lantai lima itu..Griya Pena Kudus, 2022

***

Maria M Bhoernomo, Lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi dan esai berbahasa Indonesia dan Jawa yang dipublikasikan di sejumlah media.

 

(10)

Bunga Kamboja dan Kucing Mati

Sesampai di pinggir kali, sebelum menyeberang ke rusun tempat tinggal mereka, si ayah berkata bahwa sebaiknya si empus dikubur di pinggir kali saja karena tak mungkin menguburnya di rumah.

Oleh YANUSA NUGROHO, 9 Oktober 2022

Yang turun dari langit itu es batu. Sebesar sirtu, mungkin ada yang nyaris sebesar bola pingpong. Begitu saja turun tanpa didahului ramalan cuaca. Bergelatak keras di atap-atap rumah. Berdeplok deplok di lantai tanah, juga di aspal hitam yang selalu lengang itu. Anak-anak kecil berteriak-teriak girang menyaksikan es jatuh dari langit. Mereka mencoba memunguti, tapi dicegah.

”Benjol, baru tahu rasa…,” begitu ucap entah siapa.

”Sakit?”

”Coba, sana. Tapi nggak boleh nangis, ya….”

Es masih berjatuhan, tiba-tiba disapu angin keras. Dahan pohon trembesi itu patah, berderak dan gemerasak jatuh. Dahan itu melintang, memotong badan jalan beraspal hitam. Angin seperti membetot apa saja yang tegak di atas tanah. Banyak gubuk di pinggir kali yang terangkat beberapa meter dan diempaskan tak jauh dari situ. Jangan kau tanya bagaimana penghuninya. Belum selesai angin menggila, hujan sangat deras mengempas, disusul geledek menggelegar, kilat menyambar. Sebatang pohon kelapa tersambar petir, menjelma obor raksasa di tengah badai air yang menggila. Di jalanan, banyak kendaraan menepi sambil menyalakan lampu sein berkedip. Jarak pandang hanya 10 meter, siapa yang berani nekat berkendara.

***

Di depan sebuah rumah, yang letaknya di jalan kecil beraspal, seekor kucing mati. Ada sisa genangan darah dari luka di kepalanya.

Di dekat kucing mati itu tumbuh pohon kamboja. Bunganya cukup banyak dan berwarna merah dan kuning. Satu pohon tetapi berbunga dua warna. Dan seusai badai itu, menyaksikan tubuh malang si kucing, kamboja menggugurkan bunga-bunganya. Selebihnya, sepi. Selebihnya, bumi basah, dingin dan sunyi yang menggelimang. Ada kucing mati dengan luka di kepalanya. Tak ada lagi sisa es batu dari langit.

Ada laki-laki menggandeng anak kecil lima tahun. Tiba-tiba seperti mematahkan pembicaraan si ayah sebelumnya, si kecil berlari menuju si kucing mati.

”Ayaah… si empus matiii…,” teriaknya. Ada nada sedih yang sangat dari teriakannya. Selebihnya hanya kebekuan. Si ayah mendatangi anaknya, yang masih lima tahun itu, menggendongnya dan mengajaknya pulang. Si anak, seperti tak rela, mengulang-ulang ucapannya sambil menangis, ”Si empus matiii, si empuusss matiii….”

”Ya, sudah… sudah… empus sudah mati, mau diapain…” bisik ayahnya mencoba menghibur. Tapi si anak malah memberontak turun. Dia seolah ingin menuntaskan kesedihannya melihat si kucing yang mati dengan luka di kepalanya, dengan darah yang masih menggenang di sekitar kepalanya; sebagian terbawa sisa hujan, seakan membentuk lukisan aneh yang sulit dicerna.

Si ayah tetap berusaha menghibur anaknya, tetapi si anak seakan makin terluka. Dia meraung. Kilat bekerjap di langit kelabu. ”Mau hujan lagi, De, pulang yuk…,” bujuknya.

Si anak tetap meraung dan ndeprok di dekat si kucing mati. Celananya basah, dan dia tak peduli. Bajunya basah dan dia tetap meraung. ”Empus matiii… empus matiii….”

Hujan pun turunlah. Si ayah meraih anak laki-laki kecil itu. Si anak berontak dan kian menunjukkan dukacitanya. Di tengah derai hujan, si bapak jongkok di dekat anaknya, yang menangisi kucing mati di dekat pohon kamboja.

Sebuah mobil berhenti di dekat mereka. ”Ada apa, Bim?”

Si ayah mendongak dan menceritakan apa yang terjadi. Si pengendara mobil mengajak si ayah dan anaknya untuk masuk ke mobil dan pulang. Tapi, si anak kecil itu makin melolong. Apa pun ucapan bujukan dari dua lelaki dewasa itu seolah makin melukai jiwanya yang hijau.

Si pemilik rumah, mungkin karena melihat ada mobil berhenti di depan rumahnya, ditambah ada seorang laki-laki dan seorang anak jongkok di cuaca berhujan, segera melongok dari teras. ”Ada apa, Pak?”

Laki-laki yang dipanggil Bim menjawab bahwa anaknya tak mau dibawa pulang.

”Kenapa?”

”Ini ada kucing mati….”

”Ooo… kasihan. Kucingnya, ya?”

”Bukan.”

Si penanya kehilangan kata-kata, lalu berucap: ”Hujan, lho… masuk sini….”

”Adee… pulang, yuuuk…. Ayah kebasahan, nih, Ade juga…. Yuuk?”

”Enggaaak… empus matiii.…”

”Iya… empus sudah mati.…”

”Bawa pulaang… empus matiii.”

”Kok, dibawa pulang, De? Kan, sudah mati?”

”Bawa puuulaaaang.”

”Yuuk, Ade… naik mobil, nanti Om antarin pulang…,” bujuk yang di mobil, tanpa turun dari mobilnya.

”Nggak mauuu! Empus bawa pulaaang… empus matiii.”

Si ibu muda pemilik rumah itu keluar membawa dua buah payung besar. Yang satu dibuka, yang satu masih kuncup. Sesampainya di dekat pohon kamboja, diserahkannya payung yang masih menguncup itu kepada si ayah, yang lalu mengembangkannya. Si ibu tegak di bawah payung putihnya. Si ayah jongkok mengembangkan payung hitamnya, memayungi dirinya dan si ade. Mobil itu masih berhenti dengan nyala lampu sein yang berkedip. Selain isakan dan gumaman si ade, yang seperti merapal mantra ”si empus matiii, si empus matiii” selebihnya, bumi basah, dingin dan sunyi yang menggelimang. Ada kucing mati dengan luka di kepalanya.

”Ayah, empus mati… bawa pulaaang…,” rengek si ade memecah keheningan.

”Kan, sudah mati, de…,” jawab si ayah agak jengkel.

”Bawa pulaaang… empus matii….”

”Buat apa dibawa pulang, empus sudah mati! Sudah tidak bisa diajak main lagi.”

”Ini kucing Ade, ya?” tanya si ibu muda.

”Bukan. Entah kucing siapa, tapi selalu main ke rumah kami. Ade selalu ngasih makan dan jadi teman mainnya.” Jawab si bapak seolah menumpahkan kekesalannya. Si ibu muda terdiam.

Si ibu muda masuk ke rumah dan keluar membawa tas plastik ukuran besar.

”Mungkin sebaiknya dibawa pulang saja, Pak. Kasihan si ade kedinginan.”

”Untuk apa bawa kucing mati?”

”Bawa pulaaang… empus matiii… bawa pulaang, Ayaah….” dan tangisnya pecah lagi.

Dengan kejengkelan yang tertahan, si ayah memasukkan si kucing mati yang basah oleh darahnya sendiri dan air hujan ke dalam kantong plastik. Si ade terdiam seketika, menghapus air matanya, berdiri dan menggandeng tangan ayahnya. Si ayah bingung. Menyerahkan payung hitam kepada si ibu muda, memandang sesaat kepada si pemilik mobil—yang kelihatan lega sekali karena dua orang basah kuyup itu tak jadi mengotori mobilnya—dan berjalan bersama anaknya.

Si ibu muda masuk rumah, yang segera diserbu pertanyaan dua anaknya yang sejak tadi nongkrong di depan televisi. Si ibu hanya diam, tersenyum dan wajahnya mengatakan, ”Tak ada apa-apa.”

***

”Si empus mau diapain, De?” tanya si ayah mencoba memahami pikiran anaknya.

”Dikubur, Ayah… kasihan, empus mati.”

”Iyaa, dikubur di mana?”

”Di tanah, Ayah.”

”Di tanah mana, Ade? Rumah kita kan di atas. Nggak ada halamannya.”

Tapi, si ade rupanya tak mau tahu apakah mereka berumah di petak-petak rusun, atau di istana. Yang dia tahu, si empus harus dikubur: kasihan.

Sesampai di pinggir kali, sebelum menyeberang ke rusun tempat tinggal mereka, si ayah berkata bahwa sebaiknya si empus dikubur di pinggir kali saja. Setelah diberi penjelasan berkali-kali bahwa tak mungkin mengubur si empus di rumah mereka, karena tak ada halaman bertanah di sana, barulah si ade menurut. Ketika sudah mendapat persetujuan, kini si ayah bingung, bagaimana menggali lubang untuk kuburan si empus?

Aneh, si ade tiba-tiba menggunakan jari-jarinya untuk mengeruk tanah. Si ayah sempat terpaku, lalu buru-buru ikut menggaruk tanah dengan tangan kosong. Si ayah masih sulit mencerna bahwa anaknya mengajarinya bagaimana menggali tanah dengan tangan kosong. Si empus dibungkus plastik dan dimasukkan ke lubang. Ade menimbuninya dengan tanah. Tampak sekali dia berhati-hati menimbuni si empus. Hujan masih turun seperti orang menangis berkepanjangan.

***

”Yaaa… Allooooh, yaa Tuhaankuuu… kenapa sampai basah dan kotor gini, sih? Emang nyarinya sampai mana, sih, Ayah? Kamu, itu, bandel kalau dibilangin, yaa…,” dan sederet panjang kata-kata yang menghambur dari bibir si ibu. Si ayah hanya membisu. Selain karena kedinginan dan basah, dia hanya ingin segera ganti baju, menyeduh kopi dan menikmati kretek dengan harum cengkehnya.

”Di mana tadi ketemunya?”

”Kompleks.”

”Yaa, Alloh, Deee… bandel, kamu, yaa… dibilangin, kalau maen jangan jauh-jauh.”

”Tapi si empus mati, Buuu.”

Si ibu terdiam sesaat mencoba menghubungkan ucapan anaknya dengan kenyataan yang sedang dihadapinya. Tak terlintas di ingatannya bahwa empus adalah seekor kucing. Lalu, sambil tetap mengomel, si ibu memandikan anaknya, mengganti bajunya dengan yang kering. Di luar terdengar suara televisi tetangganya menikmati dangdut. Si ayah menikmati kreteknya, di semacam beranda, di luar ruangan.

***

Di rumah si ibu muda, televisi curve 55 inci menyiarkan orang-orang muda membanggakan koleksi Lamborghini Huracan 580 Spyder dan Rolls-Royce Phantom Coupe. Kedua anaknya sesekali berkomentar, ”Bagus, yaa…” atau yang satunya mengatakan, ”Beli, dong Ma, keren, kan.”

***

Si ade tertidur. Dia bermimpi bermain dengan si empus tak bernama dan entah siapa yang punya. Mereka terikat oleh kegembiraan bermain yang tulus. Pertemanan yang tak bisa diwakili kata-kata. Si empus berlarian di plafon kamar yang kecil itu dan si ade menyusul. Mereka berkejaran gembira di dunia yang jungkir balik. Si ade tertawa-tawa di dalam mimpinya. Kebahagiaannya menembus dunia nyata. Si ibu melihat wajah si ade tersenyum-senyum dalam tidurnya.

Di luar, hujan masih turun. Tidak terlalu lebat, tetapi lebih basah daripada gerimis. Langit kelabu gelap dengan sesekali diterangi cahaya kilat. Kamboja berbunga dua itu tampak lebih tua dari biasanya. Batangnya seperti melengkung tunduk dan bunga-bunganya seperti ditaburkan di tempat si kucing mati; yang kini hanya tinggal sisa darah kehidupannya, yang mengalir membentuk semacam lukisan aneh di pinggir jalan.

Besok masuk tanggal satu Ramadhan; orang-orang memborong bahan makanan.

Yanusa Nugroho, lahir di Surabaya, 2 Januari 1960. Cerpennya, ”Orang-orang yang Tertawa”, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dalam kumpulan cerpen berjudul Diverse Lives—editor: Jeanette Lingard (1995). Beberapa kali mendapatkan penghargaan di bidang sastra. Cerpennya, ”Selawat Dedaunan”, mendapat Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2012.

 

(11)

Unek-unek Si Multivitamin

Aku tengah berdiri berhimpitan dengan teman-teman senasib seperjuanganku di atas sebuah lemari.

Oleh: BANG HARLEN, 8 Oktober 2022

Aku merasa diriku sudah seperti ular yang terus menerus berganti kulit. Selalu saja diriku muncul atau lebih tepatnya dimunculkan dengan nama dan bentuk yang baru. Meski harus kuakui bahwa memang ada beberapa penyempurnaan dan peningkatan kinerja yang orang-orang itu sisipkan di dalam tubuhku. Tapi tetap saja, fungsi utamaku adalah membangun benteng pertahanan yang kokoh di tubuh manusia terhadap berbagai serangan penyakit agar mereka tetap leluasa melaksanakan rutinitasnya sehari-hari.

Hari itu dua orang pria terlihat duduk berhadapan di sebuah kantor, sementara aku tengah berdiri berhimpitan dengan teman-teman senasib seperjuanganku di atas sebuah lemari. Dari posisi ini, kusaksikan mereka berdua tengah berdialog serius. Salah seorang di antaranya terlihat menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan. “Oh, sepertinya laki-laki itu sedang dites wawancara, dan jika berhasil akan menjadi karyawan baru di perusahaan ini.“ Aku menyimpulkan.

Perusahaan tempatku bekerja ini memang sedang membutuhkan seorang Medrep yang akan terus setia menemaniku ke mana pun dia pergi. Singkatnya, bisa dikatakan profesi Medrep ini adalah seorang sales farmasi yang akan bergerilya mempresentasikan dan mempromosikan diriku kepada masyarakat, rumah sakit, klinik, apotek, dan unit-unit yang bergerak di bidang medis lainnya. Pegawai Medrep sebelumnya telah dipecat karena terbukti telah menipu perusahaan dengan menggelapkan hasil penjualan produk. Meski cukup menguras tenaga, waktu, terlebih kesabaran, karena kerapkali seorang Medrep harus menunggu di lobi rumah sakit atau klinik untuk menawarkan produknya kepada dokter yang bertugas di sana, penghasilan profesi ini cukup menggiurkan andai target penjualan produk bisa tercapai. Maka aku tidak begitu terkejut bila pegawai yang dipecat tersebut tergoda untuk bermain di belakang layar.

Dari hasil mencuri dengar percakapan keduanya, kudapati informasi bahwa laki-laki yang sedang diwawancarai itu sebelumnya bekerja di sebuah dealer mobil sebagai seorang sales. Merosotnya target penjualan yang diyakini akibat dampak pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh dunia, menjadikan perusahaan kendaraan bermotor tempatnya mencari nafkah dilanda paceklik. Imbasnya, laki-laki itu pun di PHK. Realita yang sangat bertolak belakang dengan perusahaan farmasi, mereka justru untung besar karena orang-orang berbondong-bondong berburu aneka multivitamin dan suplemen sebagai tameng untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka terhadap serbuan Covid-19. Barangkali inilah yang memaksaku untuk berganti kulit lagi kemudian tampil dengan busana baru yang lebih menarik. Apalagi, dengan bantuan iklan dari pesohor negeri yang gencar menyiarkan betapa bermanfaatnya diriku untuk kesehatan, bertambahlah nilai brand image yang kumiliki. Puncaknya orang-orang pun tidak perlu berpikir dua kali lagi untuk mengeluarkan biaya yang bukan main mahalnya demi mengkonsumsi diriku. “Artis ini aja pake obat ini, masa aku ga pake sih.“ Begitulah yang tertanam di benak mereka.

Hampir setengah jam laki-laki itu dibombardir dengan beragam pertanyaan. Ia tampak tegang dan sedikit pucat. Kulihat bulir-bulir keringat merembes di keningnya, padahal di atas pintu ruangan sudah menempel AC yang menghembuskan udara yang lumayang kencang. Aku saja nyaris membeku di dalam botol plastik ini. Tapi laki-laki itu seperti sedang berada di dalam ruangan sauna.

Dari hasil mencuri dengar percakapan keduanya, kudapati informasi bahwa laki-laki yang sedang diwawancarai itu sebelumnya bekerja di sebuah dealer mobil sebagai seorang sales. Merosotnya target penjualan yang diyakini akibat dampak pandemi Covid-19 yang menghantam seluruh dunia, menjadikan perusahaan kendaraan bermotor tempatnya mencari nafkah dilanda paceklik. Imbasnya, laki-laki itu pun di PHK.

Beberapa detik kemudian laki-laki itu meninggalkan ruangan setelah keduanya berjabat tangan. Menit selanjutnya pewawancara itu juga beranjak meninggalkan ruangan. Kini tinggal aku beserta rekan-rekan seperjuangan lainnya yang berdiam di sana. Sambil menerka-nerka besok kami akan di bawa ke mana dan besok kami akan tenggelam di lambung siapa.***

Laki-laki yang diwawancara itu sekarang tampak sibuk di hadapanku. Ia terlihat fokus mengemasi beberapa dokumen, botol-botol multivitamin dan termasuk diriku ke dalam sebuah tas punggung. Oh ya tidak lupa sebuah name tag menggantung di lehernya. Sepertinya ia sudah resmi menjadi Medrep perusahaan ini. Setelan kemeja biru langit bercorak kotak-kotak yang dipadu padankan dengan celana chino berwarna kecoklatan membentuk kesan yang begitu rapi pada dirinya. Penampilan laki-laki itu semakin paripurna dengan potongan rambut undercut yang memahkotai kepala serta balutan sepatu pantofel hitam yang membungkus area kakinya. Dari aroma dan bentuknya yang masih ketat dapat kusimpulkan bahwa sepatu itu masihlah baru. Mungkin baru beberapa hari yang lalu diangkut dari tokonya. Medrep baru kita ini sepertinya begitu bergairah menyambut hari pertamanya bekerja.

Di dekat parkiran kantor ada sebuah warung nasi gurih. Ia bermaksud untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke klinik dr Anton untuk menawarkan diriku sebagai multivitamin yang akan meningkatkan daya tahan tubuh pasien yang datang berobat padanya. Ia juga sudah menyiapkan bonus dan tawaran menggiurkan yang akan didapatkan dr Anton andai dokter itu berhasil menghabiskan pil-pil multivitamin sesuai sesuai target yang diberikan dalam setahun. Mulai dari sejumlah uang, obat-obatan gratis, bahkan mobil. Enak betul menjadi seorang dokter! Wajar saja jika mereka selalu bergelimang harta dan hingga kini masih menjadi profesi favorit serta idaman para mertua di negeri ini. Ah, andai waktu bisa diputar kembali. Aku ingin ditakdirkan menjadi dokter saja. Ketimbang hanya menjadi multivitamin yang nasibnya cuma jadi pelengkap resep obat, tenggelam dalam lambung, terus berakhir menjadi kotoran.

Kebetulan di dalam warung tersebut ada beberapa pengendara sepeda yang sedang sarapan. “Ah, sekalian saja kutawarkan multivitamin ini kepada mereka, siapa tahu mereka tertarik.“ Batin laki-laki- itu.

Selepas sarapan, Medrep kita mulai melancarkan aksinya. Ia beringsut dari tempat duduknya kemudian meminta izin untuk duduk di semeja dengan salah seorang pengendara sepeda yang juga tampak baru selesai menghabiskan sepiring lontong di depannya. Usai diberikan izin ia lalu duduk dan membuka resleting tas, beberapa detik kemudian ia sudah menaruhku di atas meja.

Dengan lihai ia kemudian membangun komunikasi dengan pria rupanya masih asyik mengunyah beberapa potong gorengan itu. Meski telah berusaha meyakinkan calon pembelinya itu dengan berbagai trik yang biasa ia lakukan ketika dulu menjadi sales mobil, rupanya pria pengunyah gorengan itu tetap tidak tertarik.

“Maaf ya, Bang ! Mungkin lain kali saja. Aku masih yakin sama imunitas tubuhku untuk melawan pandemi ini. Lagipula setiap hari aku juga sudah rutin bersepeda keliling kota,“ ungkap pria pengunyah gorengan itu dengan mulut yang masih berisi bakwan dan bergelimang minyak itu.

Aku sedikit geli mendengar argumen pria pengunyah gorengan tersebut. Bagiku percuma saja dia bersepeda setiap hari, toh kalau tidak diimbangi dengan pola makan yang teratur pula ya sama saja dengan bohong. Sepiring lontong yang mengandung santan ditambah gorengan lima buah kalau aku tidak salah hitung sudah masuk ke dalam perutnya. Aku prediksi imunitas tubuhnya akan bekerja ekstra keras menghalau radikal bebas yang mengintai badannya yang gemuk itu.

Tak ingin berlama-lama dengan penolakan. Medrep kita pun pamit kepada pria pengunyah gorengan itu. Entah dia juga akan pulang atau akan melahap beberapa gorengan lagi, aku sudah tidak peduli.

Aku sedikit geli mendengar argumen pria pengunyah gorengan tersebut. Bagiku percuma saja dia bersepeda setiap hari, toh kalau tidak diimbangi dengan pola makan yang teratur pula ya sama saja dengan bohong. Sepiring lontong yang mengandung santan ditambah gorengan lima buah kalau aku tidak salah hitung sudah masuk ke dalam perutnya. Aku prediksi imunitas tubuhnya akan bekerja ekstra keras menghalau radikal bebas yang mengintai badannya yang gemuk itu.

Cuaca yang terik dan kondisi jalan raya yang bagai semut yang mengerubungi remah-remah kue itu tidak mematahkan gejolak di dalam diri laki-laki itu. Ia amat lihai meliuk-liuk bersama motornya di antara rapatnya kendaraan yang berhamburan. Aku sampai terlempar dan terguling-guling di dalam tas ransel yang mendekap bahunya. Ia ingin bergegas sampai ke klinik dr Anton untuk bernegosiasi mengenai multivitamin yang nantinya akan mengisi daftar resep obat yang akan diberikannya kepada pasien. Telat sedikit saja laki-laki itu bisa gagal menemui dokter spesial paru tersebut. Mengingat jadwal dr Anton yang begitu menghimpit. Selain menangani pasien di klinik pribadinya, ia juga bertanggung jawab terhadap permasalahan paru orang-orang di dua rumah sakit berbeda. Bukan karena sok sibuk, Surat Izin Praktek yang dimiliki seorang dokter memang diperbolehkan untuk digunakan maksimal di tiga tempat yang berbeda. Belum lagi jika dokter tersebut menjadi dosen di sebuah kampus dan terkadang menjadi narasumber di sebuah acara seminar. Bisa dibayangkan betapa sibuknya profesi kesehatan yang satu ini. Inilah yang membuat Medrep kita tidak ingin membuang-buang waktu sedikit pun. Semakin cepat ia melakukan negosiasi, maka semakin cepat ia memenuhi target bulanan yang ditetapkan oleh perusahaan. Otomatis semakin dekat pula ia dengan cuan.

Akhirnya, kami tiba di klinik dr Anton. Namun, seperti yang sudah kukatakan sebelumnya bahwa menjadi seorang Medrep berarti harus terbiasa memupuk kesabaran. Rupanya kami telat. dr Anton telah beranjak menuju rumah sakit sepuluh menit yang lalu. Bisa kurasakan gerimis kekecewaan yang membasahi hati laki-laki itu. Kurasakan pula uap-uap kenangan masa lalu yang menyusup ke benakku ketika memandang klinik itu dari pori-pori tas yang sedikit longgar.

Beberapa tahun sebelumnya aku pernah menghuni klinik pribadi seorang dokter spesialis paru. Singkat cerita dokter itu hendak pergi ke luar kota untuk beberapa pekan. Sehingga untuk sementara kegiatan di klinik ia serahkan kepada putranya yang baru saja menyelesaikan program dokternya. Dua minggu berselang dokter itu pun pulang. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati bahwa kota-kotak obat yang mestinya sudah habis diberikan kepada pasien ternyata masih bergeming di tempatnya tanpa bergeser sedikit pun. Dengan menahan sedikit amarah ia lalu mendatangi anaknya yang sedang duduk di sofa.

“Kenapa obat-obat yang di kardus dekat meja ga kau kasih ke pasien?“. Dokter itu membentak anaknya.

“Lho aku baru kenal nama obatnya itu Pak, jadi aku ga beranilah kasih ke pasien. Jadi bila ada pasien yang datang, ya aku kasih obat-obat yang pernah akau pakai waktu koas dan pelajari pas di kampuslah, Pak!”

“Astaga ! Asal kau tahu kalau obat itu habis dalam bulan ini, akhir tahun Bapak dapat bonus liburan ke mesir lho!,“ gerutu dokter itu sambil menggaruk-garuk kepalanya yang sebagian sudah tidak ditumbuhi rambut itu.

“Ya bapak ga bilang! Bukan salahku lah!,“ ujar anaknya membela diri.

Kemarahan dokter itu semakin memuncak ketika seminggu berikutnya jumlah pasien yang datang ke kliniknya lambat laun berkurang. Bukan karena tidak percaya lagi dengan kemampuan dokter itu, tapi disebabkan kondisi kesehatan mereka berangsur pulih semenjak mengkonsumsi obat yang diberikan oleh anak dokter itu tempo hari. Dua bulan berikutnya klinik itu pun tutup praktek. Aku tidak tahu lagi bagaimana nasib dokter gila itu beserta anaknya yang entah terlalu jujur atau lugu tersebut.

Kembali Medrep yang kini sedang memacu sepeda motornya dan melibas jalanan lagi. Matahari semakin tinggi saja dan bukan main panasnya. Kurasakan hawa panas menerobos masuk ke dalam tas ransel laki-laki itu. Seketika aku merasa seperti sedang dipanggang hidup-hidup. Mau berteriak pun percuma. Tidak akan ada yang mengerti bahasaku. Paling hanya Tuhan yang bisa mendengar betapa sengsaranya aku di dalamnya. Terpanggang, diaduk-aduk dan dibanting-banting sesuai arah setir motor yang kini ia kendalikan dengan ugal-ugalan itu.

Karena begitu tergesa-gesa menuju rumah sakit untuk menemui dr Anton, Medrep kita pun menghiraukan lampu merah yang menyala di sebuah perempatan jalan besar. Ia menarik gas sekuat tenaga dan menerobos lampu merah. Saat itulah tiba-tiba dari arah samping sebuah mobil melaju kemudian menghantam motornya. Kami terhempas dan berguling-guling sejauh beberapa meter. Tasnya robek dan diriku berserakan di jalanan. Kulihat laki-laki itu tergeletak di tengah jalan. Dan, apa ini?

Tubuhku kini bermandikan darah segar yang mengalir deras dari kepala Medrep itu. Kepalanya pecah, otaknya berhamburan di mana-mana. Aku baru sadar kalau ia rupanya tidak melindungi kepalanya dengan helm sama sekali. Kondisi jalanan berubah macet total. Suara orang-orang yang berteriak histeris semakin membuatku bergidik ngeri. Setelah diangkut menggunakan ambulans, aku tidak tahu lagi kelanjutan kisah Medrep yang malang itu.

***

Bang Harlen adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Lahir di Kota Payakumbuh dan besar di kota Padangsidimpuan. Merupakan alumni kampus Universitas Sumatera Utara. Mengawali karier kepenulisannya sejak aktif menulis di blog pribadinya. Lelaki yang bernama lengkap Hady Kurniawan ini sudah menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Kopi dan Panggelong.

 

(12)

Lelaki Harum Lahang

Ia begitu riang di beranda rumahnya, menandakan telah lama mengenal harum itu, serasa tengah ditemuinya seorang nenek sakti yang hanya memberikan harum itu kepadanya pada malam sepi yang sangat rahasia.

Oleh: WARITS ROVI, 6 Oktober 2022

Ia menghidu sebentuk harum yang khas dan melekat kuat dalam ingatannya. Sekali lagi ia menghidu harum itu sambil memejam mata. Bibirnya merekahkan senyum serupa lengkung bulan terbalik di langit magrib. Ia begitu riang di beranda rumahnya, menandakan telah lama mengenal harum itu, serasa tengah ditemuinya seorang nenek sakti yang hanya memberikan harum itu kepadanya pada malam sepi yang sangat rahasia. Harum yang menyimpan kehidupan dan nyanyian panjang seorang suluk ketika semua yakin kedamaian lebih berpihak pada kesenyapan tanah kampung.

Ia masih terpejam menghirup dalam-dalam semerbak harum yang ditebar angin pagi seraya bersandar di kursi bambu. Dalam pejam, ia lihat gelantungan julur mayang pada ketiak daun siwalan yang berlenggok diterpa angin, kian waktu menebar bunga-bunga kecil kuning ke latar tanah, ia lihat seorang lelaki tersenyum kepadanya sebelum kakinya memanjat pohon siwalan melewati takik yang mengkilat, gesek salampar ritmis berkawin angin. Segala bunyi menyatu membentuk irama kampung yang damai. Berpaut dalam tembang panjang. Tapi kemudian ia tersentak dan tersedak setelah ia membuka mata dan sadar bahwa dirinya hanya duduk di beranda.

Tak ada pohon siwalan, tak ada lelaki, tak ada harum apa-apa. Hanyalah tumpukan buku di atas meja tua, baju lusuh, dan asbak sesak puntung yang dapat ia lihat. Larangan ayahnya untuk tidak pergi ke kebun siwalan telah memenjara sekian rindunya kepada kampung halaman, padahal kepulangannya dari Yogya selain untuk bertemu keluarga ia juga rindu menyambangi lurus tegun pohon siwalan yang tak pernah abai menuding langit.

”Kau sudah sarjana, tidak cocok kalau pergi ke kebun, apalagi berkarib dengan pohon siwalan,” ucap ayahnya suatu sore ketika ia baru pulang kampung.

Ponselnya berdering, ia terima panggilan itu, setelah mengaktifkan loadspeaker-nya lalu benda itu diabai bersuara keras di atas meja. Suara lelaki terdengar menyapa meski agak terputus-putus karena gangguan jaringan, sudah dapat diterka bahwa si penelepon berada di pelosok kampung. Tapi suara lelaki itu mampu membuat ia tersenyum, sepasang matanya seterang sinar matahari pagi dan seketika pipinya yang kenyal bergerak membundar setelah ia tertawa menampakkan deretan giginya yang putih. Ia semakin khusyuk bersandar sambil mengangkat kaki ke kursi, pertanda sangat serius melayani pembicaraan si lelaki di ponselnya itu.

”Apa benar kamu sedang di kebun siwalan?”

”Iya Siti, coba amati suara-suara di sekelilingku, ada keresek suara daun siwalan yang sedang dipisah para penganyam tikar dari pelepahnya. Sekarang, kan, bulan Juli. Kemarau selalu membawa cuaca cerah. Tembakau tumbuh dengan baik. Sebentar lagi tembakau akan panen, tikar daun siwalan akan laris karena digunakan sebagai bungkus daun tembakau yang sudah dipasat.”

”Daun itu diambil dari pohon siwalan yang produktif mengeluarkan lahang, ya, Mid?”

”Tidak, Siti, kalau pohon siwalan yang produktif diambil daunnya itu akan membuat mayang cepat kering, kalau mayang mengering otomatis lahang tidak menetes lagi.”

”O, jadi daun cikal bakal tikar itu diambil dari pohon siwalan yang tidak menghasilkan lahang?”

”Benar, Siti, biasanya diambil dari pohon siwalan lalake’na yang hanya berbuah dan tidak bermayang.”

”Mmmmm… kamu sekarang sudah siap menyadap lahang?”

”Iya, coba dengar ini,” terdengar bunyi geluduk timba daun siwalan sedang beradu dengan yang lain, Siti kian tersenyum membuat sepasang matanya semakin bening. ”Pokoknya kalau kamu melihat aku saat ini pasti kamu tertawa atau mungkin jijik, hehe,” lanjut lelaki itu diselingi tawa. Selesap suara keresek daun siwalan sedang dipisah dari pelepahnya lamat terdengar di sekitar lelaki itu. Wajah Siti mulai tampak haru mendengar kata-kata lelaki itu.

”Jangan seperti itu, Hamid! Sebenarnya aku ingin segera bertemu kamu, aku akan bangga melihat kamu meneruskan para tetua desa bekerja menyadap lahang meski seperti apa pun pakaianmu. Di zaman ini, ketika anak desa tak lagi hirau akan sumber daya desanya, kamu mampu menjadi pahlawan yang tak gengsi berkalung salampar, bersabuk irisan ban bekas dengan gantungan tambut, berselip pangerat, dan tanpa ragu mengikat bajut di ujung pikulan. Itu sebuah gerakan perjuangan yang sekarang langka, Mid!”.

Keduanya terdengar sama-sama tertawa, bersenda, dan bercakap perihal pohon siwalan dengan segala seluk-beluknya hingga mereka menuntaskan percakapan ketika jarum jam mendekati ekor angka sembilan.

Setelah percakapan itu, Siti tampak tertegun, bersandar lemas di kursi bambu. Ia hanya bisa membidikkan matanya ke pucuk pohon siwalan yang berada jauh di luar rumahnya. Kala itu kenangan masa kecilnya membayang. Pada tiarap senja yang dingin, di antara pangkal pohon siwalan berkulit hitam legam, ia dan Hamid pernah main petak umpet sambil menunggu Ki Ali turun dari atas pohon siwalan mempersila mereka meneguk lahang langsung dari timbanya.

Siti dan Hamid kerap berebutan ketika hendak meminum lahang. Kadang mereka juga meminta ta’al kepada Paman Musakip ketika ia mengambil ta’al itu untuk ternaknya. Siti dan Hamid adalah di antara sekian anak desa yang banyak menjalani masa kecilnya di kebun siwalan bahkan ketika mereka sudah duduk di bangku SMP, keduanya tak pernah bosan dengan kebun siwalan. Mereka sering belajar bersama di kebun itu pada sore hari. Rimbun daun siwalan mampu membawa kedamaian, keteduhan, dan kesejukan bagi suasana kebun sehingga sangat mendukung bagi kenyamanan belajar, terlebih kedamaian semakin rasup ke dasar hati saat para penyadap lahang mengerat mayang sambil menembang.

Keakraban Siti dan Hamid terus berlangsung, hanya saja selepas SMA mereka terpisah. Siti melanjutkan studinya ke Yogyakarta, sedang Hamid tidak bisa melanjutkan karena tidak punya biaya. Hamid hanya berkeinginan membantu dan membanggakan kedua orangtuanya. Suatu waktu Hamid pernah bertanya kepada ibunya mengenai apa saja yang membuatnya bahagia, maka ibu Hamid menjawab bahwa dirinya akan bahagia bila Hamid giat beribadah dan punya pekerjaan. Hamid pun berusaha memenuhi keinginan ibunya itu. Untuk soal pekerjaan, dia tak mau meniru para tetangga yang kebanyakan lebih suka merantau ke Jakarta, Kalimantan, Malaysia, dan Arab Saudi hanya untuk mendapat rezeki. Bagi Hamid, desa tempat tinggalnya sebenarnya punya potensi besar jika diolah, sekaligus juga bisa meneruskan pekerjaan para tetua yang—secara hukum akal—akan mati lebih awal ketimbang yang muda.

”Kalau anak desa gengsi bekerja di desa maka siapa yang bertanggung jawab atas sumber daya desa? Ketika para pelajar dicetak untuk lebih mencintai pabrik dan kantoran, maka desa secara pelan akan sekarat dan sumber daya yang ada akan segera dikeruk oleh orang asing, bukankah orang asing memang merangsang anak desa agar bekerja ke kota? Agar desa terabaikan, pada saat itulah orang asing itu akan datang dan mengeksplorasi potensi yang ada di desa,” jelas Hamid kepada Siti melalui telepon ketika Siti masih kuliah di Yogya, sebab itulah meski Siti kuliah, tapi ia tetap cinta kepada desanya dan punya keinginan besar untuk mengembangkan potensi pohon siwalan dengan berbagai hal yang dihasilkan baik berupa lahang, gula, buah, dan lainnya.

”Ah! Tapi kenapa jadi begini? Ayah melarangku ke kebun siwalan karena malu kalau sarjana ke kebun. Ke kebun saja dilarang, apalagi kalau pamit untuk bertemu Hamid, pasti semakin dilarang, karena Hamid hanyalah lelaki penyadap lahang. Ah, tapi tak apa kalau aku mencoba pamit kepada ayah untuk bertemu Hamid. Siapa tahu diizinkan,” gumam Siti sambil menggeliat di kursi bambu dan mulutnya menguap.

#

Larangan keras sang ayah membuat Siti renyuh, luka, dan sesak. Ia hanya bisa menangis di kamarnya sambil memukul-mukul bantal. Sudah lima belas hari ia berkurung diri, hati Siti tambah lantak karena akhir-akhir ini Hamid tidak bisa dihubungi. Sudah tiga hari ponselnya tidak aktif, terakhir ia bercakap ketika Hamid tengah beradu mulut menghadapi beberapa pedagang dungdung yang telah membongkar beberapa pohon siwalan untuk diangkut ke kota, pohon siwalan dibeli murah kepada warga dan diambil pangkalnya untuk dibuat dungdung. Hamid tidak suka dengan eksplorasi liar semacam itu meski dilalui dengan cara transaksi. Hamid menganggap hal itu merupakan penggundulan desa. Demikian ia menjelaskan kepada Siti empat hari yang lalu melalui telepon.

Sesaat di kala tenang, Siti mengambil selembar kertas dan pena. Ia tengkurap, dan bermaksud menulis surat kepada Hamid untuk mengatakan bahwa ayahnya tidak mengizinkan ia untuk bertemu Hamid. Tapi tiba-tiba ada suara perempuan mengetuk pintu. Siti mempersilakan masuk, setelah daun pintu terbuka tampaklah Bi Muna berdiri pucat dan gemetar. Siti lekas menyeka lelehan air matanya dengan selimut agar tak kelihatan menangis meski kelopak matanya terlampau membengkak.

”Ada apa, Bi?”

”Hamid…Hamid.. Siti!”

”Kenapa Hamid? Ada apa dengan Hamid, Bi?”

”Dia ditemukan mati di bawah pohon siwalan, ada yang menduga dia terjatuh saat menyadap lahang. Tapi ada juga yang mengatakan dia dibunuh orang tak dikenal karena dia sering menggagalkan pedagang dungdung yang hendak membeli pohon siwalan kepada warga.”

Seketika Siti lemas, tubuhnya ambruk ke kasur. Matanya terbelalak. Ia mencium harum lahang mengambang di udara. Bukan harum kemenyan. Ia merasakan harum lahang itu sebagai harum cinta. Ya, cinta.

_____

Salampar: Lingkaran yang dibuat dari pelepah daun siwalan sebagai pegangan tangan saat memanjat pohon siwalan.

Dipasat: Proses pengirisan daun tembakau hingga halus.

Lalake’na: Pohon siwalan yang hanya menghasilkan buah, tidak menghasilkan lahang.

Tambut: Pundi-pundi dari kayu tempat menyiman laru.

Pangerat: Sabit kecil untuk mengerat mayang.

Bajut: Anyaman daun siwalan berbentuk tas, biasanya digunakan untuk membungkus timba agar lahang aman dari gangguan hewan.

Ta’al: Buah siwalan.

Dungdung: Pot dari pangkal pohon siwalan.

***

A Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media, antara lain, Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dan lain-lain. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki (Basabasi, 2020). Adapun buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangi lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.

 

(14)

Binar yang Memudar dari Matanya

Kunci mobil dan tumpukan uang didorong hingga semakin dekat denganku. Hantu kegagalan meniupkan bisik ke telinga. Ingatakanku terlempar pada kesuksesan kedua kakak, pada ekspresi Ibu saat melihat mobil baru kakak.

Oleh: RIZQI TURAMA, 2 Oktober 2022

Dari tiga anak Ibu, akulah satu-satunya anak yang gagal. Kakak pertama sudah jadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Rumahnya besar dengan tiga mobil mewah berjajar di garasi. Kakakku yang kedua bekerja di tambang minyak. Ia pulang ke rumah sebulan sekali. Di saat itu ia hampir selalu membeli jam tangan baru, ponsel baru, atau barang-barang baru lainnya. Aku sendiri bekerja di sebuah kantor pemerintah daerah yang diangkat sebagai pegawai negeri bukan karena lulus tes, melainkan karena masa pengabdian yang sudah terlalu lama. Meskipun begitu, Ibu selalu bilang, ”Jangan risau. Hal-hal yang begitu bukan masalah bagi Ibu.”

Aku tahu bahwa kasih Ibu seperti cahaya bintang yang bisa menenangkan di saat gundah dan bisa jadi petunjuk saat tersesat, tetapi fakta bahwa aku orang gagal tetap menghantui setiap hari. Hantu itu semakin membesar dan menggelayuti tengkukku setiap jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Kedua kakakku selalu membawa dan memberikan oleh-oleh. Ibu selalu menyambut dan menerima oleh-oleh tersebut dengan senyum mengembang penuh, raut ceria, dan mata berbinar. Aku tentu juga membawa sesuatu, biasanya martabak manis dengan isian cokelat kacang. Kadang-kadang aku juga membawa benda atau makanan ringan lain. Akan tetapi, barang-barang yang kubawa pasti kalah pamor dibanding barang-barang bawaan kakak-kakakku.

Mungkin cuma perasaanku saja, tapi aku melihat ekspresi Ibu tak sama ketika menerima bawaan-bawaanku. Senyumnya tak penuh, raut cerianya meremang, dan binar pada matanya memudar. Hal itu kecil memang, namun terasa benar membuat bisikan hantu kegagalan semakin memberat di tengkukku. Sepertinya hal tersebut disadari oleh Ibu yang sering menguatkan, ”Pemberian dari anak selalu membuat Ibu tua macam aku merasa terharu. Apa pun pemberian itu.”

”Kalian bertiga pun tak perlu memaksakan diri untuk terus membawa oleh-oleh ketika berkumpul. Ibu sudah tua,” lanjut Ibu, ”tak ada lagi yang benar-benar diperlukan di usia tua ini, kecuali kesempatan mensyukuri hidup. Toh tak lama lagi juga hidup ini harus kutinggalkan.”

Ibu akan tersenyum melihat wajah kami yang merajuk setiap ia membahas soal kematian. Lalu pembicaraan akan dibelokkan ke mana saja agar kami tak merajuk lagi. Mungkin soal tetangga yang membeli kulkas baru, anak tetangga yang belum lama pulang dari berlibur di Bali, atau cucu tetangga yang tak jadi ditilang karena ternyata bapaknya pejabat di kepolisian daerah. Pembelokan cerita seperti selalu membuat anak-anak ibu kembali tertawa riang, kecuali aku.

Menjadi pegawai negeri rendahan di sebuah kantor kecil yang sama sekali tidak ’basah’ bukanlah sesuatu yang menyenangkan secara ekonomi, tetapi cukup kunikmati. Dari tahun ke tahun aku hanya perlu mengerjakan tugas rutin dengan benar. Tak ada bonus dan uang lembur, tetapi juga tidak ada beban tambahan. Seharusnya itu semua sudah lebih dari cukup. Aku telah mencapai sebuah posisi yang bagi sebagian orang hanyalah mimpi. Akan tetapi, pencapaian kedua kakakku membuat semua itu menjadi seolah tak berarti.

Meskipun sering kali diiringi dengan rutukan dalam hati, aku tetap berusaha mengerjakan semua tugas hingga selesai. Alasannya jelas karena aku tak mau kehilangan pekerjaan yang telah berada dalam genggaman. Dengan posisi yang begini saja aku bisa merasa gagal, apalagi jika pekerjaan ini lepas dari tangan. Singkatnya, aku tidak rajin, tetapi memaksakan diri terus bekerja. Rajin yang terpaksa itu pun sebenarnya tak bisa dikatakan betul-betul rajin karena pekerjaan di kantorku sangat jauh dari kata ‘banyak’.

Entah karena bagusnya pekerjaan yang dilakukan atau karena memang tidak ada orang lain, aku diangkat menjadi sekretaris kantor. Sesuatu yang membanggakan. Aku langsung menceritakannya pada Ibu saat pertemuan rutin. Senyum wanita itu mengembang mendengarnya. Hatiku bungah. Dibelainya kepalaku. ”Berarti sudah makin pandai kau cari uang?”

Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Memang ada peningkatan pemasukan, tapi jumlahnya tak sampai sepuluh persen. Jumlah itu betul-betul tak ada apa-apanya jika dibandingkan pemasukan kakak-kakakku. Sungguh aku bingung harus bereaksi seperti apa untuk menjawab pertanyaan Ibu. Akhirnya aku hanya bisa mengangsurkan martabak manis dengan isian keju—bukan cokelat kacang—sembari tersenyum.

”Wali kota masih yang lama?” kakakku yang pertama tiba-tiba buka suara.

Aku jawab dengan anggukan kepala.

”Susah kalau masih dia. Semua orang juga tahu dia tertarik cuma pada olahraga. Dinas tata kota nggak akan pernah dilirik. Kau baru bisa berharap kalau wali kota sudah ganti.”

Aku merasa tidak perlu merespons karena ucapan kakak pertama betul belaka. Bekerja di dinas yang dianaktirikan memang tidak akan membuat kantungmu penuh. Tidak ada proyek apa pun. Tidak ada pekerjaan apa pun, kecuali tugas rutin. Tidak ada pemasukan tambahan dan tiba-tiba aku merasa naik pangkat ke sekretaris di dinas itu tak ada maknanya sama sekali.

”Sudah. Tidak apa-apa. Kau sudah naik jabatan pun Ibu sudah senang,” kata Ibu dengan binar mata yang memudar, ”lagi pula di usia segini apalagi yang Ibu cari?”

Setelah itu, Ibu membahas sepupu kami yang baru pulang dari naik haji untuk yang kedua kalinya.

Waktu membuktikan bahwa ucapan kakak pertamaku betul dan salah di saat yang bersamaan. Ia betul bahwa saat wali kota berganti, kantor tempatku bekerja tak lagi jadi anak tiri. Taman dan hijau kota mulai diperhatikan. Titik-titik yang dulu terbengkalai dan kurang sedap dipandang mulai dibenahi. Di saat yang bersamaan, pendapat kakakku salah karena sama sekali aku tak bisa berharap soal keuangan. Pekerjaan semakin banyak, tapi uang yang masuk tetap sedikit. Aku juga heran dengan hal itu.

Kepala kantor kami tiba-tiba diganti dengan orang baru. Dalam waktu satu tahun ia sudah bisa membeli mobil baru. Di tahun berikutnya ia mengajak keluarganya liburan ke luar negeri. Sementara itu, sebagai sekretarisnya, aku tetap begini-begini saja. Hal yang berubah hanyalah makanan yang kubawa ke tempat Ibu tak pernah lagi martabak kacang, sebab aku selalu membeli martabak komplet.

Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Sampai suatu hari di tahun ketiga, kepala kantor mengajukan cuti karena akan berangkat umroh sekeluarga. Aku pun ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian. Dengan wajah penuh ancaman—hal yang menurutku tak seharusnya dilakukan oleh orang yang akan melakukan perjalanan religius—ia berujar pelan padaku, ”Kerjamu selama ini bagus, tapi jangan berpikir macam-macam selama aku pergi.”

Sebetulnya aku tidak mengerti dan tidak mau ambil pusing atas ucapannya itu. Akan tetapi, seminggu kemudian turun instruksi dadakan dari wali kota untuk melakukan pengadaan barang terkait perbaikan total terhadap taman kota yang ada di selatan. Ia melakukannya karena ada laporan kerusakan dari warga dan laporan tersebut tiba-tiba saja viral di media sosial. Instruksi itu bersifat segera dan urgen sehingga sebagai pelaksana tugas selama kepala kantor pergi, akulah yang mengambil peran.

Lelang pengadaan diumumkan dan hanya dalam hitungan jam seseorang datang lalu duduk di kursi di hadapanku. Wajahnya ramah meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. ”Kuharap kau bisa bekerja sama dengan kami seperti Pak Kepala Kantor,” ujar lelaki itu tetap dalam senyum. Tangannya kemudian menyorongkan segepok uang merah dan sebuah kunci mobil.

Ia lalu mengajakku melihat jendela yang ada di sebelah kiri. Dari jendela itu terlihat sebuah Fortuner berwarna putih bersih. Platnya juga putih. Kursi-kursi di dalam mobil itu masih terbungkus plastik bening. ”Ini semua untukmu. Bukan untuk Pak Kepala Kantor seperti biasa,” ia lanjut tersenyum sembari mengeluarkan sebuah kartu bertuliskan nama perusahaan, ”tetapi ingat nama ini untuk lelang nanti.”

Degup jantungku terasa begitu cepat sampai-sampai aku sendiri bisa mendengarnya. Kutolehkan kepala ke mobil di luar sana, lalu kepada orang dengan senyum di wajahnya. Begitu terus hingga tiga kali. Entah bagaimana rupaku saat itu. Satu hal yang pasti, si lelaki berujar lagi, ”Kami memang memberi sedikit lebih banyak dibanding yang biasa kami berikan pada Pak Kepala Kantor karena ini salam perkenalan untukmu. Ambillah!”

Kunci mobil dan tumpukan uang didorong hingga semakin dekat denganku. Hantu kegagalan meniupkan bisik ke telinga. Ingatanku terlempar pada kesuksesan kedua kakak, pada ekspresi Ibu saat melihat mobil baru kakak, juga pada martabak demi martabak yang selalu kubawa di pertemuan rutin di rumah Ibu. Khayalanku membentuk sebuah gambaran sosok aku yang tengah mengendarai mobil putih nan gagah dan memarkirkannya di halaman rumah Ibu. Lalu aku turun dan menyodorkan sebuah jam tangan indah seharga motor baru kepadanya. Senyum Ibu akan penuh. Wajahnya akan ceria. Matanya akan berbinar. Lalu diusapnya kepalaku perlahan-lahan dengan rasa bangga.

Untuk terakhir kalinya aku tolehkan kepala pada mobil putih di luar sana. Kutarik napas dalam-dalam dan kubalas senyuman lelaki yang dari tadi tersenyum kepadaku.

Untuk pertama kali setelah sekian tahun, aku merasa tak ada beban ketika jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Aku tetap begini-begini saja. Tak ada mobil baru. Tak ada uang yang banyak. Tak ada perhiasan mewah. Senyum Ibu tetap tak penuh. Keceriaannya tetap meremang. Binar matanya tetap pudar melihat bawaanku yang tak lebih dari martabak manis. Tak ada apa pun yang berubah kecuali perasaan di dalam dadaku. Aku tidak lagi merasa sebagai orang gagal kali ini. Hantu yang memberati tengkukku telah menguap. Ia menghilang, seperti senyuman lelaki itu ketika meninggalkan ruanganku.

Rizqi Turama, Dosen Universitas Sriwijaya. Lahir di Palembang, 4 April 1990. Pernah mengikuti workshop cerpen Kompas tahun 2016. Ia pernah memenangi beberapa lomba penulisan cerpen. Dua buku terbarunya berjudul Aku dan Jogja Pukul Dua dan Yang Lebih Bijal

***

Made Somadita Lahir di Tabanan, Bali 1982. Lulusan ISI Denpasar ini tinggal dan bekerja di Denpasar, Bali. Sejak 2002 setidaknya sudah lima kali pameran tunggal, dan pameran bersama di beberapa negara Asia, dan Eropa. Pernah mengikuti program residensi seni dalam kurun waktu 2011-2014 di Thailand, Perancis, Belanda, dan India.

 

(14)

Buntung

Dalam kehidupan rumah tangganya, ia tak pernah bertahan lama. Paling lama hanya satu semester. Bahkan, ia menggugat cerai suami pertamanya dalam keadaan hamil.

Oleh: TETIN SOBARIAH, 1 Oktober 2022

Kawin cerai di desa ini bak kacang goreng. Hampir setiap orang menikah dua kali. Tapi tidak dengan Euis. Dirinya tercatat sebanyak tiga kali kawin cerai dalam waktu empat tahun, pada usia 28 tahun. Dan kabarnya, kini tanda-tanda dirinya akan menikah lagi mulai tampak. Bagi para tetangga, keputusan ini terlalu tergesa-gesa.

Bagaimana tidak, rekam jejak Euis dalam berumah tangga tidaklah bagus. Agus, suami pertama yang digugat cerai karena alasan ekonomi. Pria malang itu memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya dengan meninggalkan dua orang anak.

Deni, suami kedua, seorang lelaki separuh baya memutuskan untuk menikah lagi dengan wanita yang lebih cantik dari dirinya. Secara ekonomi, mereka hidup mapan. Suaminya itu pengusaha percetakan di Ibu Kota, dan meninggalkan satu orang anak. Alasan bercerai karena sering cekcok dengan ketiga anak sambungnya. Yayan, suami ketiga seorang perjaka dan hanya bertahan tiga bulan dengan alasan tidak puas di ranjang. Dan meninggalkan seorang anak. Dalam kehidupan rumah tangganya, ia tak pernah bertahan lama. Paling lama hanya satu semester. Bahkan, ia menggugat cerai suami pertamanya dalam keadaan hamil.

Bagi para lelaki, pinggul adalah daya tariknya; tempat awal mula Euis menarik lelaki mana pun. Perjaka, duda, hingga hidung belang sekalipun. Bahkan, mereka rela merogoh uang untuk sekadar memberikan makanan, aksesoris, atau memberinya uang langsung secara cuma-cuma. Tapi sayang, tak satu pun lelaki yang bertahan lama dengannya. Semuanya hanya seumur jagung. Menikah sekali seumur hidup yang diidam-idamkannya gagal.

Bulan bersinar menembus ranting-ranting pohon mangga, Euis masih di warung Ceu Odah, sekadar memberikan undangan pernikahannya yang keempat. Ceu Odah, melolong seperti anjing begitu menerima kartu undangan tersebut. Bahwa beredarnya berita pernikahan Euis yang keempat bukan gosip. Ceu Odah memang terbiasa tidak memercayai berita-berita yang tetangganya bicarakan. Karena sekian banyak kata-kata yang dikeluarkan oleh para tetangganya, tak satu pun ia percaya.

Ceu Odah yang sudah paham dengan karakter Euis, biasanya ia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Bahkan, obrolan Euis hanya dilayani dengan mengatakan ya, setuju, atau dengan bahasa isyarat seperti anggukan, dan menggeleng kepala. Ceu Odah adalah orang yang cari aman. Ia tidak mau cari musuh dengan siapa pun. Kendati semua tetangga sudah menunjukkan ketidaksukaannya kepada Euis, karena Euis dianggap wanita yang mempermainkan pernikahan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Euis memiliki pinggul bahenol, yang mampu memikat suami tetangga sekalipun. Oleh sebab itu, para suami tidak pernah diizinkan untuk pergi ke warung kopinya Ceu Odah. Bila pinggul Euis mampu menarik suami orang lain, maka tubuhnya bagaikan api yang siap melahap rumah tangga orang lain. Tak sedikit para istri yang berkata kasar kepadanya. Ada yang terang-terangan, ada juga yang sembunyi-sembunyi.

Euis tak pernah memasukkan cibiran tetangga-tetangganya sejak dirinya disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Euis akan kawin lagi. Kali ini dengan sopir angkot. Gelagat Euis ini tercium juga oleh ibunya. Bagaimana tidak, keempat anaknya dibawa oleh ibunya ke desa yang lain. Tak lain, agar keempat anaknya tidak meniru tingkah ibunya yang sering gonta-ganti pasangan. Dan sekarang Euis tinggal bersama adiknya, Mira. Seluruh desa tahu, bahwa Euis orang yang memanfaatkan laki-laki dengan pinggulnya. Tak sedikit laki-laki yang tergoda, dan tak sedikit juga istri-istri di desa merasa resah jika Euis belum menikah lagi. Bagi warga desa, Euis adalah janda yang meresahkan. Jika Euis menikah, maka, istri-istri di desa merasa lega karena suaminya pasti aman dari godaan pinggul Euis. Alasan Euis menikah lagi adalah agar ada yang membiayai kebutuhan hidupnya. Lahir dan batin.

”Syukurlah si Euis kawin lagi, agar laki saya bisa aman,” kata salah satu tetangga mengomentari.

”Kita lihat kali ini dia akan bertahan berapa lama dengan laki barunya,” sahut yang lain.

Euis bukan tak tahu soal komentar dari tetangga-tetangganya yang usil. Tapi dia lebih menutup telinga dan membiarkan tetangga berkomentar sesuka hatinya. Dia tahu semua komentar-komentar itu dari adiknya. Rasa cintanya kepada Bang Ingot melupakan komentar-komentar pedas dari tetangganya. Bang Ingot bukan hanya sekadar sopir angkot, tapi juga juragan angkot. Euis yakin, bahwa pernikahannya kali ini akan langgeng.

Begitu Euis resmi menjadi istri Bang Ingot, tak ada satu orang pun yang berani berkomentar yang buruk-buruk perihal Euis. Lantaran takut dengan suaminya yang bertampang garang dan juragan angkot. Tapi ternyata tampangnya yang garang justru tidak dengan hatinya. Bang Ingot cepat beradaptasi dengan warga desa. Malah lebih bersahabat daripada Euis. Hari demi hari, akhirnya warga kampung mulai merasa nyaman akan keberadaan Bang Ingot. Pun dengan Euis.

Rumah Euis kini ramai. Tiap hari selalu ada orang yang datang bertamu. Dan setiap kali tamunya pulang, tak lupa Bang Ingot selalu memberikan bingkisan makanan kepadanya. Inilah yang membuat rumah Euis tak pernah sepi pengunjung.

Kemudian dia juga mengajak beberapa warga ke kota dalam rangka syukuran karena angkotnya kini bertambah lagi. Dan total angkotnya berjumlah 20. Angkot-angkotnya juga beraneka ragam dan memiliki rute ke jalan-jalan yang sering di kunjungi kebanyakan orang.

”Jadinya bagaimana, Bang Ingot?” salah satu warga ingin berinvestasi ke bisnis angkotnya, agar dia juga bisa cepat kaya seperti Bang Ingot.

Bang Ingot mendehem sekali, seperti sedang berpikir keras, ”Kalau ingin investasi di angkot saya minimal Rp 10.000.000, Kang,” ujarnya kemudian. ”Akang juga akan mendapatkan bagi hasil setiap bulan sebesar 10%.”

Mata Deden berbinar-binar kemudian ia mengatakan, ”Wah, ini lebih besar dari bunga deposito di bank.”

”Jadi bagaimana, Kang?” tanyanya lagi. ”Tidak semua orang bisa saya terima untuk investasi di usaha saya. Berhubung Akang ini tetangga saya, saya mencoba memberikan kesempatan ini ke Akang.”

Bang Ingot meyakinkan sekali lagi. Seolah-olah banyak orang yang ingin berinvestasi di usaha angkotnya, tapi ia tolak.

Deden tersenyum, ”Terima kasih, Bang, atas tawarannya. Tapi uang sebesar itu saya belum punya.”

”Akang bisa pinjam ke bank,” bujuknya. ”Lagipula dalam waktu sepuluh bulan, uang itu akan kembali lagi kepada Akang dan di bulan ke sebelas Akang bisa langsung melunasi utang akang ke bank.”

Rumah Euis kini ramai. Tiap hari selalu ada orang yang datang bertamu. Dan setiap kali tamunya pulang, tak lupa Bang Ingot selalu memberikan bingkisan makanan kepadanya. Inilah yang membuat rumah Euis tak pernah sepi pengunjung.

Dari dapur, Euis hanya mendengarkan urusan suaminya dengan Deden. Euis tidak pernah ikut campur soal usaha angkot suaminya. Bang Ingot berpesan, Euis cukup bilang iya saja. Dia tak perlu repot-repot bagaimana cara membantu bisnis suaminya agar lebih maju dan berkembang, selama dapur masih ngebul dan kebutuhan berahi tercukupi setiap hari; hanya itu hal yang diinginkannya dalam berumah tangga. Dia bahkan tak peduli kalau dirinya belum mengesahkan perkawinannya secara negara. Sebab, dia benci dengan pihak KUA yang menertawakan dirinya karena kawin cerai melulu. Dia berniat akan mengurusnya jika perkawinannya dengan Bang Ingot sudah mencapai satu dekade.

Sehabis subuh, Bang Ingot selalu meminta Euis untuk pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan dapurnya. Bang Ingot tak mau menyuruh orang lain yang membeli kebutuhan pokok itu. Hanya boleh Euis yang pergi membelinya. Dan Euis menurutinya. Begitulah, di balik cerdiknya Bang Ingot, selalu ada Euis yang dungu.

Ceu Odah menyarankan kepada Euis agar dirinya jangan pergi ke pasar setiap hari dan setiap pagi. Karena ada sesuatu yang dia lihat mengenai Mira. Tapi, Euis tak percaya dengan berita yang dikatakan oleh Ceu Odah.

”Mungkin janda tua itu iri kepadaku,” pikirnya demikian. ”Tak heran jika Ceu Odah menjelek-jeleknya Bang Ingot dan Mira.”

Suatu pagi, Euis terpaksa harus balik lagi ke rumah karena dompetnya tertinggal. Dan dia mendengar suara gaduh di kamarnya. Ini seperti suara orang yang sedang bercinta, pikirnya. Kemudian, dia membuka kamarnya dan dengan terkejut ia mendapati adiknya sedang bercinta dengan suaminya.

”Apa yang kalian lakukan?” geramnya. ”Adik macam apa kau ini, bercinta dengan kakak iparmu sendiri. Dan kau, apa yang kurang dariku, heh!”

”Kau tak membuatku puas di ranjang. Adik iparku ini memberikan apa yang kubutuhkan,” jawabnya dengan tenang.

”Hari ini kita bercerai! Dan sekarang juga keluar dari rumah ini!” usir Euis.

Suara yang seperti toa membuat para tetangga keluar dan menonton apa yang terjadi dengan Euis. Bang Ingot langsung berpakaian dan pergi tanpa mengemasi barang-barangnya, kemudian berkata dengan tersenyum, ”Kau akan menyesal mengusirku sekarang.”

Sementara adiknya, hanya diam terpaku dan Euis meninggalkannya begitu saja. Usia pernikahan Euis dengan Bang Ingot hanya setahun. Dan ini adalah usia pernikahan terlama sepanjang Euis menikah.

Dua bulan kemudian, setelah Bang Ingot hengkang dari desa tersebut, warga mulai gelisah karena bagi hasil yang dijanjikan belum juga dibagikan. Dan dia menanyakan hal ini kepada Euis.

Dengan berat Euis berkata, ”Bapak-bapak dan ibu-ibu, kita semua telah ditipu oleh Bang Ingot, termasuk saya sendiri. Selama sebulan terakhir ini saya mencarinya dan berangkat ke kota. Ternyata dia tidak punya angkot satu pun. Waktu acara syukuran itu, dia menyewa tanah kosong dan menyewa angkot untuk menipu kita semua seolah-olah tanah dan puluhan angkot itu miliknya. Tak hanya uang bapak-bapak dan ibu-ibu, tapi juga uang saya dia bawa kabur. Tak hanya itu, rumah ini pun dia gadaikan ke bank atas nama saya.”

Orang-orang hanya menatap nanar karena mereka harus membayar cicilan utangnya ke bank, padahal mereka tidak menikmati uang itu.

Hanya lima orang pertama yang benar-benar untung dari investasi yang ditawarkan oleh Bang Ingot. Termasuk Deden. Itu pun dengan tujuan sebagai umpan, tak lebih. Dan lima orang itulah yang secara sukarela mengajak warga desa untuk berinvestasi kepada Bang Ingot karena sudah terbukti menjanjikan. Warga yang tadinya ingin untung, malah jadi buntung. Total uang yang dibawa lari oleh Bang Ingot sebesar 10 miliar.

***

Tetin Sobariah, kelahiran Tasikmalaya. Cerpen pertamanya yang berjudul Teka-Tekiku dimuat di harian Batampos.