Kumpulan 2 Cerpen, Juni 2023

(1)

Reinkarnasi Babi

Yang senantisa berubah adalah perubahan itu sendiri. Kita bisa apa dalam hidup yang keparat ini.

Oleh: FARUQI UMAR,
Hujan belum reda seutuhnya ketika lelaki tambun berkumis tipis itu datang mengetuk pintu rumahku. Aku segera menemuinya ke depan, menyalaminya, lalu mempersilakannya duduk. Tatapan matanya terasa dingin, lebih dingin dari genggaman tangannya. Sekilas, pandangannya menyapu seisi ruang tamu, bahkan tumpukan kain di meja di samping mesin jahit.

”Aku tak menyangka kau pandai menjahit,” ia seperti menggumam, lalu tersenyum. Dan aku tak dapat menafsir apakah ia sedang memuji atau menyindir.

”Apa yang bisa diandalkan dari seorang pengangguran yang tinggal di pelosok seperti aku ini,” jawabku.

”Aku pikir kau berubah.”

”Yang senantisa berubah adalah perubahan itu sendiri. Kita bisa apa dalam hidup yang keparat ini.”

”Hahaha.”

Ia memilih tertawa. Aku tahu betul siapa dirinya. Ia hanya enggan menanggapi. Dan aku semakin merasa kerdil di hadapannya.

Di teras di atas balai-balai bambu, kami duduk bersebelahan menghadap persawahan. Angin berembus sepoi-sepoi. Satu-dua orang melintas di kejauhan di jalan kampung yang becek. Hujan hampir seharian mengguyur. Sebatang surya hampir tamat di tangannya. Sumpah. Ia memang perokok yang aneh. Ia tidak hanya menghisap tapi sambil menggigit gabus surya.

”Kadang, kita menjadi pengecut bila dibenturkan dengan urusan perut,” katanya.

”Lebih tepatnya, dari perut sampai ke lutut,” timpalku.

”Asu kau.”

”Hahaha.”

“Kau tahu, gajah mati meninggalkan gading, kita mati meninggalkan dosa,” imbuhnya lagi.

”Apa maksudnya?”

”Aku kira kau sudah mengerti kabar tentang babi-babi yang semakin kurang ajar itu.” Kalimat itu keluar dari mulutnya bagai peluru yang meluncur dari magasin. Sorot matanya menjadi tajam. Tentu, ini akan berakhir tidak baik, tebakku.

”Kau belum kapok juga rupanya,” selorohku.

”Selama nyawa masih di kandung badan, selama kita yakin akan kuasa Tuhan, lantas apalagi yang membuat kita gentar,” tandasnya.

***

Nezar, masih sama seperti 25 tahun yang lampau. Terlepas dari kejadian yang pernah menimpa dirinya dulu. Ketika kami, para mahasiswa, melakukan gerakan masif untuk menggulingkan pemerintahan Orde Baru. Aku, salah satu kawannya yang menyarankan, agar ia tidak terlalu agresif, kalau perlu bersembunyi dulu.

”Keadaan sedang kacau. Kita mundur!”

”Mundur sebagai pengecut atau mundur sebagai pengkhianat? Perbedaannya sangat tipis. Dan aku memilih untuk tetap melawan,” jawab Nezar.

Ia tak menggubris ketakutanku.

Akhirnya, aku dan beberapa kawan lainnya memilih bersembunyi. Ada yang pulang ke kampung halamannya, ada yang pergi ke luar negeri, dan ada juga yang sampai mengganti identitas diri. Agresi militer besar-besaran, kami kira, memang tujuannya untuk menangkap dan membasmi para mahasiswa yang dinilai agresif.

Sampai kemudian banyak kawan kami yang hilang. Ada yang ditemukan mati di parit, di selokan, di sumur tua, ada yang mati ditembak dadanya. Ada juga yang kembali, tetapi dengan kaki pincang, dan tidak sedikit yang menjadi gila. Nezar merupakan salah satu kawan kami yang kembali, tapi dengan gendang telinganya rusak dan dua giginya patah.

Setelah semuanya aman, kudengar Nezar ikut kedua orang tuanya ke pedalaman Kalimantan. Sedangkan aku, akhirnya merawat dua petak sawah peninggalan orang tua di kampung. Bertani cabe dan tomat. Sesekali menerima pesanan menjahit pakaian orang-orang. Sampai akhirnya ia menemui aku malam ini.

Malam semakin pekat dan dingin semakin tajam. Nezar terlihat semakin semangat menceritakan tentang apa saja yang pernah terjadi padanya. Aku menatapnya lekat-lekat. Rasanya, baru kemarin kami meninggalkan Jakarta.

***

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Ei8AQ-TB4a4T2gTkQyw9QGvkP2M=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F02%2Fc4fa0ce8-4ccb-4861-9b6c-8421a7baf521_jpg.jpg

Nezar tinggal di desa sebelah, di dekat sebuah lereng bukit. Ia kembali dari Kalimantan dua bulan lalu. Ia adalah kawan masa kecilku. Dulu kami sering bermain bersama. Mencari burung atau berburu babi di hutan. Aku mengaguminya sejak dulu. Selain baik, ia juga perhatian kepada kawan. Masih terang di ingatan, ketika kami hendak berburu babi di hutan atau di area persawahan.

Ia sangat ahli membuat tombak. Tangannya sangat awas ketika memotong dua buah bambu kuning sebesar genggaman tangan kami, yang kami ambil dari pekarangan belakang rumah. Setelah itu ia meruncingkan ujung bambu dengan parang.

”Babi-babi itu harus diberi pelajaran,” katanya sambil memeriksa ketajaman ujung bambu menggunakan jari jempolnya. ”Jangankan babi, kulit singa pun dapat ditembus dengan bambu ini.”

Ia tersenyum. Aku tahu ia sedikit berlebihan.

Begitu tombak sudah jadi, ia sodorkan satu untukku. Kemudian ia mengajariku bagaimana menggunakan tombak dari bambu itu.

”Ketika kau melihat babi keluar dari semak-semak sambil mengendus bebauan, kau tahan sebentar. Jika babi itu sudah dekat, sudah dalam jarak tombak, kau tarik napas dalam-dalam, sebelum kau lesakkan tombak itu.”

Aku mengangguk. Ia memang pandai berburu. Keahliannya tidak lain merupakan warisan dari sang ayah dan kakeknya.

Hari itu juga, kami bergerak menyusuri jalan setapak yang becek di dalam hutan. Kami sudah melepas sandal jepit kami di rumah. Jari-jari kaki kami menjadi awas dan sigap ketika melewati jalan berlumpur yang licin. Kami berjalan perlahan di antara pohon jati dan mahoni. Mencari babi yang bersembunyi, atau yang sedang menyerang tanaman petani.

”Lihat!” tunjuk Nezar sambil memberi aba-aba. Kulihat seekor babi sedang berjalan menuju lahan jagung. ”Kalau babi itu sudah makan, baru kita tombak. Posisi kita tidak boleh terlalu dekat, babi memiliki penciuman tajam,” lanjutnya.

Kemudian, Nezar menyuruhku untuk berpencar. Aku berjalan ke arah sisi kiri babi. Sedangkan, Nezar di sisi kanannya. Lalu ia memberi isyarat menombak dengan jarinya yang menghitung mundur dari tiga, dua, lalu satu, dan kami serentak melempar tombak.

”Yap. Kita dapat!” Nezar berseru sambil mengepalkan tangan.

Babi gempal itu terjungkal ke tanah, tapi masih memaksa untuk bangkit dan berlari. Mulutnya mengerang kesakitan. Darah mengalir dari liang lukanya. Babi itu berlari sempoyongan, sebelum akhirnya menyerah pada ajal. Ya, ujung tombak Nezar menancap tepat di lehernya. Sedangkan tombakku meleset, dan hanya membuat luka gores di perutnya.

”Lalu bagaiamana?” tanyaku

”Kita bawa babi itu ke rumah. Ibuku punya resep bumbu yang spesial. Nanti malam kita makan besar,” jawabnya.

Ia kemudian mencabut tombak yang menancap di tubuh babi, lalu memasukkan babi itu ke dalam karung.

***

Di teras rumah di atas balai-balai bambu, kenangan masa kecil itu kadang membuat kami tersenyum-senyum sendiri.

Sampai akhirnya, kami mengingat kembali peristiwa ketika kami pertama kali merantau ke Jakarta untuk melanjutkan studi di kampus yang sama. Dan melalui peristiwa-peristiwa getir bersama. Aku rasa, tidak gampang bagi Nezar untuk melupakan penyiksaan di kamp tahanan itu. Ia pernah menceritakan semuanya sendiri padaku, bagaimana ia ditangkap dan disiksa, sebelum kisahnya menjadi viral dan diberitakan di berbagai surat kabar maupun media-media daring.

Malam itu, katanya, ia baru selesai mengikuti pertemuan dengan organisasi solidaritas untuk Timor Leste dari Australia di kawasan Menteng. Saat itu ia diberi tugas oleh organisasinya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi, untuk mengurus bidang hubungan internasional. Pada pertemuan di Menteng itu, ia mengkampanyekan demokratisasi di Indonesia. Dia juga mengkampanyekan pembebasan sejumlah kawannya yang menjadi tahanan politik Orde Baru pasca peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996, yang pecah di markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro.

Babi gempal itu terjungkal ke tanah, tapi masih memaksa untuk bangkit dan berlari. Mulutnya mengerang kesakitan. Darah mengalir dari liang lukanya. Babi itu berlari sempoyongan, sebelum akhirnya menyerah pada ajal. Ya, ujung tombak Nezar menancap tepat di lehernya. Sedangkan tombakku meleset, dan hanya membuat luka gores di perutnya.

Setelah acara selesai, Nezar pulang ke Rusun Klender naik angkutan umum. Setibanya di rusun, ia segera naik ke lantai empat. Ia mengetuk pintu, mengira kedua kawannya, Petrus dan Herman berada di dalam. Beberapa kali ia mengetuk, tak ada jawaban. Ia akhirnya mengambil kunci cadangan di bawah pot bunga di samping pintu. Ketika ia masuk, buku-buku, koran, dan tumpukan pamflet berisi tuntutan turunkan Soeharto, yang biasa ia tempel di tiang listrik, di pohon, di pertokoan, di gedung-gedung sepanjang jalan, semuanya raib.

Nezar mulai panik ketika mengintip ke luar jendela. Ia melihat beberapa orang bertubuh tegap tampak mengawasi rusun. Ia langsung menyimpan semua dokumen, paspor, dan buku harian dalam tas ransel. Ia ingin melarikan diri lewat dapur dengan cara melompat. Ketika ia pikir tak mungkin lewat situ, ia kembali ke ruang depan, mencari jalan keluar lain.

Setelah lima menit ia hanya mondar-mandir kebingungan. Ia kembali melihat ke luar jendela. Orang orang bertubuh kekar itu, mulai merangsek masuk ke dalam rusun, menuju kontrakannya. Ia merasa tak ada jalan keluar.

”Mampus aku!” Pikirnya.

Di balik pintu, ia duduk di lantai, bersandar ke tembok sambil menundukkan kepala. Tak lama kemudian pintu digedor keras.

”Buka pintu!” teriak orang dari luar.

Tak ada pilihan lain, Nezar membuka pintu. Sekitar 10 orang masuk ke dalam. Dua orang berpakaian loreng. Sisanya berpakaian sipil. Nezar langsung ditangkap. Sementara sebagian yang lain mengacak-acak isi kamar, mencari sesuatu.

Setelah itu Nezar diangkut menggunakan mobil. Kendaraan itu berhenti di kantor Komando Rayon Militer Duren Sawit. Di tempat itu ia diinterogasi oleh tentara, seputar aktivitas dan organisasinya, alasan tuntutan turunkan Soeharto, pencabutan dwifungsi ABRI, sistem multipartai, dan sebagainya. Begitu mereka tidak suka akan jawabannya, ia akan dipukul atau disetrum.

Nezar tak bisa mengenali mereka. Selain karena gelap, matanya ditutup kain, dan bajunya dilucuti. Tangan dan kakinya diikat. Ia hanya mengenakan celana dalam. Di kepalanya hanya ada satu kata, mati!

Setelah dua minggu ditahan, seorang petugas menghampirinya sambil membuka pintu sel, ”Nezar, ada yang besuk kamu!” katanya.

Nezar penasaran, siapa orang yang berani mengunjunginya. Ketika ia keluar dan berjalan melewati lorong, di koridor panjang itu ia melihat lelaki tua di kejauhan. Ia sempat memicingkan mata sebelum memastikan, kalau lelaki itu adalah ayahnya yang datang dari kampung.

Nezar dan ayahnya diberi kesempatan bertemu beberapa menit saja. Ia tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menangis di pelukan ayahnya, dan merasa bersalah. Bukan rasa bersalah karena melawan pemerintah Orde Baru, tapi karena dirinya, ayahnya menjadi repot.

”Sudah, tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja,” kata ayahnya menenangkan.

Nezar tetap tak bisa bicara. Ia hanya terus menangis.

Bulan demi bulan, gelombang demonstrasi semakin membesar. Memasuki bulan Mei, keadaan semakin kacau. Kerusuhan, penjarahan, pemerkosaan marak terjadi menyusul terjadinya penembakan empat mahasiswa Trisakti. Puncaknya 21 Mei, Soeharto menyatakan turun dari jabatannya. Kabar itu terdengar sampai ke penjara. Ruang sel riuh dalam haru. Setelah itu, Nezar dan beberapa tahanan dibebaskan. Namun, 13 orang teman kami masih hilang sampai sekarang. Sampai cerita ini tayang di media.

***

Dan malam ini, dengan sorot mata tajam, Nezar datang ke rumah. Membawa senapan angin dan berbicara keras, ”Babi-babi itu tidak hanya merusak tanaman, tapi sudah reinkarnasi menjadi antek-antek asing untuk membeli tanah-tanah warga dengan harga murah, lalu mulai membangun pabrik-pabrik, yang tentu akan merusak lingkungan ini.”

Aku masih bingung, bagaimana menanggapi sikapnya. Malam semakin larut dan dingin. Istriku sudah tidur di kamar bersama kedua anakku.

”Kita tak boleh tinggal diam! Kita tembak saja!” katanya kemudian, senapan angin itu ia pegang di tangannya, moncongnya mengarah tepat ke kepalaku.

Aku bergidik. Sejak peristiwa penyiksaan itu, aku mendengar kabar kesehatan jiwanya terganggu. Sialnya, aku terlibat dalam proyek pembangunan pabrik-pabrik itu. Dan aku juga ikut membujuk orang-orang agar mau menjual tanah mereka.

Sidoarjo, 20 April 2023

***

Faruqi Umar, kelahiran 9 April 1993. Kini tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur.

***

(2)

Bleki

Barangkali orang di rumah terlalu sayang. Si Bleki tidak pula dimasukkan ke kandang. Toh, kalau ada hanya kandang ayam.

Oleh: A. A HAFIDZ,

Kira-kira bulan Januari si Bleki hilang. Mungkin seperti masalah kucing lain. Si Bleki yang baru berumur setahun itu sudah baligh. Sudah saatnya musim kawin. Cara mengeongnya mengeluarkan suara lebih keras dan berat. Sudah sering menjilati kelaminnya sendiri. Pulang pun sebatas mengisi perut agar mempunyai tenaga untuk merayu kucing betina yang belum pernah saya lihat. Mungkin sedang mencari kucing betina tetangga yang jauh dari rumah.

Barangkali orang di rumah terlalu sayang. Si Bleki tidak pula dimasukkan ke kandang. Toh, kalau ada hanya kandang ayam. Pernah sekali si Bleki sakit perut karena keracunan rumput yang disemprot obat, akhirnya ia mencret. Sudah pasti tahi kucing kalau di dalam rumah baunya sulit hilang karena orang di rumah terlalu sayang pada si Bleki ya, mau tak mau, saya bersihkan. Sebenarnya saya juga sangat benci kalau kucing buang tahi sembarangan tetapi karena ia sakit, tidak perlu juga saya marah. Adik saya juga pintar merawat si Bleki, sudah dibelikan obat khusus kucing, lagi pula si Bleki kucing mandiri kalau buang tahi selalu di luar rumah. Meski buang tahi di rumah tetangga yang kosong. Si Bleki selalu buang tahi di bawah pohon rambutan.

Sejak hari pertama si Bleki tidak pulang, adik selalu cemas. Ia selalu tidak bisa diam, ia mondar-mandir, ke teras rumah, samping rumah, dan belakang rumah. Ia menangis, saya yang melihat justru semakin sedih dan ikut cemas dengannya. Saya melamun berjam-jam semenjak hilangnya si Bleki. Adik juga ikut-ikutan tidak nafsu makan. Ketika jam makan siang ia selalu mengayuh sepedanya mengelilingi lingkungan RT.

”Gimana, Si Bleki ketemu?”

Ia jawab, ”Tidak, Kak.” lantas ia masuk, mengunci kamar, dan tangisnya bisa saya dengar saat menguping lewat kamarnya. Sebetulnya semenjak masalah perkucingan dengan Virga dan Michael. Saya menjadi benci dengan kucing, tetapi ini si kucing Bleki, yang dari kecil dirawat dan mandiri. Bukan kucing kampung berbulu putih milik teman saya yang kabur dari kamar kosnya lalu memaksa saya bertemu Virga dan Michael. Kucing berbulu putih yang manja karena didikan pemiliknya sudah membuat saya sangat tidak suka dengan para pecinta hewan berbulu lembut itu. Kepada mereka Michael dan Virga penganut paham kasih sayang perkucingan. Saya sangat membenci kalian karena sebuah kesalahpahaman. Tetapi ini si Bleki, kucing yang sudah hilang beberapa hari ini.

Saya berinisiatif untuk mengirimkan surat kecil secara diam-diam kepada adik. jangankan berbohong. Apa pun dapat dilakukan hanya demi adik yang manis, kecil, dan imut yang selalu menghibur saat lelah demi melihat senyumnya lagi. Lagi pula adik saya penderita autism spectrum disorder (ASD).

Setiap pukul lima pagi, saya diam-diam menaruh potongan kertas kecil yang diselipkan ke bawah kolong pintu kamarnya.

Selamat Pagi, Icha!, tidak usah bersedih, aku Bleki, kucingmu tersayang. Aku sedang berlayar ke negeri seberang, aku baik-baik saja, aku akan mengirimi surat tiga hari sekali, surat ini akan kamu temui di bawah kolong pintu kamarmu, aku titipkan surat pada burung pipit, kamu tahu, kan? Lubang di atas jendela? Di situlah kertas ini akan masuk, jangan khawatir Icha, aku akan selalu mengabarimu dari jauh, aku sedang berpetualang mencari pengalaman hidup dan jodoh, salam hangat. si Bleki.”

Akhirnya adikku bisa tersenyum. Ia sudah mau bersekolah, makan tepat waktu, dan belajar. Setiap pergantian hari ia selalu menunggu surat dari si Bleki. Sekarang harapan dan semangat hidupnya sangat bergairah, ia sudah mau bermain dengan teman-teman sebaya. Sekarang justru masalah baru hadir. Adikku menunggu surat palsu yang saya buat, sampai lupa tidur, bangun pagi sedikit sulit, dan beberapa PR lupa ia kerjakan. Ustazah dari TK Marsudi sampai berkunjung ke rumah dan melaporkan hasil belajar Icha pada Ibu. Setidaknya besok tepat hari ketiga dan si Bleki harus mengabari Icha.

Sekali lagi saya harus berbohong pada adik. Malamnya saya menulis surat berpura-pura jika surat itu dari Si Bleki. Saya menambahkan cap telapak kucing agar adik percaya jika suratnya dari kucing tersayang, Bleki. Setelah subuh, saya meletakkan surat dengan kertas kecil tersebut ke bawah kolong pintu kamar Icha. Icha bangun, saya mengintipnya dari kamar tidur. Sengaja membuka pintu sedikit kamarku agar melihat Icha membaca surat. Ia seperti terburu-buru ke kamar mandi, tanpa sadar mengetahui keberadaan surat.

”Icha, kertas apa itu?” aku menunjuk kertas. Sementara langkah Icha sudah melewati surat di mana tergeletak masih pada posisinya. Ia kembali untuk mengambilnya.

Yeay, surat dari Si Bleki.” Icha tersenyum lalu membukanya. Ia tak kunjung kembali. Dalam bayangku, mungkin ia membaca surat dari si Bleki sambil buang hajat.

Icha sekarang aku sudah mempunyai pasangan, kami sudah menikah. Sebenarnya aku ingin mengundangmu, tetapi si Burung Pipit sedang sibuk mengantarkan surat. Jadi, baru sekarang aku mengabarimu, maaf ya Icha yang manis, manusia paling baik selalu memberiku ikan pindang ketika aku lapar. Ingin aku perkenalkan padamu Whitney jika kelak aku pulang, Icha. Ia kucing betina yang cantik, dan anggun, bulunya lebih halus dari punyaku, ia sekarang sedang bunting, Icha. Barangkali kamu mau merawat anak kami kelak. Pasti hasil kawin kami mempunyai keturunan yang bagus, kamu pasti suka. Oh, iya Icha, kami berencana ingin berlibur ke pulau Aoshima, di Jepang, di sana banyak koloni kucing, kelak aku ingin mengajakmu, menikmati angin pantai yang berembus melewati kulit, serta ombak biru yang jarang kau temui di pantai di negaramu. Aku berjanji akan mengabarimu, jika sampai di pulau Aoshima, mungkin seminggu lagi. Salam hangat, si Bleki.”

Icha lantas menunjukkan surat itu padaku. Seolah cerita-cerita itu nyata. Saya mengiyakan saja. Justru dalam hati, saya sungguh harus mencari solusi supaya cerita-cerita buatanku tidak mengecewakan adik tersayang.

**

-

”Kamu ngapain, pagi-pagi begini sudah jalan kaki, mau ke mana?” Pak Ndut menyapaku.

”Saya ingin cari kucing, Pak. Sebulan ini kucing saya hilang. Si Icha menangis hampir setiap hari.”

”Kalau mau, Bapak ada kucing bunting. Sepertinya sudah akan melahirkan, saya repot kalau kucing itu melahirkan anaknya. Anak saya, Bella, sudah diterima kerja di luar kota. Di rumah tidak ada yang bisa merawat kucing.”

”Beneran, nih, Pak Ndut? Saya mau daripada saya harus cari kucing kampung di tempat sampah dan di pasar, sulit sekali.

”Bawa saja, silahkan. Justru saya berterima kasih jika ada yang mau merawatnya.”

Setelah itu, saya dengan penuh kegembiraan membawa kucing bunting tersebut, berjalan agak terburu-buru, dan menaruhnya di kamar. Setidaknya menyembunyikannya dari Icha dan menyusun siasat menunggu beberapa hari lagi. Mencari saat yang tepat untuk mengarang surat dan mengaku bahwa kucing itu adalah si Whitney. Pasangan Si Bleki yang pulang. Tuhan saya sungguh berterima kasih. Kebetulan kucing pemberian Pak Ndut juga berambut putih, cocok dengan Si Whitney.

Saat Icha pulang, saya selalu menutup pintu kamar supaya ia tidak tahu keberadaan Whitney. Kucing aneh yang tidak mengeluarkan suara mengeong sama sekali. Sepertinya kucing ini mempunyai masalah di bagian tenggorokannya. Mungkin bawaan dari lahir.

”Kak, saya cium bau tahi kucing, Si Bleki di sini, ya?” Icha sudah mulai curiga menjelang besok surat Si Bleki datang.

”Tidak, perasaan kamu aja. Tidak. Aku tidak mencium bau apa pun. Kamu ya? Belum cebok?”

”Icha, ayo cepat, sini, Ibu tunggu kamu di depan TV, jangan sampai telat berangkat sekolah.” Ibu memanggilnya.

”Baik, Bu.”

Beruntung kecurigaan Icha berhenti sampai sana, hampir ia membuka pintu kamarku. Saya segera membuang tahi kucing, menggantinya dengan pasir yang baru. Saya menulis kembali, untuk terakhir kali sebagai si Bleki.

Icha, maafkan aku. Kucing yang paling kamu sayang Si Bleki. Perjalanan pulangku sangat sulit, ini sudah sampai batasku, kematianku sudah di depan mata. Ikan-ikan besar mengepungku bersama Whitney. Kami berlayar pulang, tetapi badai menghancurkan kami, Icha. Tolong, jaga Whitney dan anak-anakku, serta ucapan terimakasihku pada burung pipit.”

Lalu saya menaruh si Whitney itu di dalam besek yang dasarnya saya lapisi kain dan meletakkannya di dalam kamar Icha, sambil menunggu ia pulang.

*****