Kumpulan 14 Cerpen, September 2022

(1)

Main Tangan

Ia masih diam. Bahkan, bertambah diam. Bagaimana tidak, kini orang-orang, termasuk istrinya, seakan lupa dengan dia yang dulu. Ya, dulu. Dia adalah kiblat bagi mereka yang suka pujian.

Oleh: MURAM BATU, 29 September 2022

Sejak tangan kanannya tak lagi bergerak normal, dia sudah tidak lagi main tangan. Padahal sebelumnya, selain dikenal sebagai sosok yang ringan tangan, dia juga ditandai warga sebagai orang yang panjang tangan.

”Kerjalah, Bang,” kata sang istri.

”Sekali lagi kau cakap macam itu, kutangani kau!”

”Bisa?”

Ia diam. Ia tahu itu adalah hinaan dari sang istri. Ya, apa bisa dia menampar dengan tangan kiri? Tangan yang lemah, yang hanya bisa digunakan untuk cebok.

”Kalau tak kerja, sembuhlah. Capek aku cari uang. Capek aku menyulangi kau makan.”

Ia masih diam. Bahkan, bertambah diam. Bagaimana tidak, kini orang-orang, termasuk istrinya, seakan lupa dengan dia yang dulu. Ya, dulu. Dia adalah kiblat bagi mereka yang suka pujian. Tak usah dihitung, tapi pos ronda, parit, renovasi gedung pertemuan, pembangunan rumah ibadah, nasib anak tanpa bapak dan janda-janda tua, adalah bagian kecil dari pemberiannya. Pun, dia adalah panutan bagi mereka yang suka dengan milik orang lain. Tak perlu dihitung juga, tapi miskinnya imam masjid yang juga mantan kepala desa, raibnya dana pembangunan jalan, dan bolongnya kaleng uang warga adalah sedikit dari hasil kerjanya. Belum lagi ketika ada yang berulah, maka kepala orang yang pecah, badan yang berdarah, kaki atau tangan yang patah, tak lain adalah buah karyanya.

”Jangan lupa siapa aku….”

”Itu dulu, sekarang kau bisa mengingat saja!”

”Sekali lagi kau cakap macam itu, kutangani kau!”

”Pakai apa?”

Ia diam. Kali ini sang istri menyudahi kalimatnya dengan tawa. Bukan lagi hinaan, tapi sudah masuk ke pelecehan. Tapi dia bisa apa, ketergantungan pada tangan kanan telah membuatnya seperti lumpuh.

Kalau memang harus diceritakan kenapa tangan kanannya jadi begitu tak lain karena suatu pagi, ketika sinar matahari sedikit terhalang awan, saat dia bangun kesiangan, adalah awal. Kala itu, mendadak, ia tidak bisa berdiri seperti biasa. Badannya terasa berat dan tak bisa diperintah untuk bergerak. Sebelah kiri memang bisa, tapi sebelah kanan bak lumpuh. Dia bisa merasakan tangan dan kaki di bagian kanan, tapi ketika diperintahkan untuk bergerak, bagian itu acuh tak acuh. Sempat terpikirnya itu hanya sesaat, mungkin bagian tubuh itu sedang merajuk akibat kerja terlalu berat. Namun, setelah lima menit, dia sadar kalau ada yang gawat. Dengan susah payah dia gunakan tangan kiri untuk menopang tangan kanan yang layu. Pun kaki kanan, dia paksa untuk tegak sambil bersandar ke bibir tempat tidur. Bahkan, dia berusaha berdiri. Tapi apa lacur, usahanya malah membuat dia terjatuh. Terkapar. Terbaring di sisi tempat tidur.

”Bang!” teriak istrinya saat itu.

Dia hanya meringis. Sang istri panik dan langsung mengangkatnya lagi. Dia ditidurkan di kasur.

”Abang kenapa?”

”Gak kau lihat!”

”Iya, tapi kenapa?”

”Aku jatuh!”

”Iya, aku lihat, tapi kenapa?”

”Kaki dan tangan kananku gak bisa gerak!”

”Bang….”

”Kenapa!”

”Mukamu miring!”

Sejak itu kerjanya hanya berbaring, tidur lurus menatap langit-langit tanpa bisa miring. Badannya serta-merta menyusut seiring tak satu pun butir nasi yang masuk. Jangankan makanan, air putih pun tak bisa melewati kerongkongan.

Kabar langsung merebak, dia yang ringan tangan itu didera stroke. Warta menyebar, dia yang panjang tangan itu kena guna-guna. Sejurus dengan itu, orang-orang datang melihat. Menjenguk. Ada yang membawa buah. Ada yang membawa roti kaleng. Ada yang membawa susu dan gula. Ada yang bawa cerita tentang pengobatan alternatif yahud. Ada yang bawa kisah penanganan tepat ala rumah sakit. Ada pula yang bawa mantra. Dan, ada yang sekadar bawa doa. Wajahnya yang miring pun menunjukkan senyum. Dia merasa banyak yang peduli. Apalagi ketika dia mulai bisa duduk di kursi roda, satu dua butir nasi pun mulai bisa masuk ke perut, orang-orang yang mengunjunginya terlihat bahagia.

Kalau memang harus diceritakan kenapa tangan kanannya jadi begitu tak lain karena suatu pagi, ketika sinar matahari sedikit terhalang awan, saat dia bangun kesiangan, adalah awal. Kala itu, mendadak, ia tidak bisa berdiri seperti biasa. Badannya terasa berat dan tak bisa diperintah untuk bergerak. Sebelah kiri memang bisa, tapi sebelah kanan bak lumpuh. Dia bisa merasakan tangan dan kaki di bagian kanan, tapi ketika diperintahkan untuk bergerak bagian itu acuh tak acuh.

Namun, rasa bahagia itu hanya bertahan setahun. Orang-orang bosan, dia tidak sembuh-sembuh. Beberapa orang malah sudah tidak melewati rumahnya lagi, malas bertemu dengan dia yang setiap pagi berjemur di atas kursi roda di halaman rumah yang berumput lebat.

”Kalau aku mati, pasti lain cerita….”

”Iya, Bang, harusnya mati, biar gak susahi orang.”

”Sekali lagi kau cakap macam itu, kutangani kau!”

”Yakin?”

Ia diam dan menyibukkan diri dengan televisi. Si istri malah pergi ke rumah orangtuanya yang hanya berjarak satu belokan. Di sana si istri bercerita tentang suaminya yang sudah mulai bicara tentang kematian. Ibu si istri malah tertawa. ”Baguslah,” katanya.

Bapak si istri tidak tertawa. Matanya malah mengawang. Pikirannya lari ke tahun 1980-an, tepatnya sekira akhir 1984, jelang pergantian tahun. Saat itu, ketika azan Subuh baru saja usai, pintu rumahnya digedor orang. Dua lelaki di depan rumahnya tampak panik; satu berusia 30-an tahun dan satunya lagi anak lelaki yang berusia enam tahun. Sosok yang tak asing bagi bapak si istri: sahabat yang sudah seperti saudara.

”Aku lari malam, istriku mati!” kata lelaki berusia 30-an tahun begitu duduk di teras.

Bapak si istri yang saat itu juga berusia sama mengangguk. ”Langung dari Medan?”

”Di Siantar sehari dan Tarutung dua hari.”

”Sudah sangat gawatkah?”

Jelas itu pertanyaan basa-basi, bapak si istri paham betul keadaan terkini. Bukan rahasia lagi, penembakan dan penculikan bagi para preman sudah masuk dalam cerita di warung kopi di kotanya. Lalu, istri si lelaki 30-an tahun itu memiliki tato. Kabar merebak, mereka yang merajah tubuh adalah pihak yang memang diincar para penembak misterius.

”Kurasa kami pindah ke sini saja, Sibolga.”

”Tak ada masalah, aku siap bantu, kau kan pernah bantu aku saat di Medan tempo hari. Tapi, tatomu?”

Lelaki 30-an tahun menarik celana panjangnya dan membiarkan betis tanpa bulu berhias tato burung elang besar terlihat. Gambar yang biasa saja karena tidak penuh warna, malah terkesan kusam. Elang itu membuka mulut dan menunjukkan lidahnya yang berwarna gelap. ”Istriku punya juga, di betis kiri dan lidahnya lebih polos. Kami sama-sama buat ini ketika menikah, biar kompak, biar tampak gagah seperti elang. Ah, aku begitu suka dengan betis kiri istriku, sampai-sampai kularang dia memakai celana panjang. Ai, ternyata itu yang jadi masalah…,” ujarnya.

”Kau pun jangan sekali-kali pakai celana pendek di sini.”

Lelaki 30-an tahun mengangguk dan menurunkan celana panjangnya.

Dan, lelaki 30-an tahun serta anaknya yang berusia enam tahun itu pun resmi menjadi warga Sibolga. Hari-hari mereka jalani tanpa masalah. Lelaki itu terus memakai celana panjang, baik saat ke laut atau ketika membersihkan halaman rumah. Sang anak pun tumbuh dewasa. Lelaki itu kemudian mati akibat kecelakaan setelah tiga tahun Soeharto turun dari singgasana. Saat dimandikan itulah baru ketahuan kalau dia punya tato elang jantan. Tak pelak, dia pun dimakamkan sebagai mantan preman yang selamat dari penembakan. Dan, sang anak yang ketika bapaknya meninggal berusia 23 tahun adalah yang sekarang sedang dihajar stroke, usianya kini 44 tahun.

”Dia tak akan mati, setidaknya tidak dalam waktu dekat,” kata bapak si istri kemudian.

Sang bapak memang berharap demikian mengingat telah dia paksa anaknya untuk menikah dengan anak sahabatnya itu. Telah banyak utang budi, tidak hanya saat di Medan, di Sibolga pun demikian. Sahabatnya itu telah menjaganya dari gangguan pihak yang tak benar, yang suka-suka, dan yang mau enaknya saja. Dia selalu berharap kalau anak sahabatnya itu bisa menjaga anaknya di kemudian hari.

”Ya, paling enggak tiga tahun lagi, sama usia dengan bapaknya,” balas ibu si istri.

Dan, dia masih di depan televisi saat sang istri tiba di rumah. Tangan istrinya penuh, kiri memegang sepapan telur dan kanan menenteng sekarung beras ukuran lima kilogram. Dia diam saja melihat itu. Sudah biasa. Setidaknya, setelah setahun tumbang, dia sudah tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebelumnya dia memang tidak kaya, tapi ada: kadang-kadang banyak uang, kadang-kadang sama sekali tak menghasilkan.

Pekerjaannya tidak tetap, tergantung proyek yang diberikan orang. Tapi, itu cukup bagi dia dan keluarga kecilnya. Bahkan, kalau dihitung-hitung, pendapatannya malah berlebih. Itulah sebab dia jadi ringan tangan. Masalahnya rezekinya itu tidak rutin, tidak hadir pada kalender yang pas, pun tidak bisa diprediksi. Maklumlah preman, itulah sebab dia jadi panjang tangan.

Ya, sejak bapaknya dimakamkan sebagai mantan preman yang selamat dari penembakan, dia juga jadi preman. Apalagi di kemudian hari, khalayak tahu kalau ibunya tewas di tangan penembak misterius, kepremanannya semakin menjadi. Dia pun merajah diri dengan gambar yang banyak, tidak di betis seperti orangtuanya, tato itu malah membanjir di dada, tangan, dan punggungnya. Gambarnya pun beraneka, dari pistol, tengkorak, kepala harimau, hingga bunga ros.

”Kalau tidak ikuti cakap bapakku, tak kawin aku sama kau, Bang. Entah utang apa bapakku dengan bapak kau!”

Dia tak menyahut. Matanya tetap memandang televisi, dia biarkan saja istrinya berteriak dari dapur.

”Sekarang lihat, pas dua anak kita sedang senang-senangnya sekolah, kau malah stroke! Kek mana masa depan kita, Bang!”

”Masih bisa aku cari uang!” balasnya sambil terus melihat televisi.

Si istri hanya tertawa. Tak lama kemudian dia sudah di depan televisi. ”Bagaimana caranya?”

”Aku masih punya tangan kiri!”

”Bisa jalan? Muka tidak miring?”

”Sekali lagi kau cakap macam itu, kutangani kau!”

Setelah itu apa? Apakah dia akan main tangan? Tidak ada. Dia tetap di kursi roda menonton televisi. Istri banting tulang, dia berpangku tangan.

Begitulah, sejak tangan kanannya tak lagi bergerak normal, dia memang sudah tidak lagi main tangan. Padahal sebelumnya, selain dikenal sebagai sosok yang ringan tangan, dia juga ditandai sebagai orang yang panjang tangan.

Lau Mulgap, Juli 2022

***

Muram Batu lahir di Limapuluh, Sumatera Utara, pengarang kumpulan cerpen Hujan Kota Arang (Basabasi, 2018), novela Tepi Toba (Basabasi, 2019), dan kumpulan cerpen Kartini Boru Regar, Tahi Kecoa, danWalikota (Gading, 2020). Sejak balita tinggal di Langsa, Aceh, begitu tamat SMA merantau ke Yogyakarta. Dan, kini menetap di Sumatera Utara.

 

(2)

Bayi dalam Kaca

Perempuan paruh baya itu menonton, namun tatapannya seperti kosong. Di hadapannya terjabar sebuah kejaiban berupa bayi mungil yang tengkurap tenang di dasar akuarium, dilewati gerombolan ikan diskus dan ikan tetra.

Oleh: MASHDAR ZAINAL, 25 September 2022

Mirella mungkin tak memiliki ibu, sebab ia muncul dari batu karang berebentuk tanduk rusa dalam sebuah akuarium raksasa di rumah Tuan Holder. Mirella menyembul begitu saja dari sela-sela batu karang, mirip anak ikan yang baru saja menetas, berenang terpatah-patah. Sepasang kakinya yang mungil menendang-nendang air, tangannya mengipas-ngipas bagai sepasang sirip. Dan dari mulutnya, gelembung-gelembung kecil melayang naik, menimbulkan suara ‘blup’ yang terdengar lemah di permukaan air.

Orang pertama yang melihat Mirella kecil dalam akuarium adalah Bibi Blonas, salah satu pembantu Tuan Holder, yang mendapat tugas khusus: membersihkan segala perkakas dan perabot yang terbuat dari kaca—perabotan dari kayu atau porselen atau gerabah atau batu, dan lain-lain, sudah ada yang mengurusnya sendiri. Bibi Blonas tidak akan menyentuh perkakas atau perabot yang bukan jatah tugasnya. Tuan Holder punya tujuh orang pembantu, dan setiap pembantu punya tugasnya masing-masing. Dan Bibi Blonas yang paling istimewa, begitulah setidaknya ia merasa, bahwa dirinya sangat beruntung mendapat tugas itu: mengurus perkakas kaca, lebih-lebih setelah ia menemukan Mirella.

Hari itu adalah hari kesembilan dari bulan kesepuluh. Dua hari setelah milad istri Tuan Holder. Bibi Blonas sedang membersihkan kaca akuarium dengan kanebo basah berwarna merah muda. Tuan Holder dan istrinya baru saja mentas berenang dari akuarium raksasa itu, mengenakan handuk, dan menghilang dalam ruangan pribadinya. Usai berenang mereka lanjut bercinta. Tuan Holder dan istrinya sering sekali bercinta, kapan saja, dan mereka melakukan itu bukan semata urusan birahi. Sudah lama sekali mereka menginginkan anak, dan sesering apapun mereka bercinta, rahim istri Tuan Holder tak juga disinggahi bakal janin. Untungnya mereka bukan orang yang mudah menyerah.

“Semakin sering kita bercocok tanam, semakin banyak pula kesempatan kita panen,” ucap Tuan Holder pada istrinya, penuh penghiburan.

Mereka sudah pergi ke beberapa dokter, dan beberapa dokter menyatakan tidak ada masalah dengan sistem reproduksi mereka. Mereka hanya belum dikasih anak. Itu saja. Maka, ketika Bibi Blonas menemukan bayi perempuan sedang berenang dalam akuarium raksasa, Tuan Holder dan istrinya amat girang. Mereka berdua yakin bayi itu adalah milik mereka.

Barangkali, saat rumah sedang kosong (atau sengaja dikosongkan), Tuan Holder dan istrinya bercinta dalam akuarium raksasa itu. Mungkin saja Mirella ada sebab itu. Bisa saja, usai bercinta, benih Tuan Holder tercecer dan mengendap di dasar akuarium, dan jadilah Mirella. Ilmu pengetahuan mengatakan benih lelaki hanya akan tumbuh kalau ia bertemu sel telur yang tersembunyi di tempat hangat dalam tubuh perempuan. Tapi kata keajaiban bisa lain. Keajaiban seringkali berjalan menyeberang pagar ilmu pengetahuan. Dan di luar pagar itulah Mirella muncul.

“Tuaaan! Ada bayi dalam akuarium…” Pekik Bibi Blonas ketika itu, pekikan yang terdengar datar.

Perempuan paruh baya itu menonton, namun tatapannya seperti kosong. Di hadapannya terjabar sebuah kejaiban berupa bayi mungil yang tengkurap tenang di dasar akuarium, dilewati gerombolan ikan diskus dan ikan tetra yang tak bisa diam. Bibi Blonas sempat cemas kalau bayi itu lapar dan memakan ikan-ikan lain. Tapi itu tak pernah terjadi.

Beberapa saat kemudian, dalam keadaan terengah-engah, Tuan Holder muncul dari balik pintu kamar dan berseru, “Ha? Apa kau tadi bilang ada bayi dalam akuarium?”

Bibi Blonas tidak menjawab, sebab Tuan Holder sudah menyaksikan sendiri bayi lucu itu tersenyum mengedarkan pandangan di dasar akuarium raksasa miliknya.

“Lilhatlah, itu pasti bayimu. Itu bayi kita,” seru Tuan Holder pada istrinya.

Istri Tuan Holder muncul menyusul, perempuan itu tercekat dalam buntalan handuk tebal yang dikenakannya. “Apakah kalian tadi bilang soal bayi…” ia bertanya ragu-ragu. Memandangi seisi akuarium dengan matanya yang cekung, dengan tatapan bingung. Perempuan itu memang tak memiliki tatapan jenis lain, selain tatapan bingung. Selalu bingung.

Tuan Holder berlari menaiki tangga dan terjun ke dalam akuarium raksasa, dan dalam sekejap ia telah berenang mendekati bayi itu, gerombolan ikan diskus dan ikan tetra membuyarkan diri sebab kaget.

Seekor udang raksasa berwarna biru tua melongokkan kepalanya dari balik batu di dasar akuarium. Dan dua ekor kura-kura berenang di sudut jauh tanpa memedulikan yang lain. Bibi Blonas dan istri Tuan Holder melihat Tuan Holder berenang dengan semangat di sekitar si bayi yang masih dalam keadaan tengkurap, Bayi yang sangat mungil. Bayi itu bergerak ringan, menjauhi Tuan Holder sambil tertawa. Tuan Holder memburu bayi itu dan tampak berusaha untuk tidak membuatnya takut. Tuan Holder mengajak bayi itu berbincang seolah tengah membuat kesepakatan. Setelah berenang dalam beberapa gerakan cepat, menguntit si bayi, Tuan Holder mencengkeram tubuh kelewat mungil itu dengan susah payah dan membawanya ke permukaan air. Air mengalir turun dari ujung kepala Tuan Holder dan tubuh si bayi.

Bibi Blonas dan istri Tuan Holder berlari menaiki tangga. Di atas akuarium raksasa itu, Tuan Holder menggendong tubuh si bayi. Si bayi memberontak tak mau digendong. Istri Tuan Holder menyeru Bibi Blonas supaya mengambil handuk untuk membedong tubuh si bayi.

“Apakah ia seorang bayi perempuan?” tanya istri Tuan Holder serupa desahan.

“Ya, dan kunamakan dia Mirella,” sahut Tuan Holder cepat-cepat, “bagaimana menurut kalian?” tanya Tuan Holder balik.

“Nama yang bagus, Tuan,” balas Bibi Blonas.

“Mirella?” istri Tuan Holder menimbang-nimbang. Bingung.

“Ya, Mirella. Tidak ada alasan mengapa Mirella. Nama itu muncul begitu saja di kepalaku saat aku memikirkan soal nama. Dan kukira itu cocok. Ada yang keberatan?”

“Mirella,” ulang istri Tuan Holder dengan nada datar.

Istri Tuan Holder memohon diri untuk menggendong bayi itu, “Mungkin dia butuh susu,” ujar istri Tuan Holder. Ia tidak tahu apakah payudaranya bisa mengeluarkan susu, tapi ia membuka satu payudaranya dan menyodorkannya pada si bayi. Jelas sekali, bayi itu tidak tertarik. Alih-alih, bayi itu meronta-ronta, dan mulutnya megap-megap seolah kehabisan udara. Istri Tuan holder membungkus kembali payudara tertolak itu.

“Ada apa dengan bayinya?” seru istri Tuan Holder panik.

Bayi itu terus saja meronta dan megap-megap, kaki mungilnya menendang-nendang lengan istri Tuan Holder dan jari-jari tipisnya meremat-meremat udara, dari mulutnya mucul decitan-decitan kecil. Serta merta Bibi Blonas teringat ikan-ikan yang terdampar ke daratan sebab pemancing, jala, dan lain hal. “Mungkin Anda harus mengembalikan bayi itu ke dalam air,” saran Bibi Blonas.

Tuan Holder merebut bayi itu dari dekapan istrinya dan menceburkannya ke dalam air. Dalam hitungan detik bayi itu meluncur gembira, persis seekor ikan yang selamat dari tangan pemburu. Kesan sedih dan bingung terjabar di wajah istri Tuan Holder.

“Mirella lahir di dalam air dan dia akan hidup di dalam air. Mirella tidak sama dengan bayi-bayi lainnya, dia sedikit istimewa,” tutur Tuan Holder pada istrinya.

Istri Tuan holder menjawab dengan gumaman-gumaman yang tak bisa didengar siapapun. Namun Tuan Holder selalu paham. Tuan Holder sudah menyiapkan jawaban.

“Aku akan menyiapkan keranjang bayi di kamar kita, dan kita bisa berangkat tidur sambil mengawasinya. Bukankah itu bagus, Bibi Blonas?” Tuan Holder bepaling ke Bibi Blonas.

“Tentu. Dan aku akan membersihkan keranjang bayi itu setiap hari agar tetap kinclong, sehingga pantauan Tuan dan Nyonya tidak akan terganggu,” Bibi Blonas mencetuskan dukungan dengan datar.

“Keranjang bayi itu akan datang, setidaknya satu jam dari sekarang,” tukas Tuan Holder, seolah sudah menyiapkan itu jauh-jauh hari.

Beberapa meter, di hadapan akuarium raksasa itu, berjajar tiga sofa empuk berwana emas, menghadap tepat ke akuarium. Perabot itu sudah lama ada di sana. Sebelum Mirella hadir, Tuan Holder dan istrinya senang sekali bersantai di sofa itu, memandangi dunia bawah air sambil menikmati teh hangat dan kue kering bertabur keju. Setelah Mirella hadir, tempat itu akan semakin sering dikunjungi. Itu pasti.

“Aku akan melihat anak kita bermain,” tutur istri Tuan Holder. Sedikit ragu.

Dalam akuarium itu, Mirella berenang, bersembunyi, meniup pasir di dasar air, mengejar-ngejar ikan kecil, dan sesekali berenang ke permukaan untuk menghirup oksigen. Untuk menjauhkan bayi itu dari lapar, Tuan Holder dan istrinya telah menyiapkan berdus-dus kue kering yang tersimpan di lemari, bersisian dengan media tanam, cairan pembasmi alga, stok batu-batu hias, serta makanan kucing. Dua atau tiga kali sehari, mereka akan menaburkan kue-kue kering itu di akurium, namun justru ikan-ikan lain yang berkerumun dan ikut menikmati jatah makan Mirella. Bayi itu asyik berendam di dasar akuarium. Sesekali kalau kue-kue kering itu jatuh ke dasar akuarium, bayi itu baru menyambarnya.

“Kalian harus berterima kasih pada Mirella,” tukas istri Tuan Holder pada ikan-ikan. Blup. Blup. Blup.

Menjelang malam, istri Tuan Holder akan berbisik dari balik kaca akuarium raksasa, “Waktumu bermain sudah habis, Mirella. Saatnya tidur.” Dan Tuan Holder akan terjun ke dalam akuarium untuk mengambil Mirella dan membawanya ke keranjang bayi di kamarnya: sebuah akuarium lain, berukuran lebih kecil, dengan meja penyangga berkaki empat genap dengan roda.

Sebelum berangkat tidur, istri Tuan Holder selalu menyeret keranjang bayi itu mendekat ke sisinya. Lalu memandanginya sampai terpejam. Begitu istrinya terpejam, tuan Holder akan mencium kening istrinya, dan mengucapkan maaf dengan mata yang sangat muram. Tuan Holder mendorong keranjang bayi itu menjauh dan menyelimuti tubuh istrinya.

***

Tidak mudah menjadi Tuan Holder, tidak mudah menjadi istri Tuan Holder, tidak mudah menjadi Bibi Blonas si pembersih kaca, dan tidak mudah pula bagi kami semua, para pembantu Tuan Holder yang setia. Kami, seisi penghuni rumah ini telah bersepakat dengan itu semua: sebuah skenario, indah dan terperinci. Bahwa Mirella adalah bayi ajaib di rumah ini, dan satu-satunya, dan bahwa istri Tuan Holder harus tetap terjaga dan berbahagia.

Namun dalam kehidupan siapapun, kadang kekacauan datang tanpa memberi kabar. Suatu pagi, ibu mertua Tuan Holder muncul tiba-tiba di teras rumah.

“Aku sedang ada urusan di kota ini, jadi kusempatkan mampir sebentar, baragkali aku dapat kejutan,” ucapnya seluwes pembawa acara tebar gosip. Ada nuansa ketus di sana.

Perempuan itu sudah lama sekali tidak muncul. Dan kemunculannya seringkali membawa petaka. Terakhir muncul sekitar setahun lalu, ia memeriksa seluruh pekerjaan para pembantu di rumah ini dan menistakan segala bentuk ketidaksempurnaan. Ia memperotes tisu toilet yang lusuh, kaki meja yang berdebu, pot kaktus yang retak, permukaan kompor yang licin, serta seekor semut yang mengendap-endap di sudut meja makan. Ia melaporkan itu semua ke menantuanya, dan menyarankan diklat tambahan untuk kami semua. Tuan Holder mengiyakan, namun setelah nenek sihir itu pergi, Tuan Holder melupakan semuanya. Tuan Holder selalu berada di pihak kami.

“Saat kau beranjak tua, kau akan mengerti bagaimana rasanya menjadi nenek-nenek, itu tidak mudah. Jadi dengarkan saja saat ia bicara, dan lupakan kalau itu perlu dilupakan,” kata Tuan Holder pada kami semua, memohon pengertian atas tabiat ibu mertuannya.

Dan pagi itu, Tuan Holder tercekat lama, sebab tak kuasa mencegah ibu mertuanya menjelajah seisi rumah dengan sepasang kakinya yang angkuh dan tak pernah mau mengerti. Tuan Holder sudah tahu apa yang bakal terjadi. Skenario itu bakal hancur. Tuan Holder terus membuntuti perempuan itu, persis seekor anjing yang mengejar seekor domba nakal yang lepas. Begitu sampai di kamar utama, perempuan hampir tua itu menarik selimut hangat yang masih membaluri tubuh anaknya, istri Tuan Holder, dan memekik dengan lantang, “Apa yang membuatmu masih tertidur pukul tujuh pagi? Bangun, ibumu datang!”

Istri Tuan Holder menggeliat.

“Lihatlah! Mengapa anakku jadi sangat kurus dan kelihatan tua. Apa dia tidak bahagia?”

“Dia sedang kurang enak badan, Mom,” seru Tuan Holder sarat kehati-hatian.

“Dan untuk apa kalian memelihara ikan gabus berkaki di dalam kamar?”

“Itu jenis axolotl, Mom,” Tuan Holder mengoreksi. Rautnya mulai pasi.

“Aku tak peduli apa namanya, tapi jelas, makluk itu sangat menjijikkan. Kusarankan kalian segera membuangnya.”

Wajah Tuan Hoder mulai memucat. Sementara istrinya masih menguap di bibir ranjang, kesadarannya belum utuh.

“Mengapa berisik sekali,” ucap istri Tuan Holder dengan suara mengantuk, dan bingung, “Sudah waktunya Mirella bermain dengan teman-temannya.”

Perempuan hampir tua itu memaku, menatap putrinya dan menantunya bergantian, “Mirella? Siapa Mirella?”***

Malang, 2022

***

Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, penyuka puisi dan prosa. Buku terbarunya akan segera rilis tahun ini. Kini bermukim di Malang.

 

(3)

Obrolan Para Baboe

Setiap pagi, aku seperti baboe, harus membersihkan bagian depan rumah. Urusan dalam rumah jangan ditanya, semua aku kerjakan sendiri.

Oleh: LIA LAELI MUNIROH, 24 September 2022

Aku masih menyodokkan sapu ijuk ke bawah jemuran. Gagang sapu berwarna biru tua itu terus saja berulang kali mengambil daun-daun pohon randu yang jatuh beterbangan. Bukan dari pohon di halaman rumahku, melainkan dari kebun belakang tempatku tinggal, entah milik siapa.

Aku sendiri tinggal di daerah ini baru lima tahun. Sebelumnya telah mengontrak berkali-kali pindah rumah. Di deretan perumahan ini aku tinggal dengan tetangga-tetangga yang kebanyakan pendatang. Rumah dengan ukuran tidak lebih dari sebelas kali tujuh meter. Saat transaksi, katanya rumah tipe 36. Tidak terlalu besar. Tapi, tidak juga terlalu kecil untuk ukuran aku yang memiliki satu anak.

Setiap pagi, aku seperti baboe, harus membersihkan bagian depan rumah. Urusan dalam rumah jangan ditanya, semua aku kerjakan sendiri. Bukan karena berat hati melakukan semua itu. Alasannya, bagian depan rumah sering sekali kotor. Apalagi memasuki musim kemarau debu-debu lebih banyak dan daun-daun yang mengering ikut terbang. Hingga mengendapkan dedaunan di teras rumahku.

Memang bukan hanya rumahku yang terkena imbasnya, semua rumah juga sama, penuh dengan daun-daun randu. Jika tidak dibersihkan, tentu aku malu dengan tetangga. Memangnya penghuni rumah tidak ada kerjaan? Serba salah ya jadi perempuan. Apalagi bekerja di rumah via online yang tidak terlihat berseragam dan biasa pergi berdinas. Berangkat pagi pulang sore. Alhasil, diam di rumah dengan seabreg pekerjaan pun tanpa ada harganya. Jika rumah tidak rapi. Sudah dipastikan aku jadi kambing hitam.

Rumahku, urutan ke-tujuh dari dua belas rumah yang saling berdempetan. Antara satu rumah dengan yang lainnya hanya dibatasi dengan dinding tembok. Aku bersebelahan dengan rumah pasangan dosen di sebelah kiri. Belakangan dia hanya mengajar via online, Zoom meeting, katanya. Sementara sebelah kananku, dia bekerja sebagai sekuriti sebuah bank pemerintah dan istrinya di perpustakaan daerah.

Aku sendiri seorang pekerja freelance yang semua waktuku kuatur sendiri. Lebih tepatnya jualan online. Sementara, suamiku bekerja di maskapai penerbangan milik mantan menteri kelautan. Siapa lagi jika bukan menteri yang terkenal dengan slogan “Tenggelamkan.”

Daun-daun itu bukannya selesai aku bersihkan. Malah datang lagi yang baru. Angin memang tidak bersahabat padaku pagi ini. Sudah aku bangun kesiangan karena banyak dikejar deadline pengiriman barang. Suamiku belum pulang sudah sebulan. Lengkap sudah sialku pagi ini. Siapa sih sebenarnya yang telah menanam pohon randu itu. Aku mengomel sendirian.

Di rumah sebelah yang mengerjakan semua pekerjaan rumah ada pekerja rumah tangga (PRT). Bahasa kasarnya baboe. Hampir semua di tempatku tinggal memakai jasa baboe. Meskipun sebenarnya mereka berasal dari tetangga luar perumahan. Mereka sengaja mengadu nasib menjadi pekerja rumah tangga di komplek yang aku tempati. Sesekali aku juga sering bertegur sapa dengan mereka. Mereka datang di pagi hari saat majikan mereka berangkat bekerja dan pulang di sore hari saat majikan tiba di rumah.

Bibirku tak berhenti mengomel, mengutuk daun-daun yang beterbangan tiada henti. Daun-daun itu seakan menguji kesabaranku. Dari depan rumahku terdengar seorang baboe yang berbicara dengan keras.

“Kenapa kamu diam di depan selokan?”

“Nunggu si Juna lagi beol.”

Juna, nama lengkapnya Arjuna. Anak usia dua tahun yang lagi aktif-aktifnya. Kadang dia menangis dan marah-marah seharian. Kadang aku juga kesal karena tangisannya tak habis-habis. Anakku jadi terganggu tidur siang gara-gara tangisan si Juna. Si Juna sering menyuruh pengasuhnya agar pulang sambil bentak-bentak tak keruan. Mungkin itu efek diasuh oleh orang lain. Tentu saja dengan perkataannya yang masih cadel, ibunya mengajar di sebuah sekolah menengah atas. Sedangkan ayahnya anggota TNI yang jarang pulang. Dia biasa ditinggalkan dan diasuh oleh Bi Mun.

“Si Junanya mana?”

“Lagi sembunyi di bawah meja makan. Katanya aku jangan masuk rumah.”

Bi Mun, wanita yang kira-kira berusia empat puluh tahun. Suaranya selalu keras. Padahal orangnya baik. Dia pernah menawarkan tahu mentah kepadaku. Katanya tahu buatan suaminya tidak tahan lama. Tandanya tidak memakai pengawet apa pun. Aku pun sempat membelinya. Si Juna terdengar memanggil-manggil Bi Mun.

“Bi … pulang sana.”

“Gimana mau pulang, ntar beol-nya mengering. Siapa yang akan cebokin kamu, Arjuna?

“Bibi pulang …. “Aneh-aneh memang tingkah anak-anak jaman sekarang. Si Juna terlihat mengintip dari balik kaca rumahnya, sementara Bi Mun menunggu di luar carport dekat selokan. Aku menggeleng-gelengkan kepala sendirian. Aku kembali pada pekerjaanku. Tapi, aku teringat dengan cucian yang belum aku putar dalam mesin cuci. Aku gegas ke dalam rumah. Mataku sejenak melihat ke kamar anakku. Dia masih tengkurap tidur dengan pulas. Aku lanjutkan ke arah dapur. Tanganku memutar tombol pada mesin cuci, langsung terdengar gerakan dan bunyi mesin. Belum sempat berbalik aku lihat segunung piring kotor. Belum aku sentuh sejak kemarin sore. Aku kerjakan sejenak, lantas kembali ke teras mengambil gagang sapu. Dari bawah jemuran tampaknya sudah bersih tidak ada lagi daun-daun. Tinggal kuseret daun yang terkumpul di bawah sepeda anakku.

“Woi … ada cengek?(1)”

“Ada …. “

“Minta satu aja.”

“Buat apa?”

“Mau makan. Tapi aku gak bisa makan tanpa cengek.”

“Ada satu mah. Tapi kering.”

“Bisa digigit, gak?”

“Ya … kuatinlah gigimu.”

Aku mengangkat jidat. Suara siapa lagi itu dengan lantang. Aku mulai hapal. Pasti suara Bi Roh dari rumah ke-lima meminta cengek kepada Bi Mun. Begitukah mereka saling berbahasa. Aku terus saja mengorek-ngorek daun-daun yang terselip. Kali ini di bawah jajaran sandal-sandal dan sepatu anakku. Memang daun-daun itu menyusahkanku.

Dua baboe lain sedang jalan-jalan menikmati hangatnya mentari pagi. Seorang baboe mendorong stoller dengan anak bayi usia enam bulanan. Seorang lagi mendorong sepeda mini dengan seorang anak di atasnya usia setahun. Aku tahu mereka dari blok lain di komplek ini. Mereka berjalan sangat pelan. Mereka berhenti tepat di depan rumahku. Mereka tengah memegang makanan yang sesekali disuapi kepada anak asuhnya. Mereka tidak menyadari keberadaanku yang terhalang sepeda kumbang.

“Aku kemarin dapat uang dari saku majikan laki-laki.”

“Berapa?”

“Dua lembar warna merah.”

“Kau mengambilnya?”

“Sssttt … “

Baboe yang dikucir rambutnya melihat ke arahku. Dia berbalik badan, dia pura-pura menyuapi anak asuhnya. Padahal aku tahu pembicaraan tadi. Aku terus saja mendorong daun-daun itu dengan sapu ijuk.

“Aku malas makan … hari ini hanya disiapin tempe goreng dengan tumis kangkung. Kayak makanan kampung. Meski kita pekerja, mau donk kali-kali kita disiapin rendang atau apalah yang aneh. Mentang-mentang kita hanya pekerja rumah. Bosen dikasih tempe goreng terus.”

“Coba kalau dapat majikan kayak si Yuli. Beruntung dia. Majikannya dokter. Kalau majikannya pulang telat dia dikasih uang lembur. Lumayan ‘kan sejam dikasih dua puluh rebu, cukup buat telor setengah kilo.”

“Ya … majikan kita kurang peka. Padahal anak-anak mereka kita yang urus. Kita yang cebokin.”

“Mending kamu cuma cebokin anaknya. Aku ada tambahan lagi. Mesti nyebokin jompo juga?”

“Maksudmu?”

“Lah itu mertuanya udah seminggu ikut juga. Dia udah jompo. Pagi-pagi aku suapin baru diam. Kalo gak buru-buru disuapi makan gedor-gedor pintu kamar dia. Ntar siang pas beol, aku juga yang cebokin. Wong anaknya pulang sore.”

Aku menarik napas satu-satu. Aku pun enggan berbasa basi dengan mereka. Aku fokus pada daun-daun yang sudah berupa gundukan. Aku raih pengki yang bersandar di tempat sepatu.

“Kamu itu enak sebenarnya. Ngurusin anaknya cuma satu. Kedua majikanmu bekerja. Ngurus anak tinggal semaumu.”

“Kemarin majikan perempuanku tidak masuk kerja.”

“Kenapa?”

“Katanya suaminya ketahuan selingkuh.”

“Pak Sasa? Dia ganteng, ya?”

“Huss …. “

“Memang iya. Makanya si ibu jadi makan hati. Kurus gak pernah gemuk.”

“Itu bawaan.”

“Bukan dehh!”

“Lalu?”

“Si Pak Sasanya genit.”

“Ihh … amit-amit.”

Sedalam itu ternyata para baboe ikut mendengarkan dan mengikuti kisah para majikannya. Aku khawatir jika memiliki asisten rumah ketahuan semua rahasiaku. Aku memasukkan semua daun-daun randu ke dalam pengki. Belum semuanya masuk. Aku tinggalkan sebentar. Aku ingat belum menyapu dari dalam rumah biar sekalian bersih. Suara mesin cuci masih terdengar. Tak terasa keringat mulai membintik di wajahku. Aku usap pelan dengan punggung tanganku. Sudah kusapu debu-debu dari dalam rumah. Kusatukan dengan setumpuk daun-daun randu di pengki yang menggunung.

“Juna … jangan kabur. Kamu belum cebok.”

Bi Mun terlihat membawa sapu lidi. Dia mengejar si Juna yang berlari hanya mengenakan pokok. Anak itu tanpa memakai sehelai pun baju yang menempel di tubuhnya. Suara Bi Mun nyaring memanggil-manggil anak itu.

“Jangan kabur anak nakal.”

Dua baboe yang tadi ikut mendengus.

“Dasar si Juna Anak nakal susah bener diatur, bikin capek aja.”

Aku menggelengkan kepala berulang kali tanpa sepatah kata pun. Kadang aku tidak mengerti. Apakah orang tua si Arjuna tahu, anaknya sering dimarahi pengasuhnya. Apa tidak menyadari si Juna sering marah-marah mencontoh perilaku pengasuhnya. Padahal, orang tua si Juna sarjana. Mereka pasti tahu, anak usia gorden age, saatnya menjadi peniru ulang, sayangnya orangtua mereka mendahulukan karier.

Tanganku mengambil kresek yang biasa aku selipkan di antara pengait jemuran. Dari rumah sebelah terdengar si Wiwin tengah menyapu halaman juga. Tampaknya dia sedang kesal. Terdengar sapu lidi dia gerakkan dengan keras hingga terdengar bunyinya. Kosrak, kosrak. Dia baboe yang baru tiga bulan bekerja. Masih muda, umurnya sekitar dua puluh tiga tahun. Rumahnya di belakang perumahan yang kami tempati. Sesekali dia membawa anaknya yang baru TK untuk ikut. Katanya di rumah tidak ada siapa pun. Suaminya bekerja serabutan.

“Lah … kerja kok malah marah-marah, Win?” tanya seorang baboe yang sedang menyuapi makan. Pasti dia mengenal Wiwin.

Wiwin terus menggerutu seperti yang aku lakukan tadi.

“Daun-daun randunya banyak sekali. Aku jadi kesal.”

“Jangan salahkan daun randu. Suruh aja pohonnya ditebang sama lakimu. Pohon randu udah tua masih dibiarkan. Kamu ‘kan yang punya pohon randunya?”

“Angin yang bawa terbang ke sini daun-daunnya.”

“Jangan salahkan angin, Win. Rumah majikanku juga sama, dipenuhi daun Randu. Suruh suamimu yang tanggung jawab. Kita juga yang capek tiap hari bersihin halaman berkali-kali.”

Aku hentikan pekerjaanku memasukkan daun-daun randu ke dalam kantong kresek, sepertinya pembicaraan mereka semakin sengit.

“Ibu … aku beol di popok.” Ujar anak yang belum genap dua tahun berdiri di mulut pintu.

Aku mengangkat kedua alisku. Tak ada bedanya pekerjaanku dengan baboe.

***

Catatan: (1) Cengek: cabe ukuran kecil yang rasanya pedas.

Pangandaran, 7 Agustus 2022

***

Lia Laeli Muniroh. Penikmat sastra dan pegiat literasi. Tinggal di pesisir pantai Pangandaran, Jawa Barat.

 

 

(4)

Tuan Pengarang

Dia mencari cerpen favoritnya itu lagi. Dia ingin membacanya ulang. Membaca ulang cerpen favoritnya setiap pagi menjadi semacam ritus baginya untuk memulai hari.

Oleh: MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA, 22 September 2022

Sebelumnya, lelaki itu sudah frustrasi dengan tulisan-tulisannya yang selalu ditolak oleh media. Bahkan, novelnya yang berjumlah seratus ribu kata pun ditolak mentah-mentah oleh sebuah penerbit. Dia memang seorang pengarang, begitulah pengakuannya; tapi payah dan tidak berbakat, begitu kata banyak orang. Tapi, pada suatu malam, setelah dia mencoba menyalin salah satu cerpen favoritnya untuk sebuah latihan pada layar laptopnya, cetakan cerpen dari penulis favoritnya yang terdapat dalam sebuah buku kumpulan cerpen itu tiba-tiba raib. Tinta-tinta itu memudar seolah-olah waktu telah melahapnya.

Saat itu, laki-laki itu belum menyadari suatu perubahan yang dialami olehnya. Dia belum menyadari bahwa ada suatu kuasa yang telah dianugerahkan kepadanya, entah oleh siapa.

Keesokan paginya, dia mencari cerpen favoritnya itu lagi. Dia ingin membacanya ulang. Membaca ulang cerpen favoritnya setiap pagi menjadi semacam ritus baginya untuk memulai hari. Namun, setelah membalik halaman demi halaman, cerpen tersebut tak kunjung ditemukan. Yang ditemukannya hanyalah halaman-halaman kosong, sebuah halaman kuning yang tak memiliki tinta sama sekali.

”Apakah buku ini mengalami salah cetak? Tidak. Kemarin, ya, kemarin malam cerpen itu masih ada. Aku mengetiknya ulang untuk kepentingan latihan.”

Tapi, sekarang, yang di hadapannya itu benar-benar halaman-halaman kosong. Tinta cetakan, terutama yang bagus, mustahil menghilang atau pudar dalam satu malam.

Dengan segera dia buka kembali laptopnya yang teronggok di atas meja kerjanya. Dia sambungkan laptop itu dengan internet yang berasal dari hotspot gawainya. Dia buka perangkat lunak mesin pencarian, dia ketik judul cerpen itu beserta nama pengarangnya. Jika ditulis dengan lengkap seperti itu, halaman pertama pun sudah cukup untuk menemukannya. Namun, yang muncul pada halaman pertama adalah pengarangnya saja. Beberapa foto hitam putihnya terpajang di sana. Beberapa tautan juga muncul, tapi hanya yang berkaitan dengan pengarang itu dan karya-karyanya yang lain. Dia coba untuk mengklik halaman kedua. Hasilnya sama saja.

Dia klik halaman ketiga, tetap tidak dia temukan cerpen favoritnya itu. Cerpen yang cukup lama biasanya ada di blog-blog yang ada di internet, ada salinannya. Tapi tidak ada satu pun tautan yang mengarah ke sana.

”Apa yang terjadi sebenarnya?”

Dia coba menghubungi salah satu kawan pengarangnya, yang wawasannya lebih luas daripada dirinya. Karena sudah akrab, dia tidak perlu mengetik pesan untuk meminta izin terlebih dahulu. Dia langsung menelepon kawan pengarangnya itu.

”Halo?”

Kawan pengarangnya itu, baru saja bangun, suaranya masih serak. ”Siapa ini?”

”Aku.”

”Oh, kau. Ada apa pagi-pagi seperti ini sudah menelepon?”

”Kau tahu Kawabata Yasunari, bukan?”

”Hah? Tentu saja aku tahu. Kaupikir aku siapa?”

”Kau pernah tahu cerita pendek berjudul Penari Izu?Izu no Odoriko?”

”Apa? Bisa kauulangi lagi?”

”Penari Izu. Kalau tidak salah, judul aslinya Izu no Odoriko.”

”Apa kau membual? Apa kau tidak salah orang? Mungkin itu cerpen orang lain.”

”Aku tidak membual. Aku serius.”

Ada jeda cukup lama sebelum sahabat baiknya itu menjawabnya. ”Baik. Aku tahu, kau serius. Tapi rasanya aku tidak pernah membaca cerpen Kawabata dengan judul seperti itu. Tunggu, bagaimana ceritanya?”

”Seorang pelajar yang berlibur ke Izu dan bertemu rombongan penari di sana.”

”Kalau soal penari, kurasa ada cerpen Kawabata yang sangat ringkas sekali, berjudul Penari dan Ayam.”

”Itu aku sudah tahu. Sekarang, yang kutanyakan adalah Penari Izu.”

”Aku benar-benar tidak tahu.”

”Begitu, ya. Kalau begitu, aku minta maaf telah mengganggu istirahatmu.”

”Tidak masalah.”

”Sampai jumpa.”

”Sampai jumpa.”

Kawan pengarangnya itu, meskipun banyak tahunya, mungkin sedang lupa. Jadi, dia memutuskan untuk menghubungi salah seorang lagi, kawannya yang juga berpengetahuan luas tentang kesusastraan Jepang. Dengan kawannya yang lain lagi itu, dia menanyakan hal yang sama. Kawannya itu menjawab tidak tahu.

”Skripsiku di kampus dulu juga mengambil objek karya-karya Kawabata. Karena hal itu, dosen pembimbingku menyuruhku untuk membaca seluruh karya Kawabata. Seingatku, aku tidak pernah membaca karyanya yang berjudul seperti itu.”

”….”

”Halo?”

”Maaf, aku hanya sedang termenung tadi. Kalau begitu, terima kasih, ya. Maaf juga sudah mengganggu.”

”Tidak apa-apa.”

”Sampai jumpa.”

”Sampai jumpa.”

Dua orang itu, menurutnya, cukup bisa dipercaya. Dia pun punya ide gemilang, tapi sekaligus berbahaya. Dia berencana mengirimkan salinan terjemahan cerpen Penari Izu itu ke salah satu surat kabar. Risikonya, jika orang-orang di surat kabar masih memiliki ingatan tentang cerpen itu, kariernya sebagai pengarang yang belum ada satu persen itu akan selesai tanpa dimulai. Tapi kebimbangannya itu segera musnah setelah dia ingat pencariannya di internet beberapa menit yang lalu.

Di zaman ini segalanya dapat ditemukan di internet. Setidaknya, minimal sedikit informasi tentang hal yang dicari. Pencariannya beberapa menit yang lalu itu tidak menghasilkan apa pun. Dia pun segera mencari file salinan cerpen tersebut. Dia sesuaikan tata letaknya sesuai surat kabar yang hendak dia tuju. Setelah memastikan semuanya benar, dia mulai menulis biodatanya di halaman paling akhir.

Dia cantumkan nama lengkapnya, sedikit tentangnya, nomor yang bisa dihubungi, nomor rekening banknya yang lebih sering kosong daripada terisi, dan sebuah foto santai yang diambil beberapa tahun lalu di sebuah tempat rekreasi. Dia menekan tombol Ctrl+S dan menutup Microsoft Word. Kemudian, dia kembali lagi membuka peranti lunak mesin pencarian dan mengetikkan laman surel miliknya. Dia mengetikkan alamat surel dan kata sandinya. Setelah itu dia membuat surat baru.

Dia isi alamat surel yang dituju, subjek surel, surat pengantar ringkas di badan surel, dan melampirkan file cerpen salinannya tersebut. Setelah memeriksa setiap ejaan di surat pengantar dan memastikan bahwa alamat surel penerima sudah ditik dengan benar, dia menekan tombol kirim yang mirip pesawat kertas itu. Kini, yang harus dilakukannya hanyalah menunggu hasilnya, mungkin tiga bulan, bisa juga lebih.

Tapi, secara mengejutkan, dua bulan kemudian, tepatnya pada hari Minggu, dia mendapatkan surel balasan dari surat kabar itu bahwa cerpennya telah dimuat. Saking girangnya, dia beranjak dari tempat tidurnya, mencuci muka dan sikat gigi, berganti pakaian ala kadarnya, dan pergi keluar menuju kios-kios di dekat jalan besar.

Dia membeli surat kabar yang memuat cerita pendeknya, surat kabar berskala nasional. Dia langsung mencari halaman yang memuat cerpennya. Dia membacanya sambil berdiri di depan kios itu. Pertama yang dibacanya adalah nama pengarangnya, juga biodata ringkasnya yang tertera di sudut bawah halaman surat kabar itu. Kemudian, dia memperhatikan ilustrasi yang dibuat untuk cerpennya.

Ilustrasi itu menampilkan seorang perempuan yang mengenakan yukata. Rambutnya dimodel seperti konde dan ada tusuk rambut di sana. Dia hampir saja jatuh cinta pada perempuan yang menjadi ilustrasi itu. Di atas gambar ilustrasi untuk cerpennya, sebuah judul terpampang dengan ukuran huruf yang lebih besar: PENARI IZU.

Dia tersenyum melihat semua itu. Dia membaca isi cerpennya sekilas, tapi cerita itu belum rampung.

”Ini masih separuh.”

Dia periksa di bawah cerpen itu. Di sana, terdapat sebuah keterangan kecil: sambungan cerpen ini akan dimuat di edisi Minggu berikutnya.

Dia pun punya ide gemilang, tapi sekaligus berbahaya. Dia berencana mengirimkan salinan terjemahan cerpen Penari Izu itu ke salah satu surat kabar. Risikonya, jika orang-orang di surat kabar masih memiliki ingatan tentang cerpen itu, kariernya sebagai pengarang yang belum ada satu persen itu akan selesai tanpa dimulai. Tapi kebimbangannya itu segera musnah setelah dia ingat pencariannya di internet beberapa menit yang lalu.

Dia pulang ke rumahnya sambil mengepit koran itu di ketiaknya. Sambil berjalan, wajahnya tersenyum dengan begitu puas. Dalam hatinya, mulai muncul suatu rencana, ”Aku bisa melakukan ini. Aku akan melakukan ini lagi. Namaku bisa cemerlang suatu saat nanti.”

Setelah masuk ke kamarnya, tanpa sarapan terlebih dahulu meskipun sarapan sudah tersaji di meja makan, dia membuka laptopnya dan mencari buku-buku koleksinya. Sekarang, dia coba mengetik ulang terjemahan cerpen Akutagawa Ryounosuke yang berjudul Benang Laba-laba. Cerpen itu bercerita tentang Kandata, si penjahat, yang masuk neraka dan mendapatkan welas asih Sang Buddha karena kebaikannya terhadap seekor laba-laba ketika dia masih hidup. Tapi, pada akhirnya, karena keserakahannya, benang-benang laba-laba yang bisa membawanya mencapai surga malah putus dan dia berada di neraka selama-lamanya.

Untuk memastikannya, dia hendak menelepon kawan pengarangnya lagi. Tapi, kawannya itu sudah meneleponnya terlebih dahulu.

”Sialan kau! Cerpenmu bagus sekali. Apa kau kerasukan Kawabata?”

Laki-laki itu hanya tertawa, merasa malu karena dipuji seperti itu.

”Apa kau akan menulis sebagus ini lagi? Atau bahkan lebih?”

”Entahlah. Siapa yang tahu? Aku akan berusaha.” Ada suatu penyesalan di hatinya ketika dia mengucapkan kata berusaha. Sebenarnya, menurut hati nuraninya, hal semacam ini bukanlah suatu usaha sama sekali. Kalaupun terpaksa disebut usaha, hal ini adalah usaha yang tercela. Dia tidak ada bedanya dengan pencuri yang mengambil barang orang lain dengan cara menghipnotis korbannya. Tapi dia akan tetap pada rencananya. Dia merasa tidak punya pilihan lagi. Batinnya berkata, ”Mungkin, Langit sedang berpihak kepadaku.”

”Aduh, maaf. Pasti kau sedang menulis sekarang. Akan kututup.”

”Tunggu dulu.”

”Ada apa?”

”Ada yang ingin kutanyakan.”

”Apa?”

”Kau pernah membaca cerpen Benang Laba-laba karya Akutagawa?”

”Belum. Tunggu, kurasa dua bulan yang lalu kau juga bertanya seperti ini. Apa ini cerita barumu? Jadi, sekarang kau menulis dengan gaya orang itu?”

”Apa kau yakin tidak pernah membacanya? Atau minimal pernah mendengarnya dari seseorang bahwa Akutagawa pernah menulis cerpen berjudul seperti itu?”

”Kaupikir siapa aku? Aku cukup bangga dengan pengetahuanku.”

”Aku mengerti. Maaf meragukanmu.”

”Boleh aku membaca cerpen itu sebelum orang lain?”

”Mana boleh seperti itu.”

Mereka kemudian tertawa dan mengucapkan salam sebelum mengakhiri perbincangan dengan telepon itu.

Laki-laki itu kemudian memeriksa salinan cerpen itu di internet. Hasilnya, seperti pagi dua bulan yang lalu: tidak ada. Tanpa ragu lagi, dia kirimkan cerpen itu ke surat kabar yang berbeda dari sebelumnya.

Kali ini, dia bekerja lebih giat lagi. Dia menyalin berbagai cerpen dari berbagai pengarang terkenal di dunia melalui terjemahan yang telah tersedia. Dia kirimkan salinan cerpen-cerpen itu ke berbagai surat kabar, baik lokal maupun nasional. Bahkan, dia tidak ragu untuk mengirimkannya ke surat kabar yang tidak menyediakan honor untuk cerpen.

Cerpen-cerpennya mulai bermunculan. Pengikutnya di Instagram juga mulai bertambah—meskipun dia jarang sekali menggunakan media sosial itu. Dia terlalu bersemangat untuk menyalin terjemahan cerpen-cerpen dari para pengarang besar di dunia ini. Kemudian, cerpen-cerpennya mulai dibukukan dan terpampang di rak-rak toko buku, baik yang konvensional maupun yang daring.

Bosan dengan cerpen, dia mulai menyalin novel dan novela. Kali ini, pekerjaannya cukup memakan waktu. Meskipun tinggal mengetik saja, tetap saja mustahil untuk selesai dalam sehari, terlebih ketika yang disalin adalah novel-novel Dickens, Tolstoy, Yoshikawa Eiji, dan lain-lain.

Dengan kepopulerannya, dia pun mulai diundang dalam seminar-seminar, obrolan ringan di kafe atau warung kopi, atau kelas-kelas menulis yang diprakarsai penerbit-penerbit. Novel-novelnya itu kerap masuk nominasi. Bahkan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya, dia masuk nominasi penghargaan Nobel Kesusastraan, meskipun tidak menang. Dia tidak terlalu bersedih atas hal itu.

Pada suatu malam, ketika dia sudah selesai menyalin Faust, dia pergi ke tempat tidur, dan menyelimuti dirinya dengan selimut. Hujan turun deras pada malam itu. Sebelum benar-benar terlelap, dia membayangkan bahwa karyanya yang berjudul Faust itu akan menjadi sebuah karya adiluhung begitu terbit nanti.

Matanya yang telah melihat dunia selama enam puluh tahun itu mulai terlelap. Sebuah mimpi didapatnya. Di dalam mimpi itu, dia bertemu iblis—setidaknya itulah yang diyakininya setelah mencocokkan sosok di hadapannya itu dengan gambar-gambar ilustrasi yang ada di buku-buku yang pernah dibacanya. Iblis itu berkata kepadanya,

”Kaupikir ini anugerah Tuhan? Kaupikir itu suatu kemampuan suci yang berwarna putih? Jangan bodoh, Tuan Pengarang. Itu adalah kekuatanku. Aku telah menyesatkanmu. Aku telah membuatmu menjadi seseorang yang tidak mau berusaha lagi. Sampai jumpa di neraka.” Iblis itu membentangkan sayapnya dan terbang meninggalkan Tuan Pengarang yang berdiri terpaku dengan kesedihan di dalam mimpinya.

16 Desember 2021—29 Agustus 2022

***

Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT Ke-53 RI. Cerpen-cerpennya pernah tayang di koran lokal dan media daring. Lebih senang tinggal di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, setelah lulus kuliah di Malang. Akun Instagram @sasmita.maruta.

***

 

(5)

Nirvana

Ilmu robotika bukan area yang kering. Semua kemanusiaan kita tertuang pada sisi robotika sebagai penciptaan karya seni. Robotika juga penelusuran eksistensial kita.

Oleh: SARAS DEWI, 18 September 2022

Tahun 2521 adalah tahun yang melelahkan bagi Kinnari, ia menduduki jabatan baru di lembaga penelitian tersohor di Asia Terintegrasi, lalu juga karyanya tentang exoplanet Proxima B memenangkan beberapa penghargaan yang membuatnya semakin sibuk. Terlepas segala kepadatan itu, Kinnari mustahil melewatkan acara pada malam hari ini.

Mobil levitasi berdaya magnet itu bergulir dengan halus, ia bersandar mencemaskan keterlambatannya. Sesaat setelah tiba, Kinnari merapihkan gaunnya yang berwarna hijau, gaun itu menampilkan pundak dan lehernya, dengan kain organza yang sedikit menjuntai pada bagian belakang. Akhirnya, ia sampai di ruang peluncuran, dari langit-langit tergelar melayang-layang tulisan besar menyala, ”Menyongsong masa depan bersama Yayasan Tunas Robotik Asia Terintegrasi”.

Dua robot menyambut kedatangan Kinnari, mereka memiliki fitur standar, dengan kerangka metalik merah dan kuning.

”Selamat datang, Profesor Kinnari Azura, peneliti Teknokosmologi, dan salah satu anggota dewan penasehat Yayasan TRAT,” ucap robot tersebut.

Kinnari memasuki ruangan, aula megah itu dihias dengan simulasi taman Zen. Orang-orang telah menyebar dan ramai dalam percakapan mereka. Ia telah tertinggal acara utama, padahal ia amat berharap menyaksikan demonstrasi robotik mereka. Agak kecewa Kinnari berusaha mencari tahu apa yang baru saja berlangsung. Saat hendak memutar ulang memori acara melalui mikrokepingan yang tertanam di lengannya, ia dikejutkan dengan sapaan dari arah belakang.

”Selamat malam Profesor, selamat datang di acara kami.” Berdiri di depan Kinnari seorang lelaki muda bertubuh tinggi dengan atasan putih berbahan parasut yang ia selipkan ke dalam celana panjang putih juga. Kaki lelaki itu begitu jenjang, hingga Kinnari merasa tenggelam dari pertemuan mata mereka. Matanya sedikit sayu, tetapi senyumnya menutupi itu. Kinnari berusaha mengingat di mana ia pernah bertemu dengan lelaki itu, tetapi tidak juga berhasil.

”Maaf saya terlambat, benar-benar mohon maaf.” Kinnari mengulurkan tangannya, lalu lelaki itu menjabat tangannya tanpa melepaskan pandangan dari Kinnari.

”Segala kemajuan ini berkat kerja keras Prof juga.” Lelaki itu memuji dengan tulus. Kinnari selalu canggung menghadapi pujian, ia menanggapinya dengan senyuman kikuk.

”Penelitian Prof tentang emosi dalam kecerdasan buatan mengubah cara pandang masyarakat tentang robot.”

Kinnari berdecak, sambil menggelengkan kepala, ”Penelitian yang membuat gaduh saja itu, meski masyarakat kita telah melalui banyak hal semenjak kebencanaan iklim di tahun 2050-an, ternyata, mengatakan robot juga bisa punya perasaan adalah hal yang tabu.”

Mereka menyusuri taman, menjauh dari keramaian. Lelaki itu menerawang ke atas, Kinnari pun mengikutinya. Meski Kinnari tahu bahwa langit-langit gedung yang mementaskan milyaran bintang itu tidak lebih dari proyeksi hologram, keindahan itu tetap menyenangkan untuk dilihat. Mereka berdiri memandang Gunung Fuji dengan bimasakti yang terlihat seperti tumpahan cahaya di kejauhan, dekorasi itu juga dilengkapi bunyi percikan halus permukaan danau Tanuki yang tertiup angin.

”Apakah seperti aslinya Prof?” Lelaki itu bertanya sambil menunjuk ke arah pemandangan itu.

Kinnari tersenyum, mengingat kapan terakhir kalinya berada di Gunung Fuji. Aroma wangi kopi panas yang ia hirup di kaki gunung itu membekas di pikirannya, ”Fuji san selalu ramah, ia akan menyambut dengan tarian hutannya jika bertemu langsung.”

Mereka terdiam sejenak masih menatap kawah gunung Fuji yang tampak berwarna putih keperakan.

”Pasti lebih indah dan nyata daripada simulasi ini.” Lelaki itu bergumam.

”Bukankah robot juga tidak sungguh-sungguh nyata, ya?”

Kinnari menoleh menatap wajah lelaki itu, ucapan itu disampaikan halus, tidak terdengar seperti sindiran dari seorang fanatik. Hanya terdengar murung, bahwa robot tidak nyata dan seolah-olah hanya manusia yang sejati ada.

”Tidak benar itu, robot senyata kau dan aku, pengalaman mereka riil, begitu pula kesadaran mereka.”

Kinnari berharap mereka beralih topik percakapan, tetapi lelaki itu melontarkan lagi pertanyaan.

”Prof juga pernah menulis bahwa robot pun dapat mencapai Nirvana, apakah ada tempat untuk membahas pandangan seperti itu dalam ilmu terapan robotika?” Pertanyaan itu bernada serius.

”Jika segalanya berasal dari elemen-elemen yang sama, karbon di dalam tubuh saya, sama juga dengan yang ada pada robot, atau makhluk hidup lainnya. Mengapa tidak? Ilmu robotika bukan area yang kering, semua kemanusiaan kita tertuang pada sisi robotika sebagai penciptaan karya seni, robotika juga penelusuran eksistensial kita….”

Kinnari memandang mata lelaki itu.

”Tetapi bagaimana dengan jiwa, Prof? Tidakkah hanya manusia yang memiliki jiwa? Apakah mungkin mesin memiliki jiwa?”

Kinnari hendak menjawab pertanyaan itu, tetapi sekelompok orang yang menghampiri menghentikan percakapan mereka.

”Prof Kinnari! Selamat bergabung di acara kami!” celetuk pria tambun dengan pin logo yayasan disematkan di dada kirinya. Kinnari mengenali lelaki itu sebagai direktur utama yayasan robotika. Direktur membahas tentang kecerdikan Kinnari berdebat melawan anggota senat beraliran Spiritus, kelompok yang menentang habis-habisan proyek hominisasi robotik.

”Semuanya tidak sia-sia, misi global pengembangan hominisasi robotik itu kini membuahkan hasil. Akhirnya setelah 20 tahun ya Prof!?” Direktur tersenyum dengan kerutan di ujung matanya.

”Bagaimana Prof, apa pendapat anda tentang Agra? Kami mohon maaf soal kerahasiaan sampai hari peluncuran, tekanan dari golongan Spiritus membuat kami agak khawatir. Tapi, syukurlah segalanya lancar….” Tatapan direktur beralih ke arah lelaki berpakaian putih yang berdiri di samping Kinnari. Kinnari mendongakkan kepala ke sampingnya, agak terbelalak ia melihat mata Agra yang berwarna cokelat muda memercik elok. Meski sangat subtil, robot itu terlihat sedang memindai menyesuaikan lensa tatapannya. Jantung Kinnari berdebar sangat kencang. Ia mencermati wajah Agra, segalanya terasa manusiawi. Rautnya saat bertanya, dan senyum itu. Senyum yang sama sekali tidak mengerikan, seperti tudingan kelompok Spiritus bahwa robot yang tersenyum itu janggal dan dibuat-buat. Kinnari menahan hatinya yang berada di ambang ledakan haru.

“Prof, saya akan membawakan Simfoni no. 40 di G Minor, oleh Wolfgang Amadeus Mozart, saya dengar ini lagu kesukaanmu.” Agra menjelaskan setengah berbisik, wajah mereka sangat berdekatan. Agra mengubah tempat itu sekilat jentikan jari menjadi ampiteater di masa Yunani kuno. Ia berdiri di atas pedestal. Seketika Agra menggesekan biolanya, simfoni mengalun serta merta cepat, allegro molto! Lentingan suara biola bersusul-susulan dengan energik, dan Agra bermain penuh dengan hasrat. Mata Kinnari berkaca-kaca, terlintas di pikirannya dokumentasi abad ke-21 ketika prototipe robot berwarna putih bermain biola secara kaku dan sederhana. Lompatan yang begitu jauh!

Mereka berdua melanjutkan obrolan hingga larut, sambil duduk berdua di kursi bar yang tinggi, Kinnari meneguk perlahan minuman alkohol berwarna biru. Ia duduk sambil menopang kepalanya dengan tatapan takjub yang tak kunjung surut ke arah Agra.

”Apakah robot layak dicintai, Prof?” tanya Agra dengan senyum yang lugu.

Kinnari duduk tegak dari lamunannya, seperti mendapati pertanyaan itu aneh.

”Sangat layak untuk dicintai, sebagian besar robot yang sekarang berada dengan masyarakat menemani mereka yang kesepian, mereka yang sebatang kara, mereka yang lanjut usia dan butuh perawatan. Saya yakin orang-orang ini sangat menyayangi robot yang menemani hidup mereka.”

”Tetapi robot diprogram untuk melakukan tugas-tugas itu….”

”Tidakkah manusia diprogram juga oleh genetikanya?” sanggah Kinnari

”Tetapi itu berbeda….”

”Betul berbeda, namun tidakkah kehidupan bersama, kasih sayang antara manusia dan non-manusia itu juga bermakna, betapapun berbeda bentuk kasih sayang itu.”

Agra melirik segelas Laguna Biru yang berada di atas meja lalu menyahut, ”Saya bisa menjabarkan komposisi minuman ini, likeur kurasao yang dicampur vodka. Kurasao terbuat dari jeruk laraha yang rasanya pahit. Saya memiliki perkiraan tentang rasa minuman ini. Tapi, saya tidak akan pernah sungguh-sungguh merasakan minuman ini seperti manusia menikmati pengalaman melalui indra-indranya.” Kinnari menenggak habis segelas Laguna Biru, hingga ia merasa kepalanya begitu ringan. Ia tertawa kecil sebab peradaban manusia telah tiba pada titik, manusia dapat berdebat filosofis dengan robot ditemani segelas likuer!

”Baiklah, jika memang menurutmu pengalaman manusia begitu unik. Sebagian memang menciptakan teknologi, karya seni, dan budaya yang indah, namun, sebagiannya lagi juga menyeret bumi ke dalam kondisi mengenaskan, memusnahkan jutaan spesies karena keserakahannya, membunuh manusia lain demi kekuasaan. Kini hanya sedikit yang tersisa, kota-kota telah tenggelam, negara-negara telah runtuh, tetapi hasrat manusia untuk berperang tidak pernah terpuaskan. Mengapa manusia harus begitu istimewa?”

Kinnari memiringkan kepalanya sambil memandang lekat-lekat wajah Agra. Ia membayangkan di balik kulit artifisial itu, otak positronik yang tengah bersinar dilindungi kerangka terkokoh namun ringan menggunakan materi magnesium. Agra menyentuh belakang kepalanya, sekejap setelah berdesis, cangkang artifisial itu menganga dan menyibak wajahnya yang terbuat dari logam. Kinnari tersenyum, teringat setahun yang lalu memenuhi undangan Yayasan TRAT menjadi peninjau riset. Itu merupakan pertemuan pertamanya dengan Agra, yang semasa itu masih berbentuk kerangka kepala dan torso metalik tergantung di laboratorium. Kinnari memeriksa tabel hologram yang menunjukkan kondisi mekanik Agra. Mereka berbicara, dan terkadang Kinnari tertawa mendengarkan lelucon yang sedikit jadul dari robot itu. Sebelum mereka berpisah, robot itu bertanya pada Kinnari,

”Di manakah tempat yang paling Prof sukai di dunia ini?”

Kinnari menggumam panjang sembari memeriksa mata sintetik Agra, ”Hmmmmm….”

”Gunung Fuji… saya suka sekali Gunung Fuji. Tempat itu indah sekali. Tapi,” Kinnari terdiam sejenak, lalu menyambung ucapannya.

”… setelah bertemu kamu, sepertinya sekarang kamu adalah wujud terindah.” Kinnari tersenyum simpul dan membatin bahwa ia tak sabar melihat mahakarya itu rampung.

Agra menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan, seketika ia melihat senyum Kinnari, seluruh energi dalam sirkuit di kerangka kepalanya meluncur, menukik dan berbenturan liar. Termenung melihat punggung Kinnari yang berjalan menjauh darinya, menjauh, mengecil di lorong panjang itu, hingga tidak lagi nampak. Ia mengulang berkali-kali memori adegan Kinnari bercerita tentang Gunung Fuji dalam montase senyap hitam-putih.

Ia berandai-andai, apakah robot layak untuk dicintai?

***

Saras Dewi, sastrawan dan penulis yang senang meneliti tentang filsafat teknologi. Sehari-harinya mencari inspirasi untuk menulis dengan berjalan kaki keliling kampus dan melamun di Ratangga.

***

 

(6)

Ambhin yang Sobek

Sais benar-benar kembali, bahkan mereka masih mengenalinya. Laras tertunduk cukup lama, bingung dengan apa yang akan dia lakukan kepada sosok yang tiba-tiba berada di hadapannya. Kisah silam yang sudah dilupakan.

Oleh: ZAMILIYAH, 17 September 2022

”Sudah tambah besar.”

Larasati menghentikan kegiatannya. Perasaannya terguncang. Butuh beberapa waktu untuk kembali menormalkan pompaan jantungnya yang beradu cepat.

”Iya.” Suara yang dipaksa keluar itu tenggelam oleh lenguhan Bintang Timur.

Sais benar-benar kembali, bahkan mereka masih mengenalinya. Laras tertunduk cukup lama, bingung dengan apa yang akan dia lakukan kepada sosok yang tiba-tiba berada di hadapannya. Kisah silam yang sudah dilupakan oleh orang-orang sepertinya akan kembali mengisi gelas-gelas di warung kopi, bekal di pematang sawah, dan rumpi ibu-ibu di setiap rumah. Mungkin juga sekeping hati yang telah lama dilanda sepi.

”Bapak sehat?” Sais menepuk kedua tangan setelah memberikan setumpuk rumput segar pada sapi-sapi, sementara Laras mematung. Pendengarannya tidak terganggu barang satu pun, tetapi tidak ada jawaban bagus yang bisa dia berikan.

Abdul Beri, ayahnya, bukan lagi lelaki perkasa yang disebut-sebut oleh para tetangga. Namanya tenggelam bersama kekalahan demi kekalahan yang dialaminya.

Laras membawa Sais ke dalam rumah. Abdul Beri tengah mengelap kain berwana kuning keemasan dengan wajah murung. Lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu bahkan tak sadar dengan kedatangan mereka. Ragu-ragu, Laras duduk di sampingnya, membisikkan sesuatu yang membuat lelaki itu seketika menoleh untuk kemudian pergi dari sana.

”Bapak kenapa?” Sais tidak bisa untuk tidak bertanya.

Laras memandangi wajah Sais yang sudah lebih berisi dari terakhir kali mereka bertemu. Kenangan demi kenangan itu semuanya terputar dengan sangat jelas dalam ingatannya.

***

Pagi buta di kediaman Abdul Beri sudah ramai. Teko bergilir dari satu tangan ke tangan yang lain. Gorengan pisang yang sebelumnya memenuhi talam sudah tinggal separuh.”Ambhin untuk Bintang, Laras yang buat, Kang.” Laras berucap malu-malu kepada Sais yang membantu membawakan makanan.

”Semoga menang.” Sais berbisik dan segera berlalu sebelum ada yang melihatnya.

Anak majikan dan joki itu sudah lama saling menaruh rasa. Namun, Sais tidak pernah berani terang-terangan. Dia paham betul dengan perangai Abdul Beri. Orang miskin sepertinya tidak mungkin memiliki kesempatan untuk mendekati putri seorang Abdul Beri. Tersebab demikian, saat sang majikan mengatakan akan mengabulkan apa pun permintaannya jika Bintang Timur meraih jurara, Sais akan berjuang setengah mati untuk mendapatkannya. Kesempatan terbuka lebar dan dia tidak boleh menyia-nyiakan hal itu.

Saat matahari mulai naik sepenggalah, Bintang Timur digiring keluar dari kandang. Ahmad Thoha mengambil ambhin dan obhet dari tangan Laras, lalu memasangkannya di tubuh bagian belakang dan kepala jagoannya.

Gendang, gong kecil dan besar, dan semua perlengkapan saronen kini sudah mulai ditabuh, mengiringi langkah Bintang Timur. Setelah cukup lama, barulah semuanya diangkut ke atas mobil pick up, lalu berangkat. Festival kali ini mereka akan bertanding memperebutkan piala kabupaten. Semuanya, tak terkecuali Sais, sangat berharap akan kemenangan Bintang Timur agar bisa melanjutkan di piala karesidenan.

”Bapak percaya kamu, Nak.” Abdul Beri menepuk pundak Sais.

”Enggih, Pak. Saya tidak akan mengecewakan.” Sais mengelus punggung Bintang Timur dan melihat ambhin yang dipakai. Semangatnya semakin berkobar.

Area berdebu berada di depan mata. Para peserta sudah banyak yang berdatangan. Lintasan sepanjang 100 m itu akan menentukan ke mana piala yang dijejer di bangku pinggir lapangan akan berlabuh.

Sais mengikuti Ahmad Thoha ke sisi kiri lapangan. Sebentar lagi gilirannya tiba, Bintang Timur tengah dilucuti ambhin-nya, sementara obhet yang berwarna merah terang dibiarkan bertengger di atas kepala.

”Jangan diletakkan sembarang, Paman!” Sais melirik kain yang tengah dipegang Thoha, kemudian mengambil botol balsam yang ada di tangan kirinya.

”Kamu bersiap saja, Sais. Paman yang akan mengolesinya.”

Sais mengeratkan ikat pinggang dan bersiap menunggagi kaleles, hanya tinggal menunggu aba-aba dari wasit. Waktu terasa menjadi lebih lambat. Selama menjadi joki Bintang Timur, baru kali ini dia merasakan kegugupan yang luar biasa. Ada ’beban’ yang dia emban.

”Jangan gugup, Sais, sapi-sapi ini berada dalam kendalimu. Kamu pasti menang.” Abdul Beri mengelus punggung kedua sapinya yang sudah mulai bergerak tak teratur.

Dalam hitungan ketiga, peluit dibunyikan. Sais dengan gagah memacu Bintang Timur. Kegugupan yang sempat menghampiri kini telah sempurna hilang. Dia bak pendekar yang sedang menuggangi kuda terbang. Sorak-sorai penonton memenuhi lapangan. Sais bahkan masih bisa mendengar Abdul Beri yang meneriakkan namanya.

Pertandingan itu berakhir degan kabar yang membahagiakan. Bintang Timur akan mewakili Songennep untuk berlaga di ajang piala karesidenan. Abdul Beri senang bukan main. Sepanjang jalan pulang, saronen ditabuh. Pujian terhadap Sais juga terus menghiasi bibirnya.

”Paman, ambhin-nya mana?” Sais berbisik kepada Thoha. Thoha menunjuk plastik hitam yang berada di pinggir mobil.

”Tumben kau begitu peduli dengan ambhin itu.”

Sama-sama bekerja pada Abdul Beri, Sais cukup akrab dengan Thoha. Sais yang kehilangan ayah sejak kecil seperti menemukan orangtua baru. Walaupun yang dipanggil bapak adalah Abdul Beri, tetapi hanya kepada Thoha-lah, Sais sesekali berkeluh kesah.

”Laras yang buat, Paman.” Sais mengecilkan volume suaranya agar tak terdengar oleh anggota yang lain.

Thoha menarik napas. Baginya, jawaban Sais adalah petaka besar. ”Apa kau akan menagih janji Kak Dul?”

Sais mengangguk. Hanya ini celah yang dia miliki untuk mengikat hatinya yang telah tertambat pada anak majikannya.

Namun, sore itu angan terlalu tinggi yang dimiliki Sais harus terempas dengan begitu tidak terhormat. Abdul Beri marah besar demi mendengar permintaan Sais ketika semua tamu sudah bubar dari jamuan kemenangan.

”Sengko ’ta’ butho been pole, Cong. Mule been. Korang ajher!”

Sais tidak melakukan pembelaan. Semua makian Abdul Beri diterima dalam diam. Dia beranjak pergi dengan membawa ambhin yang digenggam sejak tadi, meninggalkan Laras yang tak berhenti menangis di sudut ruangan.

”Kang ….”

Sais tidak menoleh lagi sebelum suara lantang itu kembali terdengar.

”Berhenti!” Abdul Beri mengejar dirinya yang sudah berada di dekat pintu gerbang.

Tanpa aba-aba, lelaki paruh baya itu menarik ambhin dari tangannya dengan kasar sehingga kainnya sobek dan tersisa secarik kecil saja.

Senja waktu itu menjadi kali terakhir Sais menginjakkan kaki di rumah Laras. Dia pergi merantau tanpa pamit kepada siapa pun. Sontak saja hal demikian menjadi buah bibir orang-orang. Mayoritas mereka kasihan dan menyayangkan sikap Abdul Beri yang tidak tahu terima kasih. Selama itu pula, banyak hal yang terjadi dengan Abdul Beri dan Bintang Timur.

Di piala karesidenan, Bintang Timur mengalami kekalahan. Joki yang baru tidak bisa menggantikan posisi Sais yang sudah bekerja sangat lama. Abdul Beri menjadi lebih banyak diam, apalagi setelah mencoba mengikutsertakan kembali Bintang Timur di festival-festival kecil. Semua usaha itu tetap tidak berhasil.

***

Pertandingan itu berakhir degan kabar yang membahagiakan. Bintang Timur akan mewakili Songennep untuk berlaga di ajang piala karesidenan. Abdul Beri senang bukan main. Sepanjang jalan pulang, saronen ditabuh. Pujian terhadap Sais juga terus menghiasi bibirnya.

”Sepertinya Bapak menyesal, Kang. Beliau sering menyebut namamu ketika tertidur.”

Sais memperhatikan Laras yang menuangkan kopi sambil bercerita. Perasaannya masih sama. Dia merindukan wanita di depannya.

”Dua minggu lagi, kita ikutkan Bintang Timur jika Bapak mau. Aku lihat sapi itu masih kuat. Kau merawatnya dengan baik.”

Tidak ada basa-basi lagi di antara keduanya. Sais mengetahui betul batasan-batasan yang tidak boleh dia langgar. Mereka baru bercakap lagi setelah Abdul Beri mengizinkan rencana itu.

”Maafkan Bapak, Nak.”

Sais mengangguk. Dia tahu apa arti maaf yang diucapkan Abdul Beri. Sesobek ambhin yang dibawanya tidak akan pernah utuh lagi. Dia menoleh sejenak ke pingir lapangan, melihat lelaki yang sedang menggamit tangan Laras, lalu memacu kembali Bintang Timur dengan gagah. Begitulah garis takdirnya. Sais milik Bintang Timur, bukan majikannya.

***

Catatan:

Ambhin: pakaian/hiasan yang disampirkan di tubuh sapi

Obhet: hiasan di kepala sapi

Kaleles: kayu yang ditunggangi oleh Joki

Joki: Orang yang berdiri dan menarik kaleles saat perlombaan

Sengko’ ta’ butho been pole, Cong. Mule been. Korang ajher!: Aku sudah tidak membutuhkanmu lagi, pulang sana! Kurang ajar.

***

 

(7)

Ia Lebih Tabah dari Hujan

Ia lebih tabah dari hujan yang turun di awal musim kemarau. Diseretnya langkah itu melewati pematang sawah. Meski terlihat lelah, ia akhirnya sampai juga. Ya, sampai di lahan yang menghampar memanjang.

Oleh: MARWANTO, 14 September 2022

Ia lebih tabah dari hujan yang turun di awal musim kemarau. Diseretnya langkah itu melewati pematang sawah. Meski terlihat lelah, ia akhirnya sampai juga. Ya, sampai di lahan yang menghampar memanjang. Lahan untuk menanam brambang.

Brambang memang telah melambungkan warga kampung Kahyangan. Tak sedikit warga yang semula kondisi ekonominya pas-pasan kini berubah jadi kecukupan. Berkat keberhasilannya bertani brambang atau bawang merah, lantai rumah telah dikeramik, televisi 40 inc nongkrong di ruang tamu, motor metik keluaran terbaru (bahkan ada yang mobil) menjadi penghuni garasi.

Kabar suksesnya warga Kahyangan telah mengusik Marno. Ia yang belasan tahun datar-datar saja menjalani hidup ingin mengubah nasib. Bermimpi agar bisa melambung. Seperti gunung, terlihat gagah jika dipandang dari lembah. Dan ia merasa bisa menjadi gunung, karena ada wanita setia yang telah menemaninya berpuluh tahun.

Sore itu, di akhir musim penghujan ia ingin mewujudkan mimpinya. Ngangsu kaweruh pada Kang Parlan di kampung Kahyangan, tak jauh dari rumahnya.

“Kalau mau hasilnya gedhe, ya brambang !”

“Bukan melon atau semangka, Kang ?”

“Ah, spekulasinya terlalu tinggi. Kita mudah dipermainkan tengkulak.”

“Bukannya brambang juga demikian?”

“Beda Mar. Semurah-murahnya harga brambang, pasti balik modal. Paling tidak, bisa kausimpan, dijual saat harga mahal. Kalu melon, keburu membusuk!”

Marno diam. Ia terlihat menimbang saran Parlan. Tak mudah baginya beralih dari menanam melon ke brambang. Tapi impian untuk melambungkan hidup mendesaknya. Juga rengekan istri untuk dibelikan (tepatnya menambah) perhiasan.

“Kalau kau mantap, aku siap bantu. Musim ini aku menyewa lima petak lahan di kampung Kwayuhan, dekat rumahmu. Kau bisa pakai sepetak dulu. Jangan kawatir, aku bantu soal teknisnya,” ujar Parlan memompa semangat sepupunya itu.

Keesokan harinya Marno membawa obrolan itu kepada Surti.

Seperti biasa pagi itu Surti menyiapkan sarapan. Ngulek bumbu untuk masak sayur lodeh. Mendengar cerita suaminya, semangat hidupnya menyala. Tapi…

“Tapi, modalnya dari mana Kang? Hasil panen padi tahun ini sebagian untuk menutup utang akibat musim palawija kemarin kita gagal panen melon.”

Marno tak menjawab. Ia hanya memandangi kalung emas di leher istrinya. Leher jenjang yang tadi malam dilumatnya. Dilumat dengan gairah yang membuncah!

Dan kini, ia harus merayu istrinya lagi. Bukan. Bukan untuk melumat leher jenjangnya, tapi agar Surti mau melepas kalungnya. Menjualnya ke toko Haji Sadik untuk modal menanam brambang. Rayuan dan pandangan suaminya membuat konsentrasi Surti ngulek bumbu jadi terganggu, hingga ada yang memercik ke matanya.

“Wis Kang, uwiiis. Lihat ini…”

Mata Surti berkaca-kaca terkena percikan bumbu. Mata bening perempuan ayu itu mbrambangi (seperti orang menangis), menahan pedas. Marno pun segera memeluk istrinya. Seakan hendak berkata: ya saudah kalau kau tidak setuju, aku akan cari jalan lain. Belum sempat ia mengutarakan isi hatinya, istrinya lirih berkata.

“Aku tak keberataran melepas kalung ini. Asal, kembalinya lebih bagus dan gedhe…”

Seperti rindhik asu dhigitik, Marno lekas mengantar istrinya ke toko mas Haji Sadik. Di bawah langit mendung akhir musim penghujan, mata Surti berkaca-kaca melepas perhiasan kesayangan. Tak hanya kalung, tapi juga gelang.

Marno segera menghubungi Parlan. Mencari bibit brambang. Mengontak teman menyiapkan lahan. Membeli pestisida dan pupuk. Dan kebutuhan lainnya. Setelah lahan siap tanam, pada hari Kamis Pon (menurut perhitungannya sebagai hari baik), prosesi wur (menanam) brambang dikerjakan.

Di tahap awal sudah menghabiskan tak kurang dua puluh juta. Uang sebesar itu tak semuanya hasil penjualan perhiasan istrinya. Marno masih harus nyebrak (pinjam) teman dan saudara sana-sini. Biaya sewa juga belum dihitung. Berkat kebaikan Parlan, Marno boleh melunasi sewa setelah panen. Marno coba melupakan modalnya, saat melihat tanaman brambang itu mulai kuncup daunnya, sebuah pemandangan yang memberi harapan.

Meski memberi harapan, Marno tak luput kewaspadaan. Ia mengantisipasi yang mungkin terjadi. Ngobrol dengan sesama petani brambang yang telah berpengalaman, termasuk mencari referensi di google. Dari obrolan dengan mereka, kekurangan pada tanamannya hanya satu: tidak dibuat gundukan pada bagian yang ditanami. Jika musim normal hal itu tak diperlukan. Apalagi, modal Marno pas-pasan. Pengerjaan membuat gundukan membutuhkan dana yang tidak kecil. Tapi…

Kemarau tahun ini diperkirakan mundur. Bulan Juni masih dimungkinkan terjadi hujan…. Demikian kabar yang Marno baca lewat telpon genggam.

“Jangan panik. Siapkan diesel. Kalau kebanjiran, air disedot dan dibuang pakai diesel. Beres!” Kata Parlan menyemangati. Malam itu, ketika orang sedang nyenyak tidur, ia bersama dua orang buruhnya mengoperasikan diesel untuk menyedot air yang menggenangi tanaman brambang. Harus malam itu. Hujan sejak siang hingga magrib tadi telah membuat tanaman brambangnya kebanjiran.

Paginya Marno dan istri ke sawah menengok tanaman harapannya. Air sudah teratasi. Terkena sinar matahari pagi, tanaman itu kembali memberi harapan. Suami istri itu pun pulang. Sesampai di rumah, hujan menyambutnya. Marno kembali panik, tapi istrinya menyemangati.

Selepas Magrib, Marno ke sawah membawa diesel. Sendirian, tidak mengajak teman. Ia telah hafal mengatasi air yang menggenangi lahan brambangnya. Hujan di malam itu tak kunjung reda. Marno tampak menunggu di pinggiran desa. Lewat tengah malam hujan baru reda. Marno tak sabar mengoperasikan dieselnya. Baru satu jam reda, hujan kembali turun. Kali ini sangat deras. Deras sekali, hingga mencabik sunyi dini hari.

Subuh itu Surti bangun tanpa Marno di sampingnya. Ia segera teringat, suaminya pamit ke sawah membawa diesel. Ia pun beranjak, berkemas secukupnya lalu pergi ke sawah. Di pagi yang masih basah, beriring gerimis, ia terus melangkah. Air menggenang setinggi lutut tak membuat niatnya goyah. Meski orang-orang mengingatkan agar perempuan itu tidak nekat melangkah ke tengah. Tapi Surti pantang menyerah. Dibanding hujan yang kerap turun di musim kemarau, ia masih lebih tabah.

Wisma Aksara, 2022.

***

Marwanto, buku cerpennya yang telah terbit: Kado Kemenangan (2016), Hujan Telah Jadi Logam (2019) dan Aroma Wangi Anak-anak Serambi (2021). Cerpennya Trah Wongso Cukur menang lomba cipta cerpen Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Sumbar 2021. Tinggal di Yogyakarta menggerakkan komunitas Lumbung Aksara (2006-sekarang), membina komunitas Sastra-Ku (2019-sekarang) serta mengetuai Forum Sastra dan Teater Kulonprogo (2914-sekarang).

***

 

(8)

Dongeng Burung Hantu

Rene ketakutan. Ia menemukan ibunya di belakang rumah dengan luka di bagian leher. Ia lari ke arah barat, ke kebun tebu yang terbentang luas menuju perbatasan. Orang-orang itu mengejarnya.

Oleh: KARISMA FAHMI Y, 11 September 2022

Dira berhenti di taman burung. Rene segera menggandeng Dira menjauh dari tempat itu meski Dira ingin berfoto dengan merak berekor panjang yang bebas berjalan-jalan di taman itu. Napas Rene sesak melihat burung hantu yang bertengger di atas pohon.

”Kenapa, Ma?” tanya Dira dengan mata polosnya.

”Di kebun binatang, banyak kuman menempel di bulu-bulunya. Kuman mudah menyebar dan beterbangan di udara,” Rene mencoba memastikan. Namun, tak semudah itu mengalihkan Dira. Dira berhenti dan memperhatikan burung-burung itu dengan saksama. Mata lebarnya penuh ingin tahu.

”Lihat, Ma, itu burung hantu!” teriak Dira menunjuk ke atas pohon. Akhirnya Dira mengetahui juga makhluk yang ingin dirahasiakannya dari gadis kecil itu. Rantai logam menjerat kakinya supaya tidak terbang jauh.

Seketika Rene bergidik. Sebuah peristiwa melintas begitu saja di kepalanya. Tubuh Rene menggigil teringat sebuah kisah tentang burung hantu dan ampas tebu. Dulu ia selalu meminta ibunya mendongeng sebelum tidur. Ia paling takjub dengan cerita tentang Putri Bulan yang mudah penasaran tentang banyak hal.

***

Sama seperti dirimu, Putri Bulan itu mudah sekali penasaran, kata ibu menjawil hidungnya. Suatu ketika ia penasaran dengan cahaya putih yang gemerlapan di Bumi, saat bulan sedang purnama. Ia pun turun ke Bumi. Ternyata benda putih yang bersinar dari kejauhan itu adalah ampas tebu yang tertimpa sinar bulan. Merasa kecewa, ia kembali terbang ke Kahyangan. Namun Pak Tani telah menebarkan getah nangka untuk menjerat binatang yang sering mencuri hasil kebunnya di malam hari. Sayap dan baju sang Putri lengket di antara daun-daun yang telah dilumuri getah. Ia berusaha melepaskan diri, namun tubuh dan sayapnya semakin rekat. Ia menangis sepanjang malam. Berlahan-lahan tubuhnya berubah. Sayapnya melebar menutupi seluruh tubuh. Si Putri tak bisa kembali ke Kahyangan. Jadilah ia burung uhu, burung hantu yang menyesali rasa penasaran yang tak dapat dikendalikannya. Ia menangis sepanjang malam sambil menatap bulan, tempat tinggalnya di kahyangan.

Rene masih memendam cerita itu. Suara ibu yang merdu tersimpan baik di telinganya. Rene tak akan lupa peristiwa yang terjadi hari itu. Langit mulai gelap dan ketakutannya berlipat. Langit malam menghitam sempurna. Ia duduk di bawah batang-batang tebu yang tumbuh rapat. Kakinya bergetar lelah dan tak mampu lagi berlari. Ia berlari sejak azan asar berkumandang tak sempurna di surau dekat rumah, surau tempat ia dan kawan-kawannya bermain karet sore itu. Setelah azan Ashar berkumandang, biasanya mereka akan segera masuk ke dalam surau. Setelah shalat Ashar, mereka akan berkumpul di surau bagian samping dan mengaji pada Pak Amin. Namun sore itu adalah sore yang tak akan dilupakannya. Orang-orang datang dan membubarkan sore yang cerah itu dengan senjata tajam dan obor di tangan.

Ia hampir memenangkan seluruh karet milik teman-temannya ketika azan bergema. Seluruh karet itu akan ia jadikan tali. Sebagian karet yang telah ia menangkan beberapa hari lalu tersimpan rapi di bawah bantal. Karet kemenangannya sore itu akan cukup digunakan untuk tali yang panjang. Ia yakin bisa mengalahkan Ninik, Tiwi, dan Lansa di permainan itu. Namun sore itu orang-orang dari timur, penduduk pedalaman, datang. Mereka membawa parang dan senjata tajam. Matanya mengeluarkan api yang nyalanya lebih panas dari obor yang mereka bawa. Mereka meneriakkan kata-kata yang tak ia pahami. Ia tak tahu apa dan siapa yang mereka cari. Mereka masuk ke rumah-rumah para pekerja kebun.

Rene ketakutan. Ia menemukan ibunya di belakang rumah dengan luka di bagian leher. Lari, Rene! Lari ke kebun! Teriak ayah sebelum mereka menusuk dada kiri ayahnya dengan tombak. Ia lari ke arah barat, ke kebun tebu yang terbentang luas menuju perbatasan. Orang-orang itu mengejarnya. Ia tak tahu seberapa panjang jarak yang ia tempuh, ia lari dan terus berlari di antara rapatnya batang-batang tebu. Mereka mengejar. Mereka memangkas batang-batang tebu dengan parang tajam. Rene terus berlari menerabas daun-daun tebu. Daun tebu bukan daun yang ramah. Kulit tangan dan kakinya telah beberapa kali tergores dan luka. Ia tak peduli.

Rene jatuh terduduk. Kakinya lelah. Suara dan kemarahan orang-orang itu—dan juga bayangan ayah ibunya—membangkitkan ketakutan yang berlipat. Ia kembali bergerak dengan merangkak. Ketika berhenti, ia tak bisa menghentikan ingatan tentang peristiwa yang baru saja disaksikannya. Berhenti berlari hanya akan membuatnya ingat pada wajah dan tubuh terakhir ayah ibunya yang penuh luka. Rene kembali berlari. Batang-batang tebu di sebelah selatan cukup tinggi untuk menyembunyikan tubuh mungilnya. Mata bocahnya terus bersiaga melihat ke belakang, menyimak langkah-langkah besar yang terus mengejar. Bibirnya bergetar memanggil ayah dan ibunya. Air mata yang bercucuran tak hanya berisi kesedihan, namun juga ketakutan.

Gelap mulai turun. Suara-suara parang masih berdesingan di telinga meski ia tak lagi mendengar suara lain kecuali suara serangga malam. Gelap akan benar-benar menyembunyikannya. Tapi bagaimana kalau mereka membawa lampu, senter, atau yang lainnya?Bukankah mereka membawa obor? pikirnya sambil terus berlari. Kakinya benar-benar letih dan mati rasa. Tenggorokannya kering. Ingin rasanya ia menangis, tetapi ia tahu, belum saatnya. Ia tak boleh menangis dan belum boleh menyerah. Langit semakin gelap. Ia tak dapat menemukan apa-apa kecuali gelap di depannya. Ia tahu, kebun tebu itu masih panjang. Kebun tebu belum akan berakhir di jarak terdekat. Ia menguatkan diri dan kembali berlari.

Ketika malam turun dengan langit hitam sempurna, ia benar-benar tak lagi mendengar langkah pengejarnya. Ia memutuskan berhenti di pinggir pematang kecil. Ia mengenali pematang kecil itu. Ia dan Lansa pernah bersepeda ke situ. Ia meraba dalam gelap dengan tangan kecilnya. Ia membiarkan kakinya basah ketika menyeberangi sungai kecil itu dengan susah payah. Ia mengusap wajahnya dengan air, menyegarkan diri. Rene ingat, terakhir ia bermain-main di sungai kecil itu, seekor ular air bersembunyi di celah batu-batu. Ia mengakhiri penyegaran itu dengan segera. Ia tak mau menambah ketakutan hari itu dengan bertemu ular.

Ia ingat, tak jauh dari situ ada sebatang pohon tanjung. Ia pernah mengumpulkan biji-bijinya untuk diadu dengan biji milik teman-temannya. Ia selalu kalah dari biji milik Dalu. Kini semua itu membayang di ingatannya. Bagaimana keadaan mereka? bisiknya pelan. Malam semakin pekat. Matanya telah terbiasa dengan gelap. Ia memanjat pohon itu dan duduk di salah satu dahannya. Ia akan bersembunyi di sana malam itu.

Serangga dan burung malam menghadang di depannya, namun ia tak bisa melihatnya. Ia mendengar suara burung hantu. Di kejauhan, ia melihat api. Orang-orang itu membakar tempat tinggalnya. Asap membubung tinggi dibawa angin. Ia mulai menangis dan putus asa, seperti Putri Bulan dalam dongeng ibu. Rene menyandarkan tubuhnya ke pokok pohon tanjung. Ia menangis dan berharap bisa berubah menjadi seekor burung seperti putri yang ada di dongeng ibunya. Burung hantu yang menangis tersedu. ”Setidaknya aku bisa terbang dan mereka tak lagi mengejarku,” katanya pelan.

Rene menyimak gemerisik daun-daun tebu yang tertiup angin. Ia teringat kakek dan neneknya. Ayah membawanya pindah ke tempat ini enam bulan sebelumnya. Ayah bekerja di perkebunan tebu. Bersama yang lain mereka membuka hutan dan menanam ribuan hektar tebu untuk dipasok ke pabrik gula. Ayah dan pekerja yang lain tak pernah tahu bahwa kebun tebu itu ditanam di atas lahan sengketa. Para penduduk pedalaman membakar kampung-kampung tempat tinggal para pekerja.

Seperti biasa, malam itu banyak pertanyaan muncul di kepala Rene, namun ia hanya bisa bungkam. Ia tak tahu kepada siapa semua pertanyaan itu akan ia ajukan. Di kejauhan kepakan burung hantu mulai berdatangan. Ia lelap dengan pertanyaan yang tak pernah terjawab.

Keesokan paginya, para pekerja di kebun tebu seberang menemukan tubuhnya di tepi pematang. Mereka membawanya ke puskesmas terdekat.

***

Rene selalu bertanya tentang banyak hal. Mengapa ayam berkokok di pagi hari? Mengapa bebek selalu berisik? Mengapa nenek itu mengunyah sirih? Ke mana burung-burung itu pergi? Siapa yang menanam pohon-pohon di hutan?

”Rene, tidak semua pertanyaan itu harus kautanyakan. Ada baiknya pertanyaan itu kausimpan untuk dirimu sendiri. Kau bisa mulai berlatih untuk memikirkannya dengan ingatan,” kata ibunya.

”Tapi aku ingin tahu yang terjadi,” kata Rene.

”Kau akan menemukan jawabannya suatu saat nanti.”

”Bagaimana kalau aku lupa?”

”Selama belum mendapat jawabannya, kau akan mengingatnya. Jawaban terbaik adalah jawaban yang berasal dari hatimu. Dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak harus dijawab sekarang. Mungkin nanti, besok, kelak ketika dewasa, kau akan memahaminya. Kau harus bersabar.”

Namun Rene tak pernah berhenti bertanya.

”Siapa paman itu? Mengapa ia marah-marah?” tanyanya suatu ketika saat ibu mengajaknya ke pasar. Itu adalah hari terakhir ia pergi ke pasar bersama ibu.

”Ssstt! Jangan bertanya macam-macam di tempat seperti ini. Simpan semua pertanyaanmu. Nanti ibu jelaskan semuanya di rumah.”

Tapi Rene tak bisa menahan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya.

”Mengapa mereka membawa babi? Apakah mereka juga akan memakannya?” tanyanya ketika seorang lelaki menenteng kepala babi. Lelaki itu menatapnya tajam. Ibu menutup mulut Rene dengan telapak tangan. Ibu berkali-kali meminta maaf pada orang itu dan segera mengajak Rene pulang.

”Ibu tidak akan mengajakmu ke pasar lagi!” kata ibu sesampainya mereka di rumah. Rene tak tahu di mana letak salahnya. Dan memang, ibu tak lagi mengajaknya ke pasar setelah hari itu.

Rene dan teman-temannya sedang bermain di halaman surau. Orang-orang itu datang dengan parang terhunus. Mereka membakar rumah dan menghabisi para pendatang dan membakar rumahnya.

”Tahu apa kalian, para pendatang? Kalian mengambil tanah dan kebun kami untuk mendirikan pabrik-pabrik kalian di tanah leluhur kami!” teriak lelaki yang bertubuh gempal, lelaki yang dilihatnya membawa kepala babi di pasar pagi tadi.

Peristiwa itu tak bisa lekang dari ingatan. Sebuah peristiwa yang menyisakan kepahitan. Kepahitan yang menjebak sebagaimana ampas tebu yang berhamburan dengan getah nangka yang menjadikannya menyesal seperti burung hantu.

*

Burung hantu itu masih di sana. Dira memotretnya. Rene mengawasinya dari kejauhan. Ia menarik napas panjang. Ia tak tahu apakah ia akan mendongengkan kisah yang sama untuk Dira sebagaimana ibu mendongengkan kisah itu padanya.

Pertanyaan-pertanyaan masih sering muncul dalam dirinya, namun seketika dibungkamnya. Sekali lagi ibunya benar, terkadang ia harus menyimpan pertanyaan-pertanyaan untuk dirinya sendiri. Putri Bulan kehilangan segalanya, dan Rene juga kehilangan semuanya. Ia tak ingin merasakan kehilangan yang lebih besar.

Maret 2017- Agustus 2022

Karisma Fahmi Y, lahir di Kota Pare, Kediri, Jawa Timur. Esai, cerpen dan puisi-puisinya pernah dimuat di beberapa media seperti Solopos, Joglosemar, Nova, Suara Merdeka, Majalah Sastra Horison, dan Koran Tempo. Puisi, esai dan cerpennya tergabung dalam sejumlah antologi. Tinggal di Solo. Buku kumpulan cerpennya adalah Pemanggil Hujan dan Pembaca Kematian diterbitkan oleh penerbit Basabasi, serta satu cerpennya ada dalam buku Antologi Kumpulan Cerpen Koran Tempo 2016.

Iwan Yusuf lahir di Gorontalo 19 Mei 1982, tinggal dan berkarya di Yogyakarta. Belajar seni rupa secara otodidak, ikut program residensi Selasar Sunaryo, aktif berpameran bersama, peserta Biennale di beberapa kota dan geleri seni rupa. Aktif berpameran tunggal sebanyak tujuh kali dan menggagas pameran seni rupa out door bertajuk Menghadap Bumi.

***

 

(9)

Hampir Superman, tapi Bukan

Aminah mengusulkan agar aku membuat film berdasarkan ceritanya. ”Jika film itu sukses,” katanya, ”Aku tidak akan meminta imbalan apa-apa. Semua kejayaan itu untukmu.”

Oleh: DADANG ARI MURTONO 9 September 2022

Satu dari empat pacar Aminah mencoba bunuh diri, tapi gagal. Lelaki itu berdiri di tengah rel kereta dengan linglung. Dan sebelum kereta melindas tubuhnya, seseorang menyelamatkannya. ”Kau tidak seharusnya menyelamatkanku,” kata lelaki itu. Lalu ia pergi dengan murung. Setelah itu, ia tidak pernah mencoba bunuh diri lagi. Namun bagaimana pun, ia tak pernah lagi mencoba menemui Aminah.

Aminah menceritakan itu dengan sedih, namun juga sedikit bangga. ”Ada seseorang yang mencintaiku sedemikian rupa,” katanya.

”Tapi kau tidak mencintainya,” kataku.

”Itu masalahnya,” kata Aminah. ”Aku tidak mencintai siapa pun.”

Aminah mengusulkan agar aku membuat film berdasarkan ceritanya. ”Jika film itu sukses,” katanya, ”Aku tidak akan meminta imbalan apa-apa. Semua kejayaan itu untukmu.”

Aku mengatakan kepada Aminah bahwa itu memang ide film yang menarik. Namun untuk saat ini, aku punya gagasan lain yang tak kalah unik.

”Seorang alien,” kataku, ”Ah, aku tak tahu apakah aku harus menggunakan kata seorang atau seekor atau sebatang atau apalah. Yang jelas, ia yang terakhir dari jenisnya. Planetnya hancur karena satu dan lain hal. Dan ia mengendarai sebuah pesawat luar angkasa lalu terdampar di bumi.”

”Terdengar tidak terlalu istimewa,” sahut Aminah.

”Di bumi,” kataku, ”Tubuhnya menyerap energi dan gravitasi bumi. Lantas ia menjadi makhluk super. Ia bisa terbang, kulitnya sekeras baja, matanya mampu mengeluarkan laser, dan seterusnya.”

”Terdengar familiar,” kata Aminah. ”Seperti Superman.”

”Hampir Superman,” kataku, ”Tapi bukan.”

Dan aku menjelaskan bahwa bagaimana pun, si alien tidak pernah mau menggunakan kekuatannya. Ia berbaur dengan manusia lain, bertingkah polah sebagaimana manusia lain, minum kopi dan mengagumi senja, lari terbirit-birit dikejar anjing, atau jatuh terpeleset ketika melintas di jalan yang licin.

”Tapi itu tidak masuk akal,” kata Aminah.

Aku mengangkat bahu. ”Kenapa tidak?”

”Yah,” kata Aminah. ”Seperti katamu, ia punya kekuatan super. Kenapa ia mesti jatuh terpeleset?”

”Ia memang punya kekuatan super,” kataku, ”dan ia juga makan mie instan atau berutang di warung rokok.”

”Itu bukan cerita yang menarik,” kata Aminah.

Dan aku berusaha menggambarkan kehidupan sehari-hari si alien.

Ia bersin-bersin pada suatu pagi lalu pergi ke puskesmas. Dokter memberinya sekantong obat yang harus ia minum tiga kali sehari, setiap kalinya sehabis makan. Seminggu kemudian, ia masih bersin-bersin. Ia kembali ke puskesmas dan dokter memberinya obat yang sama dengan jumlah yang sama dan aturan minum yang sama.

Seminggu kemudian, ia kembali lagi ke puskesmas.

”Tidak ada yang salah dengan dirimu,” kata dokter setelah memeriksanya. ”Kau seharusnya sudah sembuh.”

”Tapi aku belum sembuh,” kata si alien. Dan ia bersin-bersin.

Dokter kemudian memberi sekantong obat lain, dengan dosis yang ditingkatkan, namun dengan aturan minum yang sama.

Seminggu kemudian si alien kembali ke puskesmas. ”Mungkin ini bersin menahun,” katanya. Dan dokter tertawa.

”Aku tidak pernah mendapat kasus seperti itu,” kata si dokter.

Karena tidak banyak pasien hari itu, mereka bercakap banyak. Dan sebelum pulang, si alien berhasil mendapatkan nomor telepon si dokter.

Aminah menggaruk-garuk kepala. ”Aku paham,” katanya, ”bagaimana hal-hal biografis dari seorang pencipta masuk ke karyanya.”

Aku mengangguk. ”Baguslah kalau kau paham.”

”Aku ingat hari-hari itu,” kata Aminah. ”Maksudku, bagaimana bersinmu tidak sembuh-sembuh. Dan bagaimana bersin itu tiba-tiba hilang setelah kau makan kepiting. Benar-benar aneh.”

Aku tertawa. ”Memang begitulah kenyataannya,” kataku.

Si alien kemudian menjadi dekat dengan si dokter. Mereka beberapa kali pergi bersama untuk mencari batu-batu yang bagus di kali. Si dokter suka dengan segala jenis batu. Si alien suka dengan si dokter. Namun, sepertinya, si dokter tidak tertarik dengan si alien.

Si dokter punya empat pacar. Salah satunya mencoba bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta api begitu menemukan fakta bahwa si dokter tidak setia. Namun usaha si pacar tidak berhasil karena seseorang menyelamatkannya persis sesaat sebelum kereta api melintas. Si pacar yang gagal bunuh diri ini lantas menemui tiga pacar si dokter yang lain, memberitahu mereka apa yang terjadi, dan dengan marah bercampur kecewa, ketiga pacar ini menemui si dokter.

”Pilih satu di antara kami,” kata mereka.

Namun, si dokter menggeleng. Ia tidak bisa memilih salah satu dari mereka, bukan karena ia mencintai mereka semua, namun karena ia tidak mencintai mereka semua. Dan begitulah semua pacar si dokter meninggalkannya.

Namun, si alien masih di sana, menenami si dokter setiap kali si dokter membutuhkan kawan untuk berbincang.

Dan begitulah film itu berakhir. ”Begitu saja?” tanya Aminah.

”Begitu saja,” kataku. ”Tapi bayangkan ini, adegan terakhirnya. Mereka berdua, si dokter dan si alien, duduk berdua menatap senja yang kemerah-merahan. Si dokter mengudap jagung berondong dan si alien mengisap rokok. Senja perlahan-lahan padam. Si dokter yang bersedih karena kehilangan semua pacar-pacarnya, ia memang tidak mencintai mereka, namun bagaimana pun ia sedih, meletakkan kepalanya di pundak si alien. Itu pasti puitis sekali. Dan si alien mengelus kepala si dokter. Mereka tidak lagi bicara apa-apa. Namun penonton tahu, dengan begitu, kesedihan si dokter berkurang. Dan si alien, meski ia mencintai si dokter, namun ia sanggup menahan dirinya untuk tidak memanfaatkan momen.”

Aminah tertawa. ”Persoalannya adalah,” katanya kemudian, ”Kalau ujungnya seperti itu, maksudku, hanya seperti itu, kenapa kau mesti menghadirkan seorang alien yang punya kekuatan super? Yang mesti kehilangan planet asalnya dan terbang jutaan tahun cahaya ke bumi? Itu tidak berguna.”

Aku mengangkat bahu. ”Kukira,” kataku, ”bersedia mendengarkan dan berempati kepada si dokter itulah kekuatan super yang dibutuhkan. Dan ingat, ia tidak berusaha memanfaatkan kondisi si dokter yang tengah bersedih demi keuntungannya sendiri. Misalnya, dengan tiba-tiba mencium si dokter.”

Baca juga: Pilihan Bapak

Aminah kembali tertawa.

”Percayalah,” katanya, ”meski di antara kita kau yang pembuat film dan aku hanyalah seorang dokter puskesmas, namun bisa aku katakan bahwa itu film yang buruk. Kau memasukkan terlalu banyak hal biografis ke dalamnya. Maksudku, si dokter itu pastilah aku. Kita pertama bertemu di puskesmas dan aku punya empat pacar dan kau membantuku mengurangi kesedihan. Namun, tentu saja kau bukan alien. Kau tidak mungkin alien karena alien tidak ada. Dan lebih dari itu, secara keseluruhan, tidak ada adegan yang menarik.”

”Kadangkala begitulah hidup,” kataku. ”Tidak ada adegan yang menarik, namun memang terjadi.”

Hari sudah gelap ketika aku pulang dari rumah Aminah. Di halaman, setelah memastikan Aminah menutup pintu dan tidak mengintip, aku menjejakkan kaki kuat-kuat ke permukaan tanah.

Hanya dengan begitu aku bisa melesat tinggi, lantas terbang dengan cepat ke rumahku sendiri, maksudku, rumahku di bumi setelah pindah bertahun-tahun lalu dari rumah dan planet asalku yang meledak karena satu dan lain hal.

***

Dadang Ari Murtono lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), Cara Kerja Ingatan (novel, 2020), dan Sapi dan Hantu (kumpulan puisi, 2022). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku Cara Kerja Ingatan merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Buku Sapi dan Hantu adalah juara 3 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

***

(10)

Gantung

Masa abu-abu bagaikan pelangi, namun tak seindah pelangi sesungguhnya. Cerita cinta yang kualami tak selamanya membuat bahagia karena dari cinta aku merasakan sakit terkhianati. Inilah bagian kecil dari sketsa ceritaku.

Oleh: FAIZAH, 7 September 2022

Masa putih abu-abu adalah masa yang dinantikan para remaja, khususnya remaja lulusan sekolah menengah pertama (SMP). Masa di mana kami mulai mencari jati diri. Mulai mengenal sketsa dunia remaja sesungguhnya dengan banyaknya cerita yang pasti akan kami ingat dan diceritakan kepada orangtua dan anak-anak kami kelak.

Masa abu-abu bagaikan pelangi, namun tak seindah pelangi sesungguhnya. Cerita cinta yang aku alami tak selamanya membuat aku bahagia karena dari cinta aku merasakan sakit terkhianati. Ini adalah bagian kecil dari sketsa ceritaku. Lain halnya apa yang dialami temanku, Zahra Amanda. Dia harus merasakan kepedihan yang teramat. Masa abu-abu baginya bukanlah menjadi masa penuh kenangan indah, namun semua berubah menjadi petaka.

”Zahra,” panggilku kepadanya.

Dia melirik sekilas tanpa menjawab dan langsung menunduk, bukan dia sombong, tapi dia takut pada Clara yang memandangnya sinis.

”Zahra gak pa-pa?” tanyaku sambil kudekati dia yang duduk di bangku belakang.

Dia hanya menggeleng, tanpa menjawab. Sambil berlalu aku langsung duduk di bangku tepat di depan meja guru. Tiba-tiba suara meja dipukul keras terdengar di telinga, aku menolehkan kepala ke belakang melihat siapa yang memukul meja yang ditempati Zahra dengan sekeras itu.

Apa tidak sakit itu tangan, batinku saat melihat Clara melemparkan buku tulisnya kepada Zahra.

”Culun nih kerjakan tugas fisika gue,” perintah Clara kepada Zahra.

Zahra ingin menolaknya, namun Clara lebih dulu menarik rambutnya. Aku yang menyaksikan sahabatku dilukai, akhirnya memberanikan diri untuk menolong Zahra.

”Hentikan!” kataku dengan nada keras hingga semua anak di kelas menatapku.

”Udah nyuruh-nyuruh pakai kasar lagi,” tanyaku sinis. ”Kamu gila ya!”

”Lo jangan ikut campur!” hardik Clara padaku. ”Mentang-mentang lo anak guru, gue bakal takut gitu?” katanya dengan mata yang memandang sinis ke arahku. Clara pun mendorongku hingga aku hampir terjatuh, namun dengan sigap, Tio ketua kelas menahanku dari belakang.

“Siapa pun yang berani menentang, akan berhadapan dengan gue,” gertak Clara pada semua anak di kelas.

“Gue gak takut sama Lo,” tegasku kepada Clara.

Mendengar ucapanku, Clara pun akhirnya meninggalkan Zahra dan duduk di bangkunya.

“Kamu gak pa-pa kan, Ra?” Dia menggeleng sambil mengambil buku milik Clara.

Aku menariknya dan melempar buku itu pada Clara. Seolah dia akan kembali membalasku, namun Ibu Ika lebih dulu masuk kelas.

“Anak-anak hari ini pelajaran akan berakhir pukul 09.00 wib,” kata Bu Ika yang sontak membuat seisi kelas ramai karena pulang lebih awal dikarenakan bapak ibu guru ada rapat persiapan ujian semester ganjil.

“Pulang pagi gak asik,” kataku pada Tio yang duduk di bangku tepat di belakangku.

Tio pun tersenyum simpul menatap wajahku penuh rasa penasaran.

“Zahra…aku boleh ke rumahmu?” tanyaku padanya.

“Boleh-boleh saja,” jawab Zahra dengan nada lirih.

Aku pun melajukan motorku sambil membonceng Zahra menuju rumahnya. Sampai di rumah Zahra, aku parkir motorku di depan rumah yang menurutku jauh dari kata layak huni.

“Assalamualaikum, Bu.’’

“Waalaikumsalam, udah pulang, nduk,” jawab Ibu Zahra.

“Sudah, Bu,” jawab Zahra sambil mempersiapkan makan ibunya yang terbaring lemah di kamar ukuran 2 x 3 meter.

“Siapa itu, nduk?” tanya ibu Zahra.

“Teman sekolah Zahra.” “Saya Cindy,” beritahuku pada ibu Zahra.

Zahra duduk di samping ibunya, menyuapi sang ibu. Selesai menyuapi dia mencuci piringnya. Kemudian Zahra mengajakku ke kamarnya. Saat dia mengangkat lengan bajunya, aku melihat luka seperti goresan silet. “Zahra…lengan kamu kenapa?” tanyaku penasaran.

Zahra pun menutup luka goresan itu dengan cepat karena tanpa sengaja aku melihatnya.

“Gak pa-pa, hanya tergores pisau saat aku masak,” jawab Zahra.

“Bohong!” Aku ingin teriak bohong kepadanya, tapi pasti dia tidak akan memberitahu alasan yang tepat.

Aku pun berpamitan pada Ibu Zahra karena hari telah sore. Aku lajukan motor merahku dan meninggalkan rumah Zahra dengan membawa rasa penasaran atas luka Zahra.

***

Pembelajaran semester ganjil telah berakhir dan saatnya ujian semester tiba. Aku dan Zahra mempersiapkan ujian ini dengan belajar bersama. Namun, entah mengapa perasaanku pada Zahra tak seperti biasanya. Ada perubahan yang terjadi pada Zahra dan aku pun tak tahu apa penyebabnya.

“Cindy… aku ke toilet dulu ya,” kata Zahra padaku.

“Aku temani ya?” tawarku.

“Gak usah Cin,” Zahra pun keluar tanpa menerima ajakanku.

Cukup lama Zahra ke toilet dan tak kunjung kembali ke kelas. Aku makin penasaran sekaligus khawatir. Aku pergi ke toilet dengan rasa cemas makin menjadi. Namun, sebelum aku sampai ke toilet terdengar teriakan kesakitan, cacian dan pukulan.

“Salahku apa sama kalian.” Kalimat yang aku dengar serasa mengiris ulu hatiku saat aku sadar itu adalah suara Zahra.

Terdengar suara tamparan yang semakin mengiris-iris hatiku.

“Lo gak pantas sekolah di sini,” hardik suara yang tak aku kenal.

“Orang miskin, keluarga pencuri dan ibu lo penyebar virus,” hina suara lainnya.

“Aku gak pernah bikin masalah dengan kakak,” teriak Zahra sambil menahan rasa sakit akibat pukulan dari sebuah kayu. “Aduh, sakit kak.” Dia menangis kesakitan. Aku heran Apa salah Zahra? Sampai dia dipukul seperti itu? Apa karena dia terlahir dari keluarga miskin hingga mereka dengan seenaknya menghakimi Zahra.

“Sumpah! Aku bodoh,” teriakku dalam batin.

Kenapa aku tidak menolong Zahra. Meninggalkannya dengan seribu luka. Sejak kejadian itu, Zahra menjadi sangat pendiam. Ujian pun telah selesai dan aku melihat jelas perubahan Zahra. Entah mengapa hampir satu minggu ujian semester berakhir, aku tak lagi mendapat kabar tentang Zahra.

Rasa cemas makin melanda jadi aku putuskan untuk pergi ke rumah Zahra. Betapa kagetnya saat aku melihat bendera kuning berkibar di depan rumah Zahra. Aku bertanya pada tetangga siapa yang meninggal dunia. Ibunda Zahra, ya benar beliau meninggal 1 minggu yang lalu. Pantas Zahra tidak masuk sekolah. Aku masuk ke rumah Zahra dan melihatnya duduk merenung seorang diri.

“Zahra,” panggilku ketika sudah dekat dengan Zahra yang sedang duduk sendirian di kursi.

Dia menatapku dengan mata sembab.

“Cindy… ibuku telah meninggal,” beritahu Zahra, dia memelukku dengan buliran air mata menetes di pipinya.

“Zahra pasti kuat,” ucapku mencoba menghibur sahabatku yang masih berduka.

“Cindy, kenapa harus aku,” ratap Zahra. “Kenapa aku tidak pernah merasakan bahagia? Kenapa Tuhan selalu menjatuhkan seribu masalah padaku. Apakah Tuhan tidak sayang kepada Zahra?” Suara tangisannya kembali terdengar dan semakin keras.

“Tidak Zahra Tuhan sayang Zahra,” kataku menguatkan sahabatku.

“Aku capek, aku menyerah.”

Zahra tak memiliki semangat lagi. Serasa enggan untuk hidup di dunia dengan kepedihan yang dia rasakan. Di mana keadilan untuk Zahra.

“Zahra gak boleh menyerah,” kataku pada Zahra. “Aku akan selalu ada untuk Zahra.”

“Aku gak kuat menghadapi semua ini,” kata Zahra dengan tangannya yang semakin dingin yang aku rasakan. “Aku ingin sendiri.”

Zahra memasuki kamarnya, aku tinggalkan Zahra sendirian di kamarnya, untuk menenangkan hati dan pikirannya yang sedang kalut. Para tetangga satu per satu pulang. Hanya Pak Ujang dan 2 orang tetangga Zahra masih setia menemaniku duduk di depan.

“Pak Ujang Cindy masuk dulu ya,” pamitku pada Pak Ujang.

Aku pun melangkah ke dalam rumah. Aku berniat untuk menginap di rumah Zahra untuk menemaninya yang sedang sendiri lagian aku sudah izin kepada orang tuaku. Keesokan harinya, aku dan Zahra kembali sekolah dengan suasana hati Zahra yang sedang merasakan kesedihan dan aku? Hatiku merasakan kecemasan kepada Zahra.

“Cindy, aku ke belakang dulu yah.” Tanpa menunggu jawabanku, Zahra lebih dulu keluar kelas. Aku membiarkannya untuk sendiri karena aku tahu mungkin dia akan menenangkan kembali pikirannya. Tapi, 10 menit lamanya dia belum kembali.

“Seru juga, si cupu itu tidak melawan. Lagian suruh siapa dia sok berani menolong adik kelas.” Pernyataan Clara membuatku naik pitam, tapi tunggu…. si culun? Culun yang dimaksud Clara adalah Zahra?

“Zahra di mana?” tanyaku langsung kepada Clara.

“Kok tanya gue?” Clara mendorongku secara mendadak membuatku jatuh terduduk di lantai. Ada sepasang tangan yang terjulur di depanku aku mendongak siapa itu, ternyata Tio.

“Di mana!” bentak Tio kepada Clara.

Dia memutar bola mata malas. “Taman belakang.” Aku segera melangkahkan kaki dengan cepat yang diikuti oleh Tio, aku membelalakkan mata…berjalan pelan menghampiri Zahra yang menggantung dengan tali di lehernya dan darah yang mengalir di daerah pelipis

“Tolong…,” teriakku panik.

Terakhir kali yang aku lihat adalah Tio yang berlari meminta pertolongan.

“Zahra,” teriakku hingga aku tak sadarkan diri.

Aku merasa badan ini lemas namun aku masih bisa merasakan tubuhku dibopong ke ruang depan.

“Cindy sudah sadar,” kata Tio yang duduk di dekatku. “Zahra, Tio… Zahra bagaimana,” lirihku tak kuasa menahan air mata.

Aku sadar darah segar tadi adalah darah Zahra. Saat aku sampai di taman belakang yang aku lihat memang Zahra yang sudah tak sadarkan diri karena oksigen yang tersendat dikarenakan tali yang ada di lehernya ditambah pelipis yang cukup banyak mengalirkan darah sampai terjatuh pada tanah.

“Di mana Zahra,” tanyaku pada Tio. “Zahra di mana, Tio?” tatapku pada Tio, aku sudah tahu pasti tidak ada harapan tapi aku menyakinkan diri sendiri bahwa Zahra masih bisa diselamatkan.

“Ikhlaskan Zahra ya Cin.” Tio menggenggam tanganku erat, mungkin menyalurkan rasa ikhlas.

“Tidak… Zahra jangan pergi,” kataku sambil menggenggam balik tangan Tio yang masih berada dalam genggaman.

Aku mulai tersadar Zahra, sahabatku telah pergi meninggalkanku. Zahra membawa semua kepedihan yang lama dia rasakan. Kekerasan yang Zahra alami meninggalkan luka yang begitu mendalam.

***

Penulis ini bernama Faizah, Faizah suka menulis dan membaca buku fiksi tapi tidak dengan non-fiksi, Faizah sekolah di SMAN 1 Leces, Probolinggo. Faizah mempunyai karya di fizzo dengan nama akun; Faizah_chnl.

***

 

(11)

Pilihan Bapak

Ibu menyembunyikan kesenangannya mengoleksi pakaian dalam seksi berwarna merah muda. Aku dan Jenar baru mengetahui hobi Ibu itu setelah beliau wafat.

Oleh: ATTA VERIN, 4 September 2022

Kamu punya pilihan untuk membenciku seumur hidupmu atau tetap mencintaiku seperti saat kamu kecil dulu. Pesan singkat itu menjadi alasan aku memutuskan untuk mengunjunginya di penjara dua hari menjelang dia dieksekusi. Sebelumnya, aku tak mau bertemu dengannya meskipun dia mengiba-iba ingin memandangi wajah cucu-cucunya untuk terakhir kali.

Aku tak bisa memaafkan malam terkutuk ketika Bapak membiarkan Ibu merangkak ke dapur. Ibu sakit parah sehingga tak mampu berjalan sendiri dan waktu itu di rumah hanya ada Bapak. Rekaman CCTV rumah memperlihatkan Ibu yang memanggil-manggil Bapak di kamarnya—mungkin berteriak, tapi tentu saja CCTV tidak memunculkan suara apa pun—dan Bapak tak juga keluar. Ibu lalu merangkak sendiri dari ranjangnya menuju dapur, mungkin untuk mengambil air minum. Sebelum sampai ke dapur, salah satu kakinya menabrak kaki penyangga pelantang suara TV di ruang tengah. Kotak pelantang yang besar dan berat itu jatuh tepat di kepala Ibu.

Di ruang gawat darurat Bapak menghampiri Ibu untuk membacakan Surat Yasin, tetapi Ibu hanya menatap wajah Bapak dengan sorot mata penuh kebencian lalu memalingkan wajah. Sampai akhir hayatnya, Ibu tak pernah memaafkan Bapak.

Tiga bulan setelah kami menguburkan Ibu, Bapak ditangkap polisi karena membunuh seorang janda kaya. Berita di media massa menyebut Bapak sebagai pembunuh keji berdarah dingin. Bapak kemudian dijatuhi hukuman mati.

***

Tanpa membawa Nala dan Kiki, kedua buah hatiku, aku mendatangi Bapak mewakili dua abangku dan adikku pada Jumat terakhir sebelum hari eksekusi.

Di pintu lapas Mas Paskal menelepon. ”Kamu jadi ketemu Bapak?”

”Ya, Mas.”

”Kamu buang-buang waktu saja, Wid!” Suaranya ketus.

Abang sulungku itu yang paling memusuhi Bapak setelah Ibu wafat. Dia berpikir Bapak sengaja tidak keluar kamar sehingga Ibu terpaksa merangkak dan kejatuhan pelantang suara yang menyebabkan kematiannya. Di antara kami berempat hanya Mas Paskal yang secara frontal menunjukkan kemarahannya.

”Bapak mau ditembak mati, Mas…” ucapku.

”Semoga tidak langsung mati. Kuharap dia merasakan dulu kesakitan yang lebih sakit dari rasa sakit yang diderita Ibu!” sahut Mas Paskal. Kemarahannya merambat bersama gelombang elektromagnetik berjarak tujuh ratus delapan puluh tiga kilometer. Tubuhku ikut bergetar mendengar suaranya yang nyaris berujung tangis.

”Kamu tidak bisa menyalahkan Mas Paskal, Wid,” ujar Mas Sidik sebulan lalu ketika aku mengajak semua saudaraku untuk menemui Bapak setelah aku mendapatkan pesan singkat yang dikirim Bapak menggunakan ponsel sipir lapas.

Mas Sidik lalu bercerita tentang kebiasaan Bapak yang mendidik Mas Paskal dan dirinya dengan keras, seperti tentara. Bapak sering berkata, ”Kalian anak lelaki, jangan lembek!” kepada kedua abangku.

Tetapi, masa kecilku sebagai anak perempuan justru sebaliknya. Bapak memanjakan aku dan Jenar. Kami lalu sepakat bahwa Bapak keras terhadap anak laki-lakinya dan memanjakan anak-anak perempuannya. Mas Sidik tak pernah mendendam dengan cara Bapak mendidik mereka. Tetapi, Mas Paskal tak pernah bisa tersenyum kepada Bapak, apalagi tertawa lepas dengannya.

”Bapak sudah lama tidak cinta lagi sama Ibu, Wid. Bapak pasti punya simpanan. Gelagatnya jelas begitu. Bapak pasti sengaja membiarkan ibu merangkak sendiri saat sakit. Dasar pengkhianat dan pembunuh!” rutuk Mas Paskal.

Jenar lain lagi. Ia tidak berbicara sepatah kata pun, hanya menangis. Ia menuliskan kegusarannya di media sosialnya, menyesali kenyataan bahwa ibunya meninggal dunia karena kelalaian bapaknya. Situasi itu menurutnya musibah besar dalam hidupnya, sekaligus menajamkan tuduhannya bahwa bapak dan ibu tidak saling mencintai.

”Mbak tahu apa artinya lahir dari dua orang yang tak saling mencintai? Artinya kita lahir hanya karena nafsu kebinatangan!” kata adikku itu, lalu merobek foto Bapak dan Ibu yang disimpan di dalam dompetnya. Dia lalu memasukkan potongan foto Ibu kembali ke dalam dompetnya. ”Aku tak akan pernah memaafkan Bapak!” katanya lagi.

”Kamu tidak mau ketemu Bapak untuk terakhir kalinya, Dik?” tanyaku kepadaJenar.

”Nggak! Itu karma dari Tuhan. Bapak memang layak dihukum mati!” Kekejian kalimat itu membuatku bergidik.

Jenar bisa dibilang dimanja oleh Bapak dan Ibu. Tetapi, karena Bapak menentang keputusannya menjadi pramugari, ia memusuhi Bapak. Ketika pacarnya datang untuk meminangnya, Bapak juga bersikap tidak bersahabat. Bapak tidak merestui Jenar menikah dengan seorang ajudan polisi. Tetapi, insiden yang dialami Ibu itu menjadi puncak permusuhannya dengan Bapak.

”Kamu mau bilang apa sama Bapak?” tanya Mas Sidik ketika kusampaikan keinginanku menjenguk Bapak.

”Aku hanya ingin bertanya apakah benar Bapak sengaja mengabaikan teriakan ibu. Aku tak percaya Bapak sengaja melakukannya,” jawabku.

Alasanku bukan karena Bapak memanjakanku. Bapak memiliki banyak sikap dan perilaku yang tidak kusukai. Misalnya, kebiasaannya merokok dan menonton film porno. Tidak seperti Ibu yang menyembunyikan kebiasaan buruknya dari anak-anaknya, Bapak tak pernah berusaha menutupinya. Bapak bahkan membiarkan anak-anaknya mendebat dan mengkritiknya. Bapak tidak takut berkonflik dengan siapa pun.

Ibu sebaliknya. Ibu menyembunyikan kesenangannya mengoleksi pakaian dalam seksi berwarna merah muda. Aku dan Jenar baru mengetahui hobi Ibu itu setelah beliau wafat. Begitupun soal surat cinta Ibu kepada mantan pacarnya yang ditulis pada malam pernikahannya dengan Bapak. Surat yang tak pernah dikirimkan itu disembunyikan di dalam kotak perhiasannya.

”Mas, apakah menurutmu Bapak dan Ibu saling berkhianat?” tanyaku kepada Mas Sidik.

Dia membantahku. Menurutnya, Bapak dan Ibu hanya seperti pasangan lain yang sudah tua dan malas bermesraan. Mereka saling menghindari karena jengah terlihat saling menunjukkan kasih sayang. Kalau soal pisah kamar, Mas Sidik merasa bahwa itu karena keduanya saling tidak nyaman. Bapak tidak nyaman tidur di kamar yang dekat dengan gerbang masuk yang menurutnya berisik. Sementara, Ibu tak nyaman tidur di kamar yang gelap dan sunyi.

”Kamu mencari motif kenapa Bapak mengabaikan Ibu? Kamu yakin dia sengaja melakukannya?” dia balik bertanya.

***

Dengan gelisah aku menunggu Bapak muncul dari pintu ruang tahanan.

Lelaki tua itu berjalan perlahan ke arahku, kedua tangannya terentang ingin memelukku. Aku menolaknya. Dia menunduk. Kami duduk berhadapan di depan meja. Kusorongkan parsel berisi kue dan minuman jahe bersoda kesukaannya. Bapak mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

”Ada yang ingin Bapak sampaikan. Tapi sebelumnya Bapak ingin bertanya apakah kamu pernah Bapak perlakukan tidak baik?” tanyanya.

Aku tak pernah dikasari Bapak, apalagi diperlakukan buruk. Aku tak punya kenangan pahit bersama Bapak. Kami bahkan menyukai grup musik yang sama, Return to Forever. Hanya kami berdua yang suka jazz fusion di keluarga kami. Aku ragu menjawab pertanyaan Bapak. Bayangan Ibu yang merangkak begitu mengganggu.

”Bapak akan mati dua hari lagi. Ini kesempatan terakhir Bapak untuk berbicara kepadamu. Sampaikan apa yang Bapak katakan ini kepada saudara-saudaramu, Nak…”

Lelaki tua itu meneteskan air mata, tapi tak terdengar isakan.

”Ketika Paskal berusia tiga tahun, Bapak dan Ibu sempat berpisah. Kami tinggal di dua kota yang berbeda. Ibumu meninggalkan Bapak karena bapak tidak mau menjadi pegawai negeri seperti yang dia inginkan. Bapak malah ikut pertunjukan keliling, menikmati kehidupan sebagai pemain kendang. Bapak menyukainya meskipun uangnya sedikit. Ibumu bertemu mantan kekasihnya, lalu mengandung Sidik. Tetapi tiga bulan setelah kelahiran Sidik, mantan pacar ibumu itu meninggal karena kecelakaan …”

Aku tercekat. Ternyata Mas Sidik dan Mas Paskal berbeda bapak. Tak ada yang mengetahuinya selama ini. Tiada satu gunjingan pun.

”Ibumu kembali kepadaku, lalu aku bekerja di pabrik dan mewarisi kebun jeruk dari kakekmu. Tetapi, aku sulit memaafkan pengkhianatannya. Aku jadi sering bertengkar dengan ibumu. Kami berusaha memperbaiki keadaan. Kami berpikir mengadopsimu sejak bayi dari panti asuhan adalah salah satu cara untuk memperbaiki hubungan kami. Aku selalu menginginkan anak perempuan.”

Kini aku merasa dunia di sekitarku runtuh. Aku tak mampu mencerna semuanya dengan baik selain menelan kenyataan bahwa aku sesungguhnya anak pungut di keluarga ini.

”Namun, Tuhan Mahabaik, Widi. Setelah kamu berumur dua tahun, ibumu mengandung adikmu. Aku mulai memaafkan ibumu dan merasa bahagia dengan keempat anakku. Tetapi, ibumu berpikir lain. Dia mengira aku tak setia dan mencurigai perubahan sikapku. Dia pikir aku mesra lagi karena aku telah membalas dendam dengan berselingkuh. Kami jadi sering bertengkar lagi. Ibumu disandera perasaan bersalahnya sendiri. Itu tak saja menghukum dirinya sendiri, tapi juga menghukumku…”

”Jadi Bapak betul-betul telah membunuh Ibu?” tanyaku dengan suara bergetar.

”Ya,” jawabnya terisak. ”Bapak memilih untuk mengakuinya. Bapak memang telah membunuh ibumu ketika memutuskan untuk tinggal di kamar yang berbeda dengannya…”

Aku terlonjak berdiri dan tak mampu menahan jeritan, ”Pembunuh!”

Bagai orang gila, aku berteriak kalap. Kumaki lelaki itu. Namun, dia hanya diam menatapku dengan sorot mata kalah sampai aku diseret keluar oleh sipir.

Mas Paskal, Mas Sidik, dan Dik Jenar tak mau mengurus pemakaman Bapak sebagai pembalasan atas kematian Ibu. Terpaksa aku yang mengurus pemakaman lelaki yang telah menjadi bapakku selama dua puluh delapan tahun itu.

Petugas lapas menyerahkan barang-barang pribadi Bapak di dalam kantong plastik hitam. Di dalamnya ada headphone putih besar kado ulang tahun dariku sembilan tahun lalu. Aku memberi Bapak benda itu agar dia bisa mendengarkan musik kesukaannya tanpa membuat orang-orang di sekitarnya terganggu. Ibu tak menyukai musik jazz.

Di bagian dalam lengkungan putih headphone itu terbaca tulisan, ”Bapak sedang mendengarkan Chick Corea waktu ibumu memanggilku pada hari nahas itu. Maafkan Bapak karena tak mendengar teriakan ibumu.”

***

Atta Verin menulis cerpen, novel, dan puisi. Pernah bekerja sebagai jurnalis di Bandung, dan menjadi sukarelawan pramuka sejak 2012. Karena senang memeluk pohon, kini ia tinggal di Desa Ponggok, Klaten.

***

 

(12)

Mengapa Ada Cobek di Atas Tudung Saji

Aku bakal jujur apa adanya. Sebenarnya diriku yang pertama kali berinisiatif menempatkan peranti dapur yang terbuat dari batu itu di atas penutup hidangan di meja makan.

Oleh: LUHUR SATYA PAMBUDI, 3 September 2022

Setiap orang yang pernah masuk ke ruang makan kami akan melihat sesuatu yang cukup aneh di atas meja. Hal itu sudah pasti membuat mereka penasaran. Sungguh wajar belaka apabila lantas menyembulkan satu pertanyaan. Tentu merupakan hal yang biasa di mana-mana, setidaknya pada masyarakat Jawa, ketika sebelum dan sesudah siapa saja ada yang makan, maka terdapat tudung saji untuk menutupi nasi dan lauk-pauk yang terhidang di meja makan. Tetapi, mengapa benda berwarna hitam bernama cobek itu diletakkan di atas tudung saji? Bukankah semestinya cobek ditempatkan di dapur belaka? Menjadi alat utama bagi siapa untuk membuat bumbu sebelum memasak apa saja atau untuk membuat sambal. Jadi, apakah gerangan yang terjadi, hingga di rumah kami sebuah cobek ditempatkan secara terhormat di atas meja makan?

Aku bakal jujur apa adanya. Sebenarnya, diriku yang pertama kali berinisiatif menempatkan peranti dapur yang terbuat dari batu itu di atas penutup hidangan di meja makan. Tentu bukan tanpa alasan hingga kulakukan sesuatu kurang lazim tersebut. Memang terdapat riwayat tersendiri yang menjadi sebab dan menimbulkan akibat. Jadi, pada suatu siang pernah kulihat sebuah kejadian yang sungguh tak terbayangkan. Tak terduga sama sekali bagiku. Tepat di depan mataku, seekor tikus mampu membuka tudung saji dengan bagian depan tubuhnya.

Kebetulan, waktu itu aku tengah berjalan melewati ruang makan dan terdengar suara mencurigakan di atas meja. Terus terang saja aku sempat takjub, nyaris tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Bagaimana mungkin si tikus bisa secerdas itu? Serta-merta kugebrak meja sembari berteriak mengusirnya, maka si hewan pengerat pun terkejut, meloncat terjun bebas dari atas meja, lantas lari tunggang langgang, dan segera menghilang dari pandangan. Aku mengangkat tudung saji guna memeriksa makanan yang berada di bawahnya. Beruntunglah bahwa posisi semua piring dan mangkuk masih utuh pertanda si tikus belum sempat menyentuhnya. Mudah-mudahan memang demikian kenyataannya.

Aku jelas tak bisa bergeming semata. Mesti selekasnya kulakukan sesuatu yang signifikan. Tak dapat kubiarkan peristiwa tersebut terulang kembali di lain waktu. Aku tahu bahwa mesti kuletakkan sebuah barang yang berat agar tudung saji tak bisa lagi diangkat oleh binatang menyebalkan itu. Kuayunkan langkah menuju ke dapur yang bersebelahan dengan ruang makan. Seraya berpikir keras mencari benda apa yang sebenarnya kuperlukan, pandanganku menjelajahi segenap penjuru tempat memasak ibu dan kakak perempuanku, hingga akhirnya mataku terantuk pada sebuah benda bundar berwarna hitam. Kuangkat benda itu dengan kedua tanganku, kemudian secara spontan kuteriakkan, ”Nah, ini dia yang kucari!” Maka sejak siang hari itu senantiasa terdapat sebuah cobek yang nangkring di tudung saji. Aku yakin si tikus tak bakal mampu melakukan hal menakjubkan itu lagi.

***

Namun, persoalan tidak cukup berhenti di situ. Ternyata tak hanya seekor tikus yang pernah mengunjungi meja makan kami. Sejumlah makhluk mungil itu beredar nyaris di seluruh sudut ruangan rumah. Bau busuk kotoran mereka menguar di mana-mana. Berkali-kali kusaksikan sendiri tikus-tikus yang berlarian, tidak di ruang makan dan dapur belaka, tapi juga di ruang depan, ruang tengah, dan bahkan juga kamar tidurku. Apa yang mereka lakukan lama-lama kian menggelisahkan kami sebagai penghuni rumah yang sah. Ada kalanya di kamarku, mereka bahkan naik ke atas dipan yang tak kupakai tidur dan menjadi tempat menaruh puluhan buku koleksiku. Sungguh terlalu! Rak bukuku memang sudah penuh sehingga terpaksalah buku-buku baru kuletakkan di atas dipan kosong itu.

Tetapi, mengapa benda berwarna hitam bernama cobek itu diletakkan di atas tudung saji? Bukankah semestinya cobek ditempatkan di dapur belaka? Menjadi alat utama bagi siapa untuk membuat bumbu sebelum memasak apa saja atau untuk membuat sambal. Jadi, apakah gerangan yang terjadi, hingga di rumah kami sebuah cobek ditempatkan secara terhormat di atas meja makan?

Hewan pengerat yang tinggal di rumahku tak sejenis belaka. Ada si pithi nan mungil tubuhnya dan si curut yang tak bisa berlari kencang. Ada si wirog yang ukurannya sebesar anak kucing dan ada pula tikus rumah sewajarnya. Upaya melawan mereka dilakukan dalam berbagai cara oleh segenap penghuni rumah, tapi tiada yang benar-benar efektif selama beberapa pekan. Pada mulanya dipasanglah jebakan tikus berbentuk kandang dari besi maupun lem tikus yang dioleskan di atas potongan kardus. Tiga empat ekor sempat terperangkap, tapi tetap saja ada yang masih beredar secara leluasa. Aku lantas rajin menebarkan kapur barus warna-warni beraroma superwangi di sejumlah titik, terutama di dalam kamarku, seperti di jendela, pojok kamar, dekat pintu, dan kolong tempat tidur. Aku berusaha membuat mereka tak betah hingga merasa muak tinggal di ruangan pribadiku. Akhirnya racun tikus berupa makanan—yang wujudnya seperti kerikil berwarna merah jambu—mujarab jua menaklukkan mereka. Kakakku yang membeli racun tikus itu. Satu demi satu dari mereka pun tumbang.

Hewan pengerat yang tinggal di rumahku tak sejenis belaka. Ada si pithi nan mungil tubuhnya dan si curut yang tak bisa berlari kencang. Ada si wirog yang ukurannya sebesar anak kucing dan ada pula tikus rumah sewajarnya. Upaya melawan mereka dilakukan dalam berbagai cara oleh segenap penghuni rumah, tapi tiada yang benar-benar efektif selama beberapa pekan.

Dalam masa beberapa hari kutemukan tiga ekor tikus mati di tempat berbeda. Pertama di belakang kulkas, lalu di bawah meja kamarku, dan yang ketiga di satu tempat tak terduga di ruang depan. Semula ada bau busuk bangkai mendominasi ruangan itu, maka kucari di bawah meja, kursi, dan lemari, nihil semata hasilnya. Kubilang pada kakakku dan dia sekadar bilang, ”Cobalah lihat di dalam keramik.”

Kuturuti sarannya, ternyata benarlah apa katanya. Kutemukan bangkai si hitam di dalam lubang benda penghias ruangan bernama keramik buatan Klampok Banjarnegara yang pertama kali kutengok. Serta-merta kuangkat keramik itu ke luar rumah dan kubersihkan dengan cairan disinfektan sehabis membuang bangkainya.

Setelah itu kakakku sendiri yang menemukan bangkai terakhir. Di dapur waktu itu luar biasa menguar bau tidak sedapnya, telah coba kutelusuri, dan tak kunjung kujumpai. Kakakku berinisiatif membongkar lemari di bawah tangga—menuju lantai kedua-dan menemukan seonggok tikus besar tewas di antara kardus berisi piring dan gelas. Sejak saat itu mereka berangsur-angsur menghilang. Tudung saji tak perlu diberi cobek lagi kini. Namun, kami mesti tetap waspada dan membuka mata secara saksama. Sewaktu-waktu mereka bisa saja kembali menjelajahi rumah kami. Maka kebersihan di segala penjuru ruangan wajib selalu dijaga secara berkala, tanpa pernah berhenti. Kerja kami ternyata masih belum usai.

***

Luhur Satya Pambudi menulis cerpen yang dimuat di sejumlah media cetak ataupun digital. Tinggal di Yogyakarta.

***

 

(13)

Rania dan Kesendiriannya

Rania jadi tidak sempat menikmati liburan, sebab lebih banyak mendengar ocehan ibunya. Hal itulah yang ia hindari, dan satu-satunya cara menghindari ialah dengan tidak mengajak serta orang yang telah melahirkannya itu.

Oleh: BULAN NURGUNA, 1 September 2022

Rania berkejar-kejaran dengan ombak di bibir pantai. Bila ombak menuju daratan, ia seolah dikejar. Bila ombak kembali ke lautan, ia seolah mengejar. Setelah capek dan bosan, ia beralih ke permainan lain. Ia menapak di pasir basah, dan saat ombak mulai menghilangkan tapak itu, ia senang memperhatikannya.

Rania sudah lama merencanakan liburan seperti ini. Tidak perlu bersama keluarga atau pacar atau teman-teman kantor. Justru kepergiannya kali ini untuk menghindari semua itu. Beristirahat dari segalanya, dari hidupnya yang terasa biasa-biasa saja.

Sebetulnya ia ingin mengajak ibunya. Sejak masih muda, ibunya jarang pergi ke mana-mana. Namun, ia sadar, kebiasaan ibunya yang selalu tak puas dengan segala hal, serta penuh protes walau segalanya berjalan baik-baik saja, membuatnya membatalkan niat itu. Ada saja makanan di hotel yang tidak enak atau harga hotel yang bagi ibunya terlampau mahal. Rania jadi tidak sempat menikmati liburan, sebab lebih banyak mendengar ocehan ibunya. Hal itulah yang ia hindari, dan satu-satunya cara untuk menghindari hal itu ialah dengan tidak mengajak serta orang yang telah melahirkannya itu.

Ya, liburan bukan hanya tentang pergi ke mana, tapi juga dengan siapa.

Rok putihnya yang lembut, terbuat dari sutra sintetis, telah basah hampir setengah. Bagian paling bawah yang diombang-ambingkan air laut, sekarang menyerupai ubur-ubur, menari-nari dengan riang digerakkan ombak. Dari kejauhan, Rania melihat seorang pelayan mengantar club sandwich ke atas mejanya, di samping sunbed yang telah ia lapisi kain pantai berwarna biru. Tadi sebelum turun ke bibir pantai, ia sempat menyesap banana lassie yang dihidangkan oleh pelayan yang sama. Namun, karena ia belum begitu lapar, ia tidak menunggu makanan yang belum tersaji.

Pelayan itu tersenyum ke arahnya, ia tersenyum ke arah makanannya. Aha, mungkin ia sudah mulai lapar. Berkejar-kejaran di alam yang luas, yang tidak lapar-lapar dan tidak pernah capek rupanya menguras banyak tenaga.

Kaki Rania yang coklat menapak di pasir yang serupa bulat-bulat merica, berjalan ke arah restoran hotel tempat ia menginap. Caranya berjalan hampir-hampir seperti kapas yang diterbangkan angin. Ia senang sebab mengambil keputusan yang tepat. Sebelumnya, Rania beberapa kali berlibur bersama teman sekantornya. Tetapi bukannya rileks dan menikmati pemandangan, teman-temannya malah terlalu sering mengajak foto bersama yang membuat Rania terganggu. Setiap beberapa menit cekrek, setiap beberapa detik cekrak. Seakan mereka rugi bila tak melakukannya.

Kini, dari sunbed-nya, Rania melihat langit seperti memeluk erat gunung yang ada di depannya. Walau gunung itu sangat jauh darinya, tapi karena ukurannya yang besar, gunung itu serasa di depan mata. Belum lagi perahu-perahu yang berlayar atau terparkir, warna-warna yang dipilih sebagai cat terlihat harmonis dengan alam sekitarnya. Rata-rata berwarna biru, hijau, dan coklat, atau gabungan dari ketiganya.

”Permisi, Ibu. Anda tamu hotel ini?” tiba-tiba Rania mendengar suara petugas satpam. Rania menoleh, ia lihat satpam bertanya kepada seseorang.

”Tidak. Saya hanya bermain di sini bersama anak saya.”

”Maaf, bermainnya di sebelah sana saja. Tempat ini khusus untuk pengunjung hotel dan restoran.”

Wanita itu sebenarnya ingin membuka mulut untuk melawan satpam, tapi ia urung dan langsung mengajak anaknya yang balita pergi dari sana.

Rania membayangkan berada di posisi si anak dan wanita itu adalah ibunya. Mungkin mereka adalah warga sekitar dan sejak dahulu si ibu memang sering berjalan-jalan di pantai ini. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak bangunan yang kemudian berdiri dan ia tak bisa dengan mudah mengakses kembali pantai, pikir Rania. Ingin ia membela si ibu di depan satpam itu, tapi cepat-cepat ditepisnya keinginan itu. Ia capek protes dan capek diprotes dalam hidupnya sehari-hari. Kali ini ia hanya ingin beristrirahat dari segalanya. Ia pejamkan mata dan menikmati hangatnya matahari pagi. Ia merasa seperti kerupuk, yang mengembang ketika terkena panas. Otot-ototnya yang kaku dan jarang terkena matahari seketika terasa sehat.

Rania sengaja meninggalkan handphone di kamar. Ia tak ingin terganggu oleh hal-hal yang, untuk sementara, bukan urusannya. Pasti ada beberapa panggilan masuk, pikirnya. Mungkin dari ibunya yang suka bertanya ”Apa kabar?” atau ”Sudah makan atau belum?”. Pertanyaan-pertanyaan yang bagi Rania bukan hanya membosankan, melainkan juga mengesalkan. Sejak lama, Rania tidak mau menjadikan ibunya sebagai contoh; seorang wanita yang baginya tidak punya kehidupan pribadi dan cuma punya kehidupan rumah tangga. Betapa menjijikkan setiap kali ia membayangkan dirinya sebagai ibunya. Berkutat dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berkembang, menghabiskan waktu dalam tumbuh kembang anak-anak dan ekonomi keluarga.

Telepon lainnya mungkin dari kantor, menanyakan ini-itu yang sebenarnya sudah mereka ketahui bila saja mereka mau membuka file di komputer dan melihat dengan baik memo yang Rania tinggalkan. Namun, orang-orang di kantor lebih senang mencari gampangnya dengan bertanya langsung kepadanya. Misalnya Lintang. Lintang akan bertanya sedikit tentang pekerjaan, selanjutnya apa yang Lintang obrolkan adalah apa saja yang menyenangkan bagi dirinya sendiri. Sedangkan bila Rania yang bicara, Lintang tidak pernah menanggapi dan selalu memotong pembicaraan. Lintang tidak sadar ekspresi orang yang berubah dan sudah tak ingin mengobrol dengannya. Sekarang, Rania benar-benar sedang tidak ingin terhubung dengannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang bagi Rania bukan hanya membosankan, melainkan juga mengesalkan. Sejak lama, Rania tidak mau menjadikan ibunya sebagai contoh; seorang wanita yang baginya tidak punya kehidupan pribadi dan cuma punya kehidupan rumah tangga. Betapa menjijikkan setiap kali ia membayangkan dirinya sebagai ibunya.

”Permisi, maaf. Gelasnya boleh saya ambil?” tanya pelayan.

”Sure,” jawab Rania.

”Mungkin Anda mau tambah minum? Oh ya, kami ada special dessert juga untuk hari ini. Carrot cake dan red velvet. Mungkin Anda mau coba?”

”Saya tambah air mineral saja,” jawabnya ringan, seperti seorang putri mahkota. ”Oh, tapi red velvet sepertinya boleh juga,” Rania berubah pikiran.

”Dengan senang hati saya ambilkan, Nona.” Sesaat seakan ada mahkota turun langsung dari langit dan menghujam ubun-ubun Rania.

Suapan pertama cake berwarna merah itu rupanya menjadi titik bagi Rania untuk mengubah keputusan yang dibuatnya pada hari Senin yang lalu, saat pacarnya tiba-tiba melamarnya dengan satu krans bunga dan selingkar cincin. Sungguh sekarang, saat Rania berpikir ulang, ia tidak suka kejutan. Rasa bahagianya tertelan oleh rasa kagetnya. Juga, sejujurnya, ia tak benar-benar bahagia. Ia menikmati hubungannya dengan Fahmi dan itu sudah cukup. Namun, rupanya Fahmi menangkap lain, dan yang mengherankan bagi Rania, kenapa Fahmi tidak bertanya soal lamaran itu saat mereka berdua saja. Itu terlalu mengagetkan, suatu aksi yang tidak memiliki tangga-tangga. Waktu itu Fahmi melamarnya di rumah, dengan hal-hal yang membuatnya kikuk dan harus menjawab ”iya”.

Ya, tentu saja iya. Tidak ada orang yang siap ditolak di depan calon mertua, teman-teman kedua belah pihak, dan persiapan matang serta romantis semacam itu. Namun, sekarang, saat hidupnya berjalan dengan tempo lambat, ditambah sepotong kue yang cantik, ternyata ia berubah pikiran. Dengan semacam eureka! Dan perasaan yang membuncah, Rania mengambil snorkel di atas meja, lalu memasangnya. Ditanggalkannya roknya, dan ia segera melangkah ke pantai. Perasaan seperti terbang itu membuat tubuhnya begitu ringan di dalam air. Ikan-ikan terlihat seperti gemintang dan ia telah siap untuk apa pun yang akan terjadi Senin besok. Ia akan menyelesaikan perkara hingga tuntas. Ia akan menyelamatkan yang tersisa dari hidupnya.

Gang Metro, 27 Maret 2021-12 April 2022

***

Bulan Nurguna, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Kini bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kumpulan cerpennya berjudul Satu Keluarga Telah Lengkap (Basabasi, 2022).

***

 

(14)

Lelaki dari Tukad Badung

Di seluruh masa kanak-kanak dan masa bermain Sura, selalu ada Mbok Wati yang membayang-bayangi anak itu. Sedikit yang dipahami Sura bahwa Mbok Wati tak lebih dari tetangga belaka. Gadis kecil itu bukan kakak kandung.

Oleh: I WAYAN SUARDIKA, 28 Agustus 2022

Sore seharusnya terang. Tetapi mendung menangkupnya, seperti juga menangkup Sura yang berdiri di tepi pagar besi jembatan Tukad Badung. Ia mematung di situ. Matanya memandang ke bawah, ke Tukad Badung, sungai yang membelah Denpasar sejak dahulu kala.

Sura menyandarkan kedua tangannya pada pagar besi jembatan. Pandangannya tak berubah, tertuju ke bawah, lekat menatap air sungai yang berwarna coklat. Air agak meninggi dari biasa dan mengalir deras.

Lelaki itu melemparkan pandangannya ke kejauhan hingga matanya membentur sebuah jembatan kecil melintang di atas sungai. Jembatan itulah sesungguhnya yang menjadi penghubung utama Pasar Badung dan Pasar Kumbasari.

Tak jauh di bawah jembatan kecil itu seharusnya ada sebuah dataran kecil memanjang. Kini dataran kecil itu lenyap. Tetapi di benak Sura, dataran kecil itu masih tersimpan dengan sangat jelas. Tak sadar kalau pulau kecil itu kemudian jatuh ke lamunannya….

TELAH mulai malam. Tetapi Sura masih di Tukad Badung. Ia bersama sejumlah teman sebayanya masih ngobrol melingkar di dataran di tengah sungai. Anak-anak itu nampak semangat betul berbagi tutur. Masing-masing berupaya meneguhkan pokok cerita mereka.

”Bagaimana kalau umpamanya Wang Yu berduel pedang dengan Tilung atau David Chiang?” sela seorang dari mereka. Wajahnya tegang dan matanya melotot seperti mau keluar.

”Semua yang kau sebutkan itu tak ada artinya jika melawan Jango. Apa artinya pedang kalau pistol Jango sudah meletus,” tanggap yang lain.

Makin panas mereka menjagokan pujaan bintang film mereka.

”Dengar…, dengar!” seorang anak mencoba menghentikan keributan mereka. ”Malam ini diputar film India di bioskop Wisnu. Yang main Hema Malini, Mumtaz, dan Rajesh Khanna. Ayo kita nyerobot. Penjahatnya Prem Chopra. Pasti heboh baku pukulnya lawan Rajesh Khanna!” ajaknya dengan penuh semangat.

Tetapi ajakan anak itu disambut dingin oleh kawan-kawannya.

”Film India!” gerutu seorang anak. ”Banyak nyanyinya!”

Keseruan baku cakap mereka dijeda oleh sebuah panggilan berkali-kali. ”Suraaa…, Suraaa…!”

Sura bergegas menghampiri panggilan itu.

”Sudah malam. Ibumu meminta aku mencarimu,” seru Mbok Wati, seorang gadis kecil jelang remaja ketika Sura berdiri di depannya. ”Ayo pulang. Kau bisa kena cakcak sama ibumu!” gerutu Mbok Wati.

”Ya, aku pasti kena cakcak. Sudah biasa,” sahut Sura sekenanya.

Sampai di rumah, ibu hanya memperlihatkan muka masam.

Tukad Badung adalah tempat bermain Sura sehari-hari. Lebih sempit lagi di sekitaran dataran kecil di tengah sungai itu. Ia bahkan telah memiliki sebuah pondok kecil di situ. Sura akan berada di sana menjelang sore. Sering pula menjelang siang selepas munuh di Pasar Badung.

Sura juga bercocok tanam kangkung di pinggir sungai. Anak-anak dan remaja yang menjadi ”penghuni tetap” dataran kecil di tengah sungai itu pada umumnya bercocok tanam kangkung selain juga munuh di pasar. Dua kegiatan ini membuat mereka menjadi ”anak yang banyak uang” untuk ukuran anak-anak.

Di seluruh masa kanak-kanak dan masa bermain Sura, selalu ada Mbok Wati yang membayang-bayangi anak itu. Sedikit yang dipahami Sura adalah bahwa Mbok Wati tak lebih dari tetangga belaka. Gadis kecil itu bukan kakak kandung, bukan pula kakak tiri atau sepupu atau tidak siapa pun. Mbok Wati sepenuhnya hanyalah tetangga. Rumah mereka berdempetan di tengah sesaknya di antara rumah tetangga yang lain tak jauh dari tepi Tukad Badung dan dua pasar besar di tengah Denpasar itu.

Sura merasa Mbok Wati menganggap dirinya sebagai adik ”betulan”. Dan Sura juga menyukai gadis itu. Selain Mbok Wati penuh perhatian kepadanya, gadis jelang remaja itu juga cantik, tubuhnya sintal dan kulitnya putih.

Suatu hari ketika Sura dan Mbok Wati pulang dari Tukad Badung melewati Kawasan Kampung Arab, seorang remaja lelaki Arab memepet dan mencoba merayu Mbok Wati. Dengan perasaan marah, Sura menendang tubuh remaja lelaki Arab itu dan sesudahnya ia memasang kuda-kuda ala Bruce Lee dan bersiap-siap menyambut tanggapan dari remaja lelaki itu. Remaja lelaki Arab itu keder. Ia menyingkir menjauhi Sura dan Mbok Wati.

”Badanmu kecil, tapi nyalimu besar!” puji Mbok Wati.

Sura nyengir kuda. Sekecil itu, tapi ia sudah bisa membusung dada karena bangga oleh pujian Mbok Wati.

Perhatian Mbok Wati yang tulus dan penuh rasa ”mengasuh” itu membuat Sura jadi rindu jika gadis jelang remaja itu tidak bersamanya. Jika mereka bersama, dan Mbok Wati sedang tidak membantu ibunya, mereka akan melakukan hal yang sama bersama-sama.

Mereka sering munuh bahan-bahan dapur di dalam pasar bersama-sama, dan jika perolehan Sura terlampau sedikit, maka Mbok Wati akan memberikan sebagian besar hasil pungutannya kepada Sura.

Mbok Wati bahkan sering menemani Sura menonton film di bioskop Wisnu justru pada saat jam kedua, suatu ”jam tontonan” yang hampir mustahil bagi anak-anak karena saking larut malamnya. Bagi khalayak, jam sembilan malam adalah waktu yang cukup larut, kota sudah mulai lengang dan orang-orang juga mulai jarang berkeliaran. Kedua anak itu justru memulai menonton bioskop pada jam kedua itu. Dan jika mereka pulang hampir tengah malam, maka masalah besar akan pasti menimpa Sura. Ibu tak akan membuka pintu rumah kendati anak itu menggedor sekeras mercon!

Hingga tiba masa sekolah untuk Sura.

”Aku tak ingin sekolah, Mbok,” ujar Sura.

”Tapi tanganmu sudah menyentuh kuping,” tukas Mbok Wati. Ukuran seorang anak boleh sekolah ialah saat tiba masanya tangan seorang anak bisa meraih kupingnya dengan tangan yang berlawanan arah dengan telinga si anak.

”Aku bodoh dan miskin, Mbok,” Sura tetap bertahan dengan keinginannya.

”Kita orang miskin, ya. Tapi kau tak bodoh, Sur! Kau bukan anak bodoh!” bantah Mbok Wati.

”Tapi kenapa Mbok tak bersekolah?” tanya Sura.

”Karena aku tak suka sekolah!” sahut Mbok Wati.

”Aku tak ingin sekolah!” balas Sura.

”Itu beda, Sur! Sudahlah, kau harus sekolah. Kau tak akan pernah tahu apakah kau bodoh atau tidak bodoh jika kau tak buktikan dengan bersekolah!” Mbok Wati menutup baku bantahnya ia meninggalkan bocah itu sendirian di depan rumah Mbok Wati.

Pada hari berikutnya, Mbok Wati mengantar Sura pergi ke sebuah SD di Kereneng. Gadis jelang remaja itu mengantar Sura mendaftar dan diterima.

”Orangtuanya mana?” tanya guru yang bertugas mencatat murid baru.

”Mereka kuli pasar semua, Bu. Mereka buta huruf, tak tahu urusan sekolah,” sahut Mbok Wati tegas.

Sura diterima di sekolah itu.

Dan ternyata Sura menyukai dunia sekolah.

Mula-mula Mbok Wati masih mengantar Sura pergi ke sekolah pagi-pagi. Tapi gadis remaja itu tak mungkin terus-menerus meninggalkan pekerjaannya menjajakan nasi bungkus setiap pagi di Pasar Badung dan Peken Payuk. Ia hanya bisa menjemput Sura saat anak itu pulang sekolah.

”Ternyata aku menyukai sekolah, Mbok,” ujar Sura.

”Sudah kuduga!” tegas Mbok Wati.

”Bagaimana Mbok tahu?”

”Perasaanku saja.”

”Mbok harusnya sekolah.”

”Sudah kubilang, aku tak suka sekolah. Lihat sekolah saja aku pusing!”

Sura nyengir.

Kesenangan akan sekolah membuat Sura lebih banyak belajar dan membaca. Ia mulai ”menarik diri” dari dunia munuh, mulai jarang hadir pada percakapan-percakapan seru di ”daratan” tengah sungai dan tak lagi bercocok tanam kangkung di tepi Tukad Badung. Hanya kegemaran ke bioskop nampaknya belum mereda. Dan sejauh itu, Mbok Wati tetap menjadi ”pengasuh” dan teman setia, terutama mengunjungi toko-toko buku dan taman bacaan.

Sering pula Mbok Wati memberi uang untuk keperluan sekolah Sura. ”Untuk tambahan beli buku,” ujar Mbok Wati. ”Atau untuk sewa komik.”

Sering pula Sura menangis di kamarnya jika mengingat kesetiaan dan kebaikan Mbok Wati.

Hingga menjelang tamat SD, Sura dan Mbok Wati dan para tetangganya tak lagi diperbolehkan mengontrak tanah di tepi Tukad Badung. Mereka tercerai-berai, mencari permukiman baru di sekitar kota. Dan kesalahan terbesar Sura ialah tak tahu ke mana Mbok Wati dan keluarganya pindah. Ia sendiri kemudian pindah ke Pekambingan, masih terbilang kawasan di tengah kota.

Sura masih mencoba mencari tahu dari beberapa tetangga di mana persisnya Mbok Wati dan keluarganya tinggal. Beberapa dari mereka hanya mengatakan suatu kawasan, bukan sebuah alamat lengkap. Yang lain mengatakan Mbok Wati dan keluarganya bertransmigrasi ke Sulawesi. Untuk kepastian transmigrasi ini, Sura telah mengecek ke jawatan transmigrasi di kotanya. Sialnya, ia bahkan tak tahu siapa nama lengkap orangtua Mbok Wati. Hingga menginjak bangku perguruan tinggi, Sura masih terus mencari. Sejauh itu ia hanya heran, bagaimana mungkin kota sekecil ini bisa ”menyembunyikan” seorang Mbok Wati?

GERIMIS akhirnya jatuh juga. Titik-titik air itu melepaskan Sura dari lamunan. Namun ia masih tetap berdiri di tepi jembatan Tukad Badung. Berat hatinya beranjak dari situ. Sungai yang mengalir di bawahnya begitu banyak menyimpan kenangan. Dan bila ia memandangnya, maka lelaki itu seperti dibukakannya pintu masa lalu, masa di mana segala kemurnian tertimbun di sana.

Kemurnian yang paling bercahaya dari masa lalunya justru ada pada Mbok Wati. Bagi Sura, gadis kecil menjelang remaja itulah yang menjadi pembentuk utama atas dirinya yang menjadikan dirinya seperti sekarang ini; seorang lelaki dari Tukad Badung yang memiliki semua yang diimpikan orang.

Ya, bagi banyak orang, Sura telah memiliki segala. Ia telah menjadi orang. Tapi jauh di dalam lubuk nuraninya, ia justru seperti kehilangan segala ketika ia sama sekali belum berbuat sesuatu untuk seorang bernama Mbok Wati.

Mbok Wati, di manakah engkau berada?

Denpasar, 14 Juli 2022

Keterangan

Tukad: sunga. Mbok: kakak perempuan. Munuh: memungut ceceran hasil bumi di pasar tradisional.Cakcak: memarahi dengan memukul (bisa juga dengan memakai sapu lidi, kayu, atau benda lain)

***

I Wayan Suardika adalah pesastra, pengamat seni rupa dan mantan jurnalis, tinggal di Denpasar. Novel dan antologi cerita pendeknya telah diterbitkan. Kini tengah menyelesaikan sebuah novel berlatar jurnalisme.

***