Kumpulan 3 Cepen, Juli 2022

(1)

Tragedi Cinta Amangkurat

Prabu Amangkurat kali ini gegabah mencintai wanita yang sudah bersuami. Pastilah Dewata akan murka. Begitulah Kebo Garang berbincang dengan dirinya sendiri. Menghibur suasana hatinya.

Oleh: ADE MULYONO, 31 Juli 2022

Sudah hampir tiga bulan Prabu Amangkurat tak menyentuh tubuh istrinya maupun garwa ampeyan yang jumlahnya puluhan. Kabar sang prabu kehilangan kejantanannya sempat mencuat menjadi kasak-kusuk di antara para garwa ampeyan. Namun, kabar itu ditepis oleh Ratu Kulon. Dari mulut sang ratu barulah diketahui bahwa Prabu Amangkurat sedang kesengsem oleh kecantikan seorang sinden bernama Retno Gumilang sejak pertama kali bertemu.

Kini sang prabu sudah memantapkan hatinya untuk memboyong Retno Gumilang ke istana untuk dijadikan garwa padmi. Keinginan tersebut menjadi polemik di lingkungan istana. Bagi masyarakat Jawa, menikahi wanita yang sudah bersuami tidaklah lazim. Sang prabu tidak kehilangan cara. Ia segera mengutus senopatinya untuk membunuh suami Retno Gumilang.

Kabar keinginan Prabu Amangkurat yang ingin memperistri Retno Gumilang membuat hati Diyah Wulansari resah. Ia pun bergegas menemui Kebo Garang—iparnya.

”Kebo Garang, apa kamu tahu jika Prabu Amangkurat akan memperistri Retno Gumilang? Sebelum itu terjadi aku ingin kamu membunuh perempuan itu. Sungguh aku khawatir Kakanda Prabu Amangkurat akan mengalihkan cintanya. Sebab, setelah Ratu Kulon, akulah garwa ampeyan kesayangan sang prabu. Aku juga khawatir dari rahim Retno Gumilang akan lahir putra mahkota yang akan menggantikan kedudukan Adipati Anom—putra Ratu Kulon,” kata Diyah Wulansari sambil berjalan mondar-mandir yang menunjukkan kegelisahan hatinya.

”Jujur, hati hamba bergetar hebat mendapat perintah dari Kanjeng untuk menentang keinginan sang prabu. Selama ini tidak ada yang berani melawan Prabu Amangkurat,” balas Kebo Garang.

”Apa yang kamu takuti? Di tanah Jawa ini siapa yang tidak mengenal pendekar Kebo Garang orang kepercayaan Pangeran Pekik? Prajurit-prajurit Mataram pun segan jika mendengar namamu.”

”Benar, Kanjeng, tetapi tetap saja hamba hanya manusia yang pasti tidak akan mampu jika harus menghadapi puluhan senopati Mataram.”

”Itu bedanya pendekar dengan prajurit. Kamu bertarung hanya menggunakan tenagamu, bukan pikiranmu.”

”Maksudnya?”

”Kamu bisa menculik Retno Gumilang tanpa seorang pun tahu siapa yang melakukannya. Terserah ingin kamu apakan setelahnya. Asalkan habisi nyawanya. Aku sangat khawatir Prabu Amangkurat terbunuh oleh kecantikan Retno Gumilang yang begitu gemilang.”

Kebo Garang diam usai menerima sebundel emas dari Diyah Wulansari. Dia masih termenung menenangkan hatinya. Sebagai seorang pendekar, dia tahu kesaktian Prabu Amangkurat dan para senopatinya. Terlebih kekejamannya tiada tandingannya.

Prabu Amangkurat kali ini gegabah mencintai wanita yang sudah bersuami. Pastilah Dewata akan murka. Begitulah Kebo Garang berbincang dengan dirinya sendiri. Menghibur suasana hatinya.

Sebagai seorang pendekar, pantang menyembunyikan keris yang sudah keluar dari sarungnya. Segera saja Kebo Garang mengumpulkan anak buahnya. Telik sandi segera dikirim ke Pasundan untuk memata-matai keberadaan Retno Gumilang.

Sial bagi Kebo Garang, belum juga memandikan kerisnya dengan tujuh rupa bunga, dia sudah harus berhadapan dengan senopati Prabu Amangkurat.

”Keluar kau Kebo Garang. Jangan bersembunyi di bilik istrimu. Aku Senopati Aji Saka menantangmu bertarung sekarang juga,” katanya dengan setengah berteriak.

Mendengar keributan di depan rumahnya, segera saja Kebo Garang keluar. ”Banyak sekali Tuan Senopati membawa tamu, padahal rumah hamba begitu kecil,” kata Kebo Garang dengan tenang.

”Jangan pura-pura bodoh. Kau mengirim telik sandi untuk memata-matai Retno Gumilang, bukan? Para telik sandimu sudah aku ringkus.”

”Biar aku jelaskan. Aku hanya menjalankan tugas dari junjunganku.”

”Siapa junjunganmu? Siapa yang berani melawan Prabu Amangkurat?”

”Itu tidak penting. Tetapi keberadaanmu di Pasundan justru membuatku curiga. Misi apa yang kau bawa?”

”Analisismu bagus juga Kebo Garang. Kita sama-sama menjalankan tugas. Dan tugasmu mengacaukan tugasku.”

”Jangan berbelit-belit, katakan yang sebenarnya atau keris lekuk pituku yang akan memaksa mulutmu untuk bicara!” kata Kebo Garang yang mulai habis kesabarannya.

”Aku juga mempunyai keris. Apa kau penasaran ingin menguji kerisku?”

”Kalau begitu lekas katakan!”

”Aku diperintah untuk membunuh Ki Dalem, suami Retno Gumilang.”

”Bedebah. Berarti kau musuhku. Cabut kerismu. Kita buktikan kulit mana yang lebih keras. Kulitmu atau kulitku.”

Pertarungan pun terjadi dengan sengitnya. Setelah mengeluarkan jurus pamungkasnya masing-masing, Kebo Garang berhasil merobek perut Senopati Aji Saka meski dia mengalami luka cukup parah di lengan tangannya.

Kematian Senopati Aji Saka berhasil menggemparkan Istana Mataram. Prabu Amangkurat sangat marah menyaksikan salah satu senopati terbaiknya telentang di hadapannya dengan luka mengerikan. Sang prabu menuding Ki Dalem dan orang-orangnya telah membunuhnya. Segera saja sang prabu memberi titah kepada panglima perang Mataram untuk mengepung pedepokan Ki Dalam beserta pengikutnya dan meringkusnya hidup atau mati.

Kabar penyerbuan pasukan Mataram ke pedepokan Ki Dalem yang dipimpin langsung oleh panglima perangnya terdengar ke seluruh pelosok negeri. Kebo Garang bersyukur Prabu Amangkurat tidak mengetahui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Meski begitu, nalurinya berkata lain, bagaimanapun juga dirinya harus menemui Ki Dalem untuk memberi tahu penyerbuan pasukan Mataram.

Kurang dari setengah hari perjalanan, Kebo Garang sudah sampai di pedepokan Ki Dalem. Tanpa tedeng aling-aling, dia langsung memberi tahu rencana Prabu Amangkurat yang akan menghancurkan pedepokan dan membunuh Ki Dalem. Itu disampaikan oleh Kebo Garang seusai istri Ki Dalem, Retno Gumilang, mengobati luka di lengannya yang menganga.

Detik itu juga ia terpesona oleh kecantikan Retno Gumilang. ”Inikah perempuan yang membuat Prabu Amangkurat kehilangan akal warasnya,” ujarnya dalam hati.

”Lebih baik Ki Dalem tinggalkan pedepokan ini. Jumlah pasukan Mataram yang diturunkan begitu banyak dengan persenjataan lengkap,” ujar Kebo Garang seusai menguasai hatinya yang tiba-tiba bergejolak melihat kecantikan Retno Gumilang.

”Tidak. Sekalipun harus mati, aku akan mempertahankan tanah leluhur buyut kami,” balasnya tanpa ragu-ragu.

”Bagaimana dengan Retno Gumilang? Terlebih istrimu itu sedang mengandung.”

Ki Dalem diam sebelum berujar pada istrinya, ”Bagaimana Dinda?”

”Aku terserah Kang Mas saja. Asal aku tetap bersama Kang Mas.”

”Itu bukan pilihan yang bijak,” sergah Kebo Garang.

”Lalu?”

”Jika Ki Dalem tidak keberatan, aku akan membawa istrimu menyingkir dari pedepokan sambil mengawasi situasi.”

”Apakah aku turuti saja keinginan Prabu Amangkurat. Karena akulah biang kerok dari semua ini. Dari awal Prabu Amangkurat menginginkanku untuk menjadi istrinya,” sela Retno Gumilang sambil menangis.

”Tidak, Dinda. Di mana letak kehormatan seorang suami jika menyerahkan istrinya kepada lelaki lain untuk dinikmati biliknya. Biar aku hadapi pasukan Mataram. Kisanak, bawa istriku menjauh dari pedepokan.”

”Baik,” balas Kebo Garang dengan hati girang.

Segera saja Kebo Garang membawa Retno Gumilang ke rumahnya. Kedatangan Retno Gumilang disambut baik oleh istri Kebo Garang. Namun, setelah beberapa hari sang istri mulai cemburu lantaran suaminya tidak lagi memperhatikan dirinya.

”Sedang apa Kang Mas?” tanya sang istri suatu malam di kamarnya.

”Menulis syair,” jawab Kebo Garang ringkas.

”Tumben. Sudah lama sekali Kang Mas tidak menulis syair untukku.”

”Ini bukan untukmu. Ini untuk menghibur hati Retno Gumilang yang sedang gelisah.”

Mendengar jawaban suaminya, sang istri murka. Ia pun memberi tahu keberadaan Retno Gumilang kepada Diyah Wulansari.

Segera saja Diyah Wulansari menuju rumah Kebo Garang. Sesampainya, Diyah Wulansari meminta Kebo Garang untuk menyerahkan Retno Gumilang. Namun, permintaan itu ditolaknya dengan alasan jika dirinya akan memperistrinya. Diyah Wulansari sangat marah mendengar jawaban itu. Tanpa menunggu lama, Diyah Wulansari mengambil sebilah pisau untuk menghabisi Retno Gumilang. Kebo Garang tidak tinggal diam. Hanya dengan sekali gerakan, pisau tersebut telah menancap ke perut Diyah Wulansari.

Istri Kebo Garang begitu sedih melihat kakaknya tewas di tangan suaminya. Tanpa pikir panjang, dia mencabut keris suaminya dan menusuknya dari belakang. Seketika Kebo Garang tewas oleh kerisnya sendiri. Kemudian istri Kebo Garang memerintahkan para pengawal untuk membawa Retno Gumilang ke istana.

Kini sudah setahun Retno Gumilang tinggal di istana dan menjadi istri kesayangan Prabu Amangkurat yang telah memberinya gelar Ratu Wetan. Seiring bergulirnya waktu, Retno Gumilang akhirnya mengetahui bahwa suaminya sudah lama tewas saat penyerbuan pasukan Mataram. Sejak saat itu dia mulai sakit-sakitan. Sementara keberadaan Retno Gumilang di keputren membuat istri dan para garwa ampeyan terbakar api cemburu.

Pada suatu malam salah satu garwa ampeyan menyuruh dayangnya untuk meracuni makanan Retno Gumilang. Seketika Retno Gumilang tewas dengan mulut berbusa. Kematian wanita yang terkenal dengan kecantikannya itu membuat hati Prabu Amangkurat terpukul. Sang prabu yang mengetahui penyebab kematian istri tercintanya langsung memerintahkan prajuritnya untuk mengurung semua garwa ampeyan dan dayang-dayangnya ke penjara tanpa diberi makan hingga semuanya tewas.

Dalam kesedihannya, sang prabu memutuskan meninggalkan kerajaan untuk menemani mayat istri tercintanya di atas bukit Gunung Sentana. Di samping mayat istrinya, sang prabu berujar, ”Kecantikan adalah kutukan bagi seorang wanita. Dan cintaku padamu adalah korban dari kutukan itu.”

Jakarta, Juni 2022

*******

Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Tulisannya dimuat di sejumlah media. Novel terbarunya Namaku Bunga (2022).

*******

(2)

Lidah

Aku paham mengapa Mas Harso yang pendiam terdorong menegur istrinya. Pasca tiga tahun menanti, Tuhan menganugerahi Mbak Ajeng kesempatan mengandung.

Oleh: MARALYN GN MUNAISECHE, 30 Juli 2022

Namaku Sarita. Aku dibantu beberapa tetangga, sedang sibuk memasak. Aku sesekali terkikik, terhibur canda. Besok, kami sekeluarga akan melaksanakan syukuran. Ibu Nuraini, mertuaku yang berusia 48 tahun, dinyatakan mengandung.

Tiada yang menyangka karena Ibu hampir tidak menunjukkan ciri-ciri mengidam seperti mual, misalnya. Kondisinya justru terkuak ketika Ibu, ditemani Bapak Handoko, suaminya, mengecek gula darah di rumah sakit kabupaten kemarin.

Manakala perawat mengukur tekanan darah, dia terkejut melihat tingginya angka tertera di alat ukur. Kebingungannya bertambah lantaran Ibu tidak mengeluh pusing. Dipanggillah dokter. Pemeriksaan saksama sang dokter mengungkapkan kenyataan. Bapak berkali terbahak geli membayangkan dia bakal memiliki bayi di usia ke-57.

***

Keempat anak-menantu Bapak Handoko dan Ibu Nuraini yang tinggal di kanan dan kiri rumah utama, berkumpul di rumah utama sekarang.

”Bisa-bisanya, aku dan Ibu berbarengan hamil,” keluh Mbak Ajeng, kakak Mas Tirta, suamiku.

”Anak itu rezeki, Jeng,” ingat Mas Harso, suaminya.

”Semoga Ita hamil pas aku dan Ibu selesai lahiran,” harap Mbak Ajeng.

”Jangan begitu, Jeng. Kalau Ita hamil dekat-dekat ini, ya, wajib kita syukuri,” nasihat Mas Harso.

”Ih, malunya! Masak, ibu, anak, dan mantu lomba hamil,” protes Mbak Ajeng.

Aku paham mengapa Mas Harso yang pendiam terdorong menegur istrinya. Pasca tiga tahun menanti, Tuhan menganugerahi Mbak Ajeng kesempatan mengandung. Mas Harso lega sebab perdebatan dengan keluarga besarnya yang berdarah biru menemui penyelesaian terbaik.

”Mbak Ajeng, kita wajib terima kehamilan Ibu!” Mas Tirta mendukung abang iparnya.

Mendadak, Ibu mengeluh, ”Apa kata orang-orang nanti?!” Ibu menampik Bapak yang hendak mendekap. ”Gara-gara Bapak terlalu genit,” sungutnya.

Perut Bapak dicubit sehingga Bapak mengaduh.

***

Ibu mengurung diri di kamar tidur lebih dari seminggu. Permohonan Bapak agar Ibu menikmati sinar matahari pagi didiamkan. Bapak sampai mengizinkan Ibu membeli apa saja keinginannya asalkan menurut. Akan tetapi, Ibu bergeming. Malah, Ibu melarang Bapak tidur sekamar dengannya. Mas Tirta terpaksa turun tangan.

”Waduh! Anak kesayangan gagal!” Betapa kecewanya Bapak menyaksikan Mas Tirta keluar dari kamar tidur Bapak dan Ibu dengan gontai.

”Gagal, Mas?” Aku tergelitik bertanya meskipun tebakanku sembilan puluh sembilan persen mengikuti analisis Bapak.

Mas Tirta menghela napas berat sambil menghempas bobot di kursi.

”Mas, bagaimana?” Aku menggoyang-goyangkan tangan kanan Mas Tirta yang jadi tumpuan dagunya.

Mas Tirta menatapku tak berdaya sembari berkata, ”Kamu lihat sendiri. Sang Ratu menolak muncul!”

Bapak meremas rambut. ”Gawat, Ibu kalian benar-benar murka!”

”Habis, mengapa bisa kejadian, sih, Pak?” Tahu-tahu, Mbak Ajeng sudah berdiri di ambang pintu dan mengagetkan kami.

Bapak menekuk wajah, kemudian membuang pandang. Mbak Ajeng menghampiri kami, lalu duduk di sebelahku. Kami berempat terdiam sejenak.

Sekonyong-konyong, Mbak Ajeng memecah keheningan. ”Sampai lupa! Jadi ikut aku dan Ita belanja, Pak?” Mbak Ajeng seenaknya mengubah topik percakapan, salah satu kebiasaan buruknya.

Namun, hal itu berhasil mengusir mendung di wajah Bapak. Mata Bapak berbinar. ”Iya, Jeng! Kamu sama Ita coba ajak Ibu.”

***

Aku dan Mbak Ajeng gagal membujuk Ibu. Hanya aku, Mbak Ajeng, dan Bapak yang pergi. Mas Harso bekerja, sedangkan Mas Tirta menjaga Ibu. Tatkala menjejak kaki di mal terbesar ibu kota itu, kami bergegas ke konter perlengkapan bayi. Bapak bersemangat memilah beragam baju bayi menggemaskan. Bapak sempat gundah menentukan warna biru atau merah muda. Bapak membeli kedua warna untuk setiap model yang diminati akhirnya.

Mbak Ajeng menyarankan memilih warna netral karena gender calon adiknya belum diketahui, tetapi Bapak menolak.

”Andai bayi kami laki-laki, yang pink buat bayimu.”

”Kalau bayinya Bapak perempuan seperti bayiku?”

”Begitu Ita hamil dan melahirkan, yang biru buat bayinya.”

”Lah, ternyata bayinya Ita perempuan juga?”

Bapak menggemeretak gigi menghadapi argumentasi beruntun putrinya yang berusia 27 tahun itu. Oh, ya, Mbak Ajeng terpaut dua tahun lebih tua dari Mas Tirta. Menurut Ibu dan Mas Tirta, Mbak Ajeng kompak dengan Bapak walaupun mereka kerap bersitegang bahkan demi persoalan sepele.

***

Tengah Bapak dan Mbak Ajeng saling mempertahankan pendapat, aku terusik pandangan sinis segelintir pengunjung.

”Amit-amit, simpanan kakek tua!”

Aku mengernyit.

”Masih muda dan cantik, eh, milih melakor. Mana lagi hamil!”

Wah, tercipta salah sangka rupanya!

Aku bergidik membayangkan apabila Mbak Ajeng yang mudah terpancing emosi, mendengarnya. Aku buru-buru mendekati Bapak dan Mbak Ajeng.

”Pak, Mbak, aku lapar.”

”Sebentar lagi, Ta,” ujar Bapak.

Mbak Ajeng mengiyakan.

”Habis makan, kita ke sini lagi. Mbak ndak boleh telat makan. Kasihan Dedek bayi.”

Untunglah, usulku disetujui. Kami bertiga pun ke kasir.

”Aku lupa gendongannya!” seru Mbak Ajeng.

Aku cepat mengambil barang yang dimaksud. Saat berjalan balik ke kasir, kusaksikan Mbak Ajeng bertikai sengit dengan seorang gadis belia. Kian dekat, semakin jelas isi pertengkaran mereka.

”Lidahmu tajam! Beraninya kamu mengatai saya pelakor. Ini Bapak kandung saya!” bentak Mbak Ajeng.

Si gadis belia bertahan. ”Bohong! Muka kalian beda.”

”Muka saya mirip Ibu! Muka Bapak mirip adik saya!”

”Mbak ini? Beda, tuh!” Si gadis belia menudingku.

”Saya, iparnya. Suami saya, adik bungsunya,” ujar seraya menepis telunjuknya.

”Ndak percaya!”

Aku yang tersulut amarah, menghardik, ”Jaga lidahmu! Jangan urusi orang lain kalau tidak tahu faktanya!”

Si gadis belia bersedekap pongah.

”Bapak rekam kejadiannya?” tanyaku ke Bapak.

”Iya.”

”Kita buat pengaduan pencemaran nama baik ke kantor polisi.”

Si gadis belia sedikit menciut.

Dengan gesit Mbak Ajeng mengambil sesuatu dari tangan kasir yang bermaksud menyodorkan ke si gadis belia. Aku terkekeh memandangi kartu kredit yang diserahkan Mbak Ajeng kepadaku. Belum sempat kufoto, si gadis belia merebut.

”Terserah, Mbak Clara Olivia Sinta.” ***

Bapak menggemeretak gigi menghadapi argumentasi beruntun putrinya yang berusia 27 tahun itu. Oh, ya, Mbak Ajeng terpaut dua tahun lebih tua dari Mas Tirta. Menurut Ibu dan Mas Tirta, Mbak Ajeng kompak dengan Bapak walaupun mereka kerap bersitegang bahkan demi persoalan sepele.

Wajah Clara memucat. Sepertinya, dia tak menyangka jika nama lengkapnya di kartu kredit terpindai diriku.

”Mbak, kami ndak menuntut neko-neko. Kalau Mbak siap direkam minta maaf ke kami di hadapan semua orang sekarang, kami ndak lapor,” jelasku.

”Lapor saja! Aku ndak takut. Keluargaku banyak orang kuat. Yang ada, kalian kutuntut balik,” sesumbar Clara.

Aku menggeleng-geleng iba. Dia bermasalah terhadap kami tanpa sebaliknya. Tiada kesempatan dia menuntut balik kami. Tiba-tiba, dia menyambar belanjaannya, lalu melesat pergi.

”Orangnya kabur, Mbak,” celetuk seorang pengunjung.

”Tenang! Saya telah cek semua akun medsos dia. Alamat dan nomor hapenya ada di salah satu posnya di Fb,” sahutku.

Mbak Ajeng tersenyum menang, lantas berucap, ”Berarti, kita bisa lapor secepatnya, Ta.”

”Berani sekali buat masalah,” imbuh pengunjung lain.

”Dia masih muda. Perempuan pula. Bagaimana reaksi keluarganya nanti?”

Pengunjung yang baru selesai melakukan pembayaran bergabung mengobrol.

”Kita lihat saja. Dia bilang kalau keluarganya banyak orang kuat,” ucap Mbak Ajeng.

******

Maralyn Munaiseche-Simanjuntak lahir di Jakarta, tanggal 24 Desember 1978. Dia menjalankan hobi menulis cerpen di sela-sela pekerjaan utamanya sebagai penulis skenario dan sinopsis untuk FTV dan beberapa series.

******

(3)

Surat Dadong dari Surga

Sayup-sayup terdengar suara radio yang memberitakan terjadi kekacauan politik di Jakarta. Pahlawan menjadi tertawan dan melahirkan figur baru menjadi panutan.

Oleh: SYAFRIZAL MALUDIN, 28 Juli 2022

Serombongan remaja perempuan berjalan menuju Balai Desa di sebuah dusun. Pembicaraan itu terhenti dan tertuju pada pertanyaan Gung Citra untuk Ani. Semuanya terdiam menunggu sebuah jawaban dari Ani. Seandainya Ani tidak bergabung dengan rombongan ini, mungkin kasus yang memalukan ini tidak akan sempat menjadi berita. Gung Citra menggunakan kesempatan menanyakan hal yang agak tabu sesama remaja perempuan yang masih duduk dibangku sekolah. Tapi, rasa ingin tahu itu lebih besar dari keengganannya. Lagi pula, Ani adalah sahabat yang memiliki hubungan khusus dengan keluarga Gung Citra. Sayup-sayup terdengar suara radio yang memberitakan terjadinya kekacauan politik di Jakarta. Pahlawan menjadi tertawan dan melahirkan figur baru menjadi panutan. Penculikan jenderal menjadi bagian penting. Berita itu menyelamatkan Ani keluar dari lingkungan pembicaraan yang menyudutkan itu. Keadaan ekonomi keluarga Ani menyudutkannya untuk menerima pinangan laki-laki dari keluarga yang ekonominya lebih baik. Tapi, sebetulnya Ani masih berharap bisa menyelesaikan sekolahnya, Permintaan Aji-nya sulit untuk ditolak, tapi berat juga untuk diterima. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kedua orangtua Ani pupus dalam sebuah kecelakaan. Ani mempertanyakan takdir buruknya pada Sang Pencipta. Warga membantu pemakaman dan menitipkannya pada keluarga Gung Citra. Mereka seperti saudara kembar. Umur dan ketertarikan yang sama membuatnya semakin akrab. Ani lebih banyak bicara dan keluar rumah dibandingkan dengan Gung Citra. Sampai suatu hari, Ani tidak pernah datang lagi di dusun itu. **

Sajian makan siang itu terasa berbeda. Kedua anak Gung Citra sudah siap di meja. Tidak biasa ibunya membiarkan mereka makan sendiri-sendiri. Ibunya gemar melayani anak-anaknya saat makan siang. Dari nasi, lauk, sampai vitamin selalu disediakan Gung Citra.Air yang ragu untuk keluar dari mata yang memerah itu menyiratkan sesuatu yang tidak biasa pada surat yang dibacanya. Ini adalah surat pertama setelah tiga puluh tahun terpisah dengan Ani.

Sepanjang waktu itu bukannya tidak mau mencari Ani, namun berita yang datang mengenainya simpang siur dan tidak enak didengar. Aji-nya beberapa kali mencarinya ke Kuta, tapi dia selalu kabur. Aji menyadari posisinya yang disegani oleh Ani. Ibunya yang akhirnya berhasil menemui Ani dan menitipkannya kepada keluarganya yang tinggal di sana. Menurutnya, walaupun Ani memang selalu berpindah-pindah, dia harus ada tempat tinggal yang layak. Ani memang sudah diperlakukan seperti anak sendiri oleh keluarga Gung Citra. Beberapa kali Ibunya harus bermalam di rumah sakit di Denpasar merawat Ani. Lamunan Gung Citra saat membaca surat berlembar-lembar dari Ani disela dengan berita terbakarnya pasar-pasar besar di Jakarta. Masalah politik lagi sepertinya. Aparat keamanan berhadapan dengan mahasiswa di depan Gedung DPR. Di surat pertama itu, Ani menceritakan kelahiran anaknya. Dia lari menolak dinikahi oleh seniman tato di Kuta yang sering dibicarakan di Dusun. Menurutnya, orang itu sudah beristri dan banyak perempuan mengidolakannya. Ani membawa nasib bersama calon manusia di dalam perutnya ke Denpasar. Dia bekerja di sebuah Warung Jawa, begitu sebutan untuk rumah makan dengan menu halal di Denpasar. Warung ini bukan tujuan akhirnya pada perjalanan hari itu. Ani berniat pulang ke Bangli pada hari itu. Namun, calon bayi ini sepertinya tidak mau kompromi. Ketubannya pecah saat berjalan di depan warung ini. Keluarga pemilik warung ini menerima kehadiran Ani, membantu persalinannya sampai membesarkan Putri. Sejak lahir, Putri dipelihara Ibu Ijah, pemilik warung. Di tengah kesibukannya, dia selalu menomorsatukan Putri. Saat demam menyerang, Putri selalu tidur bersama Ibu Ijah. Putri memanggilnya Dadong, yang artinya Nenek dalam bahasa Bali.

Sejak diterimanya surat itu, mereka sering berkirim kabar. Lembaran putih itu menjadi penuh dengan cerita yang saling bersambut di antara keduanya. Pernah dia menceritakan kegalauannya saat memeluk agama Islam. Banyak yang mempertanyakannya, termasuk pemilik warung Ibu Ijah. Banyak yang berpikir dia akan dinikahi oleh laki-laki Muslim saat dia mengurus perubahan identitas pada KTP-nya. Menurutnya, keyakinan berasal dari dalam tidak ada yang bisa memengaruhinya. Itu dasarnya sehingga dia tetap membesarkan Putri sebagai perempuan Hindu.

Ani justru menikah dengan David dan bersama Putri hijrah ke Brisbane, Australia. Menurutnya, rumah yang ditinggalinya di sana lebih mirip seperti hutan yang ada rumahnya. Jarak satu rumah dengan rumah lain mungkin sekitar satu kilometer. Lebih banyak pohon dibandingkan rumah. Dari depan, rumah ini seperti bangunan biasa. Tapi, ternyata bangunan ini di pinggir tebing dan dua lantai lagi terdapat di bawahnya. Rumah di Gold Creek menyaksikan kelahiran Anthony. Sejak kelahirannya, rumah hutan itu menjadi semakin ramai. Riuh rendah suara teman-teman Putri selalu hadir di rumah ini dari siang sampai malam setiap hari Selasa. Berbeda dengan hari Jumat malam saat beberapa mobil terparkir di bawah pohon-pohon besar.

Pemiliknya berbaju putih diikuti oleh istri dan anak-anaknya berkumpul di beberapa bagian rumah. Biasanya laki-laki dewasa akan mengaji di lantai atas dan para ibu bersosialisasi, mengawasi anak-anaknya dan menemani Ani menyiapkan panganan.

Yit dan Wasa dari komunitas Bali punya tempat tersendiri di lantai paling bawah. Di sana disimpan baju daerah, kostum untuk tarian Bali, alat musik sampai ukiran dan hiasan khas Bali. Di tempat ini juga Ani mengajar menari Bali. Ada sepuluh tarian yang dikuasainya. Muridnya tidak dibatasi pada warga Indonesia di sana. Melalui pekerjaan ini, dia banyak dikenal. Beberapa penghargaan atas jasanya ini juga diterimanya. Jika ada kegiatan besar seperti pementasan atau hari raya Hindu, lantai itu menjadi seperti aula kosong. Penghuninya bekerja meramaikan hajatan Yit dan Wasa. Ani biasanya mendapatkan bagian pekerjaan menari atau menghias penari pada acara-acara seperti itu.

Keramaian yang tidak rutin terjadi pada suatu hari. Sekumpulan mobil terparkir seperti sapi-sapi yang merumput. Termasuk yang mengular dari gerbang depan rumah hutan yang berjarak hampir 1 kilo. Ani didatangi komunitas gereja lengkap dengan jemaatnya yang membantu mempersiapkan pemakanan David. Begitu juga para sahabat keturunan Pakistan, Sri Lanka, Malaysia, dan Indonesia yang turut menemani menerima pelayat yang banyak itu. Mereka dibantu Komunitas Bali membantu di antara pelayat-pelayat itu. Setidaknya kesedihannya terkikis dengan kehadiran dan bantuan mereka. Masih tergambar kelembutan dan kelucuan David saat pertama bertemu di Ubud. Matahari pun disembunyikan awan pada saat itu. Arah pada peta yang disalahkan itu mengawali perubahan jalan hidup Ani dan Putri.

Virus ini menerjang liar seperti banjir yang terjadi di Queensland tahun 2019. Dia tidak memedulikan dan merampas semua mobil yang terparkir, gedung kampus, toko, sampai taman bermain. Wabah Covid-19 ini juga menyerang siapa saja, lelaki, perempuan, pekerja, mahasiswa, pendeta menjadi korbanya. Termasuk Ani. Anthony sudah berada di Rumah Sakit. Jenazah Ani diizinkan keluar dari rumah sakit ternyata virus itu hanya singgah dan keadaan lain yang menyebabkan kematiannya. Mereka bertemu dengan Pak Wasa dan Pak Yit di pemakaman. Dua hari berlalu dan Putri bersiap-siap untuk pulang ke Jakarta. Segala urusan dengan pengacara dan otoritas terkait kematian dan pemakaman sudah diselesaikan. Tanggung jawabnya sebagai pimpinan sebuah industri makanan asal Australia di Jakarta tidak mungkin ditinggal lama. Walau keberadaannya di kota ini, Putri menyempatkan untuk menghadiri pertemuan di kantor pusat di Boundary St. Pandemi ini berpengaruh pada daya beli dan perilaku konsumen. Diperlakukan penyesuaian dalam penyusunan strategi. Rasa haru dan tekanan pada dada Putri tidak terbendung. Dia menangis sambil memasukan pakaian dan perhiasan-perhiasan kecil milik ibunya. Nanti biar Tony, adiknya, yang akan membagi dan menyumbangkan baju-baju ini. Pandangan Putri menerawang ke sekeliling sudut tempat tidur itu. Disini tempat dia mengadu permasalahan sekolah, keuangan, teman prianya pada Ani. Ibunya ini yang selalu memberikan jawaban yang menghangatkan hatinya. Di sini juga Ani memberikan restu dan mendoakannya saat Putri memutuskan untuk menempati kantor di Jakarta. Pandangan itu terhenti pada sebuah kitab. Al Quran ini selalu dibaca Ani setiap malam. Putri sering mendapatinya mengaji dengan air mata bercucuran pada halaman yang dibacanya.

Secarik kertas kecil terjatuh dari kitab itu saat akan diambil dari atas meja didekat tempat tidur.Dear Ani, Allah maha ampun. Kamu sudah membesarkan Putri dan Anthony menjadi orang-orang yang baik. Kamu memelihara David sampai akhir hayatnya. Kamu sudah menyesali masa lalumu. Semoga mereka juga sudah memaafkannya. Mungkin nanti kita akan bertemu di surga Nya. Saidjah Denpasar, 15 Juli 1997Surat dari Dadong itu diterima Ani pada masa berkabung atas kepergian David. Dia sangat terpukul. Dia mempertanyakan apakah Tuhan akan menerimanya dengan kelamnya masa lalu, dengan penuhnya tato seluas punggung dan tangannya. Putri membawa surat dan Al Quran yang lembarannya sudah kuning dan keriting. Yang sudah setia menjadi tumpuan air mata duka dan bahagia.

******

Syafrizal Maludin, lahir di Bandung, 11 April 1970. Menyelesaikan riset strategi alih teknologi di Institut Pertanian Bogor pada 2018. Mulai menulis cerpen sejak 2021 dan satu tulisannya diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen ”Kisah Inspiratif”. Saat ini bekerja sebagai peneliti pada Direktorat Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi dan Inovasi; Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

******