Kumpulan Cerpen, Februari 2023

(1)

Surat untuk Ibu

Sepanjang jalan aku cuma terdiam dengan perasaan mamring, gabungan antara kesedihan, kebingungan, kehampaan, dan ketidakjelasan.

Oleh: BUDI SETYANTO, 2 Februari 2023

8 Oktober 1987

Berita meninggalnya ibu sungguh mengagetkan. Setahuku kondisi kesehatan ibu di usia 59 tahun itu cukup baik. Ah, sudahlah, itu diperjelas nanti. Yang penting bagaimana cara bisa sampai ke Solo paling lambat besok pagi, dari tempat kerjaku, proyek pengairan di tengah hutan di perbatasan Sumatera Selatan-Jambi ini.

Aku diantar speedboat ke Palembang. Sepanjang jalan aku cuma terdiam dengan perasaan mamring, gabungan antara kesedihan, kebingungan, kehampaan, dan ketidakjelasan. Otakku menerima berita itu, tetapi perasaanku tidak meyakininya. Menangispun aku tak bisa saat itu. Otakku masih mencoba berdamai dengan perasaanku untuk meyakini musibah ini.

Sesampai Palembang, ternyata aku ketinggalan pesawat. Saat itu, biasanya ada lima penerbangan Garuda Palembang-Jakarta. Namun, gara-gara kebakaran hutan yang sering terjadi di kemarau panjang tahun ini, asap hitam tebal mengepung udara Palembang. Akibatnya hanya ada satu penerbangan yang melayani Palembang-Jakarta, dan yang satu itu sudah berangkat setengah jam sebelum aku sampai Palembang, ketika sesaat udara sempat cerah, sehingga memungkinkan pesawat lepas landas. ”Kamu akan diupayakan terbang nanti sore, jam 3-an pakai Merpati ke Bandung. Itupun kalau udaranya memungkinkan buat lepas landas,” ujar Widodo, staf administrasi yang biasanya tak pernah ngomong serius, mendadak menjadi begitu formal kepadaku.

Allah memudahkan langkahku mengantarkan jenazah ibu. Sore itu, tiba-tiba udara di atas Palembang lumayan cerah, paling tidak, cukup ada lubang bebas asap di udara yang mengantarkan pesawat Merpati lepas landas menuju Bandung.

Aku terhenyak lemas di kursi pesawat. Setelah tiga jam diguncang speedboat, disambung ketegangan menunggu kepastian pesawat lepas landas, ragaku terlebih jiwaku sungguh lelah. Saat itulah aku baru sadar, otak dan perasaanku baru mampu sinkron berkoordinasi, sehingga aku pun terguguk menangis menyadari meninggalnya ibu, ”Ada apa nak?” tanya penumpang sebelahku, seorang ibu seusia ibuku. ”Ibu saya meninggal Bu,” jawabku menahan tangis.

**

Kami biasa mendapat jatah weekend ke Palembang setiap dua minggu sekali. Biasanya Sabtu pagi berangkat dan Senin pagi balik ke camp site lagi. Dua minggu sebelum meninggalnya ibu, aku mendapat jatah weekend. Seperti biasanya, aku menghabiskan weekend dengan jalan-jalan, nonton film dan makan empek-empek bersama teman-teman kerja.

Ketika Senin pagi, kepulangan kami ke camp site agak tertunda karena Team Leader masih ada urusan tagihan di Kantor PU, pemilik proyek kami. Tiba-tiba ada surat buatku dari calon istriku, Putranti, lewat surat kilat khusus. Ia mengabarkan, aku mesti kirim uang secepatnya untuk membayar down payment calon rumah kami di Bekasi.

Aku pun bergerak cepat, membuat surat ke adikku Palupi yang masih kuliah di Solo, yang selama ini menampung gajiku di tabungannya, untuk segera mentransfer sejumlah uang ke Putranti di Jakarta buat membayar DP calon rumahku itu. Suratku singkat, cuma dua paragraf, dan aku tutup dengan kalimat singkat, ”Sungkem katur ibu.” Aku tak sempat lagi menulis surat buat ibu untuk memperjelas hal ini, tidak cukup waktu karena kami mesti segera berangkat ke camp site untuk memulai lagi rutinitas proyek, dan aku menitipkan surat ke sopir agar diposkan.

Di camp site, ada punya banyak waktu untuk menulis surat. Aku menulis surat untuk ibu, menjelaskan panjang lebar bahwa akhirnya kami berdua memilih rumah Bekasi ketimbang Depok, karena lebih sesuai bagi kami, bagi dari segi harga maupun kemudahan menjangkau tempat kerja Putranti di Departemen Transmigrasi, Kalibata, Jakarta Timur. Surat itu aku titipkan ke teman yang mendapat jatah weekend ke Palembang Sabtu berikutnya, untuk diposkan.

Hari Senin, ketika teman-teman pulang weekend, mereka membawakan dua surat buatku dari Putranti dan dari Mbak Ningrum, mbakyuku yang tinggal di Solo bersama ibu dan adikku. Putranti mengabarkan, uang DP sudah diterima dan sudah dibayarkan ke developer. Sementara surat dari Mbak Ningrum membuatku tidak nyaman.

Assalamualaikum adikku Suryo,

Semoga kamu sehat-sehat saja di tempat kerja. Dik Suryo, kemarin itu ibu tersinggung setelah membaca surat singkatmu ke Palupi, yang minta dia kirim uang DP untuk Putranti. ”Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan2,” begitu kata ibu. Sepanjang hari itu ibu diam saja di kamarnya, ngambek. Besok ibu mau ke Semarang, nungguin anaknya mbakyumu, yang baru lahir.

Mbak tahu kamu tentu tidak bermaksud seperti itu. Coba kamu jelaskan alasanmu mengapa kamu seperti tidak nganggap ibu seperti itu. Kamu jelaskan dengan hati-hati ya Sur, ibu memang agak sensitif akhir-akhir ini. Beberapa kali sempat tersinggung kepadaku maupun Palupi.

Segitu dulu suratku, hati-hati bekerja di hutan

Kakakmu yang selalu menyayangimu

Ningrum

Kaget aku membaca surat itu. Untunglah, aku sudah berkirim surat kepada Ibu menjelaskan persis seperti yang diminta mbak Ningrum. Surat itu tentu sedang dalam perjalanan ke Solo. Semoga Ibu segera membacanya. Aku paham betul karakter ibu, yang sangat tersinggung bila eksistensinya tidak diakui. Sungguh tak nyaman mengetahui ibu sedang memendam rasa seperti itu.

Sekitar pukul 16.30 pesawat Merpati yang membawaku, mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Tanpa pikir panjang, aku memanggil taksi untuk mengantar ke terminal bus. Widodo telah membekaliku uang cukup untuk perjalanan pulang ke Solo ini.

Ketika akhirnya aku dapatkan bus ”Bandung Cepat” bercat hijau jurusan Bandung-Solo, nalarku semakin mapan. Sepanjang jalan–sebelum akhirnya tertidur–aku mengira-ira apa yang terjadi dengan ibu, dan apakah ibu sudah sempat membaca suratku?

Bus yang kutumpangi sampai Solo sekitar pukul 3 dini hari. ”Sing sabar ya le, ibumu insya Allah husnul khatimah,” ucap Paklik Har, adik ibu nomor tiga, menyambut kedatanganku di halaman rumah. ”Iya paklik, insya Allah saya tabah kok,” jawabku tak yakin. Aku pasrah dituntunnya mendekat ke jenazah ibu yang terbaring di ruang tamu. Aku terpana, ibu tampak cantik dalam balutan kain kafan, di usianya menjelang 60. Ibu memang selalu tampak cantik dan anggun sepanjang hidupnya. Bahkan ibu tetap mampu mempertahankan keanggunannya ketika diomeli pedagang beras di pasar karena belum sanggup membayar utang.

Empat saudara-saudara kandungku yang semua perempuan, menyambut kedatanganku dengan isak tertahan. ”Mbak Ningrum, ibu sudah membaca suratku kah?” tanyaku waswas pada mbak Ningrum yang memelukku. ”Ibu sudah tidak marah kok, malah ibu dengan bangga cerita ke tetangga-tetangga dan teman pengajian kalau kamu sudah bisa beli rumah,” jelas mbak Ningrum membuat hatiku tenang.

Ternyata ibu meninggal di rumah kakakku di Semarang, mbak Ratih, karena stroke, pembuluh darah di otak pecah sehingga ibu tak sanggup bertahan lagi. Ibu memang mengidap penyakit tekanan darah tinggi. Kalau di rumah dan merasa tensinya naik, ibu akan langsung pergi ke Mantri Suharto, sekitar 200 meter dari rumah kami. Biasanya disuntik, istrirahat sehari semalam dan besoknya sudah sehat kembali. Mungkin di Semarang, di tengah repotnya ngurusin cucu, ibu tak tahu harus berobat ke mana, dan akibatnya fatal.

Siang itu, ibu dimakamkan di samping ayah yang meninggal 12 tahun sebelumnya, di makam keluarga Pracimaloyo. Ayah, dengan berbekal Bintang Gerilya, seharusnya bisa dimakamkan di Makam Pahlawan. Namun, keluarga memilih dimakamkan di makam keluarga, dengan upacara militer.

Ibu pun dimakamkan dengan upacara semi militer yang digelar oleh para anggota Korps Veteran Surakarta. Memang, beberapa tahun lalu, ibu akhirnya tercatat menjadi anggota Veteran, bukan lagi sekadar istri Veteran. Bertahun-tahun ibu memang menjabat sebagai ketua organisasi isteri Veteran di Solo, namun itu tak cukup memuaskan hatinya.

”Aku sendiri seharusnya anggota Veteran. Memang dulu ibu resminya tercatat sebagai anggota Palang Merah, bukan Laskar Wanita, makanya tidak bisa menjadi anggota Veteran. Tapi tugasku tidak kalah berat dibandingkan Laskar Wanita. Aku sering menyelundupkan peluru dari kota ke pasukan gerilya, disembunyikan di dalam jadah yang kugendong, pura-pura jualan jajanan. Kalau ketangkap pasukan Belanda, mati aku, atau diperlakukan lebih buruk daripada kematian,” ujar ibu berapi-api dan diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Ibu bertemu jodoh dengan ayah juga di medan perjuangan. Cerita romantisisme mereka turut mewarnai dinamika perjuangan di Solo ketika itu.

Maka ketika para anggota Veteran yang usianya kisaran 60-an itu berbaris melangkah pelan, mengiring jenazah ibu ke liang lahat, aku cuma bisa membayangkan betapa bangganya bila ibu bisa menyaksikan semua ini.

**

Kemarin itu ibu tersinggung setelah membaca surat singkatmu ke Palupi, yang minta dia kirim uang DP untuk Putranti. ’Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan2,’ begitu kata ibu. Sepanjang hari itu ibu diam saja di kamarnya, ngambek. Besok ibu mau ke Semarang, nungguin anaknya mbakyumu, yang baru lahir.

Tiga bulan setelah ibu wafat, aku pulang cuti ke Solo. Selain berziarah ke makam kedua orangtuaku, aku pun bermaksud membicarakan kelanjutan rencana perkawinanku dengan saudara-saudara kandungku, setelah ibu tidak ada. Agak gamang rasanya menikah tanpa satu pun orangtua di sampingku.

Siang itu, sepulang dari makam, aku masuk ke kamar ibu. Aku lihat lemari ibu terbuka, mungkin Mbak Ningrum lupa menutup kembali setelah mengambil sesuatu. Aku menghampiri lemari itu, dan meraba tumpukan pakaian ibu. Ketika tanganku menggeratak tumpukan pakaian itu dengan perasaan haru biru, sesuatu terjatuh dari sana: sepucuk surat.

Aku tersentak, langsung mengenali itu suratku yang terakhir aku kirim ke Ibu. Subhanallah, surat itu masih rapi, lemnya masih terekat sempurna, dan tak sejumput pun sobekan di sana. Berarti???

Suara isak tertahan terdengar dari belakangku. Mbak Ningrum berdiri di sana sambil memegang daun pintu. ”Suratmu datang ketika ibu sudah berangkat ke Semarang. Maafkan aku tidak mengirim surat itu ke Semarang, karena rencananya ibu hanya seminggu di sana.”

Bekasi, 8 Oktober 2022

***

Catatan:

  1. Mamring: perasaan sunyi, hampa (bahasa Jawa)
  2. Dupeh duite dewe, ibune ora dijaluki pertimbangan: Mentang-mentang uangnya sendiri, ibunya tidak dimintai pertimbangan.
  3. Le: dari kata tole, panggilan sayang untuk anak laki-laki.

***

Budi Setyanto,lahir di Solo 22 Agustus 1961. Setelah lulus dari IPB pada 1994, ia bekerja di Proyek Pengairan Pasang Surut Sumatera Selatan selama empat tahun, kemudian menjadi wartawan di Majalah Warta Ekonomi (7 tahun), Majalah Panji (5 tahun), dan Koran Jurnas (7 bulan), kemudian bekerja freelance sebagai penulis buku-buku korporat hingga saat ini.

***

(2)

Tak Ada Gus Baha di Pondok Ini

Saya seorang ibu dan sudah punya anak, jadi saya sudah berpengalaman melihat gelagat hati seseorang dari raut wajahnya. Ketidaksenangan Kang Zaki tetap bisa saya lihat meski ia mencoba menutupinya dengan senyuman.

Oleh: SYAFIQ ADDARISIY, 3 Februari 2023

Di kantor pondok, setelah menyilakan saya, Kang Zaki tidak langsung ikut duduk dan malah berjalan ke pojokan untuk menyalakan kipas. Saya tersenyum kecil melihat itu. Tampaknya, Kang Zaki memang kurang senang dengan kunjungan saya ini. Tak apa. Toh saya sudah berkabar lewat WA bahwa hari ini saya akan kemari. ”Ada yang musti dijelaskan, Kang,” kata saya kemarin dengan pesan yang sengaja saya buat mengambang.

Saya seorang ibu dan sudah punya anak, jadi saya sudah berpengalaman melihat gelagat hati seseorang dari raut wajahnya. Ketidaksenangan Kang Zaki tetap bisa saya lihat meski ia mencoba menutupinya dengan senyuman dan muka yang dibuat tampak biasa-biasa saja.

Saya tidak masalah dengan itu. Maksud saya, saya tidak akan terpengaruh dengan ketidaksenangan Kang Zaki tersebut. Seperti sudah saya katakan lewat WA kemarin, ada yang musti Kang Zaki jelaskan, dan saya akan meminta penjelasan itu, bahkan meski Kang Zaki tidak lagi menyembunyikan ketidaksenangannya. Saya tidak akan terpengaruh; ini tentang masa depan anak saya.

Saya melihat kipas yang terpasang di langit-langit—hari ini memang panas sekali. Kang Zaki berjalan kemari dan saya merasa diamati olehnya. Tapi saya diam saja, menunggunya duduk dan bertanya, ”Sehat ya, Bu?”

”Alhamdulillah, Kang Zaki. Njenengan juga, kan?” jawab saya sambil merasai semilir dari kipas milik pondok.

”Iya, Bu. Alhamdulillah, pangestunipun.”

Seperti sudah saya duga, obrolan kami akan berputar-putar dulu: menanyakan kabar masing-masing, membicarakan cuaca akhir-akhir ini, dan sebagainya. Kang Zaki bercerita bahwa ia pindah ke rokok lintingan sebab harga rokok kian tak masuk akal. Saya mengikuti alur saja dan menanggapinya dengan mengeluhkan soal cabai dan minyak goreng yang bertambah mahal.

Diajak berputar-putar dulu seperti itu, saya tak apa-apa. Saya sudah terbiasa dan tidak akan teralihkan. Itu tidak menghalangi saya untuk langsung mengarahkan pembicaraan terkait hal yang membikin saya datang kemari.

”Begini, Kang Zaki, seperti yang sudah kita obrolkan di WA kemarin, saya kemari untuk nanyain soal anak saya.”

Saya menatap Kang Zaki sebab ingin tahu reaksinya mendengar perkataan saya barusan. Dan seperti saya perkirakan, Kang Zaki diam dan menarik napas dalam-dalam, sikap khas seseorang yang kurang senang dengan topik pembicaraan. Tak masalah, lanjutkan saja, Kang Zaki.

”Soal Syarif ya, Bu? Baru pulang sekolah ini. Sebentar, biar saya panggilkan,” jawab Kang Zaki sembari hendak beranjak dari kursi. Melihatnya, saya tahu apa maksudnya dan langsung meminta untuk nanti saja memanggilkan anak saya. Saya tidak mau berlarut-larut.

”Jadi gimana anak saya itu, Kang Zaki? Kemarin pas pulang waktu liburan, saya minta baca kitab kok belum bisa? Pas saya tanyain di sini diajarin apa, jawabannya nggak jelas. Dia tiga tahun di sini lho, Kang Zaki, masa belum bisa baca kitab sama sekali?”

Saya berhenti sebab melihat Kang Zaki mengerutkan dahi. Saya lalu tersenyum kecil. Kang Zaki memang betul merasa tidak senang. Tapi maaf saja, Kang Zaki, itu tidak akan mempan. Nanti, kalau sudah menikah, Kang Zaki akan paham betapa persoalan anak tidak bisa diurus setengah-setengah. Itu persoalan serius dan musti dibicarakan sampai tuntas.

”Pas saya liatinscreenshot bahasa Arab dari video pengajiannya Gus Baha, anak saya juga nggak bisa nerangin artinya. Padahal saya masukin anak saya ke sini itu karena di Youtube Gus Baha pernah bilang kalau pondok ini bagus lho. Beneran, saya masih nyimpen videonya. Tapi kok anak saya nggak bisa kayak Gus Baha? Gimana itu, Kang Zaki?”

Saya masih mau menyampaikan banyak hal. Tapi saya mengurungkannya. Anak saya tiba-tiba sudah berdiri di pintu kantor pondok—entah siapa yang memanggilnya—langsung berjalan masuk, dan duduk di sebelah saya. Semua yang mau saya sampaikan tertelan kembali. Saya agak tertegun, dan baru setelah diam agak lama bertanya, ”Sehat, Nak?”

II

Di kantor pondok, setelah Bu Rahma duduk begitu saya persilakan, saya berjalan dulu ke pojok ruangan. Udara panas sekali. Saya ingin menyalakan kipas terlebih dahulu. Via WA, Bu Rahma memang sudah mengabari akan datang hari ini dengan pesan yang terdengar serius: ”Ada yang musti dijelaskan, Kang.” Tapi, datang di jam ini, ketika matahari sedang di puncaknya, jelas tidak masuk perhitungan saya.

Jujur saja ada perasaan kurang senang dalam diri saya. Tapi, mau tidak mau saya harus menemuinya. Tidak mungkin, kan, saya mengatakan bahwa ini jam istirahat? Tentu saja saya kurang bersemangat menemui Bu Rahma. Saya sudah bisa membayangkan percakapan yang nanti akan berjalan satu arah: Bu Rahma mengeluhkan anaknya yang tak kunjung bisa baca kitab, sementara saya hanya menjadi pendengar karena tiap kali hendak menjelaskan sesuatu Bu Rahma akan memotongnya.

Ini bukan kali pertama saya menghadapi wali santri yang rewel soal anaknya. Jadi, saya sudah punya gambaran soal itu. Tapi, toh saya juga sudah tahu bagaimana sebaiknya saya bereaksi: saya hanya perlu menjawab seperlunya. Kalau perlu, saya malah jangan terlalu menjelaskan keadaan sebenarnya. Selain tidak akan didengarkan, itu hanya akan membuat saya capek sendiri.

Kipas sudah sepenuhnya berputar dan saya berjalan menuju kursi kantor pondok sembari melirik ke arah Bu Rahma yang sedang mengamati kipas angin.

”Sehat ya, Bu?” tanya saya setelah duduk.

”Alhamdulillah, Kang Zaki. Njenengan juga, kan?”

”Iya, Bu. Alhamdulillah, pangestunipun,” jawab saya sembari memutar otak.

Ya, saya betul-betul memutar otak untuk memutuskan apa yang harus saya bicarakan terlebih dahulu. Bukan soal bagaimana perkembangan ngaji anaknya, tentu saja, tapi lebih kepada hal-hal remeh dan tak nyambung supaya Bu Rahma tidak langsung nyosor ke pembicaraan yang sepengalaman saya tidak akan menyenangkan.

Mulailah saya menanyakan kabar, mengeluhkan cuaca yang sejak kemarin panas sekali, lalu berbicara soal kenaikan harga rokok dan kepindahan saya ke lintingan karenanya. Seperti yang saya harapkan, Bu Rahma menanggapinya dengan bercerita soal cabai dan minyak goreng yang harganya naik terus.

Bu Rahma memang menanggapi obrolan saya seperti itu. Tapi saya kira Bu Rahma tahu kalau saya membincangkan itu hanya karena ingin menghindari persoalan yang membuat Bu Rahma datang kemari. Dan cara itu sepertinya tidak bertahan lama. Bagaimanapun, Bu Rahma sudah berumur. Bu Rahma tidak mudah diakali.

Dari ekspresi wajahnya saja, saya sudah bisa menduga bahwa diam-diam Bu Rahma menanti kesempatan untuk mulai membahas soal anaknya—dugaan yang tak lama kemudian terbukti. Seusai bercerita soal harga cabai dan minyak goreng, Bu Rahma langsung menyambung, ”Begini, Kang Zaki, seperti yang sudah kita obrolkan di WA kemarin, saya kemari untuk nanyain soal anak saya.”

”Soal Syarif ya, Bu? Baru pulang sekolah ini. Sebentar, biar saya panggilkan,” jawab saya setelah diam agak lama dan menarik napas dalam-dalam.

Saya mengatakan itu sembari hendak beranjak dari kursi. Saya berharap Bu Rahma tak terlalu cepat tanggap sehingga saya bisa keluar dan berlama-lama mencari Syarif. Namun, cara untung-untungan itu tidak berhasil. Sebelum saya sepenuhnya berdiri, Bu Rahma sudah lebih dulu meminta untuk nanti saja memanggil anaknya.

Bu Rahma sungguh tak memberi saya kesempatan karena langsung bertanya: ”Jadi gimana anak saya itu, Kang Zaki? Kemarin pas pulang waktu liburan, saya minta baca kitab kok belum bisa? Pas saya tanyain di sini diajarin apa, jawabannya nggak jelas. Dia tiga tahun di sini lho, Kang Zaki, masa belum bisa baca kitab sama sekali?”

Bu Rahma berhenti dan menatap saya. Saya sendiri tak berkata apa-apa dan sengaja mengerutkan dahi. Saya tahu itu akan memperlihatkan kekurangsenangan saya. Tapi biarlah. Saya ingin melakukan itu sembari menunggu keluhan Bu Rahma dikeluarkan semua.

”Pas saya liatinscreenshot bahasa Arab dari video pengajiannya Gus Baha, anak saya juga nggak bisa nerangin artinya. Padahal saya masukin anak saya ke sini itu karena di Youtube Gus Baha pernah bilang kalau pondok ini bagus lho. Beneran, saya masih nyimpen videonya. Tapi kok anak saya nggak bisa kayak Gus Baha? Gimana itu, Kang Zaki?”

Saya yakin Bu Rahma masih akan menyampaikan banyak hal, sedang saya sendiri ingin sekali mendapat kesempatan untuk mengatakan tak ada Gus Baha di pondok ini. Tapi—saya sungguh sangat bersyukur—Syarif datang menyelamatkan saya. Dia tiba-tiba sudah berdiri di pintu kantor pondok lalu berjalan masuk dan langsung duduk di samping ibunya. Bu Rahma diam seketika, agak lama, sebelum bertanya, ”Sehat, Nak?”

III

Di kantor pondok, setelah berdiri sebentar di pintu, saya langsung duduk di sebelah ibu saya. Saya sengaja melakukan itu bahkan tanpa mengucap salam. Saya sudah tahu ibu saya kemari saat pulang sekolah tadi melihat Alphart putih terparkir di halaman pondok. Saya pun tahu siapa yang ibu temui saat ini. Siapa lagi kalau bukan pengurus kamar saya?

Saya juga tahu untuk apa ibu saya kemari. Apa lagi kalau bukan untuk mengeluh kepada Kang Zaki tentang kenapa saya tak kunjung bisa ngaji seperti Gus Baha? Saya masih saja ingin tertawa tiap kali mendengar keinginan ibu saya itu. Dan saya kira, seperti biasa, Kang Zaki tidak akan menjawabnya. Saya sudah kerap melihat Kang Zaki melakukan itu, baik ketika menemui ibu saya atau wali-wali santri lainnya.

Saat saya mau masuk ke kantor pondok, respons ibu saya dan Kang Zaki pun tepat seperti yang ada dalam pikiran saya: ibu saya langsung terdiam, sementara Kang Zaki tampak lega. Dalam hati, saya tersenyum; kehadiran saya sepertinya di luar dugaan keduanya.

”Sehat, Nak?” tanya ibu saya setelah diam agak lama.

Seperti biasa, saya tak menjawabnya. Saya hanya mengangguk sebab tahu tak lama lagi ibu saya akan kembali mulai membicarakan alasan kenapa saya tak kunjung bisa ngaji seperti Gus Baha. Padahal, Kang Zaki jelas sekali tampak tidak terlalu minat menanggapinya. Saya heran, apa yang membuat ibu saya tidak bosan-bosan mempersoalkan hal ini? Saya juga penasaran, apakah menanggapi keluhan wali santri memang semenyebalkan itu?

Saya menarik napas dan memutuskan untuk tidak berpikir lebih jauh lagi. Saya lebih memilih untuk melirik ke atas. Sebab, kipas di langit-langit itu mengingatkan saya pada tugas saya sekarang: tidak ikut andil apa-apa dalam pembicaraan; cukup diam, menunggu, dan mengamati. Serahkan semuanya pada orang dewasa.

Mlangi, 20 November 2022

***

Syafiq Addarisiy, pengajar di PP Assalafiyyah dan alumnus di Jurusan Sastra Indonesia UNY. Senang mendengarkan musik, menonton film, menulis, dan membaca. Bergiat di Komunitas Susastra dan Sindikat Muda, Liar, Ngantukan. Beberapa tulisannya tersiar di Koran Tempo, Kompas.id, Basabasi.co, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Radar Selatan, majalah Pewara Dinamika, dan lain-lain. Dapat dihubungi melalui surel: addarisiy13@gmail.com dan Instagram: @syafiqaddarisiy.

***

(3)

Nama-nama di Batu Nisan

Lembar-lembar kapas sudah dihampar setelah dibubuhi irisan cendana, tapi prosesi pemandian belum bisa dilakukan. Tidak ada yang diperbolehkan menyentuh jenazah sebelum polisi datang.

Oleh:  MUNA MASYARI, 5 Februari 2023

Senja menyepuh kesuraman. Bayang-bayang kamboja seredup mata bayi mengantuk. Dahan-dahan pohon itu menggeleng enggan seperti bocah demam ditawari makan. Angin menjatuhkan lembar-lembar daunnya yang mulai kekuningan, bagai jiwa-jiwa renta yang tunduk pada ketakberdayaan.

Inilah area kepulangan, tempat tertimbunnya harapan dan kenangan. Area kepulangan, tempat kembalinya para pedagang dari pasar kehidupan. Tempat mengkalkulasi untung dan kerugian. Tempat menakar setumpuk penyesalan.

Kijing-kijing yang tersebar sebagian besar terbuat dari susunan batu bata diplester dan sudah tampak menghitam berlabur lumut. Nama-nama di nisannya yang ditulis menggunakan kapur tampak samar, bahkan ada yang hilang sama sekali. Hanya kijing-kijing baru dan terbuat dari keramik yang tampak licin mengilap dan pahatan namanya terbaca jelas tak tergerus masa.

Maryamah binti Sapiih, lahir 11 Mei 1996, wafat Juni 2013

Kijing berlumut itu membujur di samping kanan cungkup. Nama di nisannya masih samar terbaca meskipun agak terhalang oleh rimbun melati yang tumbuh liar di dadanya dengan bunga-bunga yang masih kuncup. Ialah rumah terakhir dari seorang ‘Maryam’ yang menjemput maut dengan gantung diri di kamar mandi sebelum sempat melahirkan ‘Isa’.

”Siapa lagi yang menidurinya selain dia? Maryamah lebih sering tinggal di sana! Bahkan seharian bisa tak pulang.”

”Betul. Sejak Nyai masih hidup, dia yang selalu bantu-bantu di sana. Memasak, menyapu, mencuci!”

”Hus! Jangan sembarangan menuduh! Bagaimanapun beliau guru ‘ngaji anak-anak kita! Tak mungkin meniduri Maryamah!”

”Siapa yang menjamin kalau dia luput dari kesalahan? Dia bukan malaikat! Apalagi Nyai sudah tiga tahun meninggal.”

”Tetap saja kita tidak boleh menuduh tanpa saksi!”

Meskipun lembar-lembar kapas sudah dihampar pada baki setelah dibubuhi irisan cendana, prosesi pemandian belum bisa dilakukan. Bedak, celak, lipstik, dan minyak wangi sudah dipersiapkan, namun tidak ada yang diperbolehkan menyentuh jenazah sebelum polisi datang. Para pelayat yang membanjiri halaman hanya bisa bergunjing seperti dengung lalat merubung makanan basi di musim hujan. Kepala desa sibuk memberi instruksi terhadap bawahannya.

Jerit tangis seorang perempuan di kamar belakang kadang lebih mirip suara kucing kebelet kawin.

Suratmo bin Salam, lahir 7 Januari 1963, wafat 4 April 2021

Nama di nisannya terpahat jelas. Kijing keramik hijau lumut itu membujur di bawah kamboja yang berbunga lebat dan daun-daunnya cukup menaungi sepanjang hari. Agak jauh dari cungkup.

”Aku mencium wewangian di sana! Iya, aku menciumnya!”

Selama sakit dalam sebulan -sebelum akhirnya menyerah tunduk pada cengkraman ajal- dia menggumamkan kalimat-kalimat itu dalam pejaman mata separuh sadar. Terus meracau sebagaimana orang mengigau. Kadang wajahnya menegang. Istri yang menungguinya sampai khawatir hal itu diakibatkan kerasukan. Sebentar-sebentar meraba lengannya, pelan. Panasnya bagai menyentuh tutup dandang.

”Wanginya seperti campuran kembang dan kemenyan….”

”Di mana sampeyan menciumnya?” dengan ragu si istri membisikkan pertanyaan.

”Di sana. Ketika menguburkannya!” matanya masih terpejam

”Menguburkan siapa?”

Tak segera dijawab.

”Seharusnya aku tidak memecatnya!”

Istrinya semakin tidak mengerti. Justru kegundahan yang datang menyungkupi. Anak-anaknya juga tidak bisa memahami. Lelaki itu tidak pernah bercerita apa pun sebelumnya.

Menguburkan siapa? Memecat siapa?

Istrinya barangkali lupa kalau pernah membuatkan secerek kopi dan singkong goreng untuk tamu-tamunya, 8 tahun silam.

Malam itu, orang-orang berkumpul di teras rumahnya. Singkong goreng di tiga piring tersisa beberapa kerat saja ketika mereka menunggu keputusan dengan tegang seperti detik-detik menjelang ketukan palu dalam ruang sidang.

”Kalau dia masih jadi khatib, kami tidak akan salat Jumat di sana!”

”Aku juga!”

”Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh jadi khatib maupun imam!” tegas yang lain.

”Masalahnya, itu baru prasangka!” desah lelaki berwajah gelap yang dituakan masyarakat itu, menatap tamunya satu per satu.

”Justru itu! Kalau sudah jelas, pasti polisi sudah menyeretnya ke penjara. Tapi keluarganya menolak diadakan pemeriksaan!”

”Anak-anak yang mengaji di sana juga akan kami pindahkan ke langgar lain.”

Kembali dia mendesah. Suara mereka menumpuk di tempurung kepala. Serasa penuh sesak! Tangannya menekankan ujung rokok ke dasar asbak hingga baranya memburai. Dia masih menakar dan menimbang.

Mengabulkan permintaan mereka sama saja menanggalkan martabat yang pernah mereka sematkan. Akan tetapi, dia sepenuhnya sadar, di tangan masyarakatlah pilihan itu berada. Tugasnya hanya mengetuk palu. Tak lebih!

Salamah binti Sapiih, lahir 3 Juni 1983, wafat 7 Agustus 2015

Kijing itu dicat biru langit, sebagaimana warna kesukaannya, dan pernah menjadi warna baju pengantin dalam pernikahannya. Begitulah dia menyukai ketenangan, berdamai dengan keadaan, sebelum badai itu benar-benar membuatnya rapuh dan akhirnya tumbang perlahan, seperti pohon meranggas diterjang angin.

Dulu, dia mengira semua akan baik-baik saja meskipun harus terbaring tak berdaya dan menerima ketaksempurnaannya sebagai kepasrahan, bukan kekalahan. Bukankah demikian seharusnya, setelah perjuangan dirasa tunai?

”Menikahlah!”

”Kau ini bicara apa?” adiknya menghentikan gerakan saat hendak mengangkat kakinya agar lebih mudah menggeser seprai. Ember penampung air sudah disiapkan di kolong ranjang.

Bau amis-busuk menguar dari borok di kakinya itu. Memenuhi kamar. Menyerap ke pakaian, gorden, seprai, menyusup ke dalam lemari, ke kolong ranjang. Bikin mual.

Dia memerhatikan wajah adiknya yang berminyak dan jarang disentuh bedak.

”Kau cantik. Kalau tidak ada pemuda yang melirikmu, pasti karena mata mereka bermasalah!”

Adiknya tertawa kecil sambil menyiapkan larutan saline.

”Jangan sampai Ustaz Dahlan yang justru datang melamarmu karena kau yang selalu mengurusnya!”

Lalu tawa keduanya sama-sama pecah.

”Kalau kau menikah dan melahirkan banyak anak, aku akan merasa lebih baik. Setidaknya, doa dan usahaku kuanggap telah mengalir padamu.” Setelah tawanya reda dan terdiam sejenak.

Dia berusaha tersenyum. Tidak ingin memberikan kemenangan pada kesedihan. Itulah dua pertarung dalam hidupnya kini.

10 tahun lebih usia pernikahannya, tak ada celoteh buah hati penawar sepi. Entah sudah berapa butir telur ditelan, hasil menadah dari pangkuan perempuan hamil yang sedang melakukan Pelet Betteng, namun rahimnya bagai ruang yang tak laik dihuni. Entah sudah berapa program kehamilan dari dokter kandungan yang dijalani, benih yang diharapkan tak pernah tumbuh, seakan dibenamkan ke lubang batu. Mitos dan medis adalah jalan kembar yang sama-sama ditempuh, namun justru diabetes melitus yang datang menggeroggoti dan dia harus belajar melupakan kamar tidur yang pernah ditempati bersama suaminya.

Ustaz Dahlan bin Makruf, lahir 24 Mei 1971, wafat 12 Januari 2018

Jumat dini hari itu, hanya istrinya yang mengantarkan ke ambang perpisahan dengan kalimat tauhid yang dibisikkan ke telinga secara berulang. Keduanya bagai sepasang kekasih yang tengah berikrar sehidup semati di gurun sunyi.

Cicak di dinding merayap pelan-pelan, tanpa decak.

Kematiannya pun tersiar. Mengelupas sunyi. Suara lelaki mengabarkan hal kepergian itu dengan tenang. Seolah tanpa kesedihan. Tanpa rasa kehilangan. Akan tetapi, cukup untuk membangunkan orang-orang sekitar.

”Yang kudengar, istrinya bekas senok!”

”Kudengar juga begitu!”

”Untung anak kita dipindahkan ke langgar lain!”

”Kalau tidak, nanti malah diajari nyennok!”

Ketika jenazah sedang dimandikan, ibu-ibu di dapur tak luput dari gunjingan seraya menunggu nasi matang, merebus mie dan menggoreng telur dadar untuk penggali kubur.

”Kalian jangan berprasangka buruk terus! Beliau menikahi perempuan itu untuk mengentaskannya dari kehidupan kotor!”

”Berarti benar, dia memang senok!”

”Jangan-jangan kerena memang tidak ada perempuan lain yang bersedia dinikahi setelah meniduri Maryam!”

”Kalian ini keterlaluan sekali! Orang sudah meninggal masih juga dirasani jelek!”

Jeda sejenak. Hanya sejenak.

Menjelang subuh, proses penguburan dilakukan. Jenazah diturunkan perlahan ke liang lahat. Suratmo dan seorang lagi yang menerima di dalam. Lelaki itu juga yang membuka ikat bagian atas, membelah kafan di bagian wajah, dan menempelkan pipi jenazah ke tanah. Pada saat itulah, samar-samar Suratmo mencium wewangian.

Gundukan tanah basah bernisan sebongkah bata telanjang. Tidak ada nama di sana.

Taburan kelopak-kelopak kembang dan irisan daun pandan mulai mengering. Baru tiga hari lalu kuburan itu terbujur di sana. Tidak seberapa jauh dari kuburan Salamah.

Di situlah tempatmu menakar setumpuk penyesalan.

Suatu malam. Ketika dia pulang dengan langkah-langkah ragu sambil mendekap gulungan mukena, kau tiba-tiba muncul mengagetkan dan langsung menyeretnya ke kamar. Kamar yang pernah kau tempati menghabiskan malam pertama dengan istrimu, sebelum perempuan itu memilih pindah ke kamar belakang karena lebih dekat dengan kamar mandi.

”Kenapa baru pulang?” suaramu mendesis. Tercium bau bawang dari tubuhnya saat kau mendekatkan wajah.

Dia mundur menjauh begitu kau melepaskan cekalan tanganmu. Wajahnya mengerut takut. Gulungan mukena terjatuh. Lengannya menyilang di dada.

”Kau sengaja menghindar? Sampai kapan?” selangkah demi selangkah kau bergerak maju. Pelan. Tatapanmu tidak beralih dari bola matanya yang bergerak resah.

Dia terdesak ke tepi ranjang. Jatuh terduduk di kasur. Ketakutan semakin terlihat jelas di mata itu. Sepasang kakimu membentur sepasang kakinya. Kau tidak menyangka jika keesokan paginya akan menemukan sepasang kaki itu menjuntai di kamar mandi, dan baru kauketahui ada benih tumbuh di rahimnya.

***

Madura, Januari 2023

Muna Masyari,Buku-bukunya pernah mendapatkan penghargaan Sutasoma dari Balai Bahasa Jatim dan Kemendikbudristek sebagai buku cerpen terbaik. Juga masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021 untuk novelnya, Damar Kambang.

***

(4)

Lebah

Hampir setiap orang pernah bergunjing tentang kehidupan orang lain. Tapi tidak dengan Denok. Dirinya tak pernah mau peduli urusan orang lain.

Oleh: TETIN SOBARIAH, 9 Februari 2023

Setiap orang yang tinggal di kelurahan ini selalu saja ingin tahu urusan orang lain. Tak peduli apakah itu ada hubungannya dengan dirinya ataupun tidak. Dan mereka ini selalu membicarakannya di warung kopi Mang Atep. Ada banyak hal yang mereka bicarakan, entah itu tentang rumah tangga orang lain, tentang nilai sekolah anaknya, tentang istri orang, tentang suami orang, hingga tentang politik yang mereka sendiri tak mengerti.

Hampir setiap orang pernah bergunjing tentang kehidupan orang lain. Tapi tidak dengan Denok. Dirinya tak pernah mau peduli urusan orang lain. Bahkan, dalam acara apa pun yang diselenggarakan di kelurahannya ia tak pernah datang.

Jangankan acara-acara di kelurahan, sekadar menghadiri acara syukuran tetangganya saja ia tak datang. Sehingga dirinya menjadi sorotan dan dianggap fobia sosial oleh tetangganya karena tak mampu bergaul dengan yang lain. Denok dan ibunya, Intan, hanya keluar kalau ke pasar dan terima orderan menjahit baju.

Denok tak tahu kenapa ibunya bersikap demikian. Dirinya merasa tak bisa hidup normal layaknya kebanyakan orang. Hampir dua puluh tahun, dirinya merasa membusuk di rumah. Entah malam ataupun siang, dirinya tak pernah melihat sinar matahari, kecuali jika ia pergi ke pasar. Dia tak punya teman barang satu pun. Hanya ibunya seorang yang ia anggap sebagai teman sekaligus ibu sekaligus guru.

Hal yang dirinya lakukan sehari-hari adalah membuat pola, menggunting, dan menjahit baju seragam karyawan pabrik. Hiburannya adalah menonton TV dan membaca buku. Setiap bulan, ibunya selalu membelikannya buku. Denok ingin segera mengakhiri kehidupan seperti ini, dan menjalani kehidupan normal layaknya manusia sebagai makhluk sosial.

Begitu ibunya meninggal, kini tanda-tanda Denok akan mulai bersosialisasi dengan masyarakat sekitar mulai tampak. Bagi para tetangga, ini adalah keajaiban dunia. Bagaimana tidak, rekam jejak Denok dalam beradaptasi dengan tetangga sangatlah buruk. Kebanyakanpelanggannya yang menggunakan jasa jahitnya justru dari luar kelurahan.

”Jangan-jangan dia hanya berpura-pura memiliki fobia sosial,” komentar tetangganya.

”Dia mungkin gengsi berteman dengan kita,” sahut tetangga yang lainnya.

Denok kini memasang spanduk di depan rumahnya dengan bertuliskan ”Kedai Jahit Denok”. Yang semula pintu rumah dan tirai ditutup sepanjang hari, kini sebaliknya. Denok juga memajang bangku panjang agar para pengunjung bisa duduk di depan kedainya. Rumah itu kini berubah menjadi tempat tongkrongan kedua setelah warung kopi Mang Atep.

Tuti, tetangga pertama yang berkunjung ke kedainya, bukan untuk menjahit, tapi sekadar melihat-lihat. Wanita yang terkenal dengan mulutnya yang ember itu sengaja memancing-mancing amarah Denok dengan mengatakan, ”Apa yang membuatmu mau berubah?” Pertanyaannya itu sengaja dikeraskan agar terdengar oleh tetangga lain yang sedang menjemur pakaian. Denok tak jawab pertanyaannya, ia hanya tersenyum, lalu pergi ke dapur. Kemudian ia menghidangkan aneka macam gorengan, seperti bala-bala, cireng, dan gehu, dilengkapi dengan cabe rawit. Tak hanya itu, ia juga menghidangkan teh tawar panas.

”Silakan dimakan, Ceu Tuti,” kata Denok menawari pengunjungnya untuk mencicipi hidangannya.

”Bolehkah saya bergabung?” tanya Endah, tetangganya.

”Tentu saja boleh, Ceu Endah,” jawab Denok sambil tersenyum juga.

Kemudian ibu-ibu yang lain pun ikut bergabung, hingga bangku tersebut tak muat. Sebagian dari mereka bahkan ada yang berdiri.

”Denok, pertanyaan Ibu tadi belum dijawab,” Tuti mengingatkan.

”Pertanyaan yang mana, Ceu?” Denok pura-pura lupa.

”Kenapa kamu mau berubah?” Tuti mengulang pertanyaannya.

”Karena hidup sendiri itu tak menyenangkan.”

Inilah yang dikhawatirkan mendiang ibunya. Denok akan menjadi bulan-bulanan para tetangga. Intan tak mau kejadian Denok ketika TK terulang.

”Ibu, apakah benar aku ini anak haram?” tanya Denok polos, kala itu.

Intan langsung menebasnya, bahwa tak ada yang namanya anak haram. Intan tahu siapa awal mula yang menyebarkan rumor itu ke telinga anaknya. Tapi dirinya tak bisa berbuat apa-apa selain anaknya keluar dari sekolah dan memutuskan untuk mengajari anaknya sendiri di rumah. Paling tidak berhitung dan membaca dan keterampilan lainnya, seperti menjahit. Ia tak ingin anaknya mengalami perundungan. Yang salah adalah dirinya hamil diluar nikah, seharusnya anaknya tak kena imbas atas perbuatannya. Tapi kenyataannya tak demikian. Oleh sebab itulah, Intan menjadi fobia sosial.

Sebulan sebelum Intan meninggal, dia sudah menceritakan semuanya kepada Denok. Intan dihamili oleh teman sekelasnya yang bernama Andri Surandri. Andri tak mau menikahinya karena orangtuanya tak mengizinkannya, sebab Andri masih anak SMA. Andri dan orangtuanya justru menyarankan agar Intan mau menggugurkan kandungannya. Dan orangtuanya justru malah menyebut Intan wanita gatal.Andri pindah sekolah, dan tak ada kabar lagi tentangnya setelah ia memberikan sejumlah uang untuk biaya menggugurkan kandungan. Masa depan Intan hancur, sebab tak ada satu sekolah pun yang mau menerima siswa dalam keadaan hamil.

Intan mengakui kesalahannya, ia tetap membiarkan janin yang ada di rahimnya tumbuh. Ia juga tak membuang bayinya seperti kebanyakan perempuan lainnya yang hamil di luar nikah. Intan tak mau mengulang kesalahan yang sama. Kala itu, ia terbuai oleh bujuk rayu Andri yang mengajaknya bercinta. Jarak antara rumah Intan dan Andri adalah 1 kilometer.

Bagi para tetangga, Denok sangat berbeda dengan ibunya. Tak hanya itu, ia mulai disukai oleh lingkungan sekitar, sebab ia membantu mengurangi pengangguran. Ada sekitar 20 orang dipekerjakan di kedai jahitnya. Bahkan Denok membayar upah mereka di atas rata-rata pekerja konfeksi lainnya. Denok membuat para karyawannya nyaman bekerja di kedainya. Jika ada kesalahan, Denok menegurnya tanpa harus memarahinya. Dengan cara seperti inilah karyawannya rela bekerja lembur tanpa mengeklaim lembur.

Bulan menggeser matahari, membuat seluruh langit berwarna gelap, Denok masih berada di ruang bawah tanah, sekadar mempersiapkan untuk acara syukuran besok. Beberapa bulan lalu, ia tak sengaja menguping pembicaraan pegawainya yang sedang membicarakan dirinya.

”Teh Denok itu anak haram, ya?” tanya Gita, pegawainya.

”Katanya sih gitu, ayahnya tak jelas siapa,” sahut Risna, pegawai yang lainnya.

Denok tak bisa menyalahkan pegawainya. Besok, ia berencana akan meluruskan berita ini. Ia tahu ia berhadapan dengan siapa. Ibunya sudah meninggal pun, mereka masih saja mengganggunya. Besok ia mengundang tiga puluh lima orang di kedainya yang dikemas dengan acara syukuran. Dan yang ia undang adalah orang-orang yang memiliki mulut ember, yang dengan sukarela akan menyebarkan berita apa pun tanpa dibayar.

Kejadian ibunya hamil di luar nikah terjadi 21 tahun yang lalu. Tapi dirinya masih saja kena imbasnya. Ia tak menyalahkan ibunya, sebab ibunya sudah mengakui kesalahannya dan menjelaskan semuanya. Denok seperti lebah, jangan pernah mengusiknya. Tapi bila ada orang yang mengusiknya, ia akan mengejarnya sekalipun engkau bersembunyi di lubang tikus. Denok tak seperti ibunya, yang hanya diam saja kalau orang mengusiknya.

”Bapak, Ibu, Akang, Teteh, saya minta maaf bahwa saya harus meluruskan rumor yang beredar perihal tidak jelasnya ayah biologis saya,” Denok memulai pidato keduanya, setelah pidato pertama basa-basinya selesai. ”Saya memang lahir dari proses di luar nikah. Ibu sendiri sudah menceritakan semuanya kepada saya sebulan sebelum beliau tiada. Saya adalah putri kandung dari Andri Surandri. Yang saat ini beliau mencalonkan diri sebagai kepala desa di desa ini.”

Kemudian Denok pun memutar pemutar kaset yang berisi rekaman perihal Andri dan keluarganya menyuruh menggugurkan kandungan Intan, dan Intan harus tutup mulut soal kehamilannya kepada siapa pun. Tak hanya Andri yang memaksanya, tapi juga bibinya, Tuti, yang sekaligus tetangganya. Denok juga memperlihatkan foto-foto masa pacaran kedua orangtuanya. Juga hasil tes DNA dirinya, Intan, dan Andri. Cocok, mereka terhubung dalam ikatan darah.

Warga dibuat terkaget-kaget, dan mereka melakukan demo besar-besaran agar Andri mundur dari pencalonan kepala desa. Sebab, ia tak layak jadi pemimpin. Andri tak lebih dari seorang pembunuh, bahkan lebih buruk. Sebab ia pembunuh anak kandungnya sendiri. Tuti juga diusir oleh warga karena dianggap merupakan kaki tangan Andri.

Tak hanya itu, warga juga meminta maaf kepada Denok perihal mereka telah menggunjingnya karena memiliki ayah yang tak jelas. Rumor itu ternyata tidak benar. Denok memiliki ayah yang jelas. Jelas tidak bertanggung jawab, tepatnya.

Denok beruntung bahwa ibunya masih menyimpan rekaman obrolan perihal perintah untuk dirinya tidak dilahirkan ke dunia. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan agar ayahnya tidak lagi bertingkah adalah dengan membunuh mimpinya. Dan ia tahu apa itu. Menggagalkannya dari pencalonan menjadi kepala desa. Denok hanya ingin membuat ayahnya menyesal karena telah menyia-nyiakan dan memfitnah ibunya. Apalagi disebut perempuan gatal. Seumur hidupnya, ibunya tak pernah menikah karena trauma. Sementara ayahnya hidup enak, nyaman, bisa sekolah hingga sarjana, dan tak pernah mendapat perundungan seperti yang dialami oleh ibunya.

Tuti salah perhitungan, ia menggunakan pola yang sama untuk merundung Denok. Ia pikir begitu menyebarkan isu bahwa Denok anak haram, Denok akan langsung menutup kedai jahitnya dan menjadi fobia sosial seperti ibunya. Denok bukan Intan. Itu yang lupa dari Tuti. Denok adalah lebah.

***

Tetin Sobariah, kelahiran Tasikmalaya. Cerpen pertamanya yang berjudul”Teka-tekiku” dimuat di harian Batam Pos.

***

(5)

Laki-laki di Pohon Kelapa

Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa ketika Pak Nurdin datang membawa berita bahwa sapinya tidak ada di kandang setelah digembalakan di sore hari.

Oleh: BONI CHANDRA, 12 Februari 2023

Perkara itu terjadi pada masa pemberontakan di Sumatera Tengah. Di masa itu, kami sudah enggan membedakan yang benar dan yang salah. Bagi kami, segenggam beras dan sebiji kelapa lebih berharga daripada apa pun. Di saat itulah, kami menemukan seorang laki-laki di pohon kelapa.

Aku harus mengatakan bahwa pada waktu itu, kami memang tidak mengenali laki-laki di pohon kelapa itu. Tingginya pohon kelapa dan keberadaannya di sela pelepah membuat kami kesulitan untuk menerka. Aku baru mengetahuinya kemudian, bertahun-tahun, setelah orang-orang mulai melupakannya dan memercayaiku sebagai saksi kunci.

Aku ingat, ladang itu dipenuhi belukar dan mulai ditumbuhi tanaman liar. Aku sedang membersihkannya ketika laki-laki itu nyaris mencelakai Daru—si pemilik kelapa yang telah mengupahku.

Aku menduga, laki-laki itu baru saja naik ke pohon kelapa. Barangkali, ia baru memetik sebuah kelapa dan menaruh di pangkuannya. Namun, ketika kedua telapak tangannya menyentuh kelapa lain, kelapa di pangkuannya menggelinding lalu jatuh—tepat di hadapan Daru si pemilik pohon kelapa.

Daru menengadah, lalu mulai memaki seraya mencabut parang dari pinggangnya. Kendati bertubuh kecil, Daru sungguh ditakuti di kampung kami. Ia memiliki suara yang besar dan parang yang panjang, dan selalu membanggakannya. Dengan parang panjangnya, Daru pernah menebas leher adik kandungnya sendiri karena terlibat pemberontakan bersama Tentara Dalam.

”Turun kau, biar kucincang sebatang tubuhmu!” Daru mulai berteriak seraya mengacungkan parang.

Di saat bersamaan, aku melihat suami-istri yang kebetulan melintas di ladang kelapa. Barangkali, mereka baru saja kembali dari ladangnya, dan tak sengaja mendengar Daru yang terus berteriak. Mereka mulai mendekat, ikut menengadah, lantas bertanya, ”Itu siapa?”

Seorang lain juga terlihat melintas dan memutuskan berhenti dan bertanya; tak lama, ada sekelompok orang yang seketika muncul—entah dari mana. Semuanya bertanya sambil menengadah, dan laki-laki di pohon kelapa mulai memalingkan wajah dan berusaha menyembunyikan tubuhnya di balik pelepah.

Kami yang berdiri di sekitar pohon kelapa mulai berembuk. Kami menduga, laki-laki itu memang sengaja mencuri dan telah berniat mencelakai Daru. Beberapa di antara kami memberi usulan.

”Kita laporkan saja pada kepala dusun.”

”Kita juga bisa meminta bantuan kepada Tentara Luar.”

”Atau aku saja yang menggorok lehernya ke atas sana.” Napas Daru memburu. Ia menghunus tanah dengan parangnya seraya membungkukkan badan, lalu terburu-buru melipat kaki celana. Ia hendak memanjat.

”Maling itu bisa membunuhmu, Daru. Ia bisa saja melemparkan kelapa itu ke kepalamu saat kau mulai memanjat.” Perempuan yang datang bersama suaminya memberi pendapat.

”Kau lebih baik menyalakan unggun dan tunggu saja sampai dia turun.”

Daru telah menyingsingkan celana panjangnya hingga lutut. Ia menoleh—memandangi si perempuan—lalu menatap wajah kami satu per satu. ”Baiklah. Akan kuberikan upah dan akan kutanakkan nasi untuk dua orang yang mau berjaga.”

***

Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa ketika Pak Nurdin datang membawa berita. Lelaki tua berkumis putih itu mengabarkan bahwa sapinya tidak ada di kandang setelah digembalakan di sore hari, dan ia bermaksud menanyakannya kepada kami yang sedang duduk mengelilingi api unggun. Namun, kami bergeming.

”Minsilah yang menggembalakan sapiku.” Lelaki tua itu bicara sendiri. ”Sapiku hilang, anak itu tak pula bersua,” Pak Nurdin pun pergi, dan kami sungguh tak peduli.

Tengah malam, Daru memerintahkan kami untuk tidur bergantian. Setelah memintaku agar berjaga duluan, ia pun mulai berbaring di sebelah Karimi, lelaki seusiaku yang selalu mengeluarkan bau busuk dari mulutnya.

Beberapa jam kemudian, aku mendengar gemeresik di pohon kelapa. Aku menengadah dan mencoba mundur beberapa langkah. Barangkali, laki-laki itu telah lelah dan ingin berbaring di atas pelepah. Barangkali, ada gigitan semut rangrang yang memaksanya pindah. Namun, kuat dugaanku, laki-laki itu mencoba memetik sebuah kelapa.

”Ada apa?”

Aku menoleh, dan melihat Daru yang telah duduk di sebelah Karimi. Agaknya, dia juga mendengar gemeresik, lalu bertanya ketika mendapatiku menengadah. Aku berusaha untuk tidak tersenyum, lalu mengalih pandangan pada unggun yang masih menyala—memberi petunjuk padanya: tidak ada apa-apa.

Sembari memandangi api yang terus menari di tubuh kayu, aku mulai membayangkan rupa laki-laki yang terperangkap di atas sana. Aku bayangkan bagaimana ia meringis waktu meremas perutnya saat lapar. Aku bayangkan bagaimana ia memejamkan mata ketika menelan ludahnya di saat haus. Atau ia sudah tidak bisa merasakan apa pun kecuali rasa takutnya pada Daru, yang tentu saja mempunyai keinginan menggorok lehernya. Entahlah. Aku hanya memastikan; ia memiliki tubuh yang lebih tinggi, lebih kurus, dan terlihat kelaparan. Aku menduga, laki-laki itu masih berusia tiga belas tahun.

***

Laki-laki itu masih berada di pohon kelapa keesokan paginya. Mataku terasa berat. Kendati sudah menyepakati untuk tidur secara bergantian, aku tahu tidak seorang pun di antara kami yang terlelap. Karimi kembali menguap dan mengeluarkan bau busuk dari mulutnya. Daru memiringkan tubuh, lalu duduk sambil meludah.

”Ah, dia kembali memetik sebuah kelapa.” Daru telah berdiri dan melangkah perlahan-lahan. Pandangannya seperti mata singa yang sedang mengawasi seekor kera. ”Lihat, coba kau lihat.”

Aku pun menengadah. Kabut yang sedang turun tidak begitu menghalangi pandangan mata. Aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Laki-laki itu sedang meringkuk sambil memeluk buah kelapa. ”Mungkin dia lapar,” kataku. ”Kedinginan.”

Daru meminta pendapat.

Aku terus menengadah, lalu menopang pundakku dengan kedua telapak tangan.

”Atau, kita memang harus memanggil kepala dusun untuk membujuknya turun? Kita–”

”Jangan!” kataku. Sebetulnya, aku bisa saja mencari cara dan memaksa laki-laki itu untuk turun. Namun, pekerjaan akan selesai dan aku akan kehilangan upah dan kembali kelaparan.

”Maksudku, kita bisa saja—”

”Ah, biarkan saja.” Karimi seperti terganggu dan kembali memperbaiki posisi tidurnya. ”Tunggu saja sampai dia turun atau mati kelaparan.”

Daru kembali menengadah, lalu berteriak ke laki-laki di pohon kelapa, ”Kau mati di situ atau kubunuh bila kau turun.”

Laki-laki itu tersentak. Ia tampak bergegas meraih pelepah, dan di saat bersamaan, buah kelapa di pelukannya terlepas dan … bum! Buah kelapa jatuh berdentum! Daru seketika mencabut parang dari pinggangnya; dan Karimi tiba-tiba bangkit seraya memegangi sarung. Di saat itulah Pak Nurdin keluar dari semak-semak.

”Adakah di antara kalian yang melihat sapiku?”

Kami bergeming. Tidak seorang pun yang menanggapi, pun tidak seorang pula yang mengalihkan pandangan. Kami menengadah, dan aku tahu Pak Nurdin pun ikut menengadah. Sementara laki-laki di pohon kelapa tampak memeluk pelepah dengan erat.

”Kaukah itu, Minsi?”

Laki-laki di pohon kelapa memalingkan muka.

”Bila itu memang kau, Minsi, turunlah,” pinta Pak Nurdin, lalu mengalihkan pandangan ke arah Daru yang memanggilnya.

”Apa kau mengenalnya?”

”Sepertinya Minsi. Ia penggembala sapiku.”

”Anak haram Tentara Dalam itu?”

Pak Nurdin bungkam. Ia tahu, Daru membenci Tentara Dalam lebih dari siapa pun.

***

Laki-laki itu telah berada di pohon kelapa selama beberapa hari. Kami pun selalu berjaga hari ke hari. Tapi, siang itu, orang-orang terus berdatangan seperti sekelompok pemberontak yang merampas beras ke rumah-rumah. Mereka ingin menyaksikan laki-laki yang tak kunjung turun itu.

”Itu Minsi!” teriak Pak Nurdin sambil berlari ke arah kami. ”Itu kupastikan Minsi! Dia bukan pencuri!”

Pak Nurdin menghadap Daru, lalu memohon agar si pemilik kelapa mau mengampuni laki-laki itu. Kepada si pemilik kelapa yang masih menggenggam parang, Pak Nurdin meminta maaf dan mengatakan beberapa hal. Pertama, ia akan mengganti semua kelapa yang telah diambil Minsi; kedua, laki-laki itu anak tak beribu dan ayahnya pun baru saja ditembak mati; ketiga, Minsi mengambil kelapa itu hanya karena lapar; keempat ….

”Kau terlambat!” Salah seorang di belakang kami memotong pembicaraan dan meminta kami untuk melihat laki-laki di pohon kelapa. Laki-laki itu tak lagi bergerak, dan seingatku, memang sudah begitu sejak terakhir aku memandangnya. Seseorang yang lain mulai memanggilnya. Ada pula yang memberi ancaman, menakut-nakuti untuk memastikan keadaannya. Namun, laki-laki itu masih terduduk di pelepah dengan wajah yang tengadah.

”Kalian telah membunuhnya!” kata Pak Nurdin.

Aku dan Karimi saling memandangi karena semua orang seketika melihat ke arah kami.

”Ayahnya baru saja mati dan ….” Pak Nurdin seketika membelakangiku dan kembali berhadapan dengan Daru, ”Kalian bertiga telah membunuh yatim piatu!”

Aku melirik Karimi. ”Bukankah ayahnya itu seorang pemberontak?” kataku.

”Sepertinya Pak Nurdin ini mata-mata Tentara Dalam!”

Pak Nurdin tersentak dan kembali menoleh ke arah kami. Perlahan, ia memutar badan dan bersiap memberi sanggahan. Namun, Daru mengalungkan lengannya ke leher Pak Nurdin, lalu menarik parang di genggamannya dengan bengis.

Aku memalingkan wajah dan mendapati Karimi menelan ludah. Seingatku, aku sempat menoleh ke arah Daru dan tubuh Pak Nurdin di hadapannya. Tapi, setelahnya, aku seperti berada di tempat lain selama beberapa waktu. Aku tidak bisa mendengar teriakan atau apa pun dari orang-orang di sekeliling kami. Aku tidak tahu: siapa yang datang setelahnya, siapa yang pergi, dan siapa pula yang telah menggotong tubuh Pak Nurdin.

Di sore hari, orang-orang saling memandangi lantas pergi. Aku sempat mendengar bisikan Karimi dan ia pun pergi. Aku menengadah sejenak, lalu meninggalkan Daru seorang diri.

Sejak saat itu, aku sudah tidak pernah lagi menemui Daru. Kupikir, dia pun telah enggan menjumpaiku. Orang-orang mengatakan, Daru masih menunggu siapa pun yang bersedia diupah untuk membersihkan ladangnya. Namun, tidak seorang pun yang mau datang ke ladang itu, selama bertahun-tahun. Hanya anak-anak, yang kemudian datang mencari tempurung kelapa lalu menendangnya seperti bola. Hingga akhirnya, mereka menemukan tempurung kepala—milik laki-laki yang dibiarkan mati di pohon kelapa.

2022

****

Boni Chandra, lahir di Payakumbuh, 25 Juli 1989. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2015 di Padang Panjang. Pada tahun 2016, ia diundang ke festival internasional Ubud Writer and Reader Festival (UWRF). Cerpennya yang berjudul ”Pabaruak” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul ”The Monkey Handler” dan dimuat dalam antologi Tat Tvam Asi (2016). Antologi lainnya berjudul Kulminasi (2017) dan Dari Teluk Kao hingga Negeri Raja-Raja (2019). Saat ini, ia menetap di Pekanbaru.

***

(6)

Jamur Raksasa

Bukan hanya manusia, tetapi juga bebatuan, rerumputan, pepohonan, binatang liar, binatang ternak, rumah-rumah, sebentar lagi akan lenyap sampai tak tersisa. Ya, hari kegelapan itu akan segera datang. Kapan? Entah.

Oleh: AGUS SALIM, 13 Februari 2023

Doomsday Clock sudah diatur ulang, dibuat cepat beberapa detik, sehingga perhitungan waktu menuju hari kehancuran, hari kegelapan, menjadi semakin dekat. Luciana tahu, sekitar seratus ribu orang telah lebih dulu berjalan ke langit, menuju lubang besar berwarna hitam, sebuah lubang yang akan mengantarkan mereka ke suatu tempat, dan tak lama lagi, tidak menutup kemungkinan, sebagian besar, atau bahkan semuanya, akan mengalami nasib sama.

Bukan hanya manusia, tetapi juga bebatuan, rerumputan, pepohonan, binatang liar, binatang ternak, gunung-gunung, rumah-rumah, sebentar lagi akan lenyap sampai tak tersisa. Ya, hari kehancuran itu, hari kegelapan itu, akan segera tiba, sebentar lagi. Kapan? Entah. Meski begitu, Kuzma sudah tidak tertarik lagi memikirkannya.

Sejak kemelut terjadi, dia tak lagi mau membebani pikirannya dengan kemuraman-kemuraman. Sebab, segala kemungkinan bisa terjadi kapan saja dan itu dianggapnya hal biasa saja dalam proses keberlangsungan hidup. Jika seandainya suatu ketika dalam sebuah perjalanan ada peluru menebus salah satu bagian tubuhnya, atau mungkin saat di kantor dan sibuk mengerjakan sesuatu tiba-tiba sebuah rudal menghantam gedung kantor tempat dia bekerja, dia menganggap itu hal biasa dan tak perlu dijadikan beban pikiran. Sebab, ya, sekali lagi, menurut dia, segala kemungkinan bisa terjadi, dan siapa pun tak akan bisa menebak atau menolaknya.

Selama kemelut masih berlangsung, Kuzma hanya ingin melanjutkan hidup tanpa sebuah ekspektasi berlebihan, misalnya, penguasa jadi sadar diri dan mengakhiri kemelut secara tiba-tiba, karena itu memang sulit terwujud. Dia hanya ingin merasakan hidupnya mengalir begitu saja, menikmati sisa waktu sampai akhirnya berjalan damai bersama Luciana, sang istri, menuju lubang besar itu, hingga akhirnya sampai pada suatu tempat yang sudah disediakan, tempat yang tak pernah dia tahu seperti apa wujudnya.

Seperti hari ini, Minggu, Kuzma bangun seperti biasanya, dan bersyukur karena masih bisa melihat Luciana berada di dapur, membuat sarapan pagi. Lalu dengan ketenangan sikap seperti biasanya, dia duduk di kursi, membaca koran hari ini, dan menyapa Luciana dengan sebuah pertanyaan yang sebenarnya sudah pernah ditanyakan pada hari-hari sebelumnya.

”Kita sarapan apa hari ini, Lucy?”

Dan Luciana pasti menjawab dengan nada lembut, ”Okroshka,” dan setelah jawaban itu Kuzma akan serius membaca koran sambil menikmati suara-suara burung yang berasal dari pepohohan yang ada di luar pagar belakang rumah.

Sementara Luciana fokus memasak, dan ia memang suka melakukan sesuatu dengan serius. Sambil memasak, Luciana pasti membayangkan makanan itu adalah makanan terakhir yang akan masuk ke dalam tubuhnya, yang akan memberinya energi untuk melakukan sesuatu lebih dari biasanya. Ia juga membayangkan setelah melahap habis makanan itu, sebuah ledakan akan terjadi. Dentuman demi dentuman terdengar keras, ganas, dan getaran demi getaran mengguncang tanah, dan rumah yang sebelumnya tenang dirasakannya berubah bentuk menjadi kotak besar tanpa cahaya, yang hanya berisi suara-suara mencekam. Lalu ia membayangkan bersama Kuzma keluar dari kotak besar itu dan berlari sekencang-kencangnya menyelamatkan diri, mencari sebuah tempat yang aman. Sambil menunggu sup masak, ia mendengar suara desing peluru bertubi-tubi, seperti sedang berkelebat cepat dekat daun telinganya. Lalu ia juga mendengar suara jeritan minta tolong, suara seru kesakitan, dan suara tangisan anak kecil. Lalu tanpa bisa dikendalikan, air matanya jatuh, dan dengan tangkas tangan kirinya mengusapnya.

”Apakah menurutmu masih ada tempat aman?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Luciana begitu saja setelah selesai membayangkan semua itu.

Kuzma, sambil membaca koran, menjawab pertanyaan itu, ”Entahlah. Tempat aman? Ya! Kenapa hal itu tak terpikirkan olehku. Tempat itu pasti ada. Tapi, apa kita masih membutuhkan tempat itu?”

Pertanyaan terakhir itu menyentak ingatan Luciana, dan batinnya segera menegaskan untuk membantah pertanyaan itu dengan kalimat, ”Ya! Kita tak memerlukan tempat itu,” yang seolah-olah dengan kalimat itu ia merasa sudah terbebaskan dari semua tekanan yang tak terlihat. Kalimat itu pula yang kemudian membawa ingatannya mundur beberapa langkah ke belakang. Ia teringat pada sebuah peristiwa di mana saat itu ia sedang dihadapkan dengan sebuah kenyataan pahit yang membuat tekanan darahnya turun tiba-tiba. Di dalam kepalanya terputar kembali percakapan antara Kuzma dan seorang dokter ahli penyakit dalam.

”Istriku sakit apa, Dok?”

”Berdasarkan hasil prognosa dan MRI, istri Anda menderita kanker payudara, dan ganas, tapi belum akut.”

”Ada cara untuk menyembuhkannya?”

”Menyembuhkan? Hanya keajaiban, dan untuk kasus seperti ini, jarang bisa mencapai sebuah keberhasilan. Tetapi, ada yang bisa tersembuhkan. Ya, hanya butuh keajaiban. Anda bisa menempuh tindakan medis obat-obatan, operasi, atau kemoterapi.”

”Hmm, baiklah. Saya ambil jalan itu.”

Setelah percakapan itu, jalan tindakan medis pun dipilih untuk ditempuh. Tetapi, kemelut membuat semuanya menjadi sulit. Setiap rasa sakit itu datang dan menyerang tubuh Luciana dari dalam, Kuzma menyuruh Luciana bertahan ketika situasi di luar masih belum aman.

”Dan memang kita tidak membutuhkan tempat aman itu,” tegas Luciana setelah mengingat itu.

”Ayo kita sarapan,” ajak Luciana sambil menyiapkan mangkuk yang sudah berisi Okroshka.

Kuzma meletakkan koran dan segera menyantap sarapan paginya. Meski permukaan wajahnya dibuat tampak seperti air tenang, di kedalaman tubuhnya, tepatnya di hatinya, ada arus sedih begitu kuat. Tentu saja dia sedih pada keadaan Luciana.

Sebenarnya, dia tidak ingin membiarkan istrinya itu begitu saja tanpa melakukan apa-apa. Dia ingin sekali berbuat sesuatu yang mampu membuat penyakit dalam tubuh Luciana segera lenyap. Tetapi, situasi membuat semuanya menjadi terasa rumit dan ruang terasa semakin sempit. Pengobatan selanjutnya masih bisa dilakukan bulan depan dan itu yang membuat Kuzma bersedih.

Andai kemelut peperangan tidak terjadi, Luciana ingin mengajak Kuzma rekreasi sesering mungkin, ke sebuah taman atau pantai. Ia juga akan mengajak suaminya berkemah di sebuah tempat yang jarang tersentuh oleh manusia, menikmati indahnya malam dengan sedikit cahaya penerangan. Ia akan membuat kenangan indah sebanyak-banyaknya bersama Kuzma. Ia akan bercinta dengan suaminya sesering mungkin, sampai akhirnya tidak ada lagi yang bisa dipersembahkan.

Andai kemelut peperangan tidak terjadi, Luciana ingin mengajak Kuzma rekreasi sesering mungkin, ke sebuah taman atau pantai. Ia juga akan mengajak suaminya berkemah di sebuah tempat yang jarang tersentuh oleh manusia, menikmati indahnya malam dengan sedikit cahaya penerangan. Ia akan membuat kenangan indah sebanyak-banyaknya bersama Kuzma. Ia akan bercinta dengan suaminya sesering mungkin, sampai akhirnya tidak ada lagi yang bisa dipersembahkan.

Kuzma malah berkeinginan sebaliknya. Dia ingin selalu berada di rumah menemani Luciana. Tidak bekerja dan hanya tiduran bersama istrinya. Nonton bersama film di televisi, berdiskusi, makan malam bersama, bercerita tentang teka-teki masa depan, dan tidur berpelukan sampai pagi tiba. Setiap detik, dia ingin memastikan istrinya dalam keadaan baik-baik dan tak mau lengah. Andai pada akhirnya penyakit itu tidak bisa tersembuhkan, dia ingin menjadi saksi kepergiannya.

Luciana memang memiliki kelebihan bisa melihat sesuatu yang tak kasatmata. Sejak korban mulai berjatuhan karena kemelut itu, ia sering melihat orang berjalan ke langit menuju lubang besar yang hitam di langit kota Kyiv. Namun, sebelum semua itu terjadi, ia sudah terbiasa melihat sesuatu yang ada hubungannya dengan hal gaib. Pernah ia tiba-tiba menangis karena melihat roh seorang kriminal yang begitu susah lepas dari badannya setelah dilumpuhkan oleh peluru polisi.

Ya, begitulah Luciana, dengan kelebihan pada pandangannya, dan kelemahan pada payudaranya.

Di tengah ketenangan acara sarapan, tiba-tiba suara sirene melengking. Selang beberapa menit kemudian suara ledakan demi ledakan menggema di kejauhan. Dengan gerak cepat, Kuzma meraih tangan Luciana, dan mereka lari bersama-sama, lalu masuk ke dalam satu ruangan. Di dalam ruangan, dengan cara merayap, mereka memasukkan tubuh mereka ke kolong tempat tidur. Di situ, sambil berpelukan, mereka bertahan, dan kemudian bercakap-cakap.

”Kau ingat sesuatu, Lucy?”

”Ya. Kita pernah seperti ini sebelum menikah.”

”Ha-ha, peristiwa itu menurutku lebih menegangkan dan sekaligus menyenangkan.”

”Ya. Itu adalah kali pertama aku melakukannya. Tetapi, kenapa kita tidak melakukannya di atas kasur saja?”

”Kalau dilakukan dengan mudah, kan, tidak ada seninya.”

”Ah, kau bisa saja.”

Dan percakapan terhenti karena ledakan keras terdengar begitu keras. Mereka berpelukan erat, dan semakin erat, sampai akhirnya suara-suara tak terdengar lagi. Dalam hati, mereka ada kepasrahan, dan jika harus mati, maka dengan cara mati seperti itulah yang mereka harapkan, berpelukan, meski tubuh mereka pada akhirnya tercerai-berai.

Setelah suasana benar-benar reda, mereka keluar dari kolong tempat tidur, melangkah menuju ruang tengah, dan berdiri di belakang kaca. Luciana menempelkan jari-jari tangan kanannya ke bibir dan sementara tangan kirinya dilingkarkan ke perutnya, menjadi tumpuan siku tangan kanannya. Matanya nanar melihat kepulan asap hitam membubung ke udara di kejauhan. Ia juga melihat lubang hitam besar menganga di langit. Kemudian ia merasakan dadanya sesak saat melihat Alyona, salah satu teman baiknya yang tinggal di Distrik Shevchenskivskyi, berjalan ke langit menuju lubang itu. Air mata berjatuhan kemudian, mengusik kekhusyukan Kuzma. Dia lantas menoleh ke arah istrinya.

”Apa yang kau lihat?”

”Alyona. Dia berjalan menuju ke lubang besar itu.”

Kuzma diam, dan pandangannya kembali ke arah kepulan asap.

”Aku tidak bisa membayangkan kalau Tsar Bomba itu meledak di dekat sini, lalu jamur raksasa tumbuh dan melahap semuanya.”

Kata Luciana, dan setelah itu mendesah. Tanpa menoleh, Kuzma berkata:”Semoga itu tidak terjadi, dan jika terjadi, pasti akan banyak memakan korban. Tetapi, selama kemelut masih berlangsung, rudal kecil-kecil akan terus mengancam, dan sebenarnya itu sama saja kemampuannya: melukai atau membunuh. Namun, pada akhirnya, tanpa kemelut ini sekalipun, jika waktu di dunia sudah selesai, toh akhirnya kita akan berjalan seperti mereka. Kita akan ke langit, dan kau akan sembuh total dari penyakitmu.”

”Apakah kita akan berjalan bersama.”

”Entahlah. Lupakan tentang itu untuk sementara, karena tiba-tiba aku teringat pada Black Hole yang lain.”

Itu adalah bahasa kode, dan setelah tersenyum, tanpa basa-basi lagi, Luciana berbalik badan dan berlari menuju kamar sambil melepas segala sesuatu yang melekat di badannya, satu per satu. Kuzma segera menyusulnya. Dia bahagia karena bisa melihat Luciana tersenyum.Asoka 2023

***

Agus Salim, kelahiran Sumenep tahun 1980. Cerpen-cepen pernah dimuat di Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Basabasi.co, Pikiran Rakyat, Republika, Suara Merdeka, dan media lokal lainnya. Beberapa cerpen masuk dalam buku Antologi Bersama. Buku kumpulan cerpen tunggal, Lima Cerita dalam Satu Malam di Bawah Bulan Gerring, Intisari. Saat ini, penulis berkegiatan dalam komunitas Laboratorium Ide dan Cerita (Labita).

***

(7)