Kumpulan 12 Cepen, Agustus 2022

(1)

Nawang dan Betari

Kabar kehamilan Betari menyebar dari celah jendela ke celah jendela yang lain, bukti udara sebagai pembawa berita. Orang kedua yang mengetahuinya setelah sang suami adalah ayah dan ibunya.

Oleh: AKHMAD IDRIS, 26 Agustus 2022

Betari tak berhenti menyungging senyum lewat bibir merahnya, berharap sang suami segera pulang dari menjala ikan. Matahari sudah tampak letih, sinar kuning keemasannya mulai berubah kemerahan. Betari sudah berkali-kali bolak balik dari jendela depan ke kursi, namun yang dinanti tak kunjung melegakan hati. Tepat beberapa menit sebelum matahari benar-benar terlelap, Nawang membuka pintu rumah sembari berucap salam.

”Abang kok tumben pulang telat?” tanya Betari pada Nawang.

”Tadi Baskara membeli semua ikan hasil menjalaku hari ini. Sebelum berpamit, ia bercerita banyak tentang ibu mertuanya yang sangat cerewet. Jadi, abang cukup tertahan lama oleh curhatan Baskara. Maaf ya, Dik.”

”Adik khawatir, Bang. Lalu, abang membawa apa itu? Katanya semua ikan dibeli Baskara?”

”Abang sisakan dua ekor ikan gabus untuk kita makan hari ini.”

”Aduh, sepertinya adik tidak bisa memakannya, Bang. Pamali.”

“Lah memang kenapa, Dik?”

“Adik sudah telat tujuh harian, Bang. Tiga hari terakhir adik juga sering mual tiap pagi.”

Nawang berkaca-kaca dan tak bisa berkata-kata. Ia hanya bisa langsung memeluk istri yang sangat dicintai itu, menciumi kening hingga dua pipinya, dan tak henti-henti mengucap syukur. ”Akhirnya penantian selama 13 tahun ini terjawab sudah,” gumam Nawang di dalam hati.

***

Kabar kehamilan Betari menyebar dari celah jendela ke celah jendela yang lain, bukti udara sebagai pembawa berita. Orang kedua yang mengetahuinya setelah sang suami adalah ayah dan ibunya. Pagi hari saat matahari belum genap terbangun, ayah dan ibunya langsung menggerebek rumah putrinya yang berada tepat di samping rumah mereka. Nawang masih mandi sembari mencuci beberapa baju agar cucian tidak menumpuk terlalu banyak. Ini menjadi satu di antara hal yang membuat Betari jatuh cinta. Nawang selalu melarang Betari menyentuh pakaian-pakaian kotor. Wajah Betari akan selalu bersemu merah saat mengingat alasan sang suami melarangnya mencuci, yaitu mencuci itu kebutuhan, bukan kodrat. Setiap orang diharuskan mencuci, tak peduli laki-laki maupun perempuan.

Betari tersadar dari lamunan saat ibunya duduk, menarik kursi yang lain, kemudian diarahkan kepadanya. Ia menyangka orangtuanya akan menyambut kabar kehamilannya dengan suka cita sembari merapal doa-doa sebagaimana orang tua pada umumnya, namun ternyata Betari salah sangka.

”Suamimu harus berhenti menjala ikan,” ucap ibunya.

”Itu sumber pemasukan kami toh, Buk,” jawab Betari.

”Suami yang istrinya sedang hamil dilarang memancing ikan, apalagi sampai membunuhnya, Nduk. Jika suamimu tetap ngeyel, apa kamu mau hal buruk menimpa bayimu?”

”Bang Nawang tidak memancing, Bu. Ia menjala.”

Kali ini ayahnya yang menyauti Betari, ”Lantas apa bedanya menjala dan memancing, Nduk? Dua-duanya sama-sama menangkap ikan.”

”Tapi menjala ikan dengan keselamatan bayi tidak ada hubungannya, Pak. Yang menentukan selamat atau celaka itu Gusti Alah, Pak,” ungkap Betari.

”Bayi dan ikan sama-sama ciptaan Gusti Alah, Nduk.”

Nawang selalu melarang Betari menyentuh pakaian-pakaian kotor. Wajah Betari akan selalu bersemu merah saat mengingat alasan sang suami melarangnya mencuci, yaitu mencuci itu kebutuhan, bukan kodrat. Setiap orang diharuskan mencuci, tak peduli laki-laki maupun perempuan.

Tiba-tiba Nawang keluar dari kamar mandi sambil membawa cucian yang hendak dijemur. Melihat kehadiran mertuanya, Nawang spontan meletakkan cucian untuk sungkem terlebih dahulu. Setelah sungkem, ayah dan ibu Betari buru-buru pamit agar tidak telat berangkat ke sekolah.

”Sejak dulu bapak dan ibu memang tidak mengharapkan abang sebagai menantu, Dik,” keluh Nawang setelah mertuanya hilang dari pandangan.

”Itu hanya perasaan abang saja,” ucap Betari menenangkan.

”Mereka lebih menyukai Wirya yang bekerja sebagai pegawai di kecamatan dari pada Nawang si penjala ikan.”

”Sudahlah, Bang. Tidak usah diambil hati. Seharusnya abang sudah paham tabiat bapak dan ibu. Ada masalah yang lebih serius, Bang.”

”Apa itu, Dik?”

“Bapak dan ibu menyuruh abang berhenti menjala ikan. Pamali kata mereka.”

”Hahhhh???? Lalu abang harus bekerja apa?”

Suasana mendadak hening, sunyi, sepi. Pertanyaan Nawang seolah menggantung di langit-langit rumah, menunggu disantap cecak yang diam-diam merayap. Tak ada lagi percakapan. Yang terjadi selanjutnya adalah derap langkah kaki Nawang menuju jemuran. Cuacanya panas, pas dengan kondisi hatinya.

***

Dua bulan berlalu dan Nawang memilih menuruti perintah mertuanya, demi melihat istrinya yang hampir tidak bisa tidur setiap malam. Betari kerap dihantui mimpi buruk sebab pantangan yang disampaikan ayah dan ibunya. Dengan kondisi perut yang tampak membuncit, Betari kian susah memejamkan mata dengan nyenyak. Segala posisi tidur terasa menyebalkan, bahkan di beberapa malam Betari menangis sembari mengeluh kepada suaminya.

Nawang sejatinya sejak awal sudah tahu, bahwa larangan dari mertuanya tidak akan diucapkan tanpa membawa sebuah kompensasi. Sebagai guru PNS, mertuanya dapat disebut hidup tidak berkekurangan. Ayah mertuanya mengajar di sekolah menengah atas, sedangkan ibu mertuanya di sekolah dasar. Kebutuhan Nawang dan Betari memang sesekali dibantu oleh ayah dan ibu Betari, namun Nawang tetap berpesan kepada istrinya agak tidak menerima bantuan saat kondisi dapur mereka masih terkendali. Kini semenjak tidak lagi menjala ikan, Nawang menggantungkan kepul asap dapur kepada mertuanya.

Sayangnya, hal itu malah membuat Nawang bertambah naik pitam. Mertuanya tampak semakin memandangnya sebelah mata. Puncaknya adalah saat ibu mertuanya menyuruh untuk menjemur sepasang kaus kaki. Tanpa sepengetahuan Betari, ia nekat kembali menjala ikan. Saking jengkelnya, ia secara sengaja hanya mengumpulkan jenis ikan gabus. Jika yang menyangkut di jalanya bukan jenis ikan gabus, ia kembalikan lagi ke sungai. Sebelum sore datang, ia sudah menyudahi perburuannya. Ia tidak langsung pulang sebab khawatir akan mengundang amarah mertua maupun istrinya. Ia memutuskan pergi ke rumah Baskara untuk nunut memasak ikan gabus tangkapannya. Sebagai balas budi terhadap Baskara, ia memberikan tangkapannya secara cuma-cuma kepada Baskara. Ia hanya mengambil beberapa ekor untuk dimasak. Tak ada kesulitan berarti saat memasak, karena di rumah pun Nawang yang lebih sering memasak daripada Betari. Baskara hanya bisa cengar-cengir kegirangan mendapatkan banyak ikan gratis.

Selesai memasak, Nawang bergegas pamit kepada Baskara karena sudah ditunggu istrinya. Sebenarnya Baskara dari tadi ingin bertanya mengapa kok harus memasak di rumahnya, apakah dapur Nawang kini dihuni banyak jin? Baskara hanya bisa menggumam di dalam hati. Saking buru-burunya, Nawang bahkan lupa mengucapkan terima kasih. Aku akan membuktikan kepada istriku dan mertuaku bahwa larangan mereka sama sekali tak berdasar, batin Nawang.

”Abang dari mana saja? Tadi ayah dan ibu mencari abang berkali-kali? Lalu, abang itu membawa apa?” tanya Betari saat Nawang pulang dengan membawa sebungkus makanan.

”Ini diberi Baskara, Dik. Katanya baik untuk kesehatan bayi,” jawab Nawang berbohong.

”Baik sekali, abang Baskara. Adik mau mencicipinya dong, Bang,” jawab Betari tanpa rasa curiga.

Nawang kini mulai menyuapi istrinya dengan olahan ikan gabusnya. Di suapan pertama Betari masih belum menyadari, namun di suapan kedua dan ketiga Betari mulai merasa janggal.

”Bang, kok rasanya seperti ikan gabus, ya?”

”Tidak perlu khawatir, Dik. Ini memang ikan gabus, tapi yang ditakutkan oleh bapak dan ibu hanyalah mitos belaka. Tidak usah dipercaya.”

Betari langsung berdiri sembari berdzikir amit-amit jabang bayi yang terus diulang. ”Abang kali ini keterlaluan! Ini bukan pantangan biasa, Bang! Ini kepercayaan yang dijaga sejak lama dan telah diuji oleh orang-orang tua terdahulu. Awalnya adik sendiri tidak percaya, tapi cerita semua orang di kampung ini yang membuat adik memilih untuk menghormatinya.”

Betari langsung meninggalkan Nawang dan pergi ke kamar tidur. Tidak peduli dengan suaminya yang mematung di meja makan. Betari tetap berdzikir amit-amit jabang bayi tiada henti hingga terlelap.

Esoknya suatu hal aneh benar-benar terjadi. Leher Betari mendadak berubah kehitaman, seperti kulit ikan gabus.

***

Betari hanya bisa menangis sekaligus marah kepada Nawang. Menangis karena takut dan marah karena menganggap bahwa semua hal aneh ini disebabkan oleh ulah suaminya. Kabar baiknya kejadian ini tidak diketahui oleh mertuanya. Nawang hanya bisa menyesal sekaligus bingung dengan semua ini, apakah benar nanti istrinya akan menjadi siluman gabus dan bayinya nanti akan menjadi siluman gabus junior? Mendadak ada suara perempuan yang mengucapkan salam dari depan.

”Cempaka, apa kabar?” tanya Nawang setelah melihat tamu yang datang.

”Apa kabar Betari? Katanya dia sedang hamil ya? Akhirnya dua sahabat terbaikku mendapatkan jawaban atas doa-doa yang tiada henti,” ungkap Cempaka yang langsung balik bertanya.

”Untung kamu datang. Betari sedang menangis karena lehernya mendadak hitam gara-gara kemarin malam makan ikan gabus.”

Cempaka segera masuk ke dalam dan melihat sahabatnya sedang terduduk lesu. Mereka berdua berpelukan, lalu Cempaka melihat leher Betari yang menghitam.

”Kamu tidak perlu takut, Betari. Ini lumrah dialami oleh ibu-ibu hamil. Dulu aku juga begitu, kok. Kalau tidak salah namanya chloasma gravidarum. Nanti setelah melahirkan akan hilang sendiri, kok,” jelas Cempaka yang membuat suasana tangis menjadi senyum malu.

”Sudah kubilang, pantangan itu sama sekali tidak bisa dipercaya,” ungkap Nawang.

”Husssssttt. Hati-hati kalau berkata, Nawang. Meskipun belum tentu benar, sesumbar tetaplah hal yang tidak baik,” ucap Cempaka mengingatkan.

Kini semuanya bercakap-cakap dengan tenang.

Tidak ada kejadian aneh lagi hingga menjelang hari kelahiran.

***

Di sebuah klinik bersalin yang tidak jauh dari rumah, Nawang menemani Betari yang sedang dalam proses melahirkan. Di kamar sebelah, Gendis, tetangga mereka, juga sedang mengalami proses persalinan. Selang beberapa jam, tiba-tiba terdengar suara bayi menangis. Dua perawat kemudian saling bercakap.

”Mengapa bayi selalu menangis saat dilahirkan?”

“Karena dunia tidak lebih indah dari rahim ibunya.”

Saat dua perawat ini keluar, ibu Betari mendekat dan bertanya, ”Apakah yang menangis tadi bayi milik Betari?”

”Bukan, Bu. Itu bayi milik ibu Gendis,” jawab salah satu perawat.

Tak ada lagi tangisan bayi setelahnya……….

Surabaya, 18 Juni 2022

***

Akhmad Idris,  lulusan Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang terdampar di Bumi dengan selamat sentosa pada 1 Februari 1994. Saat ini menjadi seorang dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya dan STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya. Karya solonya yang telah diterbitkan adalah buku kumpulan esai dengan judul Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia (2020). Baru-baru ini ia lolos dalam seleksi terbuka peserta Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (MUNSI) yang ke-3 yang diadakan Balai Bahasa, juga dalam seleksi kurasi masterclass penulisan skenario film yang diadakan oleh Kemenparekraf. Salah satu cerpennya menjadi juara 2 kategori umum dalam lomba menulis cerita fiksi berlatar sejarah yang diselenggarakan oleh Dinas Kubudayaan dan Pariwisata Jawa Timur. Cerpennya yang lain juga pernah menjadi juara haparan 3 dalam lomba penulisan cerpen Pekan Budaya 2016 oleh HMJ Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang. Beberapa cerpen juga pernah dimuat di beberapa media cetak, seperti Harian Rakyat Sultra, Solo Pos, Bangka Pos, dan Sinar Indonesia Baru.

***

(2)

Nyonya Andini

Suasana dalam rumah tak berbeda jauh dengan di luar. Masih dibungkus kesunyian yang pekat. Kendati demikian, harus kuakui rumah ini sangat bersih. Lantai marmernya tampak mengkilap dipeluk cahaya mentari dari jendela.

Oleh: BANG HARLEN,  25 Agustus 2022

Bulan di atas kuburan. Penggalan sajak Sitor Situmorang itu rasanya tepat mencerminkan rumah ini. Siapa pun pasti setuju dengan kecantikan dan keanggunannya. Rumput hijau yang melapisi halaman tampak terawat. Aneka pot berbagai ukuran berisi bunga warna warni ditaruh dengan rapi. Beberapa menempati halaman, sisanya menghuni teras dan menempel manis di dinding beranda. Namun, aroma kesunyian juga begitu kental. Bayangkan, selain suara desir angin serta cericit murai batu yang digantung di pojok, nyaris tak ada denyut kehidupan yang terasa dari rumah ini.

Aku menekan bel. Tak lama seorang perempuan setengah baya keluar dari pintu depan dan berjalan tergopoh-gopoh. Ah, rupanya ada orang juga di dalam, gumamku.

”Cari siapa dek?” tanya perempuan itu.

”Nyonya Andininya ada, Bu?”

”Oh, Nyonya ada di dalam. Silahkan masuk. Adek udah ditunggu.” Ia lalu membuka pagar. Aku tiba-tiba mengernyitkan dahi. Dari mana Nyonya Andini tahu bahwa orang yang barusan memencet bel adalah perawat yang tempo hari dihubunginya? Apa ia punya indera keenam? Atau jangan-jangan ia adalah dukun yang kebetulan sedang sakit? Pikiranku mendadak liar. Akan tetapi, begitu kusorot sebuah CCTV yang bertengger di sudut pagar, aku jadi merasa geli. Aih, kayaknya aku kebanyakan nonton film horor deh, batinku.

Suasana dalam rumah tak berbeda jauh dengan di luar. Masih dibungkus kesunyian yang pekat. Kendati demikian, harus kuakui rumah ini sangat bersih. Lantai marmernya tampak mengkilap dipeluk cahaya mentari dari jendela. Perabotan seperti kursi, meja, dan lemari tak dihinggapi debu sama sekali. Dan Nyonya Andini agaknya adalah seorang penikmat seni. Terbukti dengan padatnya ruangan ini dengan beberapa lukisan artistik serta barang-barang antik seperti guci, patung, dan ukiran-ukiran yang kutaksir bernilai ratusan juta atau mungkin miliaran rupiah.

”Maaf ya sedikit menunggu, tadi saya ke kamar mandi sebentar.” Suara lembut dari arah sebuah kamar tiba-tiba menyentak kekagumanku yang sedang khusyuk menyimak satu lukisan abstrak yang tampak lebih menonjol di antara lukisan lain. Seorang perempuan tua terlihat duduk di kursi roda dan dituntun oleh ibu yang membuka pagar tadi.

”Oh, ga apa-apa kok, Bu. Saya juga sedang asyik mengamati karya-karya seni yang terpampang di sini.”

”Kamu suka sama lukisan itu?”

”Eh, iya suka, Bu. Saya memang tidak begitu memahami seni. Tapi kayaknya ini lukisan yang paling unik dan yang paling mahal ya, Bu?”

”Itu lukisan suami saya.” Senyum Nyonya Andini mengembang menjawab pertanyaanku. Senyum itu memunculkan barisan gigi yang tampak bersih, utuh dan persis seputih susu. Kini kutahu, tak hanya rumah yang diurus dengan sempurna, Nyonya Andini juga sangat telaten merawat gigi-giginya. Terlebih di usinya yang kutebak sudah menyentuh angka 60 tahun itu. Entah sudah berapa biaya yang dikeluarkannya demi kemaslahatan gigi-gigi tersebut. Mereka yang kaya raya tingkahnya memang sering diluar nalar kaum jelata.

”Oh ya? Wah, suami ibu keren sekali! Pasti ibu sangat bangga dengannya.”

”Tentu saja, hanya dia yang mampu melunakkan hati seorang Andini yang keras kepala, Ha-ha-ha.” Tawanya terdengar begitu renyah di telinga. Beberapa waktu kemudian, aku menarik obrolan kami ke munculnya gangren yang merongrong salah satu tungkainya. Luka ini menyebabkan jari-jarinya menghitam dan membusuk. Alasan inilah yang membuat Nyonya Andini menghubungiku beberapa hari lalu. Aku adalah seorang juru rawat yang khusus menangani masalah luka dan bersedia dipanggil ke rumah.

Sembari kubereskan borok yang bergetah nanah di kakinya, Nyonya Andini menuturkan sudah sejak lama ia memang mengidap diabetes. Penyakit kronis yang selalu jadi biang kerok lambatnya luka untuk sembuh. Kondisi yang bermula dari gaya hidupnya yang tidak selektif dalam memilih makanan yang dikonsumsi. Ia mengaku sangat menggandrungi makanan manis, terutama donat. Saking fanatiknya, ia bisa melahap habis dua sampai tiga kotak donat dalam sehari. Di samping pola makannya yang tidak teratur, ia juga menerangkan kalau ia sangat jarang sekali melakukan olah tubuh. Padatnya pekerjaan bagai lebah yang mengerubungi sarang tak menyisakan celah sedikit pun baginya untuk sekedar berolahraga. Setiap hari Nyonya Andini harus berkutat dengan laptop, bertemu klien, rapat, serta kunjungan kerja yang membuatnya tak ubahnya setrika yang mondar-mandir ke sana ke mari.

”Wah, sepertinya saya sedang mengobati orang penting nih,” ujarku menggodanya sambil terus memainkan pinset serta gunting dalam kubangan nanah yang menganga dan tak hentinya menguapkan aroma tak sedap. Bahkan, sehelai masker yang kurekatkan di hidung tak sanggup membendung betapa semerbaknya luka gangren ini.

”Oh ya, Bu. Kalau boleh saya tahu. Kenapa Ibu tidak memilih rawat inap di rumah sakit saja?” sambungku.

”Saya tidak betah di sana. Dokter-dokter itu terus menyuruh agar kaki ini diamputasi saja. Saya tidak maulah. Lagi pula di sini jauh lebih nyaman. Seperti kata Godbless, lebih baik di sini, rumah kita sendiri.” Ia tertawa riang. ”Berada di sini saya merasa lebih hidup. Saya merasa lebih dekat dengan suami saya.”

Aku tersentak. Kuhentikan menggarap gangren ini sejenak. Dengan kening mengerut kupandang wajah Nyonya Andini lekat-lekat. Sepertinya ia sudah menduga kebingungan yang kutodongkan di hadapannya. Tak lama Nyonya Andini menjelaskan bahwa suami yang amat dicintainya telah meninggal dua tahun lalu. Sebagian karya seni di rumahnya merupakan buah kreativitas suaminya, sebagian lagi dibelinya ketika mereka berlibur ke luar kota atau luar negeri. Lukisan abstrak yang sempat membuatku berdecak kagum sebelumnya menurut penuturan Nyonya Andini adalah karya terakhir suaminya. Burung murai batu yang menggantung di atas teras adalah peliharaan suaminya. Setiap burung itu mengoceh, Nyonya Andini merasa seperti sedang diajak berkomunikasi oleh suaminya. Baginya, murai batu itu seperti tukang pos yang menghantarkan pesan suaminya dari surga melalui kicauannya.

”Ia begitu menggilai seni. Ia menghidupkan seni dan hidup dari seni itu sendiri. Makanya, saya memilih dirawat di rumah. Dengan terus memandang semua karya seni ini saya merasa bisa terus dekat dengannya,” tutur Nyonya Andini mengenang suaminya.

”Wah, saya sampai terharu, Bu.”

”Oh ya, kamu belum menikah?”

”Kalau tidak ada kendala dalam waktu dekat saya akan menikah, Bu.”

”Nah, nanti kamu juga pasti merasakan betapa dahsyatnya cinta seorang istri kepada suaminya.”

”Ah, Ibu bisa aja.” Kami lalu tertawa bersama. Seusai membalut kakinya dengan elastis perban, aku kemudian pamit pulang.

***

Hari terus bergulir. Sudah hampir sebulan aku berkutat dengan borok dan bau busuk yang menusuk hidung dari kaki Nyonya Andini. Aku bersyukur perkembangan lukanya menunjukkan hasil yang positif. Rona wajah Nyonya Andini juga berangsur cerah dari yang semula tampak pucat seperti mayat. Demikian pula dengan hubunganku dengan Nyonya Andini, ia terlihat begitu nyaman dengan kehadiranku. Sehingga tak merasa sungkan lagi menceritakan semua tentang dirinya. Dulu ia adalah seorang pejabat di pemerintahan. Selama menjabat, ia sering melayani tamu yang berdatangan dari dalam maupun luar daerah. Sebaliknya, ia juga sering melakukan kunjungan kerja ke luar daerah. Kesibukan Nyonya Andini rupanya tidak sampai di situ, ia juga harus mengurus bisnis restoran dan propertinya yang beroperasi di beberapa tempat. Tak ayal, rutinitas yang menghimpit tersebut membuatnya jarang berada di rumah.

”Terus suami ibu gimana?” Tanyaku setelah menyesap secangkir teh hangat di teras depan. Usai menyelesaikan pekerjaanku. Kami memang selalu berbincang-bincang santai, kadang di ruang tamu, kadang juga di teras depan.

”Dia tidak pernah mempersoalkannya. Bahkan selalu mendukung karier yang saya tekuni. Kami itu bisa dibilang pasangan yang unik. Jika lazimnya seorang suamilah yang sering keluar rumah, dalam kasus kami justru si istrilah yang lebih aktif bergerilya di luar rumah. Lagi pula profesi suami saya tidak membebaninya untuk keluar rumah. Di sini, ia sering menghabiskan hari-harinya untuk membaca, menulis dan melukis. Hanya sesekali saja ia keluar untuk memenuhi undangan seminar atau sekedar menghirup udara segar.”

Obrolan santai di antara kami terus mengalir di beranda. Nyonya Andini ternyata sangat ramah, hal ini bertolak belakang dengan gosip yang kudengar dari penjual pulsa di dekat komplek perumahannya yang berujar bahwa Nyonya Andini adalah orang yang sombong. Apalagi beliau juga sudah jarang terlihat berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh warga setempat. Nyonya Andini menerangkan bahwa kondisi kesehatannya memang memburuk beberapa tahun belakangan ini.

Terlebih selepas kepergian suaminya, kepergian satu-satunya orang yang paling dicintainya itu membuatnya ditimpa depresi. Ia jadi kehilangan fokus, hingga kurang berhati-hati saat memotong kuku di jari-jari kakinya. Dari sini lah awal luka gangren yang dialami Nyonya Andini. Kadar glukosa darahnya yang terus meninggi serta ditopang oleh depresi menjadikan luka di kakinya belum sembuh hingga kini.

Nyonya Andini juga mengaku semenjak pensiun dari jabatannya di pemerintahan, orang-orang berangsur meninggalkannya. Apalagi dengan kondisi borok beraroma busuk yang masih terpeta jelas di kakinya, teman-temannya merasa jijik dan tidak ada yang bersedia menjenguknya. Di rumah itu, Nyonya Andini hanya hidup berdua dengan pembantunya. Pembantunya juga tidak sepanjang hari ada bersamanya. Usai menunaikan tugas memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan pekerjaan rutin lainnya, pembantunya juga mesti pulang ke rumahnya sebelum Maghrib tiba.

Nyonya Andini sebetulnya sudah berulang kali menawarkan kepada pembantunya agar memboyong keluarganya tinggal bersamanya saja di rumah itu. Namun, pembantunya selalu menolak karena suaminya tidak memberi izin. Selain merasa sungkan, suaminya itu juga beralasan tidak ingin keberadaannya malah merepotkan Nyonya Andini. Keputusan yang ditanggapi dengan bijak oleh Nyonya Andini, meski di relung hatinya terdalamnya tetap menyimpan kekecewaan. Padahal ia berharap agar rumah itu menjadi semarak dengan kehadiran keluarga pembantunya beserta anak-anaknya. Di kota itu Nyonya Andini tidak punya kerabat, semua sanak saudaranya berada jauh di luar kota, bahkan ada yang di luar negeri. Lantas bagaimana dengan anak Nyonya Andini sendiri?

Nah, pertanyaan itu pernah terlintas di benakku. Sejauh aku mengenal Nyonya Andini lewat rangkaian percakapan yang kami jalin, tak pernah sekali pun ia membicarakan perihal anaknya. Malah aku semakin penasaran tatkala di rumah itu hanya kudapati foto Nyonya Andini beserta suaminya saja, tanpa adanya sosok anak seperti layaknya foto keluarga yang menghiasi dinding rumah orang-orang kebanyakan. Aku merasa Nyonya Andini seperti menutupi soal anaknya. Aku sempat ingin menanyakan hal itu, tetapi aku urungkan karena takut menyinggung perasaannya. Hingga pada suatu waktu, karena didorong oleh rasa penasaran yang semakin bergejolak, akhirnya kuberanikan diri menanyakannya.

”Oh ya, Bu. Kalau boleh saya tahu anak itu bagaimana kabarnya?”

Nyonya Andini hanya tersenyum tipis dan menjawab, ”Kalau ia hidup, mungkin ia akan seusiamu sekarang.”

”Oh, saya minta maaf, Bu. Saya tidak bermaksud untuk….”

”Tidak apa-apa.”

Sejak saat itu aku tidak mau lagi mencari tahu soal anak Nyonya Andini.

***

Sudah dua minggu aku tidak merawat borok kaki Nyonya Andini. Sebelumnya aku sudah meminta izin untuk tidak menangani lukanya selama dua minggu ini. Dikarenakan aku pulang kampung untuk menjenguk ibuku yang sedang sakit. Setelah itu aku juga tengah sibuk mengurus proses pernikahanku yang akan digelar dalam waktu dekat. Tidak lupa aku turut mengundang Nyonya Andini untuk hadir di pesta pernikahanku nanti.

”Ibu harus sembuh supaya bisa hadir di pesta pernikahanku nanti ya!”

”Oh, tentu saja. Nanti saya akan menyumbangkan beberapa buah lagu untukmu,” Nyonya Andini cekikikan.

Ia tampak bersemangat, apalagi menurut perhitunganku setidaknya sebulan perawatan lagi lukanya akan segera sembuh. Dan untuk sementara, aku mengalihkan pekerjaanku dengan Nyonya Andini kepada seorang teman sesama perawat luka selama aku pergi.

Aku terus memacu sepeda motorku. Dua minggu tak bertemu Nyonya Andini, tak kusangka membuatku dilanda rindu. Sosok Nyonya Andini sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ah, tak sabar rasanya ingin kembali mendengar segala celoteh dan perkembangan kondisi borok di kakinya.

Memasuki pintu gerbang komplek, kusaksikan banyak mobil terparkir di sisi jalan. Di beberapa titik juga kutemukan aneka papan bunga dengan hiasan warna warni. Sepertinya ada yang baru saja ditimpa kemalangan, pikirku. Aku tidak begitu memperhatikan isi dari papan bunga tersebut. Kuhiraukan saja sambil melengos menuju rumah Nyonya Andini. Namun, mendekati rumah Nyonya Andini kerumunan orang-orang dan kendaraan kian membludak. Mayoritas berbusana serba hitam. Perasaanku mulai tidak enak. Sepeda motor kutinggalkan. Kemudian aku mengarahkan langkah ke sebuah papan bunga yang berdiri persis di sebelah pintu pagar rumah Nyonya Andini. Kupandangi lekat-lekat isi papan papan bunga tersebut.

”Turut berduka cita atas meninggalnya Nyonya Andini Suryanegara.”

Dunia seketika gelap. Jantungku bagai dipenuhi pasukan pemberontak yang sedang melakukan perlawanan. Kurasakan nadiku berdenyut sederas-derasnya, seperti berlomba-lomba membawa pesan kesedihan. Aku terkulai lemas. Dengan langkah gontai kuseret langkah ini melewati kerumunan pelayat menuju teras depan dan masuk ke ruang utama. Di hadapanku sekarang tengah terbaring jasad Nyonya Andini. Perempuan tangguh dan ceria yang dalam beberapa bulan terakhir ini menjadi pasienku. Kupandangi sosok yang sudah kuanggap sebagai Ibu itu. Kini ia terbujur kaku dibalut kain kafan. Wajahnya tampak seteduh beringin. Ada aura kegembiraan yang tergambar di sana. Agaknya Nyonya Andini sudah menemukan kebahagiaannya di surga bersama suami yang amat dicintainya. Namun, tetap saja airmataku terus saja meleleh membasahi pipi. Kupeluk Nyonya Andini dengan pekik tangis yang menggema di udara.

Para pelayat berangsur meninggalkan pemakaman. Tapi aku tetap duduk merenungi nisan Nyonya Andini. Isak tangis masih merembes di pipiku. Saat itulah kurasakan sebuah tangan menyentuh pundakku secara perlahan.

”Seminggu ini kondisi Nyonya Andini ngedrop. Gula darahnya meningkat drastis. Ia tiba-tiba terkena serangan jantung.”

Suara itu berasal dari pembantu Nyonya Andini. Ia menerangkan bahwa dalam seminggu itu Nyonya Andini terus memikirkanku. Ia juga menuturkan Nyonya Andini sering menanyakan kapan aku akan datang lagi. Nyonya Andini begitu merindukanku katanya. Pembantu itu juga menambahkan bahwa kehadiranku ke rumah itu adalah saat-saat paling membahagiakan dalam hidupnya sepeninggal suaminya. Nyonya Andini pun menyesali keputusannya di masa lalu untuk tidak menginginkan adanya seorang anak dalam biduk rumah tangganya.

”Eh, maksudnya gimana, Bu?” Pernyataan pembantunya sedikit menyengat lamunanku.

”Lho, Ibu pikir Nyonya Andini sudah menceritakannya. Nyonya Andini katanya adalah seorang feminis. Ibu sendiri sebetulnya juga tidak begitu paham apa itu feminis. Yang jelas Nyonya Andini pernah mengungkapkan kalau ia sepakat dengan suaminya untuk tidak menginginkan kehadiran seorang anak dalam hidupnya. Ia beralasan sudah cukup berbahagia membina kehidupan rumah tangga berdua saja dengan suaminya. Nyonya Andini juga tidak ingin konsentrasinya dalam karir terpecah dengan urusan mengasuh anak. Namun, belakangan semenjak suaminya meninggal, Nyonya Andini mulai menyadari betapa pentingnya sosok anak dalam hidupnya. Terlebih untuk menemaninya di usia senja.”

Aku hanya terdiam mendengar penuturan pembantunya itu.

”Tapi ada kabar baik untukmu, Dik. Sebelum meninggal Nyonya Andini telah memberikan wasiat jika seluruh hartanya akan diwariskan kepadamu. Nyonya Andini sudah menganggapmu sebagai anaknya. Ini juga sebagai bentuk terima kasihnya karena selama beberapa bulan ini telah merawatnya dengan sepenuh hati.”

Aku mengernyitkan dahi. Bingung harus bahagia atau sedih. Sejenak kuberpikir. Kemudian kurogoh tas yang melingkar di pundak untuk mengambil gawai. Kuketik sebuah pesan untuk calon suamiku.

”Bang, kayaknya aku berubah pikiran. Alangkah baiknya kalau kita memiliki anak saja.” Tak berapa lama pesanku lalu dibalas singkat dengan sebuah emoticon senyum darinya.

***

Bang Harlen adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Kota Payakumbuh dan besar di kota Padangsidimpuan. Merupakan alumnus kampus Universitas Sumatera Utara. Mengawali karier kepenulisannya sejak aktif menulis di blog pribadinya. Lelaki yang bernama lengkap Hady Kurniawan ini sudah menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul Kopi dan Panggelong. Selain menulis, kegiatannya adalah menggeluti komunitas literasi bernama Pojok Aksara yang berdomisili di kota Padangsidimpuan.

***

(3)

Ode Api

Setelah berhasil meledakkan suara gedebur, singa merah itu membentuk bulatan-bulatan menggumpal. Seperti berseloroh api berebut mendaki angkasa dan kemudian melebur dan menjelma jadi bayangan-bayangan hitam.

Oleh: AGUS DERMAWAN T, 21 Agustus 2022

”Aku sama sekali tidak ingin api datang berlebihan. Itu mengerikan. Itu malapetaka. Bahkan omong soal itu saja pali, pamali, ora ilok!” kata istri Ipung. Wajahnya tampak ketakutan.

Ipung merengut.

”Kau ingat, api selalu ingin diambil seukuran yang diperlukan. Jika kau berlebih mengambilnya, jika kau behasrat merampoknya, semuanya akan terbakar,” sambung istri Ipung yang mulai menangis.

Ipung mulai gusar.

”Jangan menangis! Janganlah kau cengeng, berhati lembek!”

Ipung merangkul pundak istrinya. Dibimbingnya ke sebuah tempat yang agak lowong dan bebas dari kesimpangsiuran, beberapa puluh meter dari tempat kejadian. Di sana, Ipung dan istrinya duduk di sebuah batu besar. Pandangannya menyorot tajam ke arah peristiwa yang luar biasa. Bara api merah menyala-nyala. Istri Ipung menutupi wajahnya.

”Aku tak ingin melihatnya. Bukankah itu yang paling tidak kita inginkan. Bagai masuk neraka jahanam!” katanya.

Ipung mulai marah.

”Hapus air matamu. Air setetes-setetes, mustahil bisa membinasakan api sebesar itu! Hapus!”

Istri Ipung menuruti kehendak itu. Dengan punggung tangannya dikibaskan air yang deras mengucur. Dikibaskannya jauh-jauh, seperti mengusir sesuatu yang benar-benar dimusuhinya.

”Bagus. Begitu mestinya. Bunuh saja air mata itu!” Ipung membakar sikap istrinya yang mulai menuruti segala kehendaknya.

”Dan sekarang, dengan perasaan gembira, dengan perasaan lega, terbuka, lepas, bebas, atas kemauanmu sendiri, atas dorongan nuranimu, atas suruhan hati kecil atau hati besarmu, atas persetujuan mutlak isi jiwamu, pandanglah api di sana. Dan tataplah keindahannya. Tatap geraknya. Dan amati betapa gagahnya ia. Betapa bergolak jiwanya! Karena itu, tertawalah. Bersukacitalah melihat dia bertingkah!”

Mereka kemudian seperti terjun ke alam mimpi. Tak sedetik pun mata mereka melewatkan gerak api yang membakar hangus rumahnya itu. Kini, mereka melihat, dinding sebelah kiri yang baru dibangun mulai dijilat-jilat singa merah. Gemeratak dan mendengus-denguskan suara berat. Seperti udara mampat yang menyembur dari sebuah lubang besar. Dan kemudian tampak dinding yang sempal. Pelan-pelan rontok dan bergedebum. Menimpa sebuah mobil yang diparkir di bawahnya. Teriakan orang-orang di sekitarnya menjadi-jadi.

”Mereka terlambat,” kata Ipung. ”Mestinya mobil itu diseret ke luar dulu,” sambungnya. Istrinya seperti tak mendengar.

Di hadapan mereka, api semakin memamerkan keperkasaannya. Setelah berhasil meledakkan suara gedebur, singa merah itu membentuk bulatan-bulatan menggumpal. Seperti berseloroh api berebut mendaki angkasa dan kemudian melebur dan menjelma jadi bayangan-bayangan hitam. Sementara jilatan yang lain sibuk merogoh-rogoh kayu-kayu usuk rumah. Seperti dicekal-cekalnya kayu-kayu itu sampai berpatahan sehingga genting-gentingnya berguguran. Suara riuh terdengar.

Beberapa orang kelihatan menyingkir sambil melepaskan timba-timba yang ditentengnya. Pekikan histeris terdengar setiap kali.

”Ada yang berusaha mengeluarkan televisi!” Ipung berteriak. Tapi, kemudian diam, karena ia akhirnya merasa bahwa kalimatnya hanya untuk meyakinkan penglihatannya sendiri saja. Istrinya memang tak ambil peduli dengan televisi itu. Mata Ipung tetap tak berkejap. Persis seperti ketika ia menatap lukisan ”Hutan Terbakar” karya Raden Saleh. Sinar mripat-nya memancarkan jiwa kekaguman yang amat sangat.

Tiba-tiba terdengar suara berdentam bagai mortir. Dan dalam sekejap bara api tampak menjulang amat tinggi. Bagai tangan-tangan raksasa api itu menggaruk-garuk langit.

”Tangki kompor gas meledak!” seseorang menjerit.

Orang-orang segera berhamburan menyingkir. Berserakan. Dan lantas bengong sesaat, seperti mengambil ancang-ancang untuk putus asa. Ipung melihat barang-barang yang berhasil dikeluarkan penduduk untuk diselamatkan di lokasi di sebuah lapangan. Kasur, lemari, mesin jahit, kulkas, dua lukisan, ranjang, radio, meja tamu, kursi tamu, meja tulis, dan sejumlah buku tebal.

Ipung dan istrinya tak henti-henti memperhatikan. Api terus meluruhkan segala sisi rumahnya. Terus dan terus menghitamkan segala yang bisa dihitamkan. Bagai bakaran daun-daun kering, suara-suara renyah bersahutan. Letupan kecil, letusan besar, bagai mercon kanak-kanak yang menghibur. Merahnya merekah. Disusul hitam memekat bersusulan ke langit bebas. Yang kemudian lebur dan menjadi kelabu.

”Langit mulai hitam. Angin mengarah kita. Kita tak bisa lagi melihatnya!” tiba-tiba Ipung berkata. Tak ada tawar-menawar, diseretnya istrinya dari batu besar itu.

”Kita cari tempat yang lebih aman,” ujarnya lagi.

Beberapa puluh langkah telah diayunkan. Beberapa orang menyapanya dengan sedih dan dengan muka-muka berusaha seperti duka. Tapi, Ipung menyambutnya dengan senyum. Keramahannya seperti keramahan yang disampaikannya di hari-hari biasa. Seseorang memeluknya sambil mencucurkan air mata. Ipung menolaknya.

”Kenapa. Ada apa hingga kau menangis?” katanya. Mulutnya menyungging tawa. Matanya dinaikkan oleh urat-urat wajahnya, seperti menanyakan sesuatu dengan isyarat. Sampai kemudian ia menyambung.

”Maaf. Maaf. Kami berterima kasih atas simpatimu. Tapi, yang kami butuhkan sekarang adalah sebuah tempat yang lebih tinggi. Sebuah tempat yang memungkinkan kami melihat rumah kami yang terbakar itu dengan lebih bebas. Adakah Bapak punya tempat?”

Lelaki yang tadi memeluknya itu dengan tergagap dan terbungkuk-bungkuk menyorongkan jempolnya ke arah rumahnya.

”Silakan. Silakan, Pak. Rumah saya di ketinggian. Bisa dipakai,” ucapnya terbata-bata.

Ipung dan istrinya memasuki rumah itu. Di belakang kamar tamu mereka mendaki sebuah tangga. Di ujung tangga terbukalah sebilah pintu. Dan mereka masuk. Tanpa memperhatikan lagi si tuan rumah, Ipung dan istrinya menyeret dua buah kursi ke sebuah jendela terbuka. Di sana, mereka lantas duduk. Tak berbeda seperti beberapa saat sebelumnya, mata mereka lantas tanpa terkedip menyorot api yang menggulung rumahnya itu.

”Ya. Dari sini lebih jelas!” Ipung mengucap.

Dari jarak seratus meter segalanya tampak lebih menarik bagi mereka. Apalagi dari ketinggian. Semua kelihatan lebih jelas. Kemauan bara api seperti sangat mudah dilacak mata-mata mereka. Dan semakin mudah dihayati. Diresapkan dalam kalbu mereka yang terdalam. Ipung berdiri, tangannya lantas berkacak pinggang. Istrinya juga ikut berdiri. Tangan menyilang di dadanya. Ipung menggeleng-gelengkan kepalanya.

”Bukan main,” katanya berdesah. ”Tak juga surut. Sekarang menjilat atap tetangga!”

Istrinya mengangguk-angguk. Mereka tetap berdiri.

Beberapa detik setelah itu terdengar sirene mengaung-aung. Dari jauh, sesosok benda merah merayap. Mobil pemadam kebakaran. Begitu mobil berhenti di depan bara mengamuk itu, beberapa manusia bertopi bundar tampak berloncatan. Pipa-pipa besar ditongolkan. Sejenak kemudian, bersemburanlah air dengan santer dan penuh semangat.

Ipung dan istrinya menyaksikannya dengan antusiasme penuh. Mereka seperti menyaksikan atraksi khusus yang selama ini tak pernah dijumpainya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terduduk lagi. Dengan tangan memegang erat bibir jendela, Ipung bergumam.

”Tak bisa tidak, aku harus mengagumi dua jenis makhluk itu. Pemadam kebakaran dan api itu! Mereka seperti ditakdirkan hanya untuk memberi kesenangan kepada kita. Mereka dibuat untuk menjelmakan atraksi yang mesti kita tonton. Mereka diciptakan dengan warna-warna yang saling berlainan. Dengan putih, dengan merah, dengan hitam! Warna-warna itu, lihat, betapa kontras. Betapa indah dilihat di tempat terbuka!”

Istrinya berdiri. Kepalanya sedikit mendongak menatap kepul hitam di angkasa. Kemudian lehernya seperti dijulurkan ke atas. Seolah-olah ada sesuatu yang diperhatikan. Sambil tersenyum, ia menoleh ke suaminya. Dan lagi-lagi, sambil mengangguk.

”Indah memang,” kata istri Ipung. Dan mereka berpelukan.

Ipung merasakan dirinya seperti Raja Nero Claudius Caesar Augustus Germanicus. Kaisar Romawi abad ke-5 yang sengaja membakar kota Roma, dan menyaksikan kebakaran 39 hari itu dari ketinggian demi kepuasan hatinya. Hanya bedanya, apabila Nero mengambinghitamkan orang-orang Kristen sebagai penyebab kebakaran, Ipung memosisikan diri sebagai orang yang terkena musibah akibat keteledoran.

”Kebakaran rumahku adalah kesalahanku. Karena itu, api yang menghukum diriku adalah milikku. Hei api! Kutatap khidmat kau sepenuh-penuh mauku,” kata hati Ipung.

”Aku sangat bahagia melihat kau tak mencucurkan air mata hanya karena api itu. Kita pernah memerlukan api, tetapi kita juga pernah melalaikannya. Jika api tak setuju dengan kelalaian kita, itu adalah haknya. Itu hukum alam. Kenapa mesti kita tolak. Kenapa mesti kita cegah? Betul, kan?”

Angin deras menggelebur. Udara panas secara bertahap menerjang mereka. Pintu jendela segera saja mereka tutup. Dan mereka segera menuruni tangga.

”Kita harus cari tempat yang lebih tinggi lagi. Semakin tinggi api, semakin sukar kita nikmati keindahannya. Ayo!”

Di sebuah rumah bertingkat tiga, mereka membungkuk. Mereka dengan senyum dan keramahan memohon kepada pemilik rumah agar diberi waktu sesaat untuk duduk di mulut jendela kamar di tingkat tiga itu.

”Kami ingin melihat, bagaimana api itu melumat rumah kami. Bagaimana manusia-manusia bertopi bundar itu menyirami rumah kami,” kata Ipung sopan.

Pemilik rumah yang muda itu menyalaminya erat-erat. Wajahnya kusut dan terharu.

”Masuklah Bapak. Dan naiklah. Silakan. Silakan Bapak,” sambutnya.

Dan naiklah Ipung dan istrinya.

”Hanya dari sinilah barangkali Bapak bisa melihat jelas rumah Bapak. Dari sisi lain, saya pikir kurang pas,” tutur pemuda pemilik rumah tersebut. Dan mereka pun bersalaman lagi.

Ipung menuju ke jendela kamar itu. Kamar yang berbau wangi. Penuh hiasan bunga. Sebuah lemari kaca indah terpancang. Jajaran kosmetik lux dan anggun berjajar. Rangkaian asparaga terpacak di sisi dinding. Dan sebuah ranjang lebar, masih baru, rapi, berkasur empuk dan hangat terlihat terhampar.

”Hoi, kamar pengantin!” istri Ipung berkata. Ipung meresponsnya dengan tawa lebar.

”Benar! Ini kamar pengantin! Itu lihat, kado-kadonya. Sebagian belum dibuka! Heh, jangan lupa berbahagia, ya. Sebaliknya, buang jauh-jauh benih curiga. Saling terbuka, saling percaya. Sama sekali jangan main api,” Ipung berkata sambil menatap sepasang pengantin pemilik rumah itu.

Lalu, dari jendela kamar pengantin, Ipung dan istrinya melihat rumahnya telah jadi jelaga. Meski sisa-sisa warna merah masih pula menjilat-jilatnya.

”Lengkap sudah. Kita telah memahami semua itu sebagai masa lalu yang hangus dimakan waktu. Semuanya memang akan musnah, semuanya akan hangus dan menjadi abu. Tak terkecuali apa pun, di mana pun, dan siapa pun itu,” mereka berguman. Bersama-sama.

Kemudian ditutupnya jendela.

Ipung dan istrinya kemudian terbahak bersama-sama di beranda rumahnya yang teduh dan dipenuhi aneka kembang. Gardenia carinata, Murraya panicula, Solandra longiflora, Bougainvillea, Allamanda cathartica, Cleodendron thomsonae, Adarium coelaneum sampai kacapiring. Juga pohon tecoma stans yang bunganya kuning menyala. Ipung dan istrinya serentak mengangkat secangkir cokelat hangat untuk diseruput bareng. Ia tak beranjak dari duduknya sampai malam tiba. Mereka menunggu rembulan menyempurnakan purnama.

Ipung dan istrinya memang sedang mencoba-coba menjadi orang gila agar diri mereka jadi bahagia. Setelah melihat kenyataan: begitu banyak manusia yang terus gagal dalam hidup, padahal mereka sudah berusaha keras jadi orang waras.

”Kapan-kapan, kita kebanjiran, yuk! Kena air bah!” kata Ipung. Istrinya mengangguk.

Kelapa Gading, Jakarta, 2022.

Catatan:

Pali (bahasa Dayak), pamali (bahasa Sunda), ora ilok (bahasa Jawa) artinya tabu. Atau sesuatu yang tidak boleh dilanggar.

***

Agus Dermawan T, pengamat seni rupa. Penulis buku-buku budaya dan seni. Buku Sekumpulan Puisi Pantang Kabur diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia, April 2022. Kumpulan cerpennya akan terbit tahun ini. Memenangi delapan kompetisi cerpen nasional.

***

(4)

Aku Memberinya Nama Mick Jagger

Aku sudah siap sejak lama untuk menghadapi kematian. Aku sudah tidak memiliki apa pun, tidak begitu menyakitkan ketika harus pergi sekarang.

Oleh: MOCHAMAD BAYU ARI SASMITA, 20 Agustus 2022

Lelaki berjubah hitam itu berada di ruanganku begitu saja tanpa kuketahui dari mana dia masuk. Pintu kukunci dari dalam, jendela seluruhnya tertutup rapat. Ruanganku benar-benar gelap. Tidak ada satu pun cahaya kubiarkan masuk. Tetapi aku bisa melihat lelaki berjubah hitam itu, mungkin karena aku sudah terbiasa menatap dalam kegelapan. Lelaki berjubah hitam itu bergerak menuju meja kerjaku, melihat kertas-kertas yang berserakan di sana. Dia mengambil satu lembar, melihatnya sejenak (rupanya dia juga bisa mengatasi kegelapan), dan, setelah menatap kertas itu untuk beberapa saat, dia meletakkannya lagi di atas meja.

Aku masih berbaring di ranjangku, tidak bergerak sedikit pun, tetapi mataku terus tertuju kepadanya. Sebenarnya, aku sedikit ketakutan. Aku sempat berpikir bahwa lelaki berjubah hitam itu adalah malaikat maut. Dia pasti datang untuk menjemputku. Aku sudah siap sejak lama untuk menghadapi kematian. Aku sudah tidak memiliki apa pun, tidak begitu menyakitkan ketika harus pergi sekarang. Tetapi begitu melihat sosok seperti itu, kesiapanku yang dulu sekokoh benteng termasyhur di dunia hancur begitu saja.

Lelaki itu mendekatiku. Bulu kudukku berdiri, tubuhku mengejang, dan aku hampir lupa untuk menghirup udara. Dia mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bisa melihatnya samar-samar. Wajahnya, bagaimana menyebutnya, tidak memiliki daya kehidupan sama sekali. Rambutnya pendek dan bagian depannya naik. Dia juga bercambang. Pendek kata, dia mengingatkanku pada foto Elvis Presley yang pernah kujumpai di internet.

”Aku bisa membantumu,” katanya. Napasnya dingin.

Aku diam. Bukan lagi karena takut, ketakutanku sudah hilang begitu saja ketika mendengar suaranya yang terdengar seperti orang tua bijak. Aku hanya sedang menerka-nerka maksudnya. ”Apa yang bisa dia bantu?” tanyaku dalam hati.

”Siapa kau?” Akhirnya pertanyaan itu yang meluncur dari lidahku.

”Dulu namaku Mephisto. Namun, kau boleh memanggilku apa saja sesukamu setelah kita membuat kontrak. Maksudku, nama itu sudah kuno. Aku ingin dipanggil dengan nama lain.”

”Kontrak?”

”Perjanjian di antara dua orang atau lebih, secara resmi. Tapi kita tidak perlu repot-repot membeli meterai. Mungkin, sekarang toko-toko sudah kehabisan meterai karena banyak yang memborongnya untuk membuat surat kuasa palsu guna mencarikan dana bantuan sosial.”

”Apa yang kautawarkan?”

”Terserah padamu. Apa yang kauinginkan? Tapi, melihat kertas-kertas di meja tadi, kurasa kau ingin menjadi seorang sehebat Goethe atau minimal seperti Scott Fitzgerald.”

Aku mulai mengerti maksudnya. Astaga, apa ini mimpi? Mustahil ada hal semacam ini di dunia nyata. Aku pernah melihat sebuah film tentang seorang lelaki yang membuat kontrak dengan seorang misterius sehingga dia menjadi hantu pengendara dengan kepala terbakar. Apa aku akan menjadi seperti itu juga?

”Apa yang harus kuserahkan kepadamu sebagai gantinya? Jiwaku?”

”Itu sudah ketinggalan zaman. Siapa peduli soal jiwa hari ini? Aku ingin wujud, sebuah kehidupan. Tubuh yang kugunakan ini sudah usang. Aku mendapatkannya seabad yang lalu. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kau mestinya tahu tentang hal sederhana seperti itu. Jadi, aku hanya ingin memiliki tubuh baru untuk membantuku agar tetap hidup. Kautahu maksudku, kan?”

”Hidupku mungkin tidak akan lama lagi. Hidupku tidak bisa dikatakan sebagai hidup yang sehat. Aku mengurung diriku di kamar ini terlalu lama. Keluar hanya untuk menyetok makanan instan. Penyakit yang mengerikan sedang menggerogotiku. Aku yakin itu. Sesuatu yang berbahaya sedang berkembang biak di dalam diriku. Seperti bom waktu, ketika sudah mencapai waktu yang ditentukan, ia akan meledak. Kau masih ingin tubuhku?”

Lelaki berjubah hitam itu menggeleng beberapa kali. ”Aku tidak perlu mengkhawatirkan itu. Separah apa pun kondisi fisikmu, itu tidak akan berpengaruh kepadaku. Begini, tubuh yang akan kauberikan kepadaku hanya akan berfungsi seperti pakaian yang kaupakai. Hanya seperti wadah. Aku akan tetap baik-baik saja. Hanya saja, suatu saat, tubuh itu akan hancur. Seperti pakaian yang robek dan tidak bisa diperbaiki lagi sehingga tidak bisa dipakai lagi. Bahkan, jika kau membawanya ke tukang jahit, tukang jahit itu akan menggelengkan kepala dan menyarankan agar beli baru daripada memperbaikinya. Setelah itu terjadi, aku akan membuang tubuhmu. Atau, kalau mau, kau bisa memintaku untuk menguburnya di sebuah permakaman atau membakarnya. Banyak orang yang melakukan hal itu juga, bukan? Setelah itu, aku tinggal mencari tubuh baru.”

”Lalu, apa yang akan terjadi kepadaku?”

”Sederhana, kau akan mendapatkan apa yang kauinginkan.”

Aku terdiam, coba untuk memikirkan tawarannya.

”Jadi,” desaknya, ”Apa kau setuju?”

”Ada yang belum kumengerti. Jika kau menggunakan tubuhku, apa yang terjadi padaku kemudian?”

Lelaki berjubah hitam itu menyeringai dalam kegelapan. Aku bisa memperhatikan gerak garis bibirnya yang datar menjadi sedikit melengkung. Dia kemudian mendekatiku lagi, ”Bisa kauputar lagu The Rolling Stones yang berjudul ’Sympathy For the Devil’?”

Aku meraih telepon genggamku. Membuka aplikasi layanan streaming musik, mengetikkan judul lagu tersebut. Ada banyak daftar yang muncul. Kupilih salah satu dan kutekan tombol putar. Lelaki berjubah hitam itu tersenyum lagi. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang kuputar sesuai permintaannya tadi.

”Lalu, bagaimana aku bisa mendapatkan ketenaran dalam dunia sastra?”

”Apa kau bodoh? Begitu kontrak ditandatangani, tubuhmu tidak akan langsung kuambil. Kau akan kubiarkan untuk berkarya dan di sana aku akan membantumu agar karyamu meledak di pasar. Minimal menjadi best seller. Sekarang label itu di atas segala-galanya, bukan? Jangan kaupikir aku tidak mengikuti perkembangan zaman. Tapi masa-masa itu tidak akan berlangsung lama. Dalam kurun waktu tertentu, kau masih bisa menikmati kemasyhuranmu. Setelah itu, aku akan datang untuk menagih kompensasinya. Tidak. Istilah datang tidak tepat digunakan. Aku akan selalu berada di sampingmu. Ke mana pun kau pergi, aku akan menyertaimu. Sebagai bayangan. Kau tidak perlu ragu. Setelah kau tiada, kau akan tetap dikenang sebagai seorang penulis yang hebat. Bukankah orang lebih bisa menghormati orang yang sudah mati?”

Aku melihat ke bawah, tetapi mustahil ada bayangan tanpa ada cahaya.

”Ketika aku meminta tubuhmu kelak, kau akan menjadi bayanganku. Itu harus terjadi karena aku sendiri tidak punya bayangan. Ini simbiosis mutualisme. Anak SD saja tahu hal ini.”

”Terserah kau saja.”

Lagi-lagi, aku bisa melihat caranya menyeringai.

***

Begitu bangun tidur, rasa sakit yang hebat menyerang kepalaku. Di saat yang bersamaan, telepon berdering. Aku mengangkatnya. Nomor tidak dikenal.

”Dengan Tuan F?” itu adalah suara seorang lelaki yang menyebalkan. Aku masih ingat ketika dia mencaci maki naskahku pada pertengahan bulan Juli lima tahun lalu. Aku terpuruk setelah mendapatkan caci maki itu.

”Benar. Ada apa?”

”Kami dari Penerbit Z. Kami hendak menginformasikan bahwa naskah Anda akan kami terbitkan. Saya yang menjadi editornya sungguh terpukau membaca cerita itu. Saya masih tidak percaya bahwa lima tahun yang lalu Anda pernah menyodori saya naskah yang sangat buruk sehingga saya harus berhenti membaca pada halaman pertama atau, jika saya putuskan untuk terus membaca, maka pinggul saya mungkin harus dirawat secara rutin di sebuah klinik. Maaf. Hanya bercanda. Yang jelas, naskah Anda yang berjudul Kematian Seorang Penulis Kecil akan kami terbitkan. Informasi lebih lanjut akan saya berikan dalam waktu dekat. Tunggu saja telepon atau surel dari saya.”

Telepon ditutup tanpa salam atau hal semacam itu. Aku tidak peduli. Aku bahkan belum begitu yakin dengan telepon tadi, kepalaku benar-benar pening.

Kurasa aku tadi mendapatkan mimpi aneh. Sulit mengingat mimpi ketika kau sudah melupakannya. Butuh sebuah pemantik yang berhubungan dengan mimpi itu jika kau ingin mengingatnya kembali. Sebenarnya, jika sudah seperti ini, biasanya orang tidak akan mengingat mimpinya lagi sampai kapan pun. Aku pernah mengalami hal semacam ini berkali-kali.

Aku menuju kamar mandi. Menyalakan lampu. Menghadap ke cermin. Syukurlah wajahku tidak berubah. Setelah mengalami malam yang aneh, aku sering memastikan wajahku, takut ada yang berubah, takut yang kulihat kemudian adalah bukan wajahku. Aku membuka celanaku, mengeluarkan zat sisa melalui benda yang tidak pernah kugunakan fungsi lainnya ini. Lalu aku mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah menyelesaikan ritual pagi itu, aku keluar dari kamar mandi. Mendekati jendela. Aku hendak membukanya, membiarkan cahaya masuk ke ruangan yang pengap ini. Tapi kupikir sebaiknya kubiarkan saja. Aku kembali duduk. Kepalaku masih sangat pening. Aku tidak ingin minum obat. Obat-obat itu, karena saking seringnya kukomsumsi, sudah tidak memiliki efek apa pun.

Kunyalakan lampu belajar. Kertas-kertas berserakan di meja. Tidak ada hasrat sedikit pun untuk membereskannya. Itu adalah naskah novel terbaruku. Berbicara tentang novel, mimpi tadi samar-samar mulai kuingat lagi: aku telah menjual tubuhku untuk sebuah kemasyhuran. Tapi, kurasa hal itu terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi. Barangkali secara perlahan aku telah mulai kehilangan kewarasan sehingga aku tidak bisa membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Apa ini efek samping dari penolakan-penolakan yang telah kuterima selama ini? Entahlah.

***

Sebulan berikutnya, novelku terbit. Karya itu langsung meledak di pasaran. Aku tidak begitu merasa senang. Rasa-rasanya mimpiku malam itu benar-benar menjadi kenyataan. Aku telah mengingat seluruh mimpiku pada malam itu. Aku selalu memperhatikan bayanganku dalam berbagai kesempatan. Bayangan itu seolah-olah menatap balik kepadaku. Perlahan aku mulai merasa sangat takut ketika berada di tempat yang begitu terang. Di tempat yang sangat terang, bayanganku akan semakin jelas. Aku menghubungi editorku dan mengatakan kepadanya, ”Kita akan lakukan segala pembicaraan melalui telepon atau semacamnya. Jangan paksa aku keluar dari kamarku. Aku… emm… hendak menulis lebih serius dan lebih bagus daripada karya sebelumnya. Aku belum puas.” Dia setuju-setuju saja. Dengan begitu semangat, dia akhirnya memberiku tenggat waktu sampai dua bulan lagi untuk menghasilkan karya baru yang lebih spektakuler daripada karyaku yang sebelumnya.

Sebagai seorang pengecut, tekanan seperti itu benar-benar menggangguku. Di dalam ruanganku aku tidak pernah menyalakan lampu. Jika harus terpaksa menyalakannya untuk keperluan menulis, aku menyalakan lampu belajar. Kuatur agar seredup mungkin sehingga bayangan yang ditimbulkan tidak terlalu jelas.

Sesekali pada waktu-waktu acak, aku mendengar suara-suara aneh. Dia bertanya kepadaku, ”Kau beri aku nama apa?” Karena begitu mengganggu, kujawab, ”Mick Jagger!” Sejak saat itu, aku tidak pernah memutar lagu The Rolling Stones lagi. Ada perasaan mengerikan ketika aku melihat daftar putar band itu pada aplikasi layanan streaming musik di telepon genggamku. Lagi pula, lagu-lagu The Rolling Stones tidak cocok untuk menemaniku menulis. Aku juga menghindari musik klasik. Aku tidak begitu tahu alasanya. Rasanya, musik klasik rasanya dekat sekali dengan hal-hal seperti itu.

Kami dari Penerbit Z. Kami hendak menginformasikan bahwa naskah Anda akan kami terbitkan. Saya yang menjadi editornya sungguh terpukau membaca cerita itu. Saya masih tidak percaya bahwa lima tahun yang lalu Anda pernah menyodori saya naskah yang sangat buruk. Naskah Anda yang berjudul Kematian Seorang Penulis Kecil akan kami terbitkan. Informasi lebih lanjut akan saya berikan dalam waktu dekat. Tunggu saja telepon atau surel dari saya.

Waktu terus berlalu (cara ungkap yang klise, bukan?) dan novel-novel yang kukirimkan ke editorku terus diterbitkan. Sesekali memang tidak begitu menggebrak, tetapi cukup diminati. Ketika mengeceknya di media sosial, banyak anak-anak muda membuat ulasan singkat tentangnya. Aku menggunakan akun anonim sehingga tidak perlu repot-repot untuk menanggapi ungkapan terima kasih atau bahkan hujatan dari mereka. Aku lebih senang dengan kehidupanku yang biasanya, tertutup dan rahasia. Sudah lima tahun sejak mimpi itu datang ke tidur malamku. Sejak saat itu juga aku mengalami ketakutan yang berlebihan terhadap bayanganku sendiri. Hingga pada suatu malam, sosok yang berada dalam mimpiku itu benar-benar muncul.

Malam itu sangat gerah. Aku tidak bisa membiarkan tubuhku terpanggang di sini. Akhirnya kuputuskan untuk membuka tirai dan jendela. Perlahan-lahan, sesuatu muncul dari lantai. Sesuatu itu pertama-tama menyembul dari lantai, seperti tunas pohon pisang di kebun tetanggaku dulu di desa. Kemudian, secara perlahan semakin tinggi. Tentu saja tidak mungkin sesuatu itu adalah pohon pisang. Sesuatu itu adalah seorang lelaki yang memiliki tinggi seukuran tubuhku. Dia memakai jubah serba hitam. Akhirnya aku menyadari bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi dan bukan mimpi. Wajahnya masih sama seperti dulu. Dia memiliki aspek-aspek yang menjadi ciri khas Elvis Presley di kepalanya. Namanya kali ini bukan lagi Mephisto, tetapi Mick Jagger. Aku yang telah memberinya nama itu.

”Sudah waktunya,” kata Mick.

”Aku tidak mengerti maksudmu,” elakku.

”Lihatlah, inilah sifat manusia.”

”Jangan samakan aku dengan orang-orang di luar sana,” kataku sambil menunjuk ke luar jendela.

”Benar. Kau tidak sama dengan mereka, melainkan lebih buruk dari mereka.” Dia mulai mendekatiku. Tapi dia kemudian berhenti, kemudian menoleh ke meja kerjaku. Dia sepertinya tertarik dengan kertas-kertas yang ada di sana. Dia mengambil satu lembar kemudian membacanya dengan keras. ”… Dalam kegelapan ruangan itu, F memberikan tubuhnya. Dia sempat berpikir, mengapa Malaikat Terusir itu tidak lagi meminta jiwa korbannya?” Dia masih termenung menatapi lembaran-lembaran itu. Kemudian, dia menatapku dengan tanpa ekspresi. ”Cerita yang membuatku terhibur.”

Aku tidak menjawabnya.

”Tapi sudah waktunya. Lima tahun adalah waktu yang cukup untuk menikmati kesuksesanmu. Tidak seperti jabatan presiden, tidak ada periode kedua, apalagi ketiga, untukmu.”

”Apa maksudnya?”

Dia tidak menjawab.

”Aku mencapai kesuksesan ini dengan tenagaku sendiri.”

”Yang kaumaksud dengan tenagamu sendiri itu apakah juga termasuk dengan bayangan tangan yang ada di bawahmu, ah maaf, bayanganmu sudah tidak ada. Akulah bayanganmu. Sekarang sudah waktunya berganti tempat.”

”Tunggu… beri aku sedikit waktu lagi. Aku harus menyelesaikan naskah ini. Tinggal sedikit lagi.”

”Kau pernah mendengar sebuah cerita tentang seseorang yang diberi kesempatan hidup sekali lagi dalam waktu tertentu hanya untuk mengunjungi seseorang yang dicintainya dan dia kemudian enggan kembali ketika waktu yang telah ditentukan tiba?”

”Aku tidak seperti orang itu. Aku jamin. Percayalah, aku harus menyelesaikan novel itu dan… kupikir aku akan menulis pesan terakhir, seolah-olah aku bunuh diri. Bagaimana nasib tubuhku nanti?”

”Tenang saja. Wajahmu bisa diubah dengan sedikit sentuhan. Ilmu pengetahuan di zaman ini sudah memungkinkan untuk melakukan hal itu.”

”Baik, aku tinggal menentukan akhir cerita ini. Apa kau setuju? Mungkin sampai tengah malam nanti.” Aku menyesal mengatakan itu, ternyata jam digital telah menunjukkan angka 23.00.

Mick Jagger tersenyum mendengar hal itu.

”Aku sangat suka ketika seseorang menentukan kapan diri mereka akan berakhir. Kebanyakan mereka akan mengkhianati kata-katanya. Aku suka melihat manusia yang mudah goyah seperti itu.”

Kau pernah mendengar sebuah cerita tentang seseorang yang diberi kesempatan hidup sekali lagi dalam waktu tertentu hanya untuk mengunjungi seseorang yang dicintainya dan dia kemudian enggan kembali ketika waktu yang telah ditentukan tiba?

Karena kesal, aku tidak memedulikan kata-katanya lagi. Aku duduk lagi dan memegang penaku. Biasanya, aku akan mengetiknya setelah menulisnya secara manual dengan tangan. Tapi, sepertinya, aku tidak akan sempat untuk yang terakhir ini. Aku mulai menulis baris-baris terakhir karya ini. Aku belum memberinya judul, entah, sulit untuk menentukannya.

”Kau tahu judul yang tepat, Mick?”

Aku tidak menoleh ke arahnya. Dia tidak menjawabku.

Ketika jam digital menunjukkan angka 23.31, aku telah selesai menulis. Aku memutuskan untuk tidak memberinya judul, tetapi membubuhkan keterangan: cerita ini telah selesai. Untuk judulnya, terserah kalian. Selanjutnya, kutata kertas-kertas yang berserakan itu dan memasang klip di ujungnya agar tidak berantakan lagi. Kemudian, aku memasukkannya ke map. Aku mengatur sebuah pesan otomatis yang akan terkirim besok pagi kepada editorku. Aku menyuruhnya datang ke tempatku untuk mengambil naskah ini.

Lalu, aku menulis catatan pada secarik kertas: sedang berlibur bersama Mephisto.

Setelah itu, aku menyerahkan diriku pada Mick. Dia tersenyum sekali lagi. Dia kemudian meletakkan telapak tangan kanannya pada kepalaku, kemudian melakukan gerakan seolah dia sedang menarik sesuatu. Rasanya tidak menyakitkan, tidak seperti cerita orang-orang dewasa tentang betapa sakitnya ketika nyawa terpisah dari jasad. Setelah dia mencabutku sepenuhnya, kini tubuhku menjadi cangkang kosong. Mick keluar dari jasadnya dan jasad itu segera menjadi tumpukan pasir. Dia masuk ke tubuhku dan aku menjadi bayangannya. Setelah mengambil napas lega, dia kemudian keluar dari ruangan dan pergi ke suatu tempat yang jauh.

19 November 2020-13 Agustus 2022

****

Mochamad Bayu Ari Sasmita. Lahir di Mojokerto pada HUT Ke-53 RI. Menyelesaikan studi S1 Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Malang (2021). Cerpen-cerpennya telah dimuat di media daring dan luring. Sekarang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Dapat dihubungi di Instagram @sasmita.maruta.

****

(6)

Haruskah Kami Potong Tangan Ibu?

Pada awalnya, ibu menolak permintaan kami untuk pindah ke kampung. Tapi lantaran kami terus memaksa dan meyakinkan ibu, termasuk juga dua mantu ibu yang amat perhatian, maka hati ibu akhirnya luluh juga untuk pindah.

Oleh: BUDI SAPUTRA, 18 Agustus 2022

Setelah 60 tahun lebih ibu hidup di kota, kami pun akhirnya mengambil sebuah keputusan yang amat berat. Mengungsikan ibu ke kampung. Dalam artian, kami membawa ibu pindah ke kampung halaman almarhum ayah, agar hidup ibu lebih tenang ketimbang hidup di kota. Hidup ibu di kota kian hari kian sangat memprihatinkan. Susah turun naik tangga rumah kami dengan keluhan ibu yang sering terasa sakit pada bagian kaki. Sering diteror saudara kandung ibu sendiri perihal pembagian harta warisan, hingga kami sering melihat ibu bermenung dan kerap tak selera makan.

Pada awalnya, ibu menolak permintaan kami untuk pindah ke kampung. Tapi lantaran kami terus memaksa dan meyakinkan ibu, termasuk juga dua mantu ibu yang amat perhatian, maka hati ibu akhirnya luluh juga untuk pindah.

”Sudahlah, Bu. Apa yang ibu pertahankan di sini. Soal harta warisan, sudah adil semuanya. Mereka hanya iri karena tak mampu membangun toko dari tanah warisan yang telah dibagi. Mereka merasa punya hak tanah dan seenaknya saja meminta keuntungan dari toko yang telah dibangun. Tetangga kita sama saja. Mereka juga mendukung saudara ibu itu dan semakin menyudutkan kita, Bu.”

Aku melihat ibu mulai menerima masukanku sambil duduk di bawah jendela. Sesekali, tangan ibu terlihat masih suka juga menindih semut-semut yang melintas di sudut dinding. Cuaca di luar tengah gerimis. Pohon mangga yang berbuah lebat, kemudian menjadi bahan kelakar kami yang telah mendapat lampu hijau dari ibu untuk segera hengkang, dari ruko yang dibangun dari jerih payah almarhum ayah.

”Tenang saja, Bu. Di sana banyak keluarga ayah yang bisa diajak bergaul. Di sana juga banyak yang bisa ibu kerjakan. Ada ternak ayam dan kambing. Ada berbagai tanaman rempah, pohon rambutan, mangga, dan pisang,” lanjut adik perempuanku paling bungsu.

Wajah ibu terlihat begitu sumringah. Aku dan tiga adikku tentu saja mulai mengemasi segala barang-barang yang hendak dibawa ke kampung. Rumah di lantai dua tentu saja akan tanpa penghuni beberapa hari lagi. Tinggallah toko di lantai satu yang disewakan sejak rampung tujuh tahun yang lalu. Di mana uang hasil disewakan memang cukup besar, dan membuat saudara ibu maupun tetangga banyak yang iri kepada ibu. Kami yang awalnya tinggal di rumah kayu yang reyot dan kurang layak, pada akhirnya tinggal di tempat yang layak di atas tanah warisan yang didapat ibu dari almarhum kakek.

Walaupun kami telah tinggal di tempat yang layak dan menghasilkan uang sewa yang besar, namun tak demikian dengan tiga saudara ibu yang lain. Mereka tak mampu mendirikan ruko dari suami masing-masing, menuduh hak mereka dirampas, dan menuntut hak mereka dari uang sewa toko yang ditarif sekenanya saja pada ibu. Ini jelas kecemburuan sosial dan mengada-ngada, pikirku. Setali tiga uang dengan para tetanggaku yang memang aku kenal sejak dulu tak segan terhadap keluarga kami. Mereka meremehkan kami. Dulu, sebelum ruko berdiri, mereka dengan seenaknya masuk ke rumah kami.

”Hey, sudah siang hari. Kau jangan bergelut juga di kamar, Yeti.” Kala aku masih remaja, seorang perempuan sialan tiba-tiba masuk dan menyoraki ayah dan ibu yang tengah berada di kamar. Aku jelas merasa ada yang ganjil kala itu. Terlebih ia dengan seenaknya membuka tudung di atas meja untuk memastikan apa saja yang dimasak oleh ibu. Bila pohon rambutan, mangga dan jambu berbuah lebat, maka banyak dari tetangga kami yang seenaknya saja mengambil buah yang matang tanpa seizin ayah dan ibu. Apalagi minta izin kepadaku dan tiga adikku. Mereka tentu saja menanggap kami anak ingusan yang tak tahu apa-apa.

Tapi begitulah. Setelah aku beranjak dewasa dan berpikir kritis terhadap berbagai hal, aku pun menyadari, bahwa tindakan mereka tak segan dan meremehkan keluarga kami, tentu saja sedikit banyak berasal dari tindakan ibu yang sering bertandang, mudah saja disuruh-suruh, mudah menerima barang rongsokan atau berang bekas dari rumah mereka. Sampai-sampai, aku pun pernah dengan tegas mengingatkan ibu agar tak membawa barang bekas apapun ke rumah.

”Bu, jangan mudah saja terima barang pemberian mereka, Bu. Kadang barang yang dibawa tak perlu-perlu amat. Menyempitkan rumah saja. Tolong tahan tangan, Bu.”

Aku menyampaikan itu pada ibu sekitar dua bulan sebelum almarhum ayah memutuskan membangunkan ruko untuk kami. ***

”Bagaimana, Bu. Enak kan tinggal di kampung?” Baru seminggu ibu menghirup udara tanah pertanian yang permai, aku melihat perubahan yang begitu besar dalam diri ibu. Aku melihat ibu begitu nyaman berkebun, memelihara kucing, ayam, dan kambing. Pemandangan sekeliling rumah sungguh memukau. Adanya deret bukit, sungai yang membelah tanah pertanian, dan para tetangga yang ramah serta enak untuk diajak ngobrol, membuat ibu sangat kerasan tinggal di desa dan melupakan segala masalah di kota. Satu hal yang membuat kami begitu senang dengan perubahan ibu yaitu, kebiasaan ibu yang menindih semut-semut telah hilang.

”Nah, gitu dong, Bu. Semut-semut itu tak bersalah Biarkan mereka hidup, Bu.” Aku melihat ibu tertawa lebar setelah mendengar selorohku. Bagiku, kebiasaan ibu dengan alasan agar semut-semut tak mengerubungi makanan, memang tak sepenuhnya bisa dibenarkan. Namun sebagai anak, aku tentu paham dengan kebiasaan ibu duduk di lantai sambil mencari kutu kepala, mencari kutu beras, memotong kuku, hingga tangan ibu kerap berdarah lantaran menepuk nyamuk yang hinggap di tubuh kami, kala tidur di lantai pada malam hari.

Namun begitulah. Keriangan kami melihat kenyamanan ibu hanya berlangsung satu bulan. Memasuki bulan kedua, kami mulai terusik oleh isu ibu yang menerima makanan dari seorang perempuan yang dikenal suka menggunjing, dan berbicara kasar di kampung almarhum ayah. Bagi keluarga almarhum ayah, perempuan itu adalah orang yang keluarganya banyak menjadi pengemis di kota, dan pernah berbicara kasar kepada nenek kala masih hidup.

”Jangan mau lagi terima apa pun dari perempuan itu, Bu. Dia bukan perempuan yang baik-baik.” Tegasku yang menyayangkan bahwa mudahnya tangan ibu menerima pemberian dari orang yang baru dikenal.

Ibu mengangguk dan mendapat banyak penerangan dari keluarga almarhum ayah. Namun beberapa hari setelah kejadian itu, ibu kembali membuat kami kalut bukan main pada suatu petang. Penyebabnya tentu saja lantaran ibu berusaha mengusir seekor sapi dengan cara melemparkan batu.

”Jangan, Bu. Jangan lempar batu itu!”

Seorang keluarga almarhum ayah dengan sigap mencegat tangan ibu agar tak melempar batu ke arah sapi yang berusaha memasuki pekarangan. ”Bahaya, Bu. Bisa kualat kita nanti. Itu sapi milik seorang dukun yang disegani dan ditakuti di kampung ini.”

Mendengar demikian, ibu terlihat agak ketakutan. Walau pada akhirnya kembali tersenyum kala membayangkan mengapa begitu mudahnya tangan ibu mengambil batu, dan mencoba melemparkan ke arah sapi itu. Begitu melihat sapi itu melangkah menjauhi pekarangan rumah, suasana kembali menjadi tenang. Ibu kembali larut dalam kelakar bersama anggota keluarga yang lain.

Tapi begitulah. Entah itu ada hubungannya dengan upaya ibu mengusir sapi itu dengan melempar batu, maka berselang tiga jam kemudian, ibu pun mendapat musibah kecil. Jari tangan ibu terluka kala mengiris bawang di dapur. Selain kesakitan, ibu kembali tampak ketakutan. Apakah ibu mendapat kualat dari tenung si dukun yang disegani itu? ***

Ibu mengangguk dan mendapat banyak penerangan dari keluarga almarhum ayah. Namun, beberapa hari setelah kejadian itu, ibu kembali membuat kami kalut bukan main pada suatu petang. Penyebabnya tentu saja lantaran ibu berusaha mengusir seekor sapi dengan cara melemparkan batu.

Diliputi rasa ketakutan, kami pada akhirnya berkumpul di malam itu mengelilingi ibu yang terbaring lemah di kasur. Cuaca di luar juga tak bersahabat. Tiga hari belakangan, selalu hujan badai yang membuat padi-padi banyak yang rebah di sawah.

Selama hidup di kota, dan selama hidup satu tahun lebih di desa, baru kali itulah ibu sakit keras hingga tak sanggup berjalan lagi. Sebelah tangan ibu juga sulit digerakkan, setelah terpeleset di dapur dan mengalami terkilir.

Ada suatu cerita yang mengerikan dan membuat aku amat terkejut di malam itu. Adik perempuanku bercerita, bahwa sebulan sebelum ibu sakit keras, ibu sempat bertemu seorang lelaki asing di ujung pagar kebun yang berbatasan dengan hutan belantara. Kata adik perempuanku, bahwa lelaki itu adalah peburu yang datang jauh-jauh dari kampung di balik bukit.

Memang tak ada makanan yang diterima oleh ibu kala itu. Tapi kata adikku perempuanku yang sempat menyaksikan pemandangan itu dari jauh, bahwa lelaki itu sungguh asing dengan wajah yang tertutup caping sambil menggiring seekor anjing. Tapi ajaibnya, setelah lelaki itu pergi, ibu terlihat begitu entengnya membawa seekor burung ayam-ayam yang disembelih dan disantap oleh ibu pada hari itu juga.

Akhir dari kelanjutan penuturan adik perempuanku yaitu, bahwa pada malam sehari sebelum kami berkumpul bersama, ia bertemu lelaki asing yang datang menjenguk ibu ke rumah. Adik perempuanku tiba-tiba membuat seluruh orang di ruangan terperanjat. Ia mengatakan, bahwa lelaki asing itu melontarkan kata-kata aneh yang sama sekali tak bisa kami terima.

”Jika ibumu meninggal, tolong potonglah tangan kirinya. Karena saat di alam gaib tidak akan menerima amal buruk di tangan kiri lagi. Hanya tangan kanan yang menerima amal baik. Jika ada amal buruk, tentu tidak mungkin diterima dengan tangan kanan, bukan?”

Mendengar adik perempuanku menceritakan itu, aku pun langsung mengumpat sejadi-jadinya, dan begitu menyimpan amarah terhadap lelaki asing itu. Siapakah sebenarnya, dan berasal dari mana lelaki asing yang datang ke rumah tapi hanya sampai pintu depan itu? Apakah juga lelaki asing yang pernah bertemu dengan ibu di ujung kebun itu?

Dan, di tengah kami asyik berkelakar tentang lelaki asing itu, tiba-tiba suara petir menggelegar, hujan pun turun bertambah lebat. Tapi tak berselang lama, di dalam suara hujan yang turun lebat itu, terdengarlah suara ketukan pintu yang begitu misterius. Siapakah gerangan yang datang itu? Kami pun tiba-tiba terdiam dan menduga-duga, bahwa barangkali di luar pintu adalah lelaki asing yang pernah bertemu dengan ibu di ujung kebun itu.

Aku pun tak tinggal diam. Aku segera membalikkan badan, dan cepat kuraih dan kugenggam tangan ibu sambil mengucapkan doa-doa untuk keselamatan, dan kesembuhan untuk ibu.

Mei 2022

****

Budi Saputra. Lahir di Padang. Ia menulis di berbagai media massa seperti Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Kompas, dan Koran Tempo. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 di Jambi (2012). Sekarang ia bermukim di Pekanbaru.

****

(7)

Kabar Gembira

Ibrahim sering duduk melamun di depan rumah sakit membayangkan wajah ibunya. Dia ingat sering berkata kasar pada Zuryati dan pernah mendorong perempuan itu hingga jatuh dan hampir saja menendangnya.

Oleh: YULIZAR LUBAY, 14 Agustus 2022

Saat Sarah hamil enam bulan, Ibrahim mimpi didatangi segumpal daging. Ibrahim menjerit saat benda merah keruh itu melayang-layang di depan mukanya. Dia menunduk dan melihat dadanya telah berlubang. ”Bagaimana mungkin tak ada darah?” katanya.

Ibrahim coba mengejar dan menangkapnya, tapi tak berhasil juga. Segumpal daging yang dikejar Ibrahim telah masuk ke perut istrinya.

Dengan perasaan linglung, Ibrahim terbangun. Lelaki kurus bertubuh jangkung dan berambut keriting itu tak berani menceritakan mimpinya pada siapa pun, termasuk pada istri, bahkan pada bayangannya sendiri.

Ibrahim, sehari-hari bekerja sebagai guru agama di SMA swasta di daerahnya, senang sekali dengan kisah-kisah para nabi. Dia sangat senang dengan dialog Nabi Musa dengan Tuhan. Dialog itu terus mengendon di kepalanya, meronggok di hatinya. Musa, dalam buku yang Ibrahim baca, pernah bertanya kepada Tuhan, ”Di mana aku bisa mencari-Mu?” Tuhan menjawab, ”Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya.”

***

Anak kami lahir di usia kandungan 8 bulan. Beratnya 2 kilogram. Meski begitu, aku tetap merasa sempurna sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu baru bagi si bayi.

Bang Ibrahim memberinya nama Sabili. Artinya jalan dan pesona, katanya, setiap kali menjawab pertanyaan saudara dan tetangga yang menanyakan arti nama itu.

Di tengah larangan pemerintah untuk keluar rumah, di sela-sela mengajar dari rumah, Abang selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan Bili. Dia bermain cilukba saat menjemur bayi kami di bawah matahari jam 8 pagi. Membacakan dongeng 25 nabi saban malam Jumat atau melantunkan selawat setiap kali selesai shalat. Tak cuma itu, pada Senin malam, Abang rajin mengisahkan tentang dua malaikat yang membelah dada Muhammad kemudian mengeluarkan segumpal daging dari sana. Segumpal daging yang dicuci dengan air suci kemudian dimasukkan ke dada Muhammad lagi.

”Ceritakanlah tentang kelinci atau buaya,” kataku.

”Pagi tadi Abang sudah melakukannya. Abang jadi kelinci dan buaya. Jadi kucing dan mobil tua. Abang ceritakan padanya tentang kisah-kisah lucu dan gembira.”

”Ceritakan lagi. Aku mau melihatnya.” Aku tertawa menggodanya.

”Besok saja. Khusus malam ini Abang mau cerita tentang Pembawa Kabar Gembira.”

”Ya, ya. Yang penting Abang bahagia.” Aku berkata tanpa melihatnya karena sedang menyusui Bili.

Bili, anakku, seperti terbuat dari campuran rasa bangga dan haru. Kelahirannya menjadi gairah bagi keluargaku yang semuanya perempuan: aku, ibu, dan empat adikku. Ismail, ayahku, sudah meninggal dan tak sempat menyaksikan anak-anaknya menikah. Dulu, sebelum meninggal, ayah sering bilang padaku ingin punya cucu laki-laki supaya bisa diajak shalat di masjid.

”Ini pengganti kakeknya, kebanggaan kita semua,” kata Abang, suatu malam, saat aku kembali mengenang keinginan ayah.

Aku mengangguk pelan, lantas tersenyum, dan perlahan tertawa geli karena melihat Bili ngompol dan membasahi kaus Bang Ibrahim. Abang menyusul tertawa sebelum meletakkan anak kami ke kasur, mengganti popok Bili, lalu mengganti kaus Abang sendiri.

Sebagian besar keluarga kami, demi alasan kesehatan, tak diizinkan menemui Bili. Mereka semua berjumpa dengan Bili lewat panggilan video. Zuryati, ibu Bang Ibrahim, selalu mencium layar ponsel sebelum mengakhiri panggilan.

Saat Bili berusia empat bulan, keluarga besar kami, terutama nenek Zuryati, terpaksa harus mengurangi kebiasaannya menciumi layar ponsel. Di usia itu, Bili jadi gampang kaget dan mudah menangis di malam hari.

Aku dan Bang Ibrahim cepat kesal setiap kali melihat Bili menolak diberi ASI. Kami heran, kenapa kami menjadi orang yang tidak sabar.

Maryam, ibuku, meminta aku tetap tenang. Dia menyuruhku membawa Bili ke rumah sakit daerah.

Kebanggaan Bang Ibrahim dan kebahagiaanku berangsur luntur ketika dokter mengatakan bahwa Bili mengalami anemia berat. Hemoglobinnya 6,4.

”Anak bapak-ibu harus transfusi.”

Bang Ibrahim berdiam diri.

”Baik, Dok.” Aku menjawab datar.

Dokter berkata lagi bahwa Bili harus dirawat inap. Kami berdua tak bisa menolak.

Bili keluar dari rumah sakit daerah pada hari kedua belas. Dia masih lincah dan suka tertawa, meskipun mulai sayu di bagian mata.

Nenek Maryam, yang semula tenang karena telah melahirkan 5 anak perempuan, mulai takut dan bimbang. ”Badan dan matanya makin kuning. Segera dibawa ke Jakarta saja.”

”Takut korona,” kataku.

”Yang penting ikuti protokol kesehatan. Aman,” kata ibuku yang sehari-hari bekerja sebagai dokter paru di sebuah rumah sakit daerah.

***

Sejak tiba di Jakarta dan susah payah mencari kontrakan, selain mencuci dan menjemur pakaian Sabili, Ibrahim seperti kehilangan waktu luang untuk membacakan dongeng lucu dan kisah-kisah para nabi. Dia lebih sibuk membereskan kontrakan dan tetek bengek administrasi rumah sakit. Selawat tetap dibaca selesai shalat, tapi tak dibacakan atau dinyanyikan lagi untuk Sabili.

Sementara itu Sarah, perempuan bertahi lalat sebesar biji selasih di ujung hidungnya yang sedikit mancung, lebih sering menangis diam-diam di kamar mandi saat Sabili tidur atau sedang digendong oleh Ibrahim.

***

Setelah menginap beberapa malam di kamar kontrakan, pada suatu pagi, kami pergi ke Rumah Sakit Nasional. Nama Bili dipanggil suster. Kami masuk ke ruang dokter. Seusai pemeriksaan yang cukup lama, dokter Kencana mengatakan bahwa Bili mengidap atresia bilier.

”Atresia bilier?” Abang mengulangi. Pertanyaan itu membentur maskernya sendiri.

”Iya, gangguan fungsi hati. Maaf, ini bukan kabar gembira untuk Bapak dan Ibu.”

”Penyebabnya, Dok?” kataku.

”Sulit menjawab pertanyaan ibu. Yang pasti ini adalah kondisi bawaan lahir, di mana saluran dari hati ke kantong empedu tidak terbentuk normal dan dengan cepat akan menyebabkan sirosis atau kerusakan hati. Limpa dan hati anak ibu sudah mulai rusak.”

Aku tak peduli dengan ucapan dokter. Kepalaku pusing. Pikiranku melantur. Aku mau Bili panjang umur.

”Golongan darah siapa yang sama dengan si bayi?”

”Suami saya, Dok,” kataku.

Bang Ibrahim berdehem.

”Bapak sering minum alkohol?”

”Dulu iya. Sekarang tidak. Sudah berhenti sembilan tahun lalu.” Abang terbatuk.

”Suka merokok?”

”Suka, Dok,” kataku.

Abang mencubit pahaku.

Dokter Kencana menggeleng. ”Sebagai calon pendonor hati, bapak harus berhenti merokok dan rajin olahraga.”

”Siap, Dok,” kata Bang Ibrahim dengan nada kurang yakin.

”Baik,” dokter Kencana bergantian menatap kami, ”Saya sudah hubungkan anak bapak-ibu ke poli Gastro Hepato. Ikuti semua langkah yang diminta dokter poli.”

”Iya, Dok. Terima kasih,” kataku.

”Kembali.”

Kami bertiga pamit keluar.

Selesai menebus obat di apotek, kami membawa Bili pulang ke kontrakan.

***

Selama Agustus sampai September, Sabili menjadi sangat rewel. Perutnya makin buncit dan bayangan hitam tampak jelas di bawah sepasang matanya. Hal itu terjadi pula di sepanjang Oktober, di mana Sabili harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Nasional karena demamnya tak pernah turun selama sebulan. Padahal jenis antibiotik yang diberikan sudah bermacam-macam. Tapi tetap saja si bocah belum dapat disembuhkan.

Di saat-saat seperti itu, Ibrahim justru sering duduk melamun di depan rumah sakit sambil membayangkan wajah ibunya. Dia ingat sering berkata kasar kepada Zuryati dan pernah mendorong perempuan itu hingga jatuh dan hampir saja menendangnya karena si ibu marah lantaran Ibrahim berani menjual rumah mereka. ”Maafkan saya, Bu,” kata Ibrahim saat tersadar bahwa dirinya sedang duduk melamun di depan rumah sakit itu. Permintaan maafnya membentur trotoar, kendaraan, dan akhirnya terbang keawan.

Ibrahim menghela napas, mungkin teringat lagi pada operasi cangkok hati yang biayanya sangat tinggi.

Suatu malam, di akhir Desember, tak jauh dari Rumah Sakit Nasional, tepat di dalam kamar kontrakan yang pengap dan sumpek, setelah menelepon Zuryati, Ibrahim berdoa kepada Tuhan. Dia minta agar dosa-dosa masa lalu kepada ibunya itu diampuni. Dia minta juga supaya Sabili dan anak-anak yang masih hidup diberikan umur panjang. Ibrahim memejam, wajah anak-anak yang setiap minggunya meninggal terbayang; 12 anak meninggal dalam rentang waktu tiga bulan. Meja operasi cangkok hati belum dibuka selama pandemi. Air mata Ibrahim tumpah tanpa bisa ditahan lagi.

Ibrahim tertidur dan terjatuh di alam mimpi. Dalam mimpi itu dia melihat lagi segumpal daging melayang-layang. Dia kembali mengejar dan ingin menangkapnya. Tapi si daging pandai menghindar, lantas melayang keluar lewat jendela kamar.

Sampai di suatu tempat, segumpal daging itu berhenti dan masuk ke dada Sabili. Ibrahim berjalan cepat mendekati anaknya. Tapi langkahnya terhenti karena tiba-tiba melihat sesosok makhluk datang dan merogoh dada Sabili. Makhluk bersayap cahaya purnama itu dengan cepat mengambil segumpal daging tadi lantas melesat terbang ke langit tinggi. Ibrahim menjerit-jerit tak terkendali. Dia berlari menghampiri Sabili.

Saat hendak memeluk tubuh anaknya di dalam mimpi, Ibrahim terbangun dengan keringat mengucur. Dia bangkit, lalu mengelap keringat di jidatnya yang berjerawat. ”Mimpi itu lagi,” katanya.

Setelah mencuci muka dan duduk di tepi ranjang, ponsel pintar Ibrahim yang diletakkan di kasur berbunyi. Dia meraih ponsel, lantas membuka pesan baru di ponsel itu.

Bili sudah sembuh, Bang. Ibrahim membaca pesan dari Sarah.

Wajah Zuryati terbayang lagi, demikian pula wajah Sabili dan anak-anak yang sedang mengantre operasi cangkok hati. Mungkin sekarang dia mengerti pada petanda mimpinya sendiri. Mungkin sekarang dia sadar apa maksud jawaban Tuhan saat ditanya oleh Musa: Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya.

Ibrahim bergegas ke rumah sakit menemui Sarah.

Sarah duduk diam seolah kehilangan tulang belulang ketika Ibrahim tiba.

Sementara itu Sabili tertawa gembira saat Izrail membopongnya menuju pohon tuba yang konon banyak ditanam di dalam surga.

Lampung, 2021-2022

Yulizar Lubay, lahir di Lampung, 24 Juli 1986. Cerpennya yang berjudul Kisah Sinta dimuat di Kompas.Id. Cerpen lainnya, Ikan-Ikan dan Jalanan yang Berlubang, meraih juara ketiga dalam sayembara penulisan kreatif Mastera Malaysia, 7 Oktober 2021. Payung Dara adalah novela perdananya, terbitan Lampung Literature, 2018. Sehari-hari bergiat di Kober (Komunitas Berkat Yakin) Lampung sebagai aktor teater.

****

 

(8)

Sokek

Tarhim dari toa surau kampungmu menampar terpakumu. Segera kau memacu langkah menuju rumah. Tergesa disertai ketakutan dan air yang telah kau sisir tak lagi kau pedulikan.

Oleh: HUBBI S HILMI,  13 Agustus 2022

Derik air tergesa pada sungai di sampingmu. Berlarian menuju hilir. Tampak kau masih terpaku. Masih berdiri dan menyorot tajam pada tubuh yang tergeletak bersimpah darah. Tubuh yang tersungkur dengan wajah membekap tipesan.

Tarhim dari toa surau kampungmu menampar terpakumu. Segera kau memacu langkah menuju rumah. Tergesa disertai ketakutan dan air yang telah kau sisir tak lagi kau pedulikan.

”Semoga tak ada yang melihat,” resah batinmu.

Sesampai di bibir pintu rumah, perlahan napas kau atur hingga tak menimbulkan was-was. Agar tak ada tanya dari istrimu yang juga sedang sekarat.

”Kau sudah pulang?”

Kau tersentak demi mengakui suara yang baru saja kau dengar. Suara istrimu. Istrimu yang kau tahu tengah sekarat kini berdiri di hadapanmu dengan wajah berseri. Tersenyum melihat wajahmu yang penuh keheranan.

”Baa…?”

”Jangan tanya…, aku pun tak tahu.” Istrimu memotong gembira.

”Ia harus mati!!!” Ucap belian itu kini mengiang dalam benakmu juga dalam benak istrimu.

”Siapa yang kau bunuh?” Tanya istrimu menghentak lamunanmu yang disusul marbut mengumandangkan azan magrib dari surau.

***

Semenjak selepas subuh hingga menjelang magrib, kau meniti bantaran sawah mengawal air dari hulu ke hilir untuk mengairi sawahmu. Musim sudah tak dapat lagi kau prediksi sebagaimana musim-musim pada tahun sebelumnya. Dua bulan lalu kau menaman palawija, tanaman yang kau pikir cocok dengan musim kemarau semacam yang sedang terjadi belakangan ini, namun perkirakaan kau salah juga. Hujan menghantam sawah sehari semalam menyebabkan benih-benih palawija yang kau tanam mati seketika. Hujan sehari semalam itu mengubah rencana para petani lainnya termasuk kau. Para petani dipaksa memutar otak untuk menanam padi di musim yang seret akan air meski hujan sehari semalam mengguyur kampungmu. Begitu juga Haji Muh yang seperti biasa berhasil mencuri start dalam hal tanam-menanam.

Haji Muh sebagaimana yang diketahui orang sekampung merupakan satu-satunya orang yang pernah berkunjung ke tanah suci, orang paling kaya, dan konon kabarnya, Haji Muh merupakan orang paling wanen, paling kuat dan sakti. Haji Muh menjadi orang paling kaya bukan hanya karena sawahnya yang luas dan banyak, namun juga letak sawahnya yang dekat dengan hulu sungai. Dekatnya sawah Haji Muh dengan hulu sungai berakibat langsung pada kualitas tanaman yang ditanamnya. Semisal musim ini, Haji Muh telah selesai menanam padi yang hijau, namun di hilir sana, semisal sawahmu, kau masih harus menunggu datangnya air.

Setelah menunggu berminggu-minggu, datanglah hari ini, dimana air dari hulu harus singgah di sawahmu. Kau mengawalnya dari hulu ke hilir, melewati sawah Haji Muh dan melewati sawah-sawah lainnya. Sejuk sangat terasa di sawah Haji Muh, pohon-pohon kelapa rindang menaungi setiap petani yang melewatinya. Namun di sisi lain, ketika kau melangkah melewati sawah Haji Muh, kau teringat akan istrimu yang sedang sekarat di ranjang rumahmu. Kau teringat akan kedua kakinya yang membusuk dan berbau. Cerita istrimu suatu ketika, saat itu ia melewati sawah Haji Muh untuk membawakanmu bekal dan kopi pada waktu isitrahat siang. Siang yang terik, membuat istrimu memilih melewati sawah Haji Muh yang rindang dengan pohon kelapa pada sepanjang bantarannya. Membuat siang menjadi sejuk. Istrimu menyunggi bakul berjalan cepat pada bantaran sawah Haji Muh, memburu kau yang tengah mengibaskan-ngibaskan topi kerucut pada sekitar lehermu. Mengusir terik siang, mendatangkan angin. Hingga ketika istrimu sampai padamu, setelah kau baru saja selesai menyesap kopi dan membuang asap rokokmu, ia bercerita bahwa ia merasa kakinya ada yang menyandung, tapi entah oleh apa.

Sepulangnya, istrimu ditimpa demam sangat tinggi juga kakinya terasa sangat gatal. Berulang digaruknya, berulang pula rasa gatal muncul, bahkan lebih menyerupai rasa dicubit dan ditusuk-tusuk, begitu cerita istrimu. Dari puskesmas hingga rumah sakit kau kunjungi, namun tak ada juga jalan keluarnya. Mereka, para dokter seolah bersepakat bahwa tak ada penyakit serius yang diderita istrimu, mereka menyarankan pulang ke rumah dan memperbanyak istirahat, selain itu, mereka juga menyarankan untuk menebus obat-obat yang kau tahu dari penjelasan dokter merupakan obat-obat penurun demam dan obat alergi.

Pada akhirnya kau menyerah karena dana yang juga terbatas. Kau memilih merawat istrimu di rumah dengan sesekali menanyakan alternatif lain pada para tetangga yang kebetulan menjenguk istrimu yang terpaku di ranjang dengan sesekali menjerit karena kakinya terasa ditusuk-tusuk dan menangis karena melihat kau dan tiap orang yang datang menutup hidung dengan tangan dan masker karena tak sanggup dengan bau yang menyeruak dari kakinya.

”Sokek…, iya ini sokek,” kata tetanggamu sekeluarnya dari kamar istrimu yang masih meringis kesakitan.

”Sudah ke sini?” ucapnya setelah merogoh gawainya menunjukkan nama dan nomor telepon dalam gawainya padamu. “Ine belian paling wanen, insyaallah selahye,” sambungnya.

”Dari mana belian ini?”

”Kute Timuk, kalau kamu mau, ambil saja nomernya. Nanti telpon, dan bilang saja dapat nomornya dari saya.” Tuturnya sambil duduk di kursi kayu depan rumahmu.

”Sudah kucoba beberapa kali datang ke belian, namun mereka hanya menggeleng dan tanpa hasil.”

”Ini beda Il, belian ini pernah menyembuhkan emakku yang sakitnya sama seperti istrimu. Istrimu itu kena sokek.” Tetanggamu meyakinkan.

”Tapi kalau kena sokek, darimana dia kena?”

”Aku juga tak tahu Il dan tak mau menduga-duga. Tapi yang pasti ini sokek dan belian ini Il sudah terbiasa menangani hal seperti ini.” Jawab tetanggamu. ”Kau percaya samaku,” sambungnya.

Tak berpikir lama, kau pun menyalin nomor dari gawai tetanggamu dan langsung menelponnya. Setelah berbincang dengan tutur kata yang santun, akhirnya si belian menyanggupi untuk datang melihat istrimu besok harinya. Esok harinya kau diminta untuk mempersiapkan sejumlah peralatan, semisalnya air putih, semangkuk beras, garam, bawang putih, dan seekor ayam hitam polos.

”Pemiliknya kuat,” ucap belian, dukun terakhir yang melihat kondisi kedua kaki istrimu.

”Kalau mau sembuh, Ia harus mati,” tuturnya kemudian.

”Ia siapa?”

”Pemilik sokek ini, yang memasang sokek ini.”

”Siapa? Pemiliknya!” tuntutmu pada si belian.

Ucapan belian itu kini terus mengiang di kepalamu, di sepanjang jalan mengawal air dari hulu ke hilir. Wajah kesakitan dan kaki istrimu yang membusuk hilir mudik bergantian tampil diingatanmu menemani kau menjaga air agar sampai ke sawahmu yang letaknya paling hilir. Menemani kau membereskan sampah-sampah yang beragam dari sungai. Mulai dari sampah pelepah pisang, pelepah kelapa kering, sampah sandal-sandal jepit yang hanya tersisa sebelah, buah-buah kelapa yang jatuh karena gombas, kau naikkan pada bantaran sawah yang kau lewati, hingga pada akhirnya air dengan sentosa sampai di sawahmu.

Air telah selamat sampai di sawahmu, mengairi dan merendam tanah di sana. Kau melepas badan pada satu pohon nyiur. Melepas lelah menyisir sawah, mengawal air dari hulu hingga ke hilir. Sawahmu yang berada di hilir membuat kau kadang merasa dirugikan. Pada saat musim tanam seperti ini, pada saat pembagian air, tentu sebagai yang paling hilir, kaulah yang paling terakhir mendapatkan giliran untuk mengairi dan merendam sawah. Hari ini giliranmu dan kau sudah cukup lelah menunggu.

Matahari mulai lengser ke barat. Magrib hendak datang, kaupun bersiap untuk pulang. Sebelum pulang, kau memastikan air pada sungai sedia mengairi dan merendam sawahmu hingga esok. Kau menuju sungai dan memeriksanya, meninggalkan pohon nyiur yang melambaikan pelepahnya. Wajahmu memerah sesampai di sungai, air yang kau kawal mulai menyusut sampai tanah pada dasar sungai terlihat jelas.

”Kerjaan siapa ini!! Awas saja kau!!” Dengan bersungut-sungut kau menuju ke hulu dengan parang masih menyelip di pinggangmu.

***

”Woiii!!! Kenapa kau tutup ?!!!” Teriakmu demi melihat seorang lelaki dengan kopiah putih berkacak pinggang di pinggir sungai. Ia baru saja bangkit dari dalam sungai, baru saja menepi, menutup aliran sungai ke hilir dengan beberapa batang juga pelepah pohon pisang, tanah juga beberapa sampah. Mengalirkan air yang kau kawal sejak siang menuju sawahnya sendiri yang sudah tertanam padi yang hijau. Saat itu, kau sudah tak peduli siapapun yang menghalangi pekerjaanmu, termasuk pada orang yang kau teriaki sekarang. Kau tak peduli orang yang kau teriaki sekarang ialah orang yang paling kaya dan paling wanen di kampungmu. Haji Muh.

”Kenapa?!! Yaok…, berani kau!!!” Demi mendengar teriakanmu yang menggelegar, Haji Muh pun naik pitam. Dalam benaknya, kau dianggap orang miskin yang kurang ajar. Tak tahu tata krama pada seseorang yang pernah ke tanah suci.

”Ini giliranku. Bukan kau!” Kau tak kecut sama sekali, terlebih melihat wajahnya, mengingatkan kau pada sakit yang diderita istrimu. ”Jangan tamak jadi orang!!” Kau melanjutkan amarahmu.

Haji Muh tak terima dengan kata-katamu dan makin meluapkan emosinya. Ia melangkah cepat padamu. Tangannya berusaha menggapai kerah bajumu, namun sebelum sanggup meraih kerah bajumu, kau menepisnya dan mendorong Haji Muh dengan tangan kirimu, hingga ia terjatuh menuju sungai. Merasa dihina, Haji Muh bangkit dari sungai dengan amarah yang sangat. Ia meraih parang yang tergeletak pada bantaran sawah. Lalu dengan segenap tenaganya, ia ayunkan parangnya ke arahmu. Beruntung kau telah siap, dan dengan satu gerakan menjingkrak ke belakang, kau berhasil mengentaskan serangan parang Haji Muh kepadamu. Secara otomatis, tanganmu menarik parang yang terselip di pinggangmu, dan dengan segenap tenaga kau ayunkan tepat mengarah pada leher Haji Muh. Haji Muh tak siap dengan serangan balasanmu, akhirnya ia memekak kesakitan dengan darah menyeruak dari lehernya dan roboh menimpa tepian pada sungai.

*******

Hubbi S Hilmi, lahir di Labuhan Haji, Lombok, NTB. Cerpennya pernah muat di Kompas.id, MalutPost, Metro Sulawesi, Harian Rakyat Sulawesi Tenggara, Majalah Harmoni Kantor Bahasa Maluku Utara, dan Harian Mercusuar. Buku kumpulan esai perdananya terbit dengan judul Silsilah Percakapan (Jejak Pustaka, 2022) dan sedang mempersiapkan kumpulan cerpen perdananya berjudul Buku Panduan Wisata. Berdomisili di Ternate sebagai tenaga pengajar di Universitas Khairun.

*******

 

(9)

Rumah Bako

Aku berdiri di ambang pintu menyaksikannya bergumul dengan asap. Ia membuka tutup periuk nasi, mengeluarkan sebuah bungkusan berplastik hitam lalu mengarih dengan tangkai centong dan menyalin ke dalam cambung nasi.

Oleh: YOGA ZEN, 11 Agustus 2022

Aku tak perlu bertanya untuk tahu letak rumah itu. Sebab, aku mengingat gapura bergonjong sebagai petunjuk saat pertama kali kami mengunjunginya dua dekade silam. Tak ada yang berubah, pikirku. Gapura itu masih berdiri mengangkangi jalan dengan ukiran limpapeh yang tak juga berubah. Aku menyelinap ke jalan setapak mendaki yang dipenuhi pohon-pohon kapuk raksasa persis di belakang gapura tersebut. Setibanya di depan rumah itu, seorang perempuan paruh baya terlihat kesulitan memasukkan ujung benang ke lubang peniti setelah berkali-kali mengulumnya. Aku menghela napas lalu mengucap salam. Perempuan paruh baya itu manatapku mereka-reka lalu berdiri seraya menyipitkan mata. Kemudian, ia berlari merentangkan tangan ketika akhirnya sadar bahwa aku adalah anaknya.

Kami duduk berdekatan di atas lapik pandan rombeng. Ia bersimpuh. Aku bersila. Nyaris tak ada perabot yang menghiasi ruangan itu. Sejatinya, rumah itu terbagi dua bagian; satu ruangan tempat kami duduk sekaligus dapur dan satu lagi kamar tidur kecil tanpa tirai. Di tengah-tengah rumah, ada tiang penyangga yang masih kelihatan kokoh.

Ia membelai rambut dan lenganku dengan telapak tangan yang kasar sehingga membuatku geli dan merasa sedikit risih.

”Apa ini asli?” katanya takjub memegangi rambut keemasanku.

Aku mengangguk.

”Kenapa kau tak bilang akan datang?”

“Dengan cara apa aku bisa menghubungimu?”

Ia tersenyum, meraih nampan berisi pisang menghitam yang dikerubungi lalat buah, dan kemudian menyodorkannya padaku.

”Bagaimana kabar adikmu?”

”Dia baru saja lulus dan berencana mengambil S-2.”

”Kalian tumbuh cepat sekali.”

Ponselku kembali berdering. Dua panggilan tak terjawab.

”Kau tidak suka pisang, ya?”

Aku menggeleng.

“Makanlah,” katanya mengupasi kulit hitam itu. ”Kulit ini memang kelihatan busuk, tapi isinya tidak. Nah, lihat.”

Demi sopan santun, aku meraih dan memakannya. Ternyata memang masih bisa dimakan.

Ponselku kembali berdering.

”Kenapa tak diangkat? Siapa tahu itu penting.”

”Sebentar,” ucapku.

Aku keluar kemudian kembali ke dalam setelah membuang beberapa detik mendengar ocehan yang kembali memaksaku menumpahkan sisa-sisa air mata.

”Kau kenapa, Nak?” katanya cemas.

Aku menggeleng. Tidak berani menatapnya. Saat sibuk mencari charger di dalam tas, aku menyeka pipi dengan telunjuk sembari menyampirkan rambut yang tergerai ke belakang telinga.

”Ada apa?”

Aku menggeleng. “Di mana colokannya, Tek?”

Ia menatapku bingung lalu tersenyum canggung.

“Kau tak berubah, Sayang. Terakhir kali ke sini, kau merengek—mengamuk pada ayahmu karena melewatkan acara kesayanganmu. Apakah kau lupa bahwa rumah ini belum dialiri listrik bahkan setelah bertahun-tahun kemudian?”

Kami duduk berdekatan di atas lapik pandan rombeng. Ia bersimpuh. Aku bersila. Nyaris tak ada perabot yang menghiasi ruangan itu. Sejatinya, rumah itu terbagi dua bagian; satu ruangan tempat kami duduk sekaligus dapur dan satu lagi kamar tidur kecil tanpa tirai. Di tengah-tengah rumah, ada tiang penyangga yang masih kelihatan kokoh.

Wajah Rudy Tabootie bersama yang lain tiba-tiba melintas di kepalaku saat ia menyebut acara kesayangan.

“Mungkin di surau bisa. Kau masih ingat, kan, jalannya?”

Aku mengangguk, walau ragu.

Aku berdiri di ambang pintu menyaksikannya bergumul dengan asap. Ia membuka tutup periuk nasi, mengeluarkan sebuah bungkusan berplastik hitam lalu mengarih dengan tangkai centong dan menyalin ke dalam cambung nasi. Di dalam plastik itu ternyata ada segenggam cabe merah, dua buah tomat kecil, setengah papan petai, serta beberapa siung bawang merah dan putih. Kemudian, ia menumbuk pecah semua bahan itu dalam batu giling lalu menuangkan cairan kuning-cokelat dalam botol sirup yang mirip minyak jelantah.

“Ah, sudah pulang,” katanya menenteng cambung dan piring bersamaan.

“Makanlah, hanya ini yang ada.”

Aku menelan ludah, bukan karena lapar. “Bagaimana denganmu?”

“Aku puasa.”

“Nanti saja, bersama-sama.”

“Tidak,” sanggahnya, seraya meletakkan makanan itu di atas lapik pandan,

“Sambalado uwok patai ini pasti nikmat bila bertemu dengan nasi hangat. Lagipula magrib masih lama.”

“A—aku tidak lapar.”

“Tentu kau lapar, Sayang,” ujarnya. Wajahnya begitu asih. “Jauh-jauh datang ke mari, bagaimana mungkin kau tidak merasa lapar?”

Aku tidak bisa berbohong. Itu benar. Barangkali dia juga lapar. Aku mengisi piring kanso dengan sesendok nasi lalu memasukkan lado itu sedikit saja.

“Sebaiknya kau pakai tangan!”

“Tidak, aku terbiasa seperti ini.”

Ia tersenyum dan menggeleng-geleng kecil. “Kau tak berubah, Sayang.”

Aku mengendus-endus nasi itu sebelum mengunyahnya. Aroma dan rasanya tak seburuk yang kukira. Aku menyuap sekali lagi untuk memastikan bahwa lidah serta penciumanku tidak keliru. Ya, benar. Ini nikmat seperti yang dia bilang. Aku menambah nasi sesendok lagi dan memutuskan memasukan potongan petai ke dalam mulut untuk pertama kali. Rasanya empuk dan legit.

Jika tahu rasanya akan semanis ini, mungkin aku kan sering meminta Tek Sum di rumah membuatkannya sekali-kali.

“Kau juga harus mencoba kulitnya, Nak.”

“Apa?” tanyaku kaget. “Kulit petai ini memangnya bisa dimakan?”

“Cobalah.”

“Tidak! Aku bukan kambing!” kataku tertawa.

Ia juga tertawa lirih. “Ayahmu tentu takkan melewatkannya.”

Aku mengangguk. “Yang jelas, aku tak menyangka minyak jelantah itu akan seharum dan senikmat ini,” ucapku seraya tetap mengunyah.

“Itu bukan minyak jelantah, Sayang,” jawabnya tersipu. “Itu minyak tanak—dari minyak kelapa yang disangrai lama.”

“Benarkah?”

Ia mengangguk. “Andai saja aku punya sedikit jeruk nipis.”

“Memangnya kenapa dengan jeruk nipis, Tek?”

“Pasti akan bertambah nikmat!”

“Oh Tuhan, ini sudah jauh melampaui rasa nikmat.”

Ia tiba-tiba menunduk.

“Tentu saja,” katanya, lalu diam sesaat sebelum melanjutkan, “Sebab lidahmu belum pernah merasakannya, bukan?”

Aku ragu antara menggeleng atau mengangguk.

“Lagipula, ibumu kan tak pernah membuatkannya untukmu.”

Aku berhenti menyuap lalu menatapnya. Aku bingung saat ia menekankan suaranya kala berkata demikian. Aku mengambil segelas air dalam ceret emas dan meminumnya dalam sekali teguk.

“Apa kau masih marah kepada ibuku, Tek?” ucapku pelan sembari mengelap mulut dengan tisu yang kubawa.

Ia memalingkan muka ke jendela. Seperti mengenang sesuatu, yang begitu sentimentil untuk diingat. Air mata perlahan berlinang di pelupuk matanya. Lalu, ia menyeka perlahan. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba aku merasa perlu meminum segelas lagi disaat perutku sudah terasa begitu kembung.

“Tek, atas nama ibuku, keluarga besarku, aku minta maaf!”

Ia menggeleng cepat. “Ibumu telah melanggar adat!” sahutnya dengan suara gemetar. “Seharusnya ayahmu dimakamkan di sini, di tanah kaumnya!

Begitulah seharusnya ketika seorang datuk meninggal. Tapi ibumu yang keras kepala itu tak peduli dan memilih menyelesaikan dengan caranya sendiri. Kau tahu, para leluhur di atas rumah ini telah mengutukiku karena membiarkan itu terjadi.”

Aku terdiam.

“Pernahkah dia memikirkan betapa besar malu yang harus kutanggung karena ulahnya itu?” Ia menggeleng sekali lagi. “Tidak! Dia tak pernah!”

“Ma—af,” ucapku menunduk.

“Kau tahu, Nak, bukan itu yang membuatku benci padanya, tapi, di saat-saat terakhir ayahmu, dia tak mengizinkan kami menemuinya, bahkan setelah dia pergi pun, ibumu tetap tak memberi kami kesempatan untuk melihat pusaranya. Dia benar-benar sin—.”

Aku pikir rumah ini dapat memberiku rasa aman dan nyaman, tapi setiap rumah yang kukunjungi ternyata sama. Aku benar-benar tak tahu lagi ke mana harus pergi. Aku menahan kedua lengan ketika tubuhku tiba-tiba berguncang. Aku menangis. Perutku kembali bergejolak. Aku memejamkan mata begitu dalam, berharap semua ini tak pernah terjadi.

Lalu ia buru-buru mendekapku dengan erat. Sambil terisak, ia membawa kepalaku rebah di pundaknya. Bau asap masih mengendap di pakaian serta rambut peraknya tapi aku tak peduli. Sudah lama aku tak merasakan pelukan sehangat dan setulus ini. Tentu tidak pada malam penuh omong kosong itu dan tidak pula pada saat-saat lelaki itu berjanji kelak akan menikahiku.

“Maafkan aku, Sayang,” ujarnya membelai pundakku dengan gerakan naik-turun. “Tak seharusnya aku berkata seperti itu kepadamu. Ini jelas bukan salahmu. Aku tahu itu. Maafkan aku!”

Kami tetap berpelukan seperti itu untuk waktu yang lama, tanpa disadari.

Hari yang aneh, pikirku, adalah hari dengan beragam perasaan berkelindan di dalamnya. Setiap orang pasti pernah mengalaminya, paling tidak sekali setahun. Dan aku baru saja mengalami hari itu hari ini.

Kami banyak mengobrol petang itu, sampai-sampai dibuat lupa oleh suara beduk.

Pukul sembilan aku pamit. Dan kepergianku yang mendadak itu tentu saja mengejutkannya.

“Kau mengecewakanku, Sayang,” katanya enggan melepasku pergi dengan raut wajah sedih. “Kupikir kau akan menginap!”

Aku tersenyum, berusaha melepaskan genggamannya yang begitu erat.

“Lihat, semua sudah kusiapkan! Kau bisa tidur di atas dipan. Sementara aku di lapik pandan.”

“Maafkan aku, Tek. Aku buru-buru.”

Ia melepaskan tanganku. “Berjanjilah untuk sering datang mengunjungiku,” ujarnya menyapu air mata. “Lain kali, ajak juga adikmu yang nakal itu, aku benar-benar merindukannya!”

Aku mengangguk. “Pasti, Tek!”

Di kota kecil itu tak ada kafe, restoran apalagi pub. Aku memutuskan kembali ke surau. Di sana aku bertemu lagi dengan lelaki tua yang memakai kopiah kusam dan sarung kotak-kotak tengah memasangi pasak jendela. Di lehernya, melingkar gulungan kabel mikrofon. Aneh.

“Mau sholat?” tanya lelaki itu padaku dengan suara unik.

Aku mengangguk kemudian mengambil mukena buluk yang tersampir di atas pembatas.

“Jika sudah selesai, saya minta tolong matikan lampu dan tutup pintu depan,” pintanya padaku.

Aku kembali mengangguk. “Pak, bolehkah saya mengecas ponsel sekali lagi? Saya mohon, sebentar saja?”

“Silakan.”

Dan ketika ponselku kembali menyala, belasan—tidak, puluhan pesan masuk bergantian. Aku tak tahan melihatnya lalu membalas satu demi satu hingga jatuh tertidur.

******

Yoga Zen. Lahir di Tanah Datar, 22 Agustus 1997. Sekarang Yoga hanya fokus membaca dan menjadi buruh di Batusangkar.

******

 

(10)

Maut di Ladang Jagung

Matuwar yang seumur-umur hampir tak memiliki rasa takut terhadap apa pun, tiba-tiba menjadi gamang. Tulang-tulang di badannya sekonyong-konyong terasa linu. Sendi-sendinya ngilu. Jantungnya berdetak kencang.

Oleh: A MUTTAQIN, 7 Agustus 2022

Saat itu, hari telah senja dan Matuwar sendirian saja di ladangnya. Ia sungguh terpesona tatkala melihat langit mulai dipenuhi cahaya merah keemasan. Ia begitu gembira, melihat ladangnya juga dipenuhi tongkol keemasan, seolah ladangnya adalah bentangan langit lain dan tongkol jagungnya adalah bintang-bintang. Seharian Matuwar telah melepas kelobot jagung-jagung itu, membiarkan tongkolnya terbuka di bawah sinar matahari, agar jagung-jagung itu kering dan ia bisa menyimpannya dalam waktu lama tanpa takut rusak atau jamuran.

Matuwar sungguh bahagia. Wajahnya penuh syukur dan sukacita. Senyumnya senantiasa mengembang. Tapi itu tak lama. Kebahagiaan itu tumpas seketika tatkala ia melihat seekor tikus gemuk melenggang dan pelan-pelan menelusup ke lubang di dekat sana: ”Bangsat! Malapetaka datang. Malapetaka telah datang…”

Buru-buru Matuwar menyingkap setumpuk tebon yang menutupi lubang itu. Dan ia sungguh terkejut saat mendapati sepasang tikus lain telah menggerogoti setongkol jagung miliknya. Dengan kecepatan sempurna, tikus itu menyusup ke celah tumpukan tebon dan masuk ke lubang gelap dalam tanah, tapi itu cukup membuat Matuwar murka. Matuwar tak bisa menahan amarah tatkala ia menyingkap tebon-tebon itu dan mendapati tiga lubang tikus menganga: ”Duh Gusti, dosa apa telah kuperbuat sehingga Kau kirim tikus-tikus ini ke ladangku?” gumamnya.

Belum reda amarah Matuwar, tatkala seekor tikus lain tiba-tiba menyembul dari lubangnya, seperti hantu yang muncul dari kegelapan. Matuwar tahu apa yang harus ia kerjakan. Ia harus memanen jagung-jagung itu sekarang juga. Matuwar ingat satu dongeng yang dulu diceritakan oleh guru ngajinya, bahwa pada suatu masa, di Mesir sana, tikus-tikus telah melahap satu istana beserta isinya dalam waktu semalam saja. Ingatan itu sungguh menakutkan, kendati ia ragu, guru ngajinya itu menceritakan khayalan atau kisah betulan. Jagungnya sangat bagus musim ini dan tentu Matuwar tak mau menyerahkan begitu saja kepada tikus-tikus itu.

Matuwar kemudian berjalan ke arah gubug kecil di pojok ladangnya dan mengikat kambing semata wayangnya di tempat yang aman. Malam itu ia akan bekerja menuntaskan panennya dan ia tak mau kambingnya menjadi sasaran anjing liar yang masih banyak berkeliaran di sekitar ladang. Matuwar lalu mengambil karung goni yang diselipkan di sisi gedeg gubug itu. Ia mengencangkan celananya, melipat baju sampai ke bahu sebelum turun ke ladang untuk memetik jagung itu satu satu.

Malam mulai turun ke permukaan ladang. Langit berangsur gelap. Di langit yang mulai gelap itu, tampak satu dua bintang. Tapi cahaya cilik bebintang itu tak cukup menerangi ladang dan hati Matuwar yang bimbang. Baru saja Matuwar memetik tongkol pertama ketika dirasakan sebatang benda dingin menempel di telapak kaki kirinya. Ia terjingkat dan cepat-cepat mengangkat kakinya dan segera tahu, seekor ular telah diinjaknya: ”Beruntung mbah Dumung itu tak menggigitku.”

Rupanya Matuwar lupa, hari telah malam. Dalam gelap, bahaya kapan saja bisa menyergap, sebab malam adalah surga bagi serangga dan hewan-hewan berbisa.

”Tikus semprul. Besok akan aku cari racun paling ganas agar kalian semua tumpas,” gerutunya.

Matuwar mempercepat kerjanya. Kendati gelap, tangannya cukup cekatan memetik tongkol-tongkol jagung yang kemudian dimasukkannya ke karung goni. Ia bekerja dengan segenap tenaga, dengan kecepatan yang sukar dipercaya, seolah berpacu dengan seribu tikus yang tengah dilepas ke ladangnya dan siap mengganyang seluruh jagungnya dalam sekejap mata. Matuwar tak berhenti sedetik pun, tak memedulikan apa pun, sampai-sampai ia tak tahu sesosok lelaki tua telah berdiri, tepat di sebelahnya.

”Nabi kita tentu gembira melihatmu, sebab kau seperti manusia dalam sabdanya, tekun bekerja seolah kau akan hidup selamanya. Andai saja lakumu juga seperti itu dalam beribadah…,” kata si Tua dengan aksen aneh, seperti lelaki dari dunia entah.

Matuwar tak menggubris lelaki itu. Pikirannya bahkan tak sempat mengusut, siapa gerangan lelaki itu. Ia tak peduli, lelaki itu manusia sungguh-sungguh atau hantu. Bagi Matuwar, tak ada yang lebih menakutkan selain tikus-tikus lapar yang dalam sekejap mata bisa menghabiskan jagungnya.

”Andai saja lakumu juga seperti itu dalam beribadah. Andai saja…” ulang si Tua.

Mendengar itu, Matuwar menjadi jengkel juga. Ia menatap si lelaki tua dan baru ia tahu sepenuhnya prejengan lelaki itu. Jubahnya tampak putih dan kuno, namun seperti bersinar di kegelapan. Matuwar melihat sekali lagi dengan saksama. Ternyata lelaki itu sangat tua, umurnya sukar diterka. Badannya kurus. Wajahnya kurus. Matanya cekung. Hidungnya mancung. Jari-jemarinya kurus melengkung, seperti kaki burung.

”Bolehkah aku membantumu?” tanya lelaki itu.

”Wahai Pak Tua, ambil jagung sesukamu, tetapi aku mohon, jangan kau ganggu kerjaku,” kata Matuwar.

”Aku tak butuh jagung, Matuwar. Aku hanya ingin membantumu, melekaskan kerjamu, agar aku dapat segera membawamu.”

”Berhenti mengada-ada, Pak Tua. Jangan sungkan, ambil jagung itu sebanyak yang kau mau…”

”Tahukah kau Matuwar, sejak tadi aku menunggumu? Mestinya aku mengambilmu tepat di waktu surup, saat matahari anglup, tapi Tuhan melarangku. Ia menyukai hamba-Nya yang giat bekerja dan Ia memberimu kesempatan untuk itu…”

”Sekali lagi aku mohon, berhentilah, Pak Tua. Tikus-tikus itu akan menghabiskan jagungku jika kau terus mengajakku bicara.”

”Baiklah. Rampungkan dulu. Nanti aku kembali. Jangan lupa, sempatkan memberi wasiat kepada ahli warismu, sebab kau tak akan mendapatkan kesempatan kedua,” kata lelaki tua yang kemudian lenyap entah ke mana.

Sepeninggal lelaki tua itu, keajaiban datang. Matuwar yang seumur-umur hampir tak memiliki rasa takut terhadap apa pun, tiba-tiba menjadi gamang. Tulang-tulang di badannya sekonyong-konyong terasa linu. Sendi-sendinya ngilu. Jantungnya berdetak kencang. Tubuhnya mulai gemetar. Meski tangan Matuwar terus berusaha memetik tongkol jagung, tapi jemarinya perlahan menjadi kaku. Menyadari hal itu, Matuwar buru-buru menuju gubuk di pojok ladangnya.

”Betulkah ia malaikat maut yang diutus menjemputku?” gumamnya.

Tentu aneh mendapati Matuwar kini menjadi gentar dan takut mati. Selama itu—seperti rata-rata petani di kampunya—ia hidup sangat miskin dan sengsara, menggantungkan hasil ladang tadah hujan yang tak seberapa. Kemiskinan telah membuat ia sungguh tidak takut kepada apa saja, termasuk kematian. Bagi Matuwar, tak ada yang lebih menakutkan dari kelaparan. Ia tahu, mati hanya perkara ringan, saat kelaparan sudah tak tertahankan. Tapi kali ini, ia betul-betul takut. Mungkin jagung yang berlimpah telah mengubah segalanya. Diam-diam Matuwar berharap si maut sabar menunggu ia sebentar foya-foya sampai ludas segalanya. Tapi itu sungguh harapan sia-sia.

Matuwar kini yakin sepenuhnya, lelaki tua itu adalah malaikat maut yang akan membawa ia ke alam baka. Tapi bagaimana ia akan tenang dalam kuburnya, jika ia tak diberi kesempatan menikmati jerih payahnya? Bagaimana arwahnya tenang jika ia tak diizinkan sekali saja dalam hidup mencicipi nikmat dunia? Beberapa pertanyaan datang silih berganti. Dan jawaban dari pertanyaan itu sama: Matuwar belum bersedia untuk mati! Matuwar pun mencari cara menghindar dari Mata Maut yang mengintai.

Tiba-tiba, Matuwar seperti mendapat mukjizat tatkala ia melihat kambingnya bergidik mengibaskan nyamuk di kedua kupingnya. Ia tatap kambing itu lekat-lekat. Sebentar kemudian, ia ambil clurit yang tadi sore ditancapkan di salah satu tiang gubug itu. Tanpa ragu, dibacokkan celurit itu ke batang leher si kambing. Ia kemudian melumurkan darah kambing itu ke sekujur tubuhnya.

”Dengan begini, malaikat itu pasti mengira aku bunuh diri,” pikirnya.

Matuwar tahu, agar penyamarannya sempurna, ia perlu melempar bangkai si kambing ke sungai terdekat. Tak mau membuang-buang waktu, ia langsung menggotong bangkai kambing itu. Tapi untung tak bisa diraih, malang tak bisa tolak. Baru saja Matuwar menggotong bangkai itu tujuh belas langkah, kakinya tersandung karung goni yang hampir penuh berisi jagung. Matuwar terjengkang. Wajahnya yang malang tertimpa bangkai kambing itu. Susah payah ia berupaya bangkit, namun embun yang mulai turun membuat kakinya licin. Beberapa kali ia mencoba dan rasa gugup membuat usahanya sia-sia belaka. Matuwar hampir saja tegak berdiri untuk kembali menggotong bangkai kambingnya tatkala anjing-anjing liar datang dan menyalak di depannya.

Seperti bersahut-sahutan, anjing-anjing kelaparan itu menyalak dan Matuwar menjadi semakin ketakutan. Seekor anjing yang paling besar tiba-tiba melompat dan menerkam Matuwar. Anjing itu menggigit wajah dan mencakar perut Matuwar dengan ganasnya. Sementara anjing-anjing lain yang lebih kecil tapi tak kalah buasnya, mencabik-cabik bangkai kambing itu.

Tak kenyang dengan bangkai kambing, anjing-ajing itu lalu mengeroyok Matuwar, bersama anjing besar yang telah melumpuhkan dan mencabik-cabik seluruh badan Matuwar. Sekejap kemudian, Matuwar sekarat. Tanpa ampun, anjing-anjing itu menyayat dan mengganyang Matuwar dan hampir tak menyisakan apa-apa selain tulang-tulang keras yang tak sanggup mereka lahap.

Mendengar gemuruh aneh terjadi di ladang Matuwar, dua petani yang hendak kemit malam itu pun datang. Beberapa petani memang kemit di musim panen itu, menjaga hasil ladang mereka dari serangan tikus atau celeng yang mulai berdatangan. Tapi mereka sungguh terlambat. Matuwar telah dimangsa anjing-anjing liar yang langsung semburat pergi tatkala melihat dua petani itu mendekat.

”Tragis tenan nasibmu, Cak Mat,” kata seorang petani itu. Tangannya terus mengarahkan cahaya lampu senter ke tulang serta serpihan tubuh Matuwar yang terserak bersama tongkol-tongkol jagung.

”Apes. Baru kali ini panenmu bagus. Tapi nasibmu sungguh apes, Cak Mat,” kata petani yang lain.

Di sisi dua petani itu, malaikat maut menatap Matuwar dengan sedih, seolah ia sendiri tak percaya: “Sungguh bukan seperti ini mautmu andai kau tak abai kata-kataku,” gerutu si Malaikat yang tentu saja tak didengar dan tak tampak oleh dua petani itu.

Sementara itu, di dekat tumpukan tebon, tikus-tikus telah keluar dari lubangnya. Seperti tersihir, tikus-tikus itu terdiam, melihat tongkol jagung dan sisa tubuh Matuwar berserakan, seolah tengah menyaksikan akhir dari semua kesedihan, seluruh kepedihan.

Perajurit Kulon, Mojokerto, 2022

*****

A Muttaqin, menulis puisi dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit adalah Pembuangan Phoenix (2010) dan Tetralogi Kerucut (2014). Cerpennya terkumpul dalam bunga rampai Klub Solidaritas Suami Hilang: Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan Kasur Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2017. Ia menggunakan sebagian waktunya di Surabaya dan sebagian lain di Mojokerto, Jawa Timur.

*****

(11)

Bay, Ang, dan Rembu

Bay dan Ang adalah temanku yang sangat setia. Mereka selalu dekat denganku, tak peduli saat aku terpuruk atau sedang berbahagia. Meski Bay dan Ang tak banyak berbicara, mereka selalu hadir saat aku membutuhkannya.

Oleh: AKBAR HENDRIANA PUTRA, 6 Agustus 2022

Aku melirik jam tanganku, sudah pukul dua pagi. Akhirnya suasana yang kunantikan pada setiap harinya kini telah tiba. Ruas jalan lengang, tenang, dan hanya terdengar deru angin yang berembus pelan.

Di halte bus yang atapnya sudah bolong, aku terdiam dan hanya duduk sambil menatap lampu halte yang pendarnya perlahan sirna.

”Satu, dua, ti…ga,” ucapku bersamaan dengan lampu halte yang akhirnya mati.

Aku menghela napas tipis, sedikit kecewa, mengapa lampu itu harus padam. Entah apa alasannya lampu itu padam, mungkin ia tak mau lagi menemaniku, sama seperti mereka yang telah aku bantu, lepas itu pergi begitu saja. Meski mereka pergi, aku tak memusingkannya. Sebab, ada yang masih tinggal dan menemaniku. Mereka adalah Bay yang kerap datang saat siang dan Ang yang setia menemaniku di malam hari.

Bay dan Ang adalah temanku yang sangat setia. Mereka selalu dekat denganku, tak peduli saat aku terpuruk ataupun sedang berbahagia. Meski Bay dan Ang tak banyak berbicara, mereka selalu hadir saat aku membutuhkannya. Dan yang lebih uniknya lagi, mereka suka menghilang lalu muncul secara tiba-tiba, seperti saat ini. Saat lampu halte tiba-tiba mati, Ang seketika menghilang.

”Ang, Ang,” aku memperhatikan sekeliling, mencari Ang yang tiba-tiba hilang saat lampu halte padam, ”Kamu di mana Ang?”

Ang tidak menjawab dan masih menghilang.

Aku pun akhirnya beranjak, berjalan sedikit keluar dari halte untuk mencari Ang. Saat aku berada di tepian jalan, aku dikagetkan Ang yang seketika muncul.

”Ang!” Teriakku sambil mengelus dada setelah menemukan Ang yang ternyata sedang berbaring di jalan raya, ”Kamu ngapain rebahan di sana Ang?”

Seperti biasa, Ang hanya diam, tak menjawab pertanyaanku.

”Atau jangan-jangan kamu lelah, ya, Ang?” tanyaku.

Ang masih diam, tak menjawab.

Melihat Ang tampak nyaman, aku pun memutuskan duduk di trotoar jalan, dekat dengan Ang. Bersamaan dengan aku yang memutuskan untuk duduk, Ang seketika bangkit dan ikut duduk.

”Ang, kamu sama Bay kenapa tidak pernah muncul bersamaan sih?” tanyaku.

Ang masih terdiam, tidak menjawab pertanyaanku lagi.

”Padahal, kalau kita kumpul bertiga, seru loh Ang. Kita bisa makan bersama-sama, bepergian bersama-sama, bahkan mandi juga bisa bersama-sama.” Aku tertawa, membayangkan semua yang barusan aku ucapkan. ”Tapi, meski kita enggak bisa bersama-sama, aku cukup bahagia Ang. Sebab, bisa berteman denganmu dan juga Bay.” Aku tersenyum, merasa bahagia memiliki teman seperti Bay dan Ang.

Akan tetapi, senyum bahagia yang tadi aku keluarkan seketika sirna. Aku tiba-tiba merasakan kesepian yang teramat dalam—meski ada Ang yang duduk tak jauh dariku. Aku meringkuk, menyembunyikan wajahku, dan memeluk kedua kakiku.

Sesaat, aku ingin menangis lepas. Tapi, aku tak bisa mengeluarkan tangisanku. Hingga akhirnya rasa kesepian itu seketika pergi dan menghilang, atau lebih tepatnya kembali bersembunyi di dalam diriku.

Aku angkat wajahku dan melepas pelukanku pada kaki. Kuhirup napas dalam-dalam dan aku embuskan perlahan. Kini, senyuman kembali menghiasi wajahku walau tak sama seperti senyuman sebelumnya.

”Ang,” aku memanggil Ang.

Ang diam, tak menjawab.

Aku menghela napas tipis, lalu menatap langit, memandangi rembulan.

”Kau itu bagai rembulan yang menenangkan kala aku terpukul jatuh, Ang. Dan Bay, seperti matahari yang terus menyemangatiku, saat aku mulai bangkit. Tapi Ang,” aku menoleh ke Ang. ”Kira-kira, apakah aku bisa memiliki teman lagi? Seperti bintang yang menemani rembulan dan awan yang menemani matahari.”

Saat aku sedang menunggu jawaban Ang, yang sudah dipastikan ia tidak akan menjawab, tiba-tiba ada seekor kucing putih berbulu lebat menyundul-nyundul kakiku sambil mengeong lembut. Sontak aku mengelusnya, dan ia pun memutari kaki kananku.

Satu menit lebih dia memutari kakiku, dari kanan ke kiri atau pun sebaliknya, akhirnya kucing putih berbulu lebat itu duduk dan memandangiku. Aku pun tersenyum, dan kucing putih itu mengedipkan matanya pelan.

”Hey, apakah kamu mau berteman denganku?” tanyaku.

Kucing putih itu mengeong lembut dan menatapku, lalu kembali mengedipkan matanya pelan.

”Kalau begitu, aku akan memberimu nama,” aku diam sejenak, memikirkan nama yang cocok, ”Rembu. Ya, namamu Rembu,” ucapku.

Rembu mengeong lembut dan kembali mengedipkan matanya pelan.

*****

Akbar Hendriana Putra, lahir di Jakarta, 21 April 1995. Menamatkan kuliah di BSI Margonda, Depok, pada 2018. Anak kedua dari tiga bersaudara ini memiliki teman sejati, yaitu secangkir kopi. Sejak SMA sudah suka dengan menulis, tetapi wujud tulisannya baru berani ditunjukkan di tahun 2021. Sekarang sibuk mewujudkan mimpi sambil membantu memasak di usaha katering ibunya.

*****

(12)

Bayang-bayang Mas Mono

Sepak terjang Mas Mono ternyata berkaitan dengan misteri besar hingga sekarang: petrus alias penembakan misterius. Tahun 1983, pemerintah memberi wewenang aparat menembak mati siapa saja yang dianggap biang onar.

Oleh:  GESIT ARIYANTO, 4 Agustus 2022

Tak terhitung lagi berapa kali kulewati jalan beraspal lurus sejauh mata memandang ini. Sejak truk dan bus antarkota antarprovinsi belum sebanyak sekarang, sejak pom bensin dan pusat oleh-oleh belum tegak berdiri di sana. Yang pasti, nama Mas Mono selalu muncul setiap aku di sana. Aku ingat betul nama itu.

Mas Mono bukanlah saudaraku, bukan pula orang yang sering kusapa. Tapi, namanya tersohor pada masanya di desaku, tahun 1980-an. Ukuran tubuhnya tanggung, berkulit terang, rambut ikal, sedangkan rata-rata warga desaku berambut lurus berkulit sawo matang, khas desa agraris.

Ketidaklaziman lain Mas Mono saat itu, lengan atas kanannya bertato, seni rajah yang saat itu asing dan identik berandalan. Ia sering berkaus putung, nongkrong di tugu kampung. Bagi kami, anak-anak, sosoknya jagoan lokal pelindung.

Di seberang rumah besar orangtuanya yang berpagar semen dengan pohon sawo besar di halaman luas—simbol keluarga kaya di desa—terhampar kebun tebu. Mengekor kakak-kakakku, aku terbiasa ”memanen” tebu. Aman. Takkan ditegur atau dikejar mandor atau sinder, pengawas kebun tebu. ”Bilang, kamu sedulurku,” kata Mas Mono.

Kami girang bukan kepalang. Misi menyesap manisnya sari tebu segar selama dolan bakal selalu aman. Pak mandor yang suka mengancam dan galak pasti ciut mendengar nama itu.

Sepak terjang Mas Mono ternyata berkaitan dengan misteri besar hingga sekarang: petrus alias penembakan misterius. Atas nama keamanan, ketertiban, dan ketenangan sosial, tahun 1983, pemerintah memberi wewenang aparat menembak mati siapa saja yang dianggap biang onar.

Selepas tahun itu, tak pernah lagi kami lihat sosok jagoan murah senyum itu. Hilang tiada kabar. Beberapa tahun kemudian aku baru paham, petrus bukanlah misteri bagiku saja, tapi juga bagi seantero negeri. Terlebih bagi Mbak Ling. Nanti kuceritakan.

***

Desaku kecil saja. Namanya Argoharjo, yang berarti gunung sejahtera. Namun, desaku bukan di pegunungan; di sisi selatan jalan beraspal jalur selatan menuju Kota Yogyakarta dari arah Purwokerto.

Meskipun bernama argo, desaku di antara hamparan sawah subur. Gambaran desa gemah ripah loh jinawi. Air irigasi mengalir sepanjang tahun, berikut ikan wader dan lele sumber protein warga desa. Sawah-sawah panen tiga kali setahun jika tak sedang disewa untuk perkebunan tebu. Tak kenal episode kekeringan di sana.

Mas Mono bukanlah saudaraku, bukan pula orang yang sering kusapa. Tapi, namanya tersohor pada masanya di desaku, tahun 1980-an. Ukuran tubuhnya tanggung, berkulit terang, rambut ikal, sedangkan rata-rata warga desaku berambut lurus berkulit sawo matang, khas desa agraris.

Sampai awal tahun 1980-an, hanya segelintir keluarga di desaku yang tergolong mampu. Hasil sawah tak cukup bagi sebagian besar petani gurem untuk memiliki sumber hiburan modern kala itu, televisi hitam putih. Aki masih jadi sumber energi, menghidupkan teve yang populasinya kurang dari jumlah jari satu tangan. Keluargaku termasuk yang memilikinya.

Setiap pukul 18.00, apalagi akhir pekan, para tetangga berkerumun di halaman rumahku. Saatnya numpang nonton teve. Tayangan wayang orang dan ketoprak yang paling dinanti.

Jika hari itu tiba, ibuku sewot. Itu waktunya anak-anak belajar. Sebaliknya, aku senang karena rumah ramai. Seru sekali jika adegan ketoprak perang tanding. Seru, itu yang selalu terkenang. Teve dan siaran radio menjadi sumber informasi tepercaya. Tidak seperti sekarang yang begitu banyak sumber informasi, semua bisa menjadi sumber berita. Susah menentukan mana benar mana salah.

Hingga sebuah malam, pembicaraan di kampungku tak lagi soal lakon ketoprak, wayang orang, atau film laga Charles Bronson yang epik dan heroik itu. Ini tentang Mas Mono!

”Kabare dicemplungke ning luweng,” kata Paklik Tuki.

”Hah, yang benerlho Paklik?” sahut Pakde Wanto.

”Gunungkidul, nggih Lek?” timpal mbah Atmo.

Yang lain hanya menumpang dengar sambil menyedot rokok kretek.

Saling lempar tanya itu dijawab dengan ketidakpastian. Lebih banyak ”katanya” ketimbang sumber meyakinkan. Belakangan, aku tahu, itulah tujuan pemerintah dengan petrus, menyebar ketidakpastian dan ketakutan dengan harapan muncul ketertiban dengan sendirinya.

Malam itu, bincang-bincang di teras rumah seusai nonton siaran berita seputar perkembangan petrus itu tak selepas biasanya. Cenderung bisik-bisik kecemasan. Berita-berita di media mengabarkan ratusan bahkan lebih dari seribu orang dikabarkan meninggal atau hilang tanpa kabar. Mereka para pembuat onar, info yang berkembang.

Tetanggaku membicarakan berita di koran tentang Operasi Clurit di Jakarta, operasi tumpas gali di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Atas nama demi ketenangan masyarakat, menembak mati mereka yang tergolong gali, garong, penjahat, ataupun bandit disahkan negara. Gali, diutak-atik sebagai ”gabungan anak liar”. Stigmanya bertato, rambut gondrong, pengangguran, suka nongkrong dan berkelahi.

Malam itu, aku yang masih SD kelas I tak cukup mengerti. Juga karena mengantuk setelah seharian berlarian di sawah mengejar layangan putus. Yang kuingat, mereka menyebut-nyebut Mas Mono, pelindung anak-anak pemburu tebu sepertiku. Aku terlelap tidur.

***

Sore sepulang kerja, ayahku yang masih berseragam dinas membawa kabar. Ada mayat bertato dengan tangan terikat tergeletak di tepi jalan lurus beraspal yang membelah hamparan kebun tebu sewaan pabrik. Konon, di sanalah para begal dan perampok menunggu mangsa. Lokasinya sekitar 20 menit bersepeda motor dari desaku.

Saat itu, Mas Mono sudah sekian lama hilang. Kasak-kusuknya, dikategorikan gali dan ditangkap aparat, lalu ditembak dan dibuang di luweng di bukit kapur Gunungkidul. Luweng merupakan lubang yang terhubung sungai bawah tanah dan bermuara di Laut Selatan. Luweng dan petrus memang tak bisa dipisahkan.

”Ada kaitan dengan Mas Mono, Pak?” tanya ibuku, membahas mayat terikat.

”Ah, embuh,” bapakku melepas sepatu dinas hariannya.

Yang pasti, mayat terikat itu bukanlah jasad Mas Mono. Kabarnya masih gelap.

Saat itu, Mas Mono sudah sekian lama hilang. Kasak-kusuknya, ia dikategorikan gali dan ditangkap aparat, lalu ditembak dan dibuang di luweng di bukit kapur Gunungkidul. Luweng merupakan lubang yang terhubung sungai bawah tanah dan bermuara di Laut Selatan. Luweng dan petrus memang tak bisa dipisahkan.

Aku kembali teringat pada obrolan di teras rumah malam itu. Mas Mono hilang tanpa kabar. Selama apa pun keluarganya yang kaya itu menelusuri, selama itu pula tak tersingkap. Hingga kini.

Lebih dari sepuluh tahun terakhir, di jalan lurus lokasi mayat korban petrus ditemukan itu berdiri tegak pom bensin besar dan pusat oleh-oleh yang terang benderang setiap malam. Bus wisatawan, truk tangki, dan mobil-mobil pelat luar kota Yogyakarta rutin singgah. Tak jauh dari kantor pos polisi yang lebih sering sepi daripada terisi.

***

”Monggo, Mbak Ling,” sapa ibuku di boncengan motorku. Perempuan itu menyahut dan melambaikan tangan, sambil menyapu halaman pendopo rumahnya. Bu Tondo, ibu Mbak Ling, adalah orang kaya di desaku, pemilik sawah luas.

”Kamu eling Mbak Ling tadi?” tanya ibuku, sambil membuka bungkusan bakmi jowo yang masih mengepul.

”Mbak Lingnya Mas Mono?”

”Lho, masih ingat, tho,” respons ibuku.

Aku masih cukup ingat Mbak Ling meskipun sejak zaman petrus itu aku yang masih SD meninggalkan desa, pindah rumah ke tangsi militer di kota. Sesekali pulang mengunjungi nenek dan saudara, hingga lanjut merantau ke luar Jawa setamat kuliah.

Mbak Ling kala itu adalah kembang desa. Perempuan Jawa ayu dan kalem itu tunangan Mas Mono. Keduanya kerap melintas berboncengan menunggang Vespa, simbol kemakmuran kala itu.

Hingga kini, 30 tahun berlalu sejak operasi petrus dihentikan, Mbak Ling masih lajang, memomong keponakannya sejak kecil hingga lulus kuliah. Beberapa jejaka dan duda mendekatinya, tapi tak ada yang ia terima. Aku tak tahu alasannya. Yang kutahu, Mas Mono hilang sebelum keduanya menikah.

Seperti halnya pertanyaan warga desaku, aku pun bertanya apakah Mas Mono korban petrus? Lagi-lagi gelap. Yang kutahu, pemerintah mengakui bahwa petrus memang kebijakan pemerintah waktu itu. Keberatan masyarakat sipil dan dunia internasional tak digubris.

Pemerintah merasa kebijakannya efektif menumpas biang keresahan sosial dengan teror petrus. Tapi, bagi Mbak Ling, Mas Mono tetaplah hidup. Tak tergantikan. Ingatanku pun selalu hidup setiap melintasi jalan lurus beraspal itu.

Sambil mengunyah bakmi jowo, kutanya ibuku, sebenarnya bagaimana sosok Mas Mono kala ”wabah” petrus. Apakah sebangsa penjahat kejam begal jalanan sadis sehingga patut diculik dan dibunuh? Dimusnahkan?

”Ngertine ibu ya apik-apik wae. Ramah, supel. Grapyak-lah,” terang ibuku. ”Tapi, ya, enggak tahu kalau di luar desa.”

Di desaku, bayang-bayang Mas Mono adalah rumah besar yang kini kosong setelah orangtua dan keluarga besarnya pindah. Tentu juga Mbak Ling yang telaten mengurus keponakan dan rumah warisan orangtuanya.

Tangerang Selatan, Maret 2022.

*******

Catatan: Sinder = pengawas kebun, di atas mandor Gemah ripah loh jinawi = subur makmur tenteram Dicemplungke = diceburkan, dijatuhkan ke air Grapyak = ramah, mudah bergaul.

Gesit Ariyanto, pekerja media yang tinggal di Tangerang Selatan.

*******