Kumpulan 14 Cerpen, Desember 2022

(1)

Guru

Prof uring-uringan. Ngamuk di rumah. Semua disalahkannya dan dianggapnya palsu. Prof mau membuat konferensi pers dan memberi pernyataan sarkastik bahwa masyarakat sedang terserang kebodohan.

Oleh: PUTU WIJAYA, 4 Desember 2022

Seorang Profesor Doktor yang telah mengantongi berbagai penghargaan dari dalam dan luar negeri penasaran. Ia yang tetap masih ingin menambah ilmunya serta agar dapat meresapi lebih mendalam apa yang sudah dikuasainya, kecewa. Karena ia tak menemukan seorang guru lagi.

”Aku sudah mencari keliling dunia. Blusukan ke berbagai pelosok. Menghubungi hampir semua orang pintar. Tak terkecuali para dukun. Tapi hasilnya nihil”, keluhnya.

”Semua tak memenuhi persyaratan yang kuajukan. Padahal aku cuma minta mereka mengajukan satu pertanyaan. Satu saja. Pertanyaan yang tidak bisa aku jawab. Bahkan, kalau ternyata pertanyaan itu juga tidak bisa dijawabnya sendiri, tak apa. Siapa tahu nanti kami bisa patungan menjawabnya. Sesuai dengan jiwa gotong-royong kita.

Setelah 5 tahun pecaharian yang sia-sia, ia mulai tidak sabar. Akhirnya pasang iklan.

”Dicari guru yang dapat memberikan pertanyaan yang tak bisa dijawab! Tawaran gaji sesuai kesepakatan”

Iklan itu menjadi viral. Ribuan orang mendaftar. Untuk menjaga agar tak ada masalah di belakang hari, Prof menunjuk 3 orang juri untuk menetapkan siapa yang pas jadi gurunya. Tapi apa lacur, ternyata tak ada hasilnya.

”Kami sudah mencoba melakukan penyaringan dalam tiga tahap,” lapor sidang juri . ”Mula-mula menyisihkan mereka yang hanya coba-coba. Separuhnya gugur. Di babak kedua kami membersihkan mereka yang lihai dan cerdik serta tangkas bersilat lidah. Dua per tiga tumbang. Di tingkat final baru kami cecer pengetahuan dan kepribadian mereka. Ternyata jangankan nanti mampu membuat Prof mati langkah, menghapi kami saja mereka sudah swak. Jadi maaf Prof. Kami tak berhasil menemukan bibit unggul untuk mentor Prof. Tapi itu juga berarti Prof masih di puncak segala puncak kami. Selamat Prof. Dari lubuk hati kami yang paling dalam, kami mengucapkan salut! Bravo, Prof!!!!”

Prof mulai kesal. Ia uring-uringan di rumah

Semua jadi salah. Ia begitu kecewa.

”Bullshit! Kenapa kita semuanya sekarang jadi stereotype begini? Bebek bengil semua!

Mereka pikir aku senang dapat salut gombal begitu. Aku serius cari guru bukan untuk dinobatkan jadi Dewa di puncak Gunung Semeru yang setiap saat bisa disambar petir. Salah kaprah semua! Begini jadinya kalau tujuan hidup sudah tergiring ke satu arah untuk meningkatkan kenikmatan diri sendiri. Tai kucing semua! Semua !!!!!!!!”

Prof uring-uringan. Ngamuk di rumah. Semua disalahkannya dan dianggapnya palsu. Ketika Prof mau membuat konferensi pers dan memberi pernyataan sarkastik bahwa masyarakat sedang terserang kebodohan sehingga cepat atau lambat akan masuk ke lubang keruntuhan, istrinya langsung mendamprat.

”Jangan! Kalau setiap orang seperti kamu, tiap kali sembelit langsung menuduh masyarakat sedang mengalami keruntuhan moral, itu artinya kamu menyamakan masyarakat itu dengan kamu Prof. Yang sakit itu bukan masyarakat tapi kamu. Yang tidak kamu tahu itu hanya kamu yang benar–benar tahu Cuma kamu tidak mau tahu. Sebab kamu pikir kamu sudah tahu semua. Guru kamu hanya satu. Kamu sendiri. Tak ada orang lain.

Bukan karena tidak ada yang bisa tapi karena kamu sebenarnya tak mau tak ingin lagi belajar karena percaya kamu sudah tahu semua. Tahu?”

Prof terkejut. Istrinya tambah berani.

”Guru itu tidak selalu orang yang lebih pintar. Bukan juga selamanya orang. Tapi semua yang bisa membuat pencerahan agar mata telinga pikir dan rasa kamu lebih terbuka. Semakin ngeh. Aku istrimu, anakmu, bahkan pembantumu. Juga kucing dan burungmu bisa sekali tempo seperti guru, tapi bukan guru. Begitu juga sakit, penderitaan, amarah, sedih, kekecewaan dan seks. Termasuk musuh-musuhmu dan segala macam kejahatan. Semua itu bisa jadi guru. Itu bisa jadi guru kalau kamu gurukan. Yang paling pokok adalah, apakah kamu siap menjadi murid menerima pembelajarannya? Apakah nuranimu sendiri masih bisa terbuka? Kamu sendirilah guru kamu seumur hidup, Profesor Doktor!! Kenapa mesti pasang iklan mengundang wartawan mau bersaing dengan para Youtuber main judi konten?”

Profesor berteriak histeris

”Bravoooo!!!”

Istrinya terkejut.

”Bravo?”

Profesor berseru lebih keras

”Bravoooooooooooo!!!! Salut!!!!!”

Istrinya tambah bingung. Dan kemudian semakin percaya suaminya bukan orang yang dulu merayunya untuk hidup bersama, tapi seorang maniak. Tapi guru TK itu lebih kaget lagi ketika teman tidurnya setiap malam itu, berbisik:

”Lima puluh tahun aku menunggu kamu untuk mengucapkan semua itu, sayang. Konsep guru kita harus direvisi total! Selamat Hari Guru !!”

Istri Prof tertegun. Ia sudah hapal betul semua tikungan dalam lubuk hati suaminya yang suka nyeleneh itu. Ia yakin suaminya akan tersenyum lalu berbisik sarkastik

”Tetapi hati-hatilah menjalankan fungsi guru karena Mama bukan hanya guru TK tapi guru suamimu yang Profesor Doktor ini!”

Tetapi ternyata tidak.

Hari Guru, 261122

***

Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon.

 

(2)

Gelang Pembawa Sial

Rasa ketertarikan kepada gelang-gelang batu akik itu sudah menggelitik hati dan pikiranku, aku putuskan untuk membeli seutas gelang yang ada pada sebuah toko di “market place” itu.

Oleh: AL ARUDI, 10 Desember 2022

Aku memperhatikan semua gelang-gelang terbuat dari batu akik yang dipajang di halaman toko sebuah market place online terkemuka di negeri ini. Gelang-gelang itu beraneka warna, ada merah, putih, hitam, hijau, kuning, bahkan ada yang merupakan kombinasi bermacam-macam warna yang sangat indah dan menarik perhatianku. Harganya pun bermacam-macam, mulai dari yang paling murah hingga yang paling mahal. Toko yang menjualnya pun bermacam-macam, ada toko dalam negeri dan toko luar negeri.

Namun yang paling menarik hatiku adalah manfaat atau khasiat dari gelang-gelang batu akik tersebut. Ada yang berkhasiat untuk menarik rejeki, penangkal kejahatan, memperlancar urusan dan usaha hingga untuk menarik hati lawan jenis, agar jatuh cinta kepada pemakainya.

Sebenarnya aku tidak mempercayai hal-hal berbau klenik, apalagi yang menyangkut khasiat dari segala macam batu akik dan pusaka bertuah. Menurutku semua itu akan menjerumuskan diriku ke lembah kemusyrikan. Bagiku yang bisa menentukan baik atau buruk takdir manusia di muka bumi ini hanya Tuhan semata.

Namun mungkin karena aku terlalu lama memandang gelang-gelang dan membaca khasiat batu-batu yang di pajang di market place itu, membuat hatiku tergoda juga ingin memilikinya.

Karena rasa ketertarikan kepada gelang-gelang batu akik itu sudah menggelitik hati dan pikiranku, aku putuskan untuk membeli seutas gelang yang ada pada sebuah toko di market place itu. Toko yang aku pilih adalah sebuah toko perhiasan milik orang yang satu negara denganku, alias toko dalam negeri.

Gelang yang aku beli adalah gelang yang sangat indah, terdiri dari delapan belas butir manik-manik yang terbuat dari batu giok asli Cina bewarna hijau lumut. Pada diskripsi produk yang tertera di halaman toko, tertulis sederetan khasiat yang berkenaan dengan gelang itu. Di samping foto gelang terdapat juga gambar seseorang lelaki mengenakan setelan jas serta sebuah gelang yang melingkar di tangannya. Foto itu dipasang tentulah sebagai penarik hati orang agar mau membeli.

Di antara sederet khasiat yang tertera, yang membuat pikiran dan hatiku tertarik adalah bahwa gelang itu bisa mendatang rezeki dari arah yang tidak terduga. Pikirku jika khasiat gelang itu benar, tentulah akan menjadikan aku orang yang hidup berkecukupan dan semua yang aku inginkan akan terpenuhi. Dari rezeki itu nanti aku bisa membantu orang- orang yang kekurangan, sehingga akan menjadi amal untukku di kemudian hari.

Karena rasa tertarik dan keinginan memiliki gelang itu tidak bisa dibendung lagi, akhirnya aku menuju ke halaman check out untuk mengisi data-data transaksi yang diperlukan. Transaksi pun berhasil dan aku tinggal duduk manis menunggu kurir datang mengetuk pintu rumahku.

Tiga hari kemudian seorang kurir dari perusahaan expedisi yang telah jadi langananku menyampaikan sebuah paket padaku, ketika aku baru saja usai mendirikan kewajiban sebagai umat Muslim. Tentu saja aku sudah tahu paket itu dari mana. Setelah aku terima paket itu dari tangan kurir dan mengucapkan terimakasih, aku langsung meletakkannya di atas meja disertai perasaan ingin cepat-cepat membuka paket itu. Perlahan- lahan aku merobek kertas yang membungkus isi paket itu dengan hati ingin segera tahu bagaimana bentuk rupa gelang batu akik jenis giok yang aku pesan itu.

Gelang itu berada dalam sebuah kotak karton, bersama dengan bonus sebuah kalung dengan liontin mata uang kuno . Di samping itu disertakan juga selembar kertas yang berisi do’a-do’a dan tata cara menggunakan gelang itu untuk keperluan tertentu. Dan dituliskan juga pada kertas itu, bahwa gelang itu sudah diisi ilmu gendam tingkat lima belas.

Namun aku tidak tertarik dengan tata cara ritual yang tertera pada selembar kertas itu, aku langsung memakai gelang batu akik itu seperti memakai gelang biasa. Sedangkan bonusnya yang berupa kalung dengan liontin uang kuno, ku masukkan kembali ke kotaknya dan aku taruh dalam laci di lemari pakaian.

Selama seminggu gelang batu akik jenis giok bewarna hijau lumut itu sudah melingkar di tanganku, aku tidak merasakan ada keistimewaan apa-apa pada gelang itu. Hingga suatu malam aku mendapat telephone dan pesan WA dari nomor yang tidak aku kenal. Bahkan kode negaranya pun setelah aku teliti di belakang hari, bukanlah kode negara kita yang tercinta ini.

“Hallo…!” sapa orang tidak aku kenal yang nada suaranya membuat aku terpesona, sehingga aku merasa tanganku berat untuk melepaskan HP yang ada di tanganku. ” Betul ini Pak Marwan?” tanya orang tak aku kenal itu.

“Ya betul…,” jawabku sekenanya. Karena aku malas menerima telpon orang yang tidak aku kenal, bahkan biasanya tidak aku angkat sama sekali.

“Apakah Bapak sudah membaca pesan WA dari kami?” tanya orang tak aku kenal.

“Belum…,” Jawabku, “Memangnya ada apa?” aku balik bertanya kepada orang yang tidak aku kenal.

“Bapak adalah salah satu dari sepuluh orang terpilih oleh ‘Pesona Market’ untuk menerima hadiah uang tunai lima juta rupiah,” jawab orang tidak aku kenal dengan nada sungguh-sungguh. “Syaratnya Bapak harus mengaktifkan fitur ‘Pesona Pay later’ yang ada di akun Bapak,”jelas orang tak aku kenal dengan nada suaranya membuat hatiku seperti terhipnotis.

Entah mengapa aku menurut aja apa yang dikatakan oleh orang yang tak aku kenal itu. Padahal aku biasanya tidak pernah melayani telephone dari orang yang namanya tidak tertera dalam daftar kontak telephoneku. Seandainya pun aku angkat, sebentar kemudian langsung aku tutup lagi HP ku.

Sementara itu gelang batu akik masih tetap melingkar di pergelangan tanganku. Rasanya gelang itu begitu kuat mempengaruhi pikiran dan perasaanku.

Aku seperti tak punya kekuatan untuk menolak omongan orang itu. Akhirnya seperti kerbau ditusuk hidungnya, aku ikuti semua perintah orang itu. Langkah demi langkah aku dituntun orang itu untuk mengisi data-data pribadiku untuk membuka akun pesona paylater. Pesona paylater adalah sebuah fitur belanja dulu bayar kemudian. Bisa juga digunakan untuk pinjam uang melalui market place Pesona yang sangat terkenal itu.

Setelah orang itu menuntun aku untuk mengaktifkan pesona pay later, kemudian dia menyuruh aku membuka internet banking milik aku. Aku dituntun untuk mentransfer sejumlah uang dengan nilai yang cukup besar bagi orang seperti aku. Aku hanya menurut saja. Aku seperti di hipnotis

Sementara gelang batu akik yang ada ditangan terasa menyedot pikiran dan kekuatanku untuk patuh kepada orang yang tak aku kenal. sementara aku merasa tak punya kekuatan untuk menahannya.

Setelah aku kehilangan uang yang bagiku nilainya cukup besar, barulah aku menyadari aku kena tipu oleh orang yang tidak aku kenal. Dan sebulan kemudian aku ditagih oleh tim dari Pesona Market untuk bayar hutang yang tidak aku lakukan. Orang yang telah menipu aku rupanya meminjam uang kepada Pesona Market dengan menggunakan identitas ku. Sejak saat itu setiap hari aku diteror oleh tim Pesona market dengan nada dering HP yang membuat otakku stress.

Akhirnya aku putuskan untuk mengganti no HP.

Gelang batu akik pun aku lepaskan dari pergelangan tanganku. Aku merasa gelang itulah yang membuat aku tak berdaya dalam menghadapi penipuan yang mendera diriku.

Aku teringat dengan seorang temanku yang mengerti soal ilmu-ilmu supranatural. Aku ceritakan kasus aku itu kepada temanku itu, dan tentunya tidak lupa aku serahkan gelang batu akik yang aku beli di market place Pesona untuk diteliti olehnya. Sebenarnya aku enggan memberitahu masalahku kepada temanku yang praktisi supranatural itu. Tapi setelah aku pikir tidak ada salahnya juga sekali-sekali dicoba.

“Gelang ini sudah diisi ilmu gendam, Bro…!” Kalau kamu pakai terus, kamu akan diperdaya terus oleh penipu. Yang nipu kamu itu orang yang menjual gelang ini kepada kamu. Mereka itu juga yang telah ngisi gendam ke gelang itu.” Lalu lanjut teman aku itu, “Aku sarankan kamu bakar aja gelang itu atau ditenggelamkan ke laut atau ke sungai, supaya tidak diambil orang lain, Broo…!”

Atas saran teman aku itu, keesokan harinya aku pergi ke tepi sungai besar yang ada di kota tempat aku berdomisili.

Pagi hari suasana sungai masih sepi, aku berharap tidak ada orang lain melihat aku melempar kalung pembawa sial itu. Jika sore hari di tepian sungai itu banyak anak muda yang nongkrong, sebab letaknya di tengah kota, sebagai pembelah wilayah Timur dan Barat daerahku dan dihubungkan dengan sebuah jembatan yang cukup panjang. Sungai itu juga sudah mulai dibangun oleh pemerintah daerah untuk dijadikan objek wisata air.

Aku melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang lain di sekitar sungai. Beberapa saat kemudian kalung pembawa sial itu sudah tenggelam ke dasar sungai dengan meninggalkan riak gelombang kecil di atas permukaan air sungai**

***

Al Arudi berdomisili di Pangkalpinang Bangka Belitung.

 

(3)

Toko Buku

Aku menyukai keterbatasanku. Keterbatasan yang membuatku mawas diri dan hati-hati.

Oleh: ITA SIREGAR, 9 Desember 2022

Setelah menonton film yang pasangan Tom Hanks dan Meg Ryan adalah bintangnya—lupa judulnya—aku bercita-cita ingin mempunyai toko buku mungil.

Peristiwa itu lima tahun lalu dan sampai detik aku menulis ini belum ada gejala cita-cita itu mewujud. Bahkan rasanya makin tak terjangkau. Ya, alasannya, tiap tahun harga segala sesuatu naik. Sementara pendapatanku sebagai pegawai pemerintah kontrak dengan prestasi biasa-biasa saja dan mengharapkan masukan tambahan itu memalukan.

Memang kalau direken-reken, aku adalah tipe manusia yang selalu ketinggalan waktu lima tahun. Maksudnya begini. Kalau dunia sedang ngetren ponsel keluaran terbaru, misalnya, sudah pasti aku tak mampu membelinya. Aku baru bisa membeli barang itu lima tahun kemudian, setelah tabunganku cukup. Sayangnya, ketika aku sudah punya uang, barang itu sudah ketinggalan zaman. Dunia sudah meluncurkan ponsel baru—berkali-kali bahkan. Pada akhirnya aku akan membeli barang dengan reputasi biasa-biasa saja. Ponsel baru dengan fitur biasa saja. Yang sesuai karakterku. Keterbatasan keuanganku terselamatkan dengan hiburan para bijak bahwa yang penting fungsi. Bukan gaya dan rupa.

Tapi sebenarnya, kadang-kadang, aku kagum kepada orang-orang yang mengikuti zaman, selalu mampu membeli barang keluaran terbaru. Keberadaan mereka menjadikan dunia ini menarik. Kalau dunia dipenuhi orang-orang tanggung sepertiku, yang keberatan membeli barang brand, menunggu musim selesai alias tiba masa diskonan, betapa membosankan.

Tapi juga, kalau disurvei, apakah aku ingin menjadi seperti mereka yang selalu mengikuti tren? Aku akan menjawab, tidak. Gaya hidup mereka belum melebur ke dalam darahku. Kagum belum tentu mau menjalaninya, bukan?

Begitulah aku akan tetap memilih cara dan gaya hidupku seperti ini. Yang serba terbatas. Bagi kamu mungkin membosankan. Bagiku, membosankan yang menyenangkan. Aku menyukai keterbatasanku. Keterbatasan yang membuatku mawas diri dan hati-hati.

Aku juga tidak keberatan mendengarkan ocehan para motivator. Mereka menasihati pendengarnya untuk selalu positif. Menurut mereka, dengan mengafirmasi hal-hal positif, semesta akan mendengar ucapan kita lalu berkonspirasi dalam mewujudkannya. Pikiran yang hebat, kupikir. Kita hebat, kita luar biasa, kita mampu, kita percaya, maka kita bisa. Kata-kata itu terdengar indah.

Bermimpi setinggi bintang! Berani mengejar mimpi. Itu slogan hidup para penganut berpikir positif. Aku suka semangat itu. Tapi sekali lagi, kalau diadakan survei dan kepadaku ditanyakan, apakah aku mau mengikuti cara-cara mereka yang selalu? Tidak. Aku merasa tidak masalah bila hal-hal negatif menudungi hidupku seperti awan. Hidup jadi bergerak, tidak monoton.

Jadi ketika aku membayangkan punya toko buku, dalam pikiranku waktu itu, mimpi itu mungkin akan terealisasi lima tahun kemudian. Karena begitulah fitrahku. Segala sesuatu harus diuji dengan waktu dulu, bukan? Bila keinginan itu menguat, itu berarti panggilan. Kalau keinginan itu meluluh, berarti ia hanya menumpang lewat. Setelah itu hilang.

Pada satu hari Perpustakaan Nasional, tempatku bekerja, menugaskanku ke satu ibu kota kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Katanya, pemerintah daerah dalam waktu dekat akan meresmikan gedung perpustakaan yang baru. Mereka ingin sekaligus membuka operasional peminjaman buku secara resmi. Tugasku adalah melatih para petugas perpustakaan untuk membuat klasifikasi dan kategorisasi buku.

”Sebelum ini kabupaten tidak punya perpustakaan ya?” tanyaku kepada pejabat yang kelak akan berkantor di bangunan perpustakaan itu.

”Belum,” jawab pejabat itu, tertawa.

Aku kaget selintas, baru kemudian tertawa. Sebenarnya itu bukan isu baru. Banyak ibu kota kabupaten di negeri ini pun tak punya perpustakaan. Dan semua merasa baik-baik saja. Tidak ada yang salah.

Sebenarnya aku tertawa bukan untuk menertawakan kota itu belum punya perpustakaan. Aku tertawa karena kupikir ibu kota kabupaten ini bersifat sama sepertiku. Sama-sama suka ketinggalan zaman. Kalau aku selalu tertinggal lima tahun, maka ibu kota kabupaten tertinggal kira-kira dua abad. Kenapa begitu?

Begini. Di novel Madame Bovary karya penulis Perancis, Gustave Flaubert, yang berlatar tiga desa kecil—Tostes, Youville, Roven—dan setting waktu pada abad 19 itu, ada potongan yang mengisahkan sudah ada abodenem buku ketika itu. Sekarang, abad 21, dan ibu kota kabupaten itu belum punya perpustakaan. Apa yang dapat diharapkan dari sebuah masyarakat yang tidak membaca? Mereka jelas ketinggalan dua ratus tahun. Ya, Tuhan. Benar-benar menyeramkan.

Untungnya pejabat yang kepadanya aku tertawa tidak ingin tahu kenapa aku tertawa. Kalaupun kuceritakan alasannya, apakah pejabat itu akan merasa malu? Mungkin tidak. Banyak sekali pejabat negeri ini yang sudah jelas melakukan kesalahan, tapi tidak ambil pusing dan merasa itu biasa-biasa saja. Yah, beginilah yang terjadi di negeriku.

Tapi sebenarnya, aku bersyukur dikirim ke kota kecil yang ketinggalan dua ratus tahun ini. Karena justru di kota inilah mimpiku untuk memiliki toko buku sendiri terwujud. Ceritanya begini.

Selama melatih petugas perpustakaan, selama seminggu, aku ditempatkan di satu hotel. Hotel kecil, dengan dua puluh delapan kamar. Sepertinya itu hotel keluarga yang tidak ngoyo soal profesionalisme.

Dan, yang bikin hatiku berkembang adalah, di hotel kecil itu ada satu toko buku mungil. Aku luar biasa girang dan memuji siapa pun yang punya inisiatif menyediakan satu ruang di hotel untuk dijadikan toko buku.

Siapa pemilik hotel yang berpikiran intelek ini? Bahkan di kota itu, itulah satu-satunya toko buku. Toko buku itu terletak di lantai satu hotel, namun sayangnya selalu tertutup.

Ini hari kedua aku tinggal di kota kecil ini. Pintu kaca toko buku yang putih cemerlang seperti etalase yang mempertontonkan buku-buku di dalamnya masih juga tutup.

Ukuran ruang itu tiga kali lima meter. Dua dinding panjangnya ditutupi rak buku yang empat perlimanya menutup dinding, menyentuh langit-langit. Di tengah ada meja panjang dengan empat kursi. Pada satu sisi panjang di ujungnya, ada meja kecil tempat display buku-buku dan dua vas kaktus mini.

Sore itu, aku kembali ke hotel dan mendapati toko buku itu masih tutup.

Begitulah dengan hati menggebu dan sedikit rasa kesal, aku bertanya ke resepsionis tentang keberadaan toko buku. Menjawabku, ia menarik serangkaian tiga kunci, dan berjalan ke toko buku. Aku membuntutinya dari belakang.

”Silakan Ibu lihat-lihat dan membaca. Kalau sudah selesai, tutup saja pintunya,” katanya sambil mendorong pintu toko lebar-lebar.

Aku mengangguk. Aku berterima kasih atas kepercayaannya kepadaku. Ada dua. Dia tidak tahu ada orang sepertiku di dunia ini yang selalu tergoda mencuri buku. Kedua, dia tidak tahu nilai sebuah buku bagi seorang pembaca sepertiku.

Sekarang aku sudah berada di dalam toko buku. Aku berkenalan dengan buku-buku yang menyender malas ke rak-rak buku yang megah dan mahal. Aku mengambil satu buku secara sembarang, menarik kursi, dan duduk di satu dari empat kursi itu.

Halaman buku terbuka di depanku, tapi mataku memperhatikan toko mungil ini. Di sudut kanan ruang ada meja dan komputer kasir dan pernak-pernik ATK. Di sudut kiri ada semacam bufet dengan dua laci terbuka yang dipenuhi buku dan entah apa saja. Di atas bufet ada semacam dinding berisi pengumuman dan foto-foto usang.

”Selamat sore, Bu.”

Aku menoleh untuk menemukan asal suara. Di belakangku berdiri seorang laki-laki. Matanya bersinar, bertanya, ”Suka baca buku ya? Sedang baca buku apa?”

Buku ini, jawabku sambil mengangkat buku di atas kepala. Pangeran dari Timur karya dua penulis Indonesia, Kurnia Effendi dan Iksaka Banu.

”O itu buku bagus. Saya sudah membacanya.”

Aku memandang mata laki-laki itu, berkata, ”Sebenarnya saya sudah membaca buku ini. Saya hanya ingin membaca bagian-bagian buku yang menjadi favorit saya.”

”Wah, hebat!” Lelaki itu menarik kursi di depanku, dan sambil memandangku bertanya, ”Mau mendiskusikan buku itu dengan saya?”

Aku setuju.

Kami segera berbincang soal buku. Segala sisi. Tak terasa kami telah menghabiskan waktu selama dua jam.

Lalu aku bertanya, kenapa toko buku selalu tutup. Dia menjawab toko buku itu tutup karena tidak ada pegawai khusus yang menjaga. Bahwa toko dibuka sejak hotel beroperasi, tujuh tahun lalu, namun tidak maju-maju. Ia sudah membuat beragam kegiatan: memberi hadiah kepada siapa saja yang mau membaca buku, yang mau berkomentar tentang buku yang dibaca. Tidak juga ada respons.

”Mungkin kota ini mati kutu soal buku. Tak peduli buku, tidak peduli membaca.”

Aku prihatin mendengarnya. Lalu aku bercerita tentang mimpiku memiliki toko buku. Kami bersemangat menceritakan mimpi masing-masing sampai seorang petugas hotel menginterupsi obrolan.

”Maaf, saya ada urusan sedikit. Silakan terus di sini,” kata lelaki itu.

”Tidak. Saya pun harus balik ke kamar. Ini sudah malam,” ucapku cepat.

Mendengar itu, ia berbalik, mengambil satu buku begitu saja dari rak. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi. Ia menyerahkan buku itu kepadaku, berkata, “Ini untuk kamu.”

”Sudah punya,” kataku.

”Hmm… kalau begitu yang ini.”

Dia memperlihatkan Setan van Oyot, Kerang Memanggil Angin, Orang-orang Oetimoe, Mendengarkan Coldplay, Janda Bukan Beranda. Semuanya sudah kupunya.

”Ha-ha-ha… mungkin buku di toko buku ini semuanya sudah kamu baca. Bagaimana kalau….”

”Pak, Bapak ditunggu,” potong petugas hotel itu lagi.

Lalu laki-laki itu permisi. Toko buku ditutup. Aku pun balik ke kamar.

Kelak aku tahu lelaki itu adalah pemilik hotel.

Ini tahun kelima sejak aku bercita-cita mempunyai toko buku. Sekarang aku punya toko buku. Tapi bukan karena aku sudah punya uang.

Ya, kamu betul. Toko buku mungil yang kuceritakan di atas itu sekarang milikku. Ceritanya, setelah pertemuan pertama yang mengesankan itu, aku dan pemilik hotel itu jadi dekat. Menjadi lebih dekat karena buku-buku perekatnya. Ketika dia melamarku, tentu saja aku setuju menjadi istrinya. Demikianlah pada akhirnya aku memiliki toko buku mungil yang kuimpikan lima tahun lalu.

***

Ita Siregar, lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 1993. Bekerja di Fulbright American Indonesian Exchange Foundation (Aminef) di Jakarta untuk Program Amerika (2008-2009), majalah Femina (2003-2008). Menulis cerpen, novel, puisi, esai. Esainya memenangi salah satu Lomba Kritik Sastra oleh Dewan Kesenian Jakarta 2013. Buku puisi terbarunya, Ia Dinamai Perempuan (2020), tentang 54 perempuan dalam kitab suci. Tinggal di Balige, Sumatera Utara, sejak 2019 setelah menerima beasiswa Residensi Penulis dari Komite Buku Nasional Kemendikbud sampai sekarang.

 

(4)

Jari Tengah

Setelah berlari menghindari amarah ayahnya, sang anak merasa ketagihan. Dicarinya lagi tempat-tempat di mana orang bakal bereaksi di luar prediksinya.

Oleh: WAWAN Z, 3 Desember 2022

Tangisan kesepuluh di ruang bersalin malam itu sudah berlalu sepuluh tahun. Berubah bentuk menjadi seorang anak yang diam dan peniru. Ke mana pun awan dan kawan-kawannya pergi, sang anak selalu mengekor. Tak ada batas, moral, atau aturan yang ia ketahui sampai kapan pun. Setidaknya itu mungkin yang ditakdirkan Tuhan. Orangtuanya pun entah enggan, tak mampu, atau lupa kalau punya anak yang begitu sunyi. Hingga pada suatu waktu, di tempat yang menurut konvensi masyarakat sekitar adalah suram, kejadian-kejadian dimulai.

“Jangan begitu, tolol!”

“Hey, si bangsat itu memang bangsatnya sudah kuadrat, jangan dihiraukan!”

Hina, caci, serta tawa-tawa yang diiringi kekotoran berputar di sekitar sang anak. Satu hal yang paling diingatnya adalah bagaimana setiap kawannya meneriakkan kata dengan mengangkat jari tengah mereka ke satu sama lain. Sesekali bahkan tanpa suara, hanya jari saja yang terangkat ketika hardikan atau cercaan—yang dianggap canda, mengarah ke si pengangkat jari. Dicobanya mengangkat jari tengah dengan cara yang kedua. Tampak rasa senang dan puas meliputi wajahnya. Dan sejak saat itu, jari tengahnya terangkat, tak pandang bulu.

Jari tengahnya terangkat pertama kali pada ayahnya. Dilihatnya sang ayah penuh amarah di malam hari. Tak henti-hentinya keluar kata-kata yang sering didengar sang anak ketika kawan-kawannya saling mencerca.

Setelah berlari menghindari amarah ayahnya, sang anak merasa ketagihan. Dicarinya lagi tempat-tempat di mana orang bakal bereaksi di luar prediksinya. Maka ketemulah ia dengan seorang perempuan tua yang sering ngoceh tiap pagi di rumah tetangganya. Ekspresi menyebalkan perempuan tersebut dalam bercerita menjadi dasar sang anak mengacungkan jari tengahnya. Dan di situ, ditemukannya reaksi yang berbeda. Giranglah ia seraya berlari-lari menjauhi ocehan si perempuan yang semakin kencang yang tertuju padanya.

Semakin hari, kebiasaannya itu semakin candu. Diangkatnya jari tengahnya ke semua orang yang menurutnya mengesalkan. Sampai pada akhirnya dia hidup di jalanan yang ramai. Jari tengahnya tak pernah turun sedikitpun. Bahkan di saat tidur, bagaimanapun caranya ia pertahankan jari tengahnya terangkat.

Pejalan kaki, pengendara motor, orang-orang di dalam mobil, hingga pedagang kaki lima dan polisi lalu lintas tak lepas dari target jari tengahnya. Sayangnya, sensasi dari reaksi orang-orang di jalanan mulai tak memuaskannya. Kebanyakan dari mereka malah membalas balik jari tengah sang anak. Beberapa bahkan tak peduli dan lewat begitu saja.

Kebosanannya pun memuncak. Tiada lagi dalam kamus hidupnya nama-nama untuk dijaritengahi. Maka ia pun memutuskan untuk pergi mencari jalanan yang lain. Pikirnya, di suatu tempat nanti kepuasan dari jari tengahnya akan bangkit kembali. Sayang, pikirannya tak bertahan lama.

Di sebuah gang ia diadang oleh seorang pria dengan penutup wajah. Pria tersebut dengan cepat menodongkan sebuah pisau ke arahnya. Entah apa yang diharapkan seorang penyamun dari musafir yang telanjang dan bodoh. Begitu kiranya umpama yang tepat menggambarkan situasi sang anak dan si penodong.

Tanpa pikir panjang, si anak yang merasa perlakuan tersebut menyebalkan mengeluarkan jurusnya. Jari tengahnya terangkat di antara wajahnya dan si penyamun. Air wajahnya tampak menggila, diliputi kepuasan. Dopaminnya naik sampai ke awan. Di samping itu, kewasapadaannya yang sudah mati pun menguap hilang. Gerak cepat pisau di tangan si penyamun menyalami kerongkongannya dari samping. Darah mengucur tak lama setelah hunjaman. Si anak terjatuh. Lengser. Namun jari tengahnya masih teguh dan tegak. Si penyamun yang kecewa karena simfoni kesakitan tak kunjung terdengar meludahi wajah si anak lantas pergi. Gelap pun berganti menutup pemandangan gang yang sempit.

Tak ada yang berubah. Bahkan ketika ditemui sosok besar dan gema suara, sang anak yang utuh kembali tetap tak peduli dengan siapa atau apa pun itu.

“Kau sudah mati, kau bersalah, dan sudah saatnya kumandikan kau dengan api dan lahar.”

Si anak yang kebingungan itu akhirnya bangkit berdiri di kegelapan. Berputar-putar, berlari, jatuh, dan begitu terus mencari suara yang berulang-ulang dengan kalimat yang sama. Hingga di suatu sudut dilihatnya segaris cahaya. Didekatinya cahaya itu dan dilihatnya sebuah celah.

Dengan sedikit usaha, dibukanya celah tersebut yang ternyata adalah sebuah pintu. Masuklah ia ke dalamnya. Adapun di dalamya tiada lain selain putih. Dan tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat sosok hitam tak beraturan. Sosok tersebut mengeluarkan suara sebagaimana suara berulang yang ia dengar dari tadi. Sang anak pun dengan berani dan tanpa ragu mendekati sosok tersebut.

AH!

Sang anak berteriak sebab hawa panas menyentuhnya begitu ia berada persis di dekat sosok hitam tersebut. Hawa semakin panas dan meluas, melahap si anak yang menatap dengan kosong. Terbakar, kulit sang anak terkelupas sedikit demi sedikit. Rambutnya mulai hangus tak bersisa. Gigi-giginya bahkan mulai menghitam. Sosok tersebut menjadi besar, membentuk ruang tak terbatas dengan titik-titik bintang. Sang anak mengapung. Namun dari semua yang terjadi, tersungging senyum di wajahnya. Serta sebagaimana ia menjalani hidup, jari tengahnya tetap berdiri.

***

Wawan Zamron, Lahir di Bogor, 2 Mei 2002, tepat hari pendidikan. Berkuliah sastra di UPI Bandung sejak 2020 dan beberapa kali mencoba menuliskan sesuatu untuk dibaca orang. Sampai saat ini, masih mencari di mana serunya hidup.

 

(5)

Kong Saman dan Ikan Ungu

Kalau tidak musim hujan dusun kami cantik sekali. Di pagi hari kalian bisa melihat kabut putih bagai jubah tebal menyelimuti pegunungan yang tegak angkuh di timur, seperti menantang sang surya bergegas memulai tugas.

Oleh: SENA WIDYA, 1 Desember 2022

”Jika Anda pencinta sungai, singgahlah ke dusun kami. Serius, kami tidak bohong. Di dusun kami ada banyak sekali sungai. Bahkan kalau hujan turun agak lama, dusun kami jadi sungai.”

Kalau tidak musim hujan dusun kami cantik sekali. Di pagi hari kalian bisa melihat kabut putih bagai jubah tebal menyelimuti pegunungan yang tegak angkuh di sebelah timur, seperti menantang sang surya untuk bergegas memulai tugas. Anehnya kalau mulai senja, pegunungan itu tampak renta diam melamun. Dugaan kami mungkin dia benci malam, saat warna jingga pekat mulai melumuri langit, dan bayangan gelap membuat rimbun belukar rimba di kakinya tampak seperti raksasa bungkuk.

Dusun kami bernama Cikebon, didiami kurang dari enam puluh keluarga. Nama Cikebon sendiri masih misteri. Pasalnya di sini cuma ada sawah, dan sungai tentu saja. Apa mungkin Cikebon artinya air sekebon, saking melimpahnya. Tapi nama itu masih lebih enak didengar daripada dusun tetangga kami, Ciruwet. Jalan utama di dusun kami sangat menantang, sudahlah konturnya naik turun, kondisinya masih jalan tanah, berbatu, dan berlumpur. Saat kemarau, jalan itu bisa dilalui pakai motor. Tapi bukan sembarang motor, Anda harus menggunakan motor trail, atau motor bebek yang sudah disulap untuk kondisi ekstrem. Mengendarainya juga perlu kebisaan khusus. Kalau bukan masyarakat asli setempat, sangat muskil untuk sampai dengan selamat. Nah, tantangannya akan lebih ekstrem kalau musim hujan tiba. Jalan tanah berubah menjadi medan yang licin. Probabilitas bisa keluar masuk dusun mendekati nol, meskipun Anda datang menggunakan mobil berjenis SUV. Sebuah ironi kemudian Bapak Camat kami malah menyatakan itulah risiko membuat perkampungan di tengah hutan.

Melintasi tanjakan tanah yang cukup terjal sampai ke ujung itulah tinggal Kong Saman dan istrinya, Nyai Anah. Kong Saman merupakan warga tertua nomor dua di dusun kami, usianya 72 tahun. Warga tertua nomor satu adalah istrinya, yang berusia 75 tahun. Yang mengherankan, walaupun menuju rumah Kong Saman cukup menguras tenaga, rumah itu tidak pernah sepi. Selalu ada saja warga yang datang sekadar mengobrol. Bisa jadi karena seduhan kopi Nyai Anah yang harum, cerita menarik Kong Saman yang tidak pernah habis, atau menonton kebahagiaan yang berbinar dari wajah keduanya. Di usia senja, mereka berdua selalu terlihat bahagia. Kami sering melihat mereka jalan bergandengan tangan sambil tertawa terkekeh. Dari mereka kami mengerti bahwa kerutan seharusnya hanya menunjukkan di mana senyuman itu. Memiliki sebuah hubungan tidak akan rumit kalau kita bersama orang yang tepat.

Kong Saman hobi memancing. Bagi Kong Saman, hidup itu seperti permainan, tapi memancing itu serius. Menyaksikan gemericik aliran sungai menyapu kaki dan menunggu ikan menggigit umpan adalah meditasi yang sebenarnya. Nyai Anah tidak pernah mengusik hobi suaminya itu. Dia memberi ruang apa yang membuat suaminya tersenyum senang menjalani hari. Begitu pun Kong Saman, sesekali duduk diam menikmati singkong rebus menemani Nyai Anah yang tenggelam dalam lukisannya. Mereka tidak perlu tahu segala hal tentang hobi masing-masing, cukup menghargai saja, sesederhana itu. Pagi yang bening kali ini pun, Kong Saman sudah duduk mematung di tepi anak Sungai Cipulak memegang joran pancing. Keranjang bambunya baru terisi seekor ikan tawes putihan. Percayalah, semua laki-laki adalah setara sebelum memancing. Seorang wanita tidak akan tahu seberapa sabar lelaki yang dinikahinya sebelum melihatnya memancing.

”Nanti Engkang bawakan ikan yang banyak buat Nyai,” kata Kong Saman sebelum berangkat.

”Jangan ikan yang di pasar ya, Kang..,” jawab Nyai Anah terkekeh sambil menyerahkan seplastik pisang dan jagung rebus, ”Ini bekalnya, capingnya sudah Nyai taruh di sepeda.”

Kami sangat akrab dengan caping. Karena kantor kami itu di sawah atau ladang, maka keberadaan caping adalah wajib untuk menutupi kepala dari terik matahari atau gerimis hujan. Walaupun ukuran caping beraneka sesuai umur dan ukuran kepala, sampai sekarang hampir tidak pernah ada perubahan bentuk desainnya, kerucut terbuat dari anyaman bambu. Caping sebenarnya tidak hanya ada di dusun kami, tetapi juga ditemukan di China, Korea, Jepang, Vietnam, dan beberapa negara Asia Tenggara lain. Di Vietnam, derajat caping—di sana disebut non la—diangkat menjadi pakaian khas, kostum nasional, bahkan menjadi ikon wisata. Non la menjadi terkenal karena hiasan cantik romantis, lukisan tangan, puisi kalimat indah, dan menjadi suvenir yang diburu wisatawan. Kalau di dusun kami, caping juga diburu di waktu tertentu, menandakan pilkada sudah dekat. Foto di spanduk dan baliho yang terpaku di pohon, di jembatan, atau di pagar sekolahan menampilkan wajah tersenyum lebar dengan tangan mengepal memakai caping di kepala supaya kelihatan agraris. Bahkan tidak jarang rombongan mereka dengan caping itu berpanas-panas turun ke sawah untuk foto dengan kaum kami.

***

Matahari terik berada tepat di atas ubun-ubun. Keranjang bambu Kong Saman hanya bertambah seekor ikan nila saja. Dia teringat lezatnya ikan beunteur goreng krispi dan ikan baung kuah santan. Entah kapan lagi dia bisa menikmati kelezatan ikan-ikan Sungai Cipulak. Dulu sekali memancing di sini sangat menyenangkan. Ikannya banyak dan beragam jenis, sampai-sampai dia selalu membagikan ikan hasil pancingannya ke tetangga. Puluhan tahun berlalu seiring air sungai yang bertambah keruh. Entah karena galian C di hulu sungai, limbah buangan pabrik, warga yang membuang sampah ke sungai, atau gabungan semuanya. Jadilah ikannya pada bermatian.

Kong Saman bangkit dan bersiap pulang ketika dia merasa kailnya ada yang menarik. Hatinya berseru girang. Seperti hidup, kalau bersabar, akan ada untukmu hasilnya. Tersangkut di ujung pancing menggelepar ikan berwarna ungu neon terang dengan mata bulat besar. ”Wahai, ikan apakah ini? Cantik sekali. Nyai pasti senang,” seru Kong Saman tertahan. Ikan itu tidak besar, hanya sebesar telapak tangan saja. Bentuknya bulat gemuk dengan punuk di kepalanya.

Jalur perjalanan pulang Kong Saman tiga kali lebih melelahkan dibanding waktu berangkat. Langkah tuanya beberapa kali tersandung bebatuan. Perutnya mulai berbunyi minta segera diisi. ”Rasanya ingin sekali makan siang ini pakai udang goreng. Sedihnya tidak tampak seekor udang pun di sungai tadi,” ujar Kong Saman lirih. Di dalam keranjang bambu, ikan ungu itu membulat sempurna dan berpijar semakin terang.

Sampai di rumah, seperti dugaan Kong Saman, Nyai Anah terkekeh bahagia melihat ikan ungu yang lucu. Buru-buru dipindahkannya ke stoples kaca. Setelah itu disiapkan makan siang untuk suaminya. Nasi putih hangat dan udang galah bakar terhidang di meja makan. ”Makan dulu, Kang. Bang Jamin tadi datang antar udang bakar. Katanya oleh-oleh dari besannya,” teriak Nyai Anah dari dapur.

”Wah padahal tadi Engkang berharap bisa dapat udang buat lauk makan siang. Memang sudah rezeki,“ seru Kong Saman dari teras sambil membersihkan kakinya yang luka tersandung tadi. ”Andai saja jalan di sini bisa bagus, kasihan kaki tua ini,” keluh Kong Saman. Di dalam stoples kaca, ikan ungu itu membulat sempurna dan berpijar semakin terang.

****

Besoknya mendadak datang rombongan mahasiswa survei lokasi untuk tugas pengabdian masyarakat. Tentulah jurang perbedaan habitat membuat mereka gagap outfit alas kaki. Salah satu mahasiswi, yang ternyata putri tunggal anggota dewan, jatuh terpeleset. Dia misuh-misuh di media sosial. Videonya viral. Wartawan berbagai media lokal dan nasional datang meliput memberitakan kecantikan dusun kami yang terbengkalai. Tidak sampai seminggu dimulailah proyek pembangunan jalan. Pejabat desa, camat, bupati, gubernur, dan anggota dewan datang meninjau.

***

Pagi benar-benar rindang. Seperti biasa beberapa warga dusun mengobrol di amben depan rumah Kong Saman. Nikmat rasanya bercerita dan tertawa di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan. Nyai Anah menyuguhkan kopi dan penganan seadanya. Setelah berpuluh tahun, rasanya belum pernah kami sebahagia ini. Suara bak engkel yang dibuka dan bongkar muatan material batu pasir terdengar merdu sekali. Tidak lama lagi langkah kaki kami berjalan di dusun ini akan lebih ringan.

Kong Saman menyesap kopinya lamat-lamat. Telinganya dengan sabar menampung segala keluhan, candaan, bahkan bualan kami. Menjadi tua seperti mendaki gunung, Anda sedikit lelah dan kehabisan napas, tetapi pemandangan di atas jauh lebih baik. Usia tua, percayalah, adalah hal yang baik dan menyenangkan. Memang benar Anda dipanggil dengan lembut untuk turun dari panggung, tetapi kemudian Anda diberi tempat yang nyaman sebagai penonton.

Kong Saman hobi memancing. Bagi Kong Saman, hidup itu seperti permainan, tapi memancing itu serius. Menyaksikan gemericik aliran sungai menyapu kaki dan menunggu ikan menggigit umpan adalah meditasi yang sebenarnya. Nyai Anah tidak pernah mengusik hobi suaminya itu. Dia memberi ruang apa yang membuat suaminya tersenyum senang menjalani hari.

”Kong, kalau jalan sudah bagus kita mudah ke dusun sebelah. Ke kota juga gampang. Nanti Engkong mau ngapain?” tanya seorang warga.

”Engkong mah sudah tua. Mau apa lagi. Di rumah saja sama Nyai sudah senang. Engkong cuma pengin dapat ikan ungu lagi yang banyak biar ada temennya. Kasihan sendirian kesepian.”

Di stoples kaca, si ikan ungu membulat sempurna dan berpijar semakin terang.

***

Nurry Widya, dengan nama pena Sena Widya, lahir di Jakarta pada April 1979, kini menetap sebagai peneliti di Tangerang Selatan.

***

(6)

Hawa Panas

Dua hari sebelum malam Natal hujan lebat turun. Saat geladi koor perayaan malam Natal di Gereja, tiba-tiba terdengar gemuruh dari gunung menyerupai suara helikopter. Seketika lampu padam. Semua panik dan berhamburan.

Oleh: SILVESTER PETARA HURIT, 11 Desember 2022

Hujan datang lebih awal. Setelah harga kopra jatuh dari 10 ribu menjadi 4 ribu rupiah per kilo, setelah bunga mente mengering sebelum sempat melahirkan buah, setelah buah kelapa pecah dan jatuh sebelum sempat menjadi muda.

Hujan lebat sudah hampir seminggu, tapi di rumah, kantor, dan tempat ibadah orang- orang mengeluh panas. Keringat bikin pakaian dalam lebih cepat lembab dan basah.

Panas kali ini rasanya bukan panas biasa. Lebih gerah dari hawa persetubuhan antara pria dan wanita yang gemar gonta-ganti pasangan.

Dari mana hawa panas ini bermula? Awalnya dari seorang calon kepala desa yang bernama Miten. Tujuh tahun silam, Miten pulang dari Jakarta. Di hadapan seluruh masyarakat dia bicara tentang keinginannya untuk mengabdi dan melayani.

”Sungguh saya tak tenang tidur, tak enak makan melihat beratnya hidup saudara-saudari, orangtua, dan semua kakak-adik di tanah kelahiranku ini. Maka, saya pulang untuk bikin harga mente lebih baik, harga kelapa dan kopra lebih pantas!”

Cara bicaranya menggugah dan meyakinkan warga desa. Bagi warga desa yang polos-polos itu, semua omongan Miten diterima bulat-bulat. Bermodal mobil pinjaman dari Baba Cung pemilik gudang mente di Larantuka, Miten semakin meyakinkan warga desa bahwa ia memang sudah selesai dengan urusan perut.

”Goe gelekat noon onok matak, soga naran lewotana: Saya mengabdi dengan hati nurani, mengangkat nama kampung halaman”.

Miten tahu bagaimana harus menyentuh warga dengan bahasa mereka sendiri. Kalimat terakhirnya bersarang di hati warga. Agar semakin meyakinkan, ia menyampaikan niatnya untuk Gere Rera Wulan: sebuah ritual masuk rumah adat untuk mohon restu dan kekuatan Rera Wulan Tana Ekan.

Ketika mantra dirapalkan oleh maran alat, seperti magnet yang menarik serbuk besi, kekuatan alam dari jagat kampung berpendar mengelilingi Miten. Menggetarkan seluruh sel tubuhnya, membangkitkan simpul-simpul energi yang tertidur. Seperti mobil yang lama parkir dihidupkan semuanya aktif dan menarik energi serupa sehingga semakin kuat.

Hawa panas bermula dari sana. Ketika keinginan terbesar meraup banyak uang dan menikmati kesenangan hidup yang dibungkusnya pecah dan meluber tersirap getaran tersebut. Hawanya membubung ke angkasa jadi awan kelam dan menarik awan serupa datang memenuhi langit-langit kampung. Seperti pohon, awan kelam itu serupa daun yang kian rimbun dan dirinya adalah batang yang terus menjulurkan akar-akarnya.

Seminggu setelah dilantik menjadi kepala desa, ia merekrut sepupunya menjadi ketua Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Tiga bulan kemudian ia mendepak bendahara desa dan menggantinya dengan istri ketua tim suksesnya.

Mente dan kopra wajib dijual kepada bumdes dengan alasan menambah pendapatan desa. Kerja sama apik bumdes dengan Baba Cung benar-benar menguntungkan Kades Miten. Kalau ada pesaing lain datang, mereka membeli kopra dan mente dengan harga jauh lebih tinggi. Alhasil para pesaing tersebut mundur satu-satu. Jadilah mereka pemain tunggal. Sesukanya menurunkan harga dengan alasan gudang penuh dan sebagainya.

Baba Cung menguasai kontainer tol laut berkat kontribusinya sebagai penyandang dana terbesar dari pemilukada yang lalu. Dia bermain untuk 3 pasangan calon. Prinsipnya tabur di awal. Tuainya selama 5 tahun. Jauh lebih besar untungnya. Lima tahun berikut baru bermain lagi. Bagi Baba Cung, tak perlu jadi bupati atau anggota DPRD. Yang penting bisa mengendalikan bupati dan pejabat-pejabat daerah yang mata duitan itu.

Kades Miten terus berupaya menambah kekayaannya. Ia mulai meminjamkan uang dengan bunga 20 persen per bulan kepada warganya yang punya kebutuhan mendadak. Karena harga kopra dan mente selalu jatuh, mereka tak mampu mengembalikannya. Sedangkan nilainya terus bertambah akibat bunga. Ketika sang kades merasa mereka tak lagi mampu mengembalikan, ia mengajukan runding. Dengan menambah sejumlah uang, ia meminta tanah atau kebun milik warga. Tetua adat diundangnya untuk bikin ritual adat pengesahan pindah kepemilikan. Biasanya ia menyiapkan amplop yang cukup tebal sehingga mereka selalu siap melayani apa yang dimauinya.

Bermodal jabatan kepala desa dan kongsi bisnis dengan Baba Cung, Kades Miten tampil sebagai orang kuat baru. Lima tahun menjadi kepala desa, tanahnya terus bertambah. Ia mulai bermain sebagai penyandang dana mendukung pasangan calon di pemilukada kali ini. Rumah barunya di kota jadi sekretariat bagi pasangan calon (paslon) A, rukonya ia relakan untuk posko pemenangan paslon B, salah satu mobilnya dipakai sebagai kendaraan operasional paslon C. Kades Miten semakin terhubung dengan sejumlah pejabat, anggota DPRD, orang-orang dari partai politik di kabupaten, provinsi maupun pusat.

Kades Miten semakin yakin tak ada lagi yang berani bersaing dengan dirinya pada pemilihan kepala desa (pilkades) 7 bulan mendatang. Apalagi setelah Markus mantan aktivis mahasiswa keok dibikinnya. Markus adalah lulusan dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Undana Kupang. Pulang kampung dan mulai mengkritisi kepemimpinan Kades Miten yang tak pro warga desa. Warga mulai menaruh harapan padanya. Ia juga mengkritik Pastor Paroki yang menurutnya tak bisa menyerukan suara kenabian dan cenderung cari aman.

Kades Miten menyusupkan orangnya ke dalam lingkaran orang dekat Markus. Sungguh jadi ancaman jika Markus dibiarkan. Maka Kades mendatangkan seorang perempuan penghuni salah satu lokalisasi di salah satu kota besar. Ia dibayar mahal untuk mendekati Markus. Bermodal cantik, berlaku santun, halus dan baik, ia tak sulit menggaet hati Markus. Mereka berpacaran. Berlibur ke Kupang dan menginap di sebuah hotel.

Beberapa hari setelah liburan tersebut, pacar Markus menghilang dan mengganti semua nomor kontaknya. Bersamaan dengan itu video vulgar mereka beredar. Pastor Paroki mengutuk tindakan tak terpuji itu saat kotbah misa hari Minggu di Gereja, pun dalam kegiatan pembinaan iman remaja dan orang muda Katolik.

Kades Miten bahkan sudah mempersiapkan orang-orangnya memengaruhi tetua adat bahwa Markus telah bikin malu kampung. Ia harus dipanggil, diadili dan diganjar denda adat yang berat. Sejak saat itu, Markus tak muncul lagi di kampung.

Pastor Paroki malam-malam datang ke rumah Kades Miten dan menyatakan dukungan kepadanya. Kades Miten kemudian memesan patung Bunda Maria dan membiayai pembangunan gua untuk pentakhtaannya. Saat peresmian, Kades Miten disambut dengan sapaan adat, pengalungan selendang, pengguntingan pita dan tari-tarian.

Pastor Paroki mengajak umat berterima kasih. Bahwa Tuhan bekerja melalui Kades Miten sehingga akhirnya mereka boleh memiliki gua Maria tempat umat sekalian bisa datang berdoa, berkeluh-kesah kepada Bunda Maria.

”Kita butuh tokoh-tokoh yang peduli dan suka berbagi seperti Bapak Kepala Desa kita ini. Tuhan menggandakan segala amal baiknya”.

***

Hasrat Kades Miten untuk terus berkuasa menjelma getaran yang makin hari makin kuat dan bikin gerah. Jagung, ketela, padi dan tanaman pangan lain tak bisa tumbuh dengan baik. Bahkan persetubuhan pasangan baru gagal menghasilkan buah keturunan di satu tahun terakhir.

Hawa panas bikin Bapak Langit murung, Ibu Tanah bersedih. Para leluhur bersusah hati. Sedang umat di lingkungan komunitas basis sedang giat- giatnya berlatih koor untuk rangkaian perayaan Natal dan Tahun Baru yang tinggal hitungan hari. Anak-anak muda mulai berkumpul mendesain pohon natal dari bahan-bahan yang paling unik untuk dipajang di pertigaaan jalan dan tempat-tempat strategis dalam kampung.

Semakin dekat Natal, suasana makin semarak. Anak-anak mulai merengek minta uang supaya dibelikan petasan dan kembang api. Siapa punya petasan yang bunyinya paling besar dan kembang apinya melambung tinggi serta menyebarkan pijaran-pijaran yang paling luas dan lama akan jadi perbincangan paling seru di kalangan anak-anak dan remaja. Kades Miten lebih sibuk lagi. Mempersiapkan open house di hari Natal dengan bir, babi panggang dan sekian jamuan. Juga pidato dan pesta kembang api di malam pergantian tahun.

Dua hari sebelum perayaan malam Natal hujan turun lebih lebat dari biasanya. Saat geladi koor perayaan malam Natal di Gereja, tiba-tiba terdengar gemuruh dari gunung menyerupai suara helikopter. Seketika lampu padam. Semua panik dan berhamburan.

Suasana mencekam. Suara tangisan dan teriak minta tolong terdengar dari arah rumah-rumah yang berada dekat di bawah kaki gunung. Tapi, tak ada yang berani keluar rumah karena hujan sangat lebat sepanjang malam. Jarak pandang tak lebih dari satu meter.

Pagi-pagi warga menuju tempat kejadian. Beberapa rumah tertimbun longsor dan tiga RT tersapu banjir. Pastor Paroki datang ke lokasi. Di depan rumah orang tua Markus yang seluruhnya tertimbun longsor sambil geleng-geleng kepala, ia mengatakan kepada sejumlah warga bahwa ini pelajaran dari Tuhan akibat anak muda yang tak lagi menjaga pergaulan.

Kades Miten datang dan berbincang-bincang dengan Pastor Paroki. Melihat warga yang makin banyak berkerumun, dengan suara dibuat lebih keras ia bilang kepada aparat desanya:

”Datakan semua kerugian dan segera laporkan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah!”

Setelah memberi amanat kepada komandan linmas untuk memimpin pencarian korban, Kades Miten berbuat seolah ada yang sangat krusial yang harus segera ia bicarakan dengan Pastor Paroki.

Di ruang kerja Pastor Paroki, mereka bicara lebih rapat pagi itu. Kades Miten sepakat dengan Pastor Paroki bahwa setelah sarapan mereka langsung pergi ke kota buka rekening donasi bagi korban bencana.

”Keramik rumah pastoran sudah waktunya diganti”

”Sekalian saya mau mempercantik wajah kantor desa”

Aroma roti bakar menguar bersama kopi rempah dan asap rokok.

Lewotala, Flores Timur, Awal November 2022

Daftar istilah:

Rera Wulan Tana Ekan: Tuhan dalam agama Lokal Suku Lamaholot

Maran alat: Pendaras mantra/doa dalam ritus adat Suku Lamaholot

***

Silvester Petara Hurit, Alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur NTT.

***

(7)

Jangan Masuk Hutan Itu!

Aku melihatnya samar, namun aku sungguh-sungguh yakin itu memang dia. Aku tidak salah orang. Dia ada di sana, sendirian saja.

Oleh: AYU PRAWITASARI, 16 Desember 2022

Aku melihat laki-laki itu dari kejauhan. Tampak pepohonan rimbun di belakangnya. Apakah dia akan masuk hutan itu? Hutan yang kata warga desa ini sangat angker. Tak ada yang kembali begitu masuk di dalamnya. Semuanya lenyap, tak ada yang pulang. Semuanya hilang. Anak-anak, remaja, pemuda, orang tua, tak ada satu pun yang selamat. Hutan itu melahap semuanya. Tak menyisakan sedikit pun jejak.

Berita di media massa isinya juga selalu seragam. Setiap kali ada pencarian korban di hutan itu, yang tersisa hanyalah jejak sukarelawan pencari orang hilang.

Korbannya sendiri tak pernah ditemukan. Jangankan tubuhnya, rambutnya, atau darahnya yang menempel di bebatuan dan pepohonan-pakaian, ceceran barang, hingga jejak orang yang hilang itu sama sekali tak ada. Semuanya menjadi hilang yang sempurna. Hutan itu menutup rahasianya rapat-rapat.

Dan sekarang, laki-laki itu, orang yang sangat kucintai, berdiri di depan hutan itu. Aku melihatnya samar, namun aku sungguh-sungguh yakin itu memang dia. Aku tidak salah orang. Dia ada di sana, sendirian saja. Tas ransel di punggung, topi bundar, kemeja flanel cokelat lengan panjang, dan jins hitam kesayangannya. Aku mengenali semuanya. Itu memang dia. Aku tahu itu dia. Lututku terasa lemas saat melihat dia berada di sana kebingungan.

Laki-laki itu melihat ke kanan dan kirinya seolah bersiap masuk hutan di belakangnya. Namun, anehnya, dia masih memunggungi hutan itu. Apa yang dia cari? Apakah dia menunggu seseorang atau sesuatu?

Tangisku pecah bersamaan dengan teriakanku saat laki-laki itu berbalik arah. Teriakan paling keras yang pernah aku keluarkan. Aku begitu khawatir saat dia mulai melangkah masuk. Aku tahu dia akan hilang sebentar lagi. Kupanggil dia berulang-ulang, berharap laki-laki itu membatalkan rencananya. Apakah dia tak tahu hutan itu berbahaya? Bagaimana dia sampai tak tahu kalau yang akan dia masuki adalah hutan kematian. Yang kutahu dia selalu tahu segalanya.

Tapi, oh sialan. Aku mulai merasa putus asa. Tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutku. Sama sekali tak ada yang bisa kudengar, kecuali seluruh tubuhku yang gemetaran. Berkali-kali aku berteriak, namun di sekelilingku yang ada hanyalah kesunyian. Aku merasa benar-benar putus asa.

Cerita orang-orang desa memenuhi kepalaku. Tak ada seorang pun yang selamat saat masuk hutan itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Laki-laki itu tak boleh masuk, namun dia sudah berada di bibir hutan. Apakah aku bisa menghampirinya tepat waktu? Bagaimana jika aku terlambat? Apakah aku akan menghilang bersamanya?

Laki-laki itu benar-benar masuk hutan. Aku masih mencoba berteriak sekali lagi meski suaraku tak keluar sama sekali. Pada saat itu aku tahu bahwa entah masih bisa mencegahnya atau mungkin memang sudah terlambat, aku harus menyelamatkannya.

Sekarang aku berlari sekencang-kencangnya, semampu yang aku bisa, untuk menghampirinya. Aku juga tetap berteriak meski aku tahu yang kulakukan adalah kesia-siaan. Aku tetap memohon dengan suara kencang agar dia tak masuk hutan. Aku memanggil namanya sebanyak yang aku bisa. Namun, aku tetap melihat semua upayaku itu sia-sia. Dia tak mendengar suaraku. Dia bahkan tak melihatku yang kebingungan menyusulnya dari belakang. Laki-laki yang kucintai itu tetap saja melangkah memasuki hutan.

Aku sampai di bibir hutan dengan napas memburu. Dadaku rasanya panas terbakar. Belum pernah aku berlari sekencang itu. Kuharap aku tak terlambat menemukannya. Namun, seluruh tubuhku lemas saat kusadari aku kehilangan bayangannya. Dia menghilang seperti orang-orang sebelumnya. Dan itu semua terjadi hanya gara-gara aku kehilangan suara di saat yang tak tepat.

Apakah dia sudah terlampau jauh masuk hutan? Aku bertanya pada diriku sendiri dengan kebingungan waktu kulihat yang ada di sekelilingku hanyalah kesunyian. Sekarang aku sendirian saja di bibir hutan ini. Mengapa langkah-langkahnya begitu cepat? Semestinya dengan kecepatan lariku tadi, aku masih bisa mmenyusulnya.

Sekarang aku mencoba melihat sekelilingku dengan panik. Berusaha mencermati jejak-jejak yang dia tinggalkan di pinggiran hutan. Namun, seperti juga suaraku, jejak laki-laki itu tiba-tiba saja menghilang. Hutan ini seolah kembali menjadi hutan perawan. Tanah basah yang seolah tak pernah diinjak. Daun-daun yang jatuh berserakan. Ranting-ranting berlumpur. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Lalu apa pilihanku sekarang? Menyusulnya tanpa bekal jejak apa pun? Atau menunggunya di sini saja? Tapi, sampai kapan aku menunggunya di sini? Aku menatap hutan di depanku yang sunyi ditemani bayangan wajahnya yang terus-menerus datang dan terus-menerus menghilang. Kurasa aku memang harus menyusulnya.

Kuberanikan diri memasuki hutan itu. Aku kini tidak perlu berlari karena toh tak ada yang bisa kujadikan pegangan. Laki-laki itu seperti lenyap begitu saja. Aku tak tahu apakah pencarianku akan berhasil ataukah aku akan hilang bersamanya. Tapi, hati kecilku mengatakan kemungkinan yang lain. ”Bagaimana jika aku tak bertemu dengannya dan aku akan menghilang sendirian?”

Bayangan wajahnya datang lagi. Sungguh aku tak bisa bisa membaca rautnya, apa yang hendak dia sampaikan padaku dengan tatapan itu. Kepalaku yang berisik dan hati kecilku yang ramai, mengingatkanku supaya segera pergi dari tempat itu selama masih ada kesempatan, tak kupedulikan lagi. Diam-diam kupanjatkan doa pada Tuhan, semoga aku bisa bertemu dengan laki-lakiku itu. Sekali saja cukup. Kupaksa kakiku melangkah maju. **

Rasanya sungguh asing waktu aku mulai melangkah memasuki hutan ini. Aku sungguh tak suka dengan sekelilingku. Suara angin yang tenang, namun tak bersahabat. Suara burung liar tak seperti yang kudengar di rumah, dan suara tonggeret tanpa jeda. Lalu suara-suara yang tak bisa aku deskripsikan. Bulu kudukku meremang waktu langkahku semakin dalam dan kulihat cahaya matahari sore mulai meredup.

”Kaukah itu?” Tangisku berhenti saat melihat sosokmu duduk sendirian di bawah sebatang pohon. Kamu menunduk sementara tanganmu memeluk erat kedua kakimu. Wajahmu tak terlihat. Aku berlari cepat menghampirimu dengan kelegaaan luar biasa. Sungguh keberuntungan yang ajaib.

”Ayo pergi, Kak. Ayo pergi dari sini. Ini hutan berbahaya. Kita berdua bisa hilang,” kataku berulang.

Laki-lakiku itu mendongak saat mendengar suaraku. Wajahnya tersenyum sebelum kemudian dia menghilang begitu saja dari pandanganku. Tiba-tiba saja aku sendirian lagi. Aku teriakkan namamu kencang-kencang dalam keputusasaan, berharap sungguh-sungguh yang kualami hari ini hanyalah sebuah mimpi. **

”Dan kau memang bermimpi.” Suara suamiku terdengar samar.

Aku membuka mataku pelan. Rasanya sungguh berat. Badanku terasa lengket karena keringat, wajahku juga begitu kusut karena air mata, dan rasanya tubuhku capai seperti habis berlari jauh.

Jam dinding adalah benda pertama yang kukenali waktu mataku terbuka. Pukul satu dini hari. Aku berbaring di ranjang sementara selimutku terlempar ke bawah. Napasku tersengal-sengal. Pikiranku sungguh kacau dan aku benar-benar kebingungan.

”Kau menjerit-jerit tadi. Tenanglah. Tenang please. Itu semua hanya mimpi buruk. Sudah berlalu. Sudah pergi.” Suamiku memeluk erat diriku. Pelukannya menenangkanku. Aku menangis keras-keras tanpa bisa kucegah. Rasanya seperti pulang dari perjalanan yang mengerikan. Begitu lega saat aku tahu bahwa aku sudah kembali ke rumah dengan selamat.

”Apa yang kau pikirkan?” tanya suamiku setelah mengambilkan segelas air hangat untukku. Rasanya begitu lega saat cairan itu mengaliri tenggorokanku.

”Kau menjerit-jerit. Mengulang-ulang kata ‘jangan masuk’ lalu kau menjerit-jerit lagi. Kau menangis sampai aku akhirnya aku terbangun,” tambah dia lagi.

Suamiku memelukku lebih erat saat tangisanku bertambah kencang. ”Sssssshhh… tenanglah. Kalau kau memang belum bisa bercerita, jangan memaksakan diri untuk bercerita. Menangislah saja, setelah itu tidurlah lagi,” kata suamiku. Aku tetap tak bisa berkata-kata setelahnya.

**

Mataku menatap nyalang jam dinding yang terus berdetak. Detik, menit, dan jam terus berlalu. Suamiku sudah tidur lagi, sementara mimpi buruk itu masih membayangiku. Hutan itu. Suara tonggeret. Tanah yang basah tanpa jejak. Wajah pucat laki-laki itu. Semua berputar-putar di kepalaku. Kini, tiba-tiba saja aku mengingat salah satu percakapanku dengannya.

”Hati-hati di jalan,” kata laki-laki itu pada suatu pagi, membalas sebuah pesan pendek dariku. Aku hendak pergi ke luar kota untuk tugas kantor dan kukirim pesan itu padanya, berharap dia tak merasa aneh kalau-kalau aku tak bisa langsung membalas pesan-pesan darinya.

”Itu punya Tulus,” balasku. ”Lagu sejuta umat.”

”Memang. Tapi aku berbeda, Derana. Aku tetap akan mengikutimu. Mana mungkin kubiarkan kau sendirian pergi ke luar kota.”

”Hmm, kuulangi, ya. Aku pergi bersama teman kantor. Aku tidak pergi sendirian. Apa kau berniat ikut? Jangan gila dong, Kak. Aku pergi bersama teman-teman. Akan kutaruh di mana kau nanti,” balasku dengan emoticon tertawa terpingkal.

”Yang gila itu kamu. Tapi sejujurnya, kuharap kau kadang-kadang gila juga, jadi aku bisa ikut denganmu atau kau ikut denganku. Sekarang ini cukuplah doa dariku. Semoga kau bisa enjoy di sana, Derana. Every step you take, I’ll be watching you.”

”Kak. Itu ‘The Police, Every Breath You Take’,” balasku cepat. ”Apakah kau sedang sangat mood untuk bermain tebak lagu?”

Dia mengirim emoticon tertawa dan sebuah foto hall hotel tempat dia mengisi sebuah workshop leadership. Dia masih di Bali rupanya.

Jam dinding menandakan pukul tiga. Aku belum juga tidur. Mimpi buruk kurasakan seperti cat dinding yang tak sengaja teroles di tanganku. Susah sekali hilang. Kucoba memejamkan mata berkali-kali, tapi tetap saja gagal.

Notifikasi ponsel kudengar samar. Aku menatap lagi jam dinding, merasa ragu apakah itu notifikasi pesan ataukah bunyi jam. Keduanya mirip. Badanku belum juga bergerak. Kulirik lagi suamiku yang tertidur pulas.

Aku bergerak gelisah. Keraguanku menebal. Sepertinya tadi itu bunyi notifikasi ponsel. Kalau benar itu tadi notifikasi ponsel, berarti ada orang yang mengirimiku pesan pada dini hari ini. Ah, bagaimana jika itu pesan yang penting? Tak mungkin ada orang yang begitu longgarnya mengirimiku pesan di jam seperti ini kecuali pesan itu sangat mendesak.

Kupaksa tubuhku bangkit menuju ruang tengah. Ponsel kutaruh di deretan rak buku. Sepertinya aku lupa mengaktifkan setelan mati otomatisku sejak beberapa hari lalu. Ponsel itu menyala ketika beberapa pesan masuk beruntun. Pesan dari laki-laki itu. Perasaanku tiba-tiba saja menjadi tidak enak.

”Derana aku sedang di Riau saat ini.” Itu pesan pagi tadi. Aku merutuki diriku sendiri. Hari ini, aku nyaris tak menyentuh ponsel. Pekerjaan di kantor membuatku tenggelam.

”Derana, teman-teman mengajakku mengeksplorasi hutan di sini. Kau pasti takjub melihat sungai dan hutan di sini. Tak ada yang mirip dengan hutan di Jawa. Di sini benar-benar seperti hutan perawan. Eksotis.” Pesan itu datang agak siang.

”Derana, sinyalku buruk sekali. Apakah kau menerima pesanku. Kau sibuk ya. Semoga kau enjoy di sana. Ah andaikan ada kamu di sini.” Pesan itu datang sore hari.

”Derana, kurasa kami tersesat.” Malam hari pesan itu masuk ponselku.

”Derana, aku mencintaimu.” Pesan ini aneh. Tak ada penanda waktunya. Apakah ponselku error? Pesan ini sungguh ganjil. Aku membaca lagi pesan itu. Hatiku berdesir aneh, mirip yang kurasakan waktu aku melihatmu duduk di bawah pohon di hutan itu.

”Kak, lekaslah kembali,” balasku setelah beberapa kali membaca ulang pesanmu. Centang satu. Gelisahku makin menjadi.

”Kak, aku juga mencintaimu.” Rasanya seperti berbicara dengan dinding kosong, menggema, lalu suaraku aku telan kembali.

Centang satu lagi.

”Kak, aku sangat-sangat mencintaimu. Temui aku, please.”

Masih saja centang satu.

Aku terduduk lemas. Hutan itu. Suara tonggeret. Tanah yang basah tanpa jejak. Wajah pucat laki-laki itu. Semua berputar-putar lagi di kepalaku.

***

Ayu Prawitasari. Penyuka buku, baju, dan sepatu. Jurnalis yang tinggal di Solo.

***

(8)

Kharma Phala

Kakiku masih saja tertatih-tatih mendaki gunung ini. Gunung yang kata orang-orang adalah surganya para leluhur, tempat para dewa langit berpesta ketika Galungan tiba.

Oleh: NI WAYAN WIJAYANTI, 17 Desember 2022

”Jika Wayan masih miskin, bakar saja mayat bapak tanpa singa. Tidak usah repotkan hal itu.” Begitu laki-laki yang kupanggil bapak berkata dengan santainya. Tentu saja dia terlihat sangat tenang, bagaimana pun sebentar lagi memang benar dia akan pergi.

”Singa itu adalah kendaraan yang menghantarkan roh ke surga. Jika tanpa kendaraan penuntunnya roh akan tersesat dan tak akan capai suarga loka, tempat para dewa. Sampai kapan bapak hanya akan terlahir kembali sebagai sudra*?” tanyaku.

”Biarkan Kharma Phala* yang akan menjadi selimut bapak. Mengantar bapak seperti anjing putih entah ke surga atau neraka.”

Setelah berkata begitu laki-laki tua itu menghela napas, dan rupanya saat itulah kali terakhir kami bercakap. ******

”Cuh….” aku membuang ludah yang memerah berisi daun sirih. Rasanya sepat sekali. Aku tidak terlalu menyukai rasanya, tetapi hanya itu yang bisa aku cicipi untuk memperolok otak bahwa aku sedang mengunyah dan makan.

Kakiku masih saja tertatih-tatih mendaki gunung ini. Gunung yang kata orang-orang adalah surganya para leluhur, tempat para dewa langit berpesta ketika Galungan tiba. Tetapi sedari tadi di perjalanan, tak ada satu pun dewa yang aku temui. Malahan aku hanya bertemu dengan seekor anjing. Tanpa kuberi makan sekali pun, ia setia menemaniku ke puncak.

Mungkin juga itu karena dewa-dewa tak akan sudi bertemu denganku. Aku hanya sudra yang papa. Terlahir telanjang, tanpa sehelai benang. Pun hidup yang kujalani juga tidak berbeda sebagaimana ketika aku dilahirkan. Tetap sudra yang papa. Orang-orang bilang jika pada kelahiran ini seseorang menderita, maka bisa dipastikan ia adalah seorang Neraka Cyuta. Artinya dia lahir dari neraka.

Namun, jika hidupnya bahagia dan tenteram dengan kesenangan, dia disebut Suarga Cyuta. Dia orang beruntung yang terlahir dari surga sebagaimana Kharma Phalanya sendiri.

Cih, diskriminasi macam apa itu? Aku benar-benar ingin mengutuknya. Mengutuk hidupku yang sudra dan miskin ini. Meracau kenapa sistem sosial yang dianut masyarakatku harus begitu.

Tetapi sekali lagi, aku hanya sudra. Mana kuasa aku mengutuk dunia.

Apalagi ia pertiwi, tanah yang aku pijaki sambil menengadah langit. Setiap harinya caraku berdoa ialah dengan mencakup tangan di atas kepala. Kami berdoa seperti sedang memohon ampun pada langit.

Entah dosa apa yang kami lakukan, sehingga langit tega-teganya melahirkan kami di sini melalui kandungan ibu yang menjerit.

Apa benar hukuman ini bermula hanya karena Hawa meminta makan apel?

Kata orang, jika engkau adalah seorang papa nista dari neraka maka banyak-banyaklah berbuat baik. Dengan begitu karmamu akan bersih dan bisa masuk surga. Nantinya kau berkesempatan untuk punarbhawa kembali menjadi sosok yang jauh lebih baik.

Kau akan lahir dengan derajat berkasta tinggi, hidup mapan, wajah yang cantik atau tampan. Kehidupanmu akan sempurna di kalangan strata sosial di atas sana. Aku pun mencoba berbuat baik. Tapi hasilnya bukan kebahagiaan yang aku dapat. Melainkan kemalangan.

Hidupku hanya sebegini saja. Bahkan tikus-tikus jahat di gedung itu hidupnya tetap jauh lebih enak dari pada nasibku yang selalu berbuat baik.

Apa aku perlu jadi jahat juga? Aku pun ingin berdasi dan menjadi hewan pengerat dana bansos. Lalu mengkhianati ajaran Omkara yang kusembah.

”Mereka yang jahat masih sedang menabung dosanya, karena Kharma Phala itu datangnya tidak selalu harus sekarang.” Itu ucapan dari seseorang yang kuingat kala kami bertemu di warung nasi tekor.

”Lalu kapan?” sanggahku dengan sinis.

Aku baru saja habis dikejar-kejar rentenir. Bisa-bisanya orang ini menceramahi aku. Lebih baik beri aku uang untuk melunasi utang. Ceramah tidak membuatku bisa membayar sebungkus nasi tekor yang sedang kukunyah ini.

”Hey, Kharma Phala itu hanya hukum tabur tuai. Siapa pun akan mengalami. Apa yang kau tanam itulah yang kau dapat. Jika kau tanam pisang, pasti akan mendapatkan pisang juga tidak mungkin ti….”

”Bagaimana kalau kau tanam pisang lalu buahnya dicuri tetangga? Kau tanam pisang tapi belum tentu kau dapat pisang,” sanggahku dengan cepat memotong kalimatnya, membuat ia tergelak.

”Kau kan dikejar rentenir karena tak bayar utang. Itulah kharma yang musti kau tanggung sekarang,” ujarnya di sela-sela tawa.

”Aku tidak akan berutang jika aku lahir kaya. Kau sungguh tidak perlu mengerti apa yang aku rasakan,” sahutku ketus.

”Hey, selama masih di bumi ini penderitaan dan kesenangan datang silih berganti. Kecuali kau pergi ke langit, tempat para dewa.”

”Ya, aku akan pergi ke sana,” tantangku dengan mata melotot. Dia mencoba melucon dengan perkataannya, tetapi malahan itu benar-benar memberiku sebuah ide. Aku benar-benar akan pergi ke tempat para dewa dan memperbaiki kharma buruk leluhurku, salah satunya bapak yang membuat nasibku malang begini.

”Dengar baik-baik! Semesta berjalan memang dengan hukum seperti itu. Ada hasil yang bisa kau tuai dengan cepat seperti rasa pedas pasca makan cabai. Ada hasil yang bisa kau temui nanti, dan ada juga hasil yang kau terima di hidup mendatang.”

Orang itu masih saja berseloroh.

”Nasihatmu itu tidak membuatku kenyang.”

Dia diam dan aku pun beranjak pergi meninggalkannya.

*****

Bapakku yang sudah sangat sepuh sakit keras. Aku membayarkan banyak uang pada rumah sakit untuk mengobati dan merawat dirinya.

Celaka dua belas, hal itulah yang malah membawaku pada jurang utang yang sangat dalam.

Aku yang sudah terlahir miskin kini menjadi benar-benar tidak punya apa-apa lagi selain badanku. Setiap hari aku dikejar-kejar rentenir yang menagih pembayaran. Rentenir-rentenir sialan itu bahkan datang ke hotel tempatku bekerja. Mereka meneror semua orang di sana dan sampai memaki-maki atasanku.

Hingga berakhir pada diriku yang harus dipecat karena hotel itu dan para penghuninya merasa terganggu dengan kehadiran preman-preman penagih utang. Kini aku sudah tidak punya apa pun untuk digadaikan lagi. Tidak juga pekerjaan sebagai topangan hidup.

Entah dosa apa yang aku dan leluhur lakukan. Sehingga kesialan bertubi-tubi datang dalam hidup. Ingin sekali menuai kharma baik, tetapi rupanya di negeri ini kebaikan dan kejujuran tidak ada artinya.

Jika dari dulu tidak bekerja dengan jujur, aku pasti sudah kaya raya. Hotel ini banyak menghasilkan dolar. Dengan menjilat kau bisa sangat cepat melesat mendapatkan posisi tinggi, atau kau dapat menyelipkan uang tip lebih banyak untuk dimakan dirimu sendiri.

Bukankah terdapat macam-macam pekerjaan kotor lainnya yang bisa menghasilkan banyak uang?

Intinya, ada berbagai cara untuk melakukan kejahatan dan bisa membuatmu terbebas dari belenggu kemiskinan.

Mungkin akulah yang memang terlalu dungu. Aku tidak pernah ikut kawan-kawanku melakukan pekerjaan kotor itu.

Kecuali aku tinggal di kahyangan di mana seluruh kebaikan akan langsung menjadi berkat yang berlipat-lipat. Tapi ah ya, aku lupa bahwa aku sedang tinggal di bumi! Hal terbaik yang bisa aku lakukan adalah pergi dari sini. Ke mana saja. Sayangnya aku bukan makhluk gaib macam kuntilanak, yang bisa tiba-tiba hadir di atas kepala orang sambil menghibur riang dengan suara cekikikannya yang centil.

Lalu setelah puas tertawa, ia bisa menghilang sesuka hati.

Ingin sekali aku menertawai para rentenir itu, kemudian menghilang ketika mereka mencoba menggebukiku.

Namun sayangnya, raga ini kasatmata. Jadi mereka bisa menggebuki sampai badan kurus ini memar-memar.

Aku pun juga bukan leak yang bisa berubah menjadi sampyan mas atau lutung yang menggaet bulan purnama dalam semedi sungsangnya di dahan pohon kepuh. Siapa pun leak di luar sana, aku harap mereka mendatangiku dan menjadikan badan ini santapan.

Ah, leak pun mungkin tidak sudi menjadikanku tumbal ajaran Tantra yang mereka anut. Bisa-bisa mereka kehilangan daya lantaran sari-sari badan ini tidak ada nutrisi bagi ilmu hitam mereka.

******

”Guk guk guk!” Anjing pengantarku ke puncak gunung suci membuyarkan lamunan. Aku terkesiap. Selama perjalanan tadi aku terlalu sibuk bengong memikirkan hidup. Rupa-rupanya aku telah sampai di jalan yang sebentar lagi menghantarkan ke puncak. Ini dinamakan jalur naga. Satu-satunya jalan menuju puncak Hyang Giri Tohlangkir*. Jadi jika para pendaki hendak naik ke puncaknya, mereka hanya bisa melewati jalur ini. Jalur naga berbentuk seperti punggung naga. Jalannya kecil dengan kanan kiri adalah jurang yang dalam. Jika lengah sedikit saja, maka celaka sudah.

Kata orang-orang, jalan ini mirip jembatan di alam baka yang dinamai titi ugal-agil. Di titi itulah para roh menyeberang ke surga.

Jika mereka berhasil melewatinya, maka akan sampai pada gerbang suarga lokha. Namun apabila terjatuh dan terperosok ke bawah, maka akan langsung terjun ke dunia neraka yang nista.

Roh-roh malang itu akan terbakar di kawah Chandra Goh Muka yang konon panasnya melebihi lahar gunung.

Setelah selesai mendapatkan kenikmatan di surga atau siksaan di neraka, maka roh akan terlahir kembali. Oleh sebab itu ada yang terlahir dari surga dengan nasib yang sangat beruntung, dan ada pula yang sebaliknya.

Hitam dan putih di semesta ini memang seperti siang dengan malam. Bulan dan matahari atau kebahagiaan bersama derita.

”Jembatan tersebut mengumpakan bahwa untuk mencapai surga, seorang manusia harus menempuh perjalanan yang tidak mudah dan melelahkan. Lengah sedikit saja maka akan terjatuh lalu terbangun di alam bawah.” Aku kembali teringat dengan orang yang suka berceramah di warung nasi tekor itu.

”Guk guk guk!” Anjing di depan menyalak lagi. Sepertinya ia ingin memastikan apakah aku akan melanjutkan perjalanan ke puncak gunung tertinggi di pulau ini atau berhenti lalu berbalik.

Sejujurnya aku ragu. Ada rasa takut yang membayangi. Tapi aku bukan takut mati. Aku hanya takut kalau-kalau di tengah jalan aku jatuh dan tidak sampai antar abu di ranselku ini ke puncak.

Aku memang harus sampai atas. Aku ingin tabur abu bapak di ujung sana. Aku ingin abu ini terbang ke atas agar dia mencapai surga berkubah langit. Kata orang, tujuan utama memiliki anak adalah memperoleh keturunan yang suputra.

Di mana anak inilah yang harus menjadi penghantar kedua orang tuanya ke gerbang suarga lokha.

Maka jika aku tidak bisa mempersembahkan singa untuk pengabenan*, maka biarkan aku yang menjadi kendaraannya. Menjadi petunjuk baginya bahwa surga ada di sebelah sana. Tersembunyi di ujung tertinggi Tohlangkir.

Yah, setidaknya begitu caraku mencintai bapak.

”Pak, Wayan ingin bapak terlahir dengan cara suarga cyuta. Walau tanpa singa, kau harus tetap bisa capai surga. Saya akan antar.”

Aku bergumam menatap langit. Seketika kaki ini mantap menyusuri punggung Hyang Basuki, naga yang terlelap di istana Giri Tohlangkir.

Anjing putih itu berjalan di depanku. Rupa-rupanya dia sangat setia. Sampai di medan yang terjal ini pun dia ikut.

Puncak sudah hampir sampai. Tinggal sekitar lima langkah lagi. Aku mengatur napas dengan seksama. Satu, dua, tiga, empat, lima…. dan hap! Aku pun sampai. Ransel itu aku buka. Sambil memeluk kendi abu, aku menengadah langit.

Tempat ini membuatku serasa menyentuh kaki-kaki surga. Awan-awan berarak di bawah telapak. Hembusan angin dengan cahaya matahari seakan menampar keras, menyadarkan aku atas hidup yang telah dilalui.

Aku kini benar-benar berada di puncak potongan Mahameru yang konon dibawa Siwa dan tercecer di pulau ini.

*****

Aku meraih abu dalam kendi dan menaburkannya ke atas. Angin menghembuskannya terbang menjauhi raga. Terbang dan menyatu dengan ether. Dia hilang dalam ketiadaan.

Lebih baik bapak tetap di atas saja menjadi bagian dari pakaian langit. Tersenyum sambil melambai layaknya kejora.

Maka sekarang telah benar Wayan lepaskan bapak kepada Akasa agar kau bisa hidup dengan perkasa. Jadilah bagian Ksirasagara, lautan susu pada lengan Bhimasakti yang agung.

”Pak… jika ada kesempatan punarbhawa kembali, datanglah dari surga agar kau tidak lahir sudra sebagaimana aku di hari ini.”

Minggu, 27 November 2022

Catatan:

Sudra: Kasta terendah di tingkat strata sosial masyarakat Hindu

Kharma Phala: Buah perbuatan

Punarbhawa: Kelahiran kembali (reinkarnasi)

Hyang Giri Tohlangkir: Nama lain Gunung Agung di Bali

Pengabenan: Upacara pembakaran mayat

***

Ni Wayan Wijayanti, lahir di Gianyar, Bali, pada 30 April. Tulisannya telah banyak dimuat di berbagai media, seperti Kompas, Ceritanet, majalah Bobo, Tatkala.Co, Indonesiana.Id, Negeri Kertas, dan Cerano. Merupakan finalis Ubud Reader and Writer Festival 2004. Karyanya yang lain pernah terpilih sebagai 30 cerita terbaik McD’s Indonesia tingkat nasional 2022. Saat ini aktif sebagai seorang SEO content writer untuk beberapa agensi dan sales marketing penginapan wilayah Ubud.

***

(9)

Cerita Tanpa Cerita: Beran, 1949

Ia berpikir keras, mengapa ibunya bercerita. Ia tidak dapat mengingat dengan tepat kata-kata ibunya, tetapi sejauh dapat diingatnya terdapat gambar adegan-adegan yang hidup di kepalanya.

Oleh: SENO GUMIRA AJIDARMA, 18 Desember 2022

Jakarta, 2022

Ia sering teringat ibunya belakangan ini.

Ibunya sudah meninggal 20 tahun lalu, dan kelebat bayangan ibunya ada kalanya muncul.

Namun yang sering teringat olehnya kini adalah suatu kenangan tertentu.

Kenangan timbul, kenangan tenggelam.

Seperti sesuatu yang sebetulnya tidak pernah hilang, tetapi bisa dilupakan.

Kenangan tertentu ini mungkin sesuatu yang sebaiknya dilupakan.

Sesuatu yang mungkin seharusnya dilupakan.

Ingatannya berasal dari masa lalu yang jauh, dalam suatu kamar yang bersih dan terang dan manusia tidak diburu waktu, ketika ibunya bercerita tentang sesuatu yang dikenangnya.

Seperti sambil lalu, tetapi sekarang ia berpikir keras, mengapa ibunya bercerita.

Ia tidak dapat mengingat dengan tepat kata-kata ibunya, tetapi sejauh dapat diingatnya terdapat gambar adegan-adegan yang hidup di kepalanya.

Beran, 1949

Dalam sergapan malam untuk memburu pasukan gerilya di sebuah desa, tentara Belanda menangkap ibunya.

“Ibu membantu palang merah, tetapi ditahan juga, karena langsung kentara bukan penduduk desa itu,” kisah ibunya.

Ibunya di antara perempuan-perempuan di desa. Itu memang dapat dibayangkannya.

Ibunya dibawa ke sebuah pos polisi di Beran, di luar kota Yogyakarta, dimasukkan ke dalam sel tahanan. Sudah ada seorang perempuan lain di dalam sel itu.

Yogyakarta, 1967

Sel itu mungkin seperti sel dalam kenangannya sendiri. Dari masa kecil, ia teringat sel tahanan di pos polisi kecil dalam kompleks rumahnya. Sel itu terletak di bawah tanah, tetapi lubang anginnya yang berterali berada di atas tanah. Lubang angin itu menjadi satu-satunya jendela bagi seorang tahanan yang ada di situ untuk melihat dunia.

Ya, dunia sebatas mata kaki siapapun yang lewat di depan lubang angin itu. Padahal tempat itu bagaikan tempat tersepi di muka bumi.

Kami, sekawanan anak yang selalu mengembara ke sana dan kemari, dari ngebongan[1] sampai Selokan Mataram, pernah berada di depan lubang angin itu, dan harus berjongkok jika bercakap-cakap dengannya.

Hanya ada seorang lelaki di situ. Seperti sudah cukup lama ditahan, karena dari balik terali itu ia memamerkan apa saja yang dibuatnya. Tampak seperti sebuah peralatan berbahan rotan. Dirinya sendiri tak paham itu peralatan apa, batang rotan kecil yang kedua ujungnya dihubungkan tali.

Barangkali sel tempat ibunya ditahan juga seperti itu. Ia tak terlalu ingat wajah tahanan yang rambutnya sebagian beruban itu, yang sepertinya senang diajak bicara anak-anak kecil di luar lubang angin, karena pada tanah di depannya berderet tanaman tapak dara[2] yang bunga-bunganya merah dan putih.

Beran, 1949

Seingatnya, ibunya juga sulit mencari kata-kata untuk menceritakan apa yang dialaminya.

Setiap hari ibunya diinterogasi seorang perwira Belanda, dalam bahasa Belanda, didesak untuk memberitahukan di mana posisi gerilya. Ibunya tidak pernah memberitahukannya, mungkin pula memang tidak tahu, tapi ayahnya, memang bersama pasukan gerilya.

Jika tidak ke gunung tentu berbaur dengan penduduk.

“Ibu ditanya di mana tempat Bapak dan teman-temannya sembunyi,” kisah ibunya.

Tidak seperti terdapat alur suatu kisah, melainkan kilas-kilas gambaran, itu pun bukan sesuatu yang pernah dilihatnya sendiri.

Misalnya bahwa perempuan yang satu sel dengan ibunya itu setiap malam dikeluarkan dan baru kembali menjelang pagi hari.

Perempuan itu, menurut ibunya, telah sangat membelanya, ketika para serdadu menghendaki agar ibunya juga keluar sel setiap malam.

“Jangan coba-coba! Dia sudah menjadi milik komandanmu tahu!”

Ia berada di sekolah menengah ketika ibunya bercerita, tidak tahu mesti bagaimana menanggapinya, selain diam dan mendengarkan.

***

“Ia dipanggil Tekèk,” kisah ibunya, tentang bocah remaja 14 tahun yang muncul di kantor polisi itu.

Ia membayangkan seorang lelaki berkulit gelap dan bercelana pendek, karena disebut Tekèk ia bayangkan kepalanya seperti cicak.

Tekèk rupanya kurir, yang tersamarkan entah sebagai pesuruh atau sebagai apa tidaklah jelas. Membawa pesan bahwa ayahnya mengetahui keberadaannya.

“Ia membawa kabar dari Bapak, katanya Bapak selamat dan tahu Ibu ada di situ.”

Orangtuanya tentu masih muda, dalam keadaan rusuh, mereka tinggalkan pendidikan di Jakarta, dan terseret hiruk-pikuk revolusi di Yogyakarta.

Tidak terlalu jelas baginya, apakah ibunya ditahan dua minggu atau dua bulan.

“Di dalam sel, setiap saat kami hanya menangis, menangis, dan menangis …”

Terbayang olehnya suatu sel tahanan yang gelap dan dingin, sementara di luarnya para serdadu Belanda melakukan segalanya untuk melupakan sepi.

***

Seingatnya, ibunya tidak seperti bercerita dengan sedih. Tidak menahan tangis, tidak berlinang-linang.

Ia hanya ikut merasa lega ketika ibunya bercerita tentang pembebasan, karena tentara Belanda harus meninggalkan Yogyakarta, kali ini untuk seterusnya.

Terbayang olehnya, di jalanan orang-orang saling bersalam dengan teriakan, “Merdeka!”

Masih juga tidak terlalu jelas baginya, bagaimana cara ibunya dibebaskan. Namun ia teringat ibunya menyebut Klitrèn, nama suatu jalan di kota tempatnya dilepas, kembali bertangis-tangisan dengan teman perempuannya yang satu sel, sebelum akhirnya berpisah.

Di sini ia bisa menanggapi, meski hanya tertarik dengan satu nama.

“Apakah pernah bertemu lagi dengan Tekèk?”

“Pernah.”

“Apakah dia masih ingat?”

“Suasananya sudah berbeda, kami bicara yang lain-lain.”

Waktu itu ia merasa sedikit heran, tetapi tidak bertanya-tanya lagi.

Yogyakarta, 1998

Hampir 50 tahun kemudian, ayah dan ibunya masih hidup, dan suasana sudah jauh berbeda. Mereka yang dahulu bergerilya kini berkuasa, dan mesti menghadapi gerakan kaum muda yang mengacungkan tinjunya di jalanan.

Ibunya tidak pernah bercerita lagi tentang peristiwa yang dialaminya. Ia sendiri merasa tidak pernah teringat sama sekali.

Namun kerusuhan yang berlangsung setiap hari itu seperti mengembalikan semua ingatan ayahnya.

Di depan banyak orang, dengan semangat mengungkap kekejaman perang, ayahnya mengungkap apa yang dialami ibunya.

Cerita itu belum pernah didengarnya.

Ibunya belum menceritakan semuanya.

Apakah ibunya waktu itu memang tidak ingin menceritakan semuanya? Sekarang tangisan kedua perempuan yang tiada hentinya itu baginya bermakna, sementara Tekèk mungkin tak ingin mengingatkan apapun yang mengembalikan kenangan itu.

Kepalanya menunduk ke bawah ketika ayahnya bicara.

Barangkali semua orang juga tidak ingin mendengar cerita seperti itu.

Cerita yang terlalu pahit untuk perempuan, terlalu pahit untuk manusia, dan terlalu pahit untuk dimaklumi.

Jakarta, 2022

Kedua orangtuanya sudah meninggal 20 tahun lalu, tetapi ia hanya teringat ibunya. Ia sering teringat bagaimana ibunya bercerita tentang apa yang dialaminya, sebagai sesuatu yang seperti wajib diceritakannya.

Seperti wajib diwariskannya.

Seperti mewariskan sejarah.

Mengapa ibunya tidak menceritakan semua? Apakah yang tidak diceritakan ibunya?

Dibandingkan cerita ayahnya, cerita ibunya terlalu sedikit, seperti baru memulai, tetapi belum membentuk alur cerita. Namun cerita ayahnya itu pun sangat pendek. Apabila digabungkan hanyalah kilas adegan sebuah cerita.

Tampaknya kedua orangtuanya pun tidak pernah membicarakannya lagi. Disadarinya betapa cerita itu terpendam begitu lama, dan tidak akan pernah terungkap sepenuhnya.

Inilah kenangan atas kenangan atas kenangan.

Perang apapun tidak ada yang bagus, pikirnya.

Apakah yang terjadi di Beran pada 1949?

Belakangan ini ia sering teringat ibunya.

Pondok Ranji,

Selasa 29 November 2022. 16:05.

Catatan:

[1] Dari bong atau pekuburan Tionghoa.-[2] Tapak dara (Jw.) = tapak merpati.-Seno

***

Gumira Ajidarma, dilahirkan tahun 1958. Bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1977, kini tergabung dengan panajournal.com. Menulis fiksi maupun nonfiksi, dalam media massa maupun jurnal ilmiah; mendapat sejumlah penghargaan sastra, mengajar di sejumlah perguruan tinggi. Buku yang belakangan terbit: Ngobrolin Komik (catatan tentang komik dalam 25 tahun terakhir), komik Macan (bersama Thomdean), komik Percakapan di Ruang Tunggu (bersama Sheila Rooswitha Putri), komik Layang-Layang (bersama Gerdi WK), dan roman Para Pelacur dalam Perahu. Masih menyambung cerita silat Nagabumi.

***

 

(10)

Permen

Aku menghela napas panjang, sebenarnya masih banyak kisah warga kampung yang bisa kuceritakan. Aku banyak mencermati warga kompleks, mengorek informasi hingga ke ruang paling tersembunyi, dan mengetahui aib mereka.

Oleh: PUSPA SERUNI, 22 Desember 2022

Ada lima permen kujajarkan di atas meja, dua permen rasa cherry, satu permen rasa mint, satu rasa anggur, dan satu lagi rasa jahe. Di sebelahnya masih ada tiga permen pelega tenggorokan yang diberikan oleh Pak RT kemarin sore. Di kumpulan lainnya lagi, ada dua biji permen susu yang kudapatkan dari warung Bu Yayuk sebagai kembalian uang belanja. Pemberian permen-permen itu membuatku jengkel, bukan karena Bu Yayuk mengganti uang recehan dengan permen, tetapi karena ucapan Pak RT dan ibu-ibu kompleks yang menganggap aku perlu mengemut permen itu ke mana-mana. Apalagi saat mengingat wajah para pemberi permen yang menatapku dengan pandangan meringis sekaligus cemas.

Dalam satu bulan terakhir, pemberian permen memang kerap kali kuterima dari orang-orang yang kutemui. Awalnya, aku merasa itu adalah sebuah bentuk perhatian dan keramahan saat aku berkunjung ke rumah para tetangga. Pemberian permen itu semakin membuatku betah duduk mengobrol di teras mereka, tetapi saat Pak RT mulai ikut-ikut memberikannya juga—apalagi disertai pandangannya yang menatapku dengan takut-takut—aku mulai menaruh curiga. Jangan-jangan, mereka menyelipkan sesuatu, mungkin racun atau jampi-jampi untuk menjatuhkanku. Bisa jadi, kan? Meski di depanku mereka bersikap baik dan ramah, aku selalu tidak bisa mempercayai tetangga dan Pak RT sepenuhnya.

Isu bahwa aku akan mencalonkan diri sebagai ketua RT tahun depan mungkin membuat Pak RT memcoba mempengaruhi warga untuk tidak memilihku. Pak RT sudah dua kali terpilih dan mungkin terobsesi untuk terpilih pada periode selanjutnya dan karena itulah segala cara dia lakukan untuk menjegalku. Aku, sih, tidak masalah. Toh, aku tahu kapasitasku yang jauh di atas Pak RT. Warga tentu akan lebih memilihku untuk menjadi RT, apalagi itu akan menjadi terobosan baru seorang perempuan menjabat sebagai ketua RT.

Aku menghempaskan tubuh dengan kesal pada kursi kayu yang dibeli beberapa waktu lalu. Kuraba permukaan kayu yang halus dan berpelitur coklat itu. Sebuah mahakarya dari seorang perajin kayu di pesisir Jawa yang sengaja kuletakkan di teras supaya semua orang yang datang atau sekadar melintas tahu bahwa perabot di rumahku memang selalu berkualitas nomor satu. Sambil mengagumi kursi sultan milikku, aku mencoba menganalisis maksud dan tujuan pemberian permen-permen itu.

Mari kita cermati satu per satu pemberi permen itu. Kita mulai saja dari Pak RT. Pak RT, siapapun tahu, dia hanya pensiunan pegawai kecamatan yang karena ketelatenannya mengurus warga dipilih sebagai ketua RT. Sebagai pensiunan tentu gajinya tidak seberapa, apalagi kudengar dia juga hanya pegawai rendahan. Alasan kenapa dia terpilih sebagai ketua RT karena dia telaten membantu warga mengurus administrasi kependudukan di kantor kecamatan dan Dinas Kependudukan, menjadi penengah jika ada warga bermasalah, dan tentu sebagai pensiunan dia memiliki banyak waktu luang untuk memperhatikan warga. Meski gaji sebagai ketua RT tidak seberapa, tetapi kuduga pungutan liar yang dilakukannya mampu membuatnya mampu menambah aset pribadinya.

Berbeda lagi kisah Bu Manda, pemberi permen cherry yang pagi tadi kutemui di Mang Jajang sayur, Perempuan berusia awal tiga puluhan dan beranak satu itu merupakan pekerja kantoran yang hidup sendirian. Kuduga dia dicerai sama suaminya karena terlalu sibuk bekerja atau bisa juga karena penampilannya. Aku bertanya-tanya, apa alasan dia membeli rumah di kampung yang jarak ke kantornya di kota kabupaten hampir tiga puluh kilometer. Desas-desus yang kudengar dia memiliki hubungan gelap dengan seorang pengusaha kayu, karena itulah rumahnya—meski berukuran tidak terlalu besar—terlihat berseni dengan penggunaan kayu-kayu jati tua pada jendela, tiang-tiang penyangga hingga pengaturan taman yang dipenuhi bunga-bunga dan rerumputan.

Setiap acara pengajian, dia selalu menjadi pusat perhatian. Wajahnya yang seputih susu, matanya yang bulat bersinar, hingga tutur katanya yang lembut, meresahkan banyak perempuan. Kuminta ibu-ibu di kampung ini erat memegangi suami-suami mereka, bukan tidak mungkin, kan, Bu Manda diam-diam menjadi duri yang mengancam kelangsungan rumah tangga warga. Bagiku, kehadiran Bu Manda adalah sebuah bencana bagi kampung ini, dan aku sudah punya rencana untuk membuatnya pindah.

Lain lagi kisah Bu Yayuk, pemilik warung yang biasa dijadikan tempat ibu-ibu kompleks mengobrol sambil berbelanja. Meski hanya pemilik warung kelontong kecil dan suami yang stroke sejak lima tahun lalu, dia mampu membiayai anak-anaknya kuliah. Bahkan anak bungsunya melanjutkan ke S2. Aku curiga, di sela aktivitasnya berjualan, dia menyelipkan usaha membungakan uang. Pasalnya aku mendengar, beberapa warga bahkan Imah—pembantu di rumahku—pernah meminjam uang kepadanya saat kepepet. Katanya, Bu Yayuk selalu ringan tangan menolong yang sedang membutuhkan.

Aku menghela napas panjang, sebenarnya masih banyak kisah warga kampung yang bisa kuceritakan. Aku sudah banyak mencermati warga kompleks, mengorek informasi mereka hingga ke ruang paling tersembunyi, dan mengetahui aib-aib mereka semua. Aku menganalisis mereka sebagai bagian dari persiapan mencalonkan diri sebagai RT mendatang. Hasil analisa yang nantinya aku gunakan untuk membuat mereka memilihku di acara pencalonan itu.

Aku berdiri lalu melangkah ke depan pintu. Saat daun pintu mulai terbuka, seketika bau bangkai menyeruak, bertubi-tubi mendesak rongga dada, membuat sesak dan perutku terasa bergolak.

“Imah … Barjo …. sudah periksa plafon belum? Bangkainya sudah dibuang?” Aku mulai menutup hidung dan mulutku dengan tangan kanan, sambil tetap berdiri di ambang pintu. Bau itu semakin menusuk.

“Imah … Barjo ….”

Sampai otot leherku bertonjolan, sepasang suami istri yang sudah bekerja kepadaku selama tiga tahun itu tidak juga menyahut apalagi menghampiriku.

Aku melangkah masuk dan disambut empat pot sedap malam yang diletakkan di pojok ruang tamu. Sedangkan di meja, seikat mawar merah di letakkan dalam vas berukuran sedang. Aku terus masuk menuju ruang makan dan dapur. Jambang berisi kelopak melati serta mawar di letakkan di tengah meja makan dan pot-pot tanaman arumdalu di susun di rak bunga di dekat dapur. Aku telah menyuruh Imah dan Barjo membeli banyak bunga beraroma kuat untuk menghilangkan bau dari rumah ini, tetapi sepertinya tidak berhasil.

Aku membuka pintu kamar satu per satu, kosong. Aku menuju dapur, juga kosong. Aku berlari ke halaman belakang, tetap kosong. Aku menggerutu, di mana orang-orang ini. Apa Imah dan Barjo juga pergi seperti suamiku yang awal minggu lalu meninggalkanku: padahal sudah kubilang kepadanya bau bangkai ini akan kuatasi dengan segera. Aku hanya butuh beberapa botol lagi pewangi ruangan, mungkin lebih banyak bunga dan sedikit teriakan kepada Barjo agar segera memeriksa plafon—karena kuduga dari sanalah bau itu berasal, entah dari bangkai tikus atau yang lain.

“Imah … Barjo ….”

Urat leherku nyaris putus rasanya karena sejak tadi berteriak kepada dua orang pekerja yang belum juga muncul. Mungkin sudah saatnya aku memecat mereka. Selama ini aku tidak pernah bisa bertahan lama dengan pembantu rumah tangga, Imah termasuk yang paling lama, mungkin karena itu dia mulai banyak berbantah. Barjo apalagi. Kerjanya cekatan tetapi seperti sapi penarik pedati, harus dipecut dulu untuk bisa berjalan cepat dan perintahku dituruti.

Aku kembali masuk ke dalam rumah, menuju dapur. Kuteguk segelas air putih yang baru kutuang. Setelah meletakkan gelas, pandanganku beralih ke ruang makan. Ada sesuatu di atas meja dan aku bergegas mengambilnya. Sebungkus permen mint rasa buah serta satu lembar kertas lusuh dengan tulisan tangan yang kukenal adalah milik Shifa, anakku yang berusia enam tahun. Dia memang suka permen sejak masuk TK, tetapi untuk apa dia meninggalkan permen itu di sini?

Aku mengambil surat itu, perlahan membaca isinya kemudian merematnya dengan geram. Pikiran Shifa sudah diracuni oleh bapaknya. Dia meninggalkan permen ini untukku.

Ibu, Shifa ikut bapak dulu.

Shifa mau ibu mengulum permen-permen ini, ya.

Permen ini rasanya enak juga wangi.

Di makan, ya, Bu, supaya mulutnya wangi.

Baca juga: Jangan Masuk Hutan Itu!

Aku menghembuskan napas ke telapak tangan sambil menghirup aromanya. Ah, tidak seburuk yang disampaikan Pak RT tadi. Orang tua itu benar-benar menyebalkan, gerutuku.

“Mohon maaf sekali, Bu, saya terpaksa menyampaikan ini. Beberapa warga sempat berkeluh kesah kepada saya, menyampaikan bahwa dari rumah ini tercium aroma bangkai, begitu juga saat ibu bicara; di warung sayur, di pengajian ataupun di jalan.”

“Pak RT jangan sembarangan bicara. Saya yakin di antara semua orang di kampung ini hanya saya yang punya jadwal khusus untuk ke dokter gigi.”

Aku berkata dengan dada yang bergemuruh.

“Kami tak meragukan itu, Bu. Warisan ibu sangat banyak, bisnis juga berjalan baik. Siapapun tahu, untuk perawatan tentu sudah ibu lakukan. Hanya saja ….”

“Apa?”

Mataku membulat menatap lelaki yang kepalanya sudah penuh dengan uban itu. Hanya pensiunan pegawai rendahan saja, kok, coba-coba menilaiku.

Aku melemparkan sebungkus permen beserta surat dari Shifa ke lantai, menepis bayangan obrolanku dengan Pak RT tadi pagi. Permen-permen berhamburan dari kantungnya yang robek. Orang-orang ini memang keterlaluan. Suamiku, dua orang pembantu, warga kampung bahkan juga Shifa, bisanya hanya mengeluh dan mengeluh saja. Aku tidak peduli mereka semua menjauhiku. Selama aku masih punya uang, aku bisa mencari pengganti Imah dan Barjo, aku juga sangat yakin suamiku akan kembali nanti. Dan untuk Pak RT juga warga kampung di sini, aku sudah punya rencana, akan kubuat mereka semua menyesal telah memberiku permen.

***

Puspa Seruni, penulis kelahiran Situbondo, Jawa Timur, yang saat ini menjadi pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Penulis terpilih sebagai Emerging Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2022.

***

 

(12)

Musibat Hemat

Di pertigaan jalan raya kabupaten, ojek-ojek kampung berbanjar. Herman duduk di atas motor bebek yang terbilang tua bila dibandingkan dengan motor kawan-kawan pengojek.

Oleh: GANDI SUGANDI, 24 Desember 2022

Herman berdiri hanya berhanduk di depan bak mandi. Tubuhnya sudah bersih diguyur air dan gosokan dari sabun yang sudah kecil. Rambutnya masih basah, sudah bersampo. Saat hendak menggosok gigi, pasta gigi dalam kemasan plastiknya ternyata tinggal sedikit. Akhirnya, urung menggosok gigi, keluar dari kamar mandi.

Di dapur, Herman berkata pada Iros istrinya, “Pasta gigi mau habis. Paling untuk dua kali lagi pakai. Sisa pasta gigi, buat kau saja. Mau beli lagi, uang tidak ada. Mesti nunggu aku dapat uang lagi dari hasil mengojek.”

“Ya Kang, semoga hari ini dapat rezeki lebih,” jawab Iros.

Usai Herman berganti pakaian, bersiap berangkat.

“Eh, sarapan dulu.”

“Tanggung.”

**

Di pertigaan jalan raya kabupaten, ojek-ojek kampung berbanjar. Herman duduk di atas motor bebek yang terbilang tua bila dibandingkan dengan motor kawan-kawan pengojek. Beberapa saat kemudian, sekitar sepuluh meter menjelang pertigaan itu, satu angkutan pedesaan berhenti. Lalu, turunlah tiga orang penumpang, termasuk seorang pria paruh baya yang hendak menemui anaknya.

Kali ini, Herman yang sedang berada di banjar pertama, otomatis yang mendapat penumpang.

“Ojek Pak?” Herman ramah menawari jasa ojek pada pria paruh baya.

“Iya, saya mau ke Kampung Mekar. Berapa ongkosnya?”

Herman tidak langsung menjawab, berpikir dulu untuk menentukan ongkos karena tahu bahwa calon penumpangnya ini bukan penduduk setempat yang biasa naik ojek, tetapi tamu—lagi pula Herman sendiri sedang butuh uang.

“Berapa?” Pria paruh baya mengulangi bertanya.

Herman sedikit gugup menjawab, “Dua puluh ribu Pak.”

“Bisa kurang?”

“Ya sudah segitu biasanya juga.”

Pengojek ini dan penumpang ini pun sepakat dengan satu harga, tetap di harga dua puluh ribu rupiah. Herman gegas menslag motor bebeknya. Suara mesin pun menderu, motor mulai meluncur ke arah utara ke Kampung Mekar, di atas bukit.

Setelah dua ratus meter, di satu pertigaan jalan, jalanan tersendat. Kendaraan-kendaraan dari arah selatan seperti ojek yang Herman tunggangi, harus menunggu keluar-masuk kendaraan dari belokan jalan sebelah kiri—sebagai jalan masuk ke satu-satunya Puskesmas.

Tak berapa lama, atas jasa pengatur liar lalu-lalang kendaraan, jalanan pun lancar kembali. Herman dan pria paruh baya bisa terus melenggang.

Selama dalam perjalanan, Herman dan pria paruh baya lebih banyak diam.

Rumah-rumah penduduk terus terlewati, kemudian, usai sekira lima belas menit pun berlalu, jalanan mulai menanjak. Di kiri kanan, tanah-tanah yang tertanami aneka sayuran—kol, selada bokor, wortel, lobak—terhampar. Di bidang-bidang tanah lain, palawija seperti kentang, kacang panjang, kedelai, juga terlihat sedang tumbuh subur.

Setelah tiba di depan satu rumah berhalaman luas, berpagar besi hitam, pria paruh baya tiba-tiba teringat petunjuk untuk sampai di rumah anaknya, agar berbelok kiri. Herman pun membelokkan motornya. Setelah lima puluh meter, tibalah pula di tempat tujuan.

Sesuai janji kesepakatan, pria paruh baya membayar dua puluh ribu rupiah. Herman menerimanya dengan senang, lalu berlalu begitu saja.

Nining, anak pria paruh baya, menyambut dengan suka cita.

Nining langsung menanyakan ongkos ojek. “Tadi berapa bayar ojek?”

Pria paruh baya menyebutkan satu angka, membuat Nining menggelengkan kepala. “Kemahalan Pak. Biasanya juga hanya sepuluh ribu. Ya mungkin karena Bapak dianggap tamu.”

“Tadi juga sudah ditawar, ya Bapak kira karena tukang ojek kan orang kecil, akan jujur. Ternyata tidak begitu. Tukang ojek bisa berbohong rupanya.”

“Ya sudahlah Pak. Sudah telanjur.”

Pria paruh baya lalu masuk ke dalam rumah.

Di tengah jalan, di depan satu warung, Herman teringat, pasta gigi sudah mau habis. Motor dihentikannya. Namun, saat mengeluarkan uang di saku, yang hanya ada dua puluh ribu. Herman ragu, hingga akhirnya tidak jadi membeli pasta gigi yang berharga sepuluh ribu rupiah. Motor kembali dilajukan.

Tiba di rumah langsung menuju meja makan. Tertampak tempe dan sayur sop saja. Herman mendadak tertegun, kurang bernafsu untuk menyantap hidangan. Istrinya menegur, “Kenapa Kang, menunya kurang?”

“Bukan.”

“Lalu apa?”

Herman bergeming.

“Kenapa Kang?”

“Ya, tiba-tiba saja barusan aku merasa bersalah karena tadi telah menarik ongkos yang lebih mahal pada satu penumpang yang baru.” “Kan biasanya juga suka begitu?”

“Tidak juga. Ya karena aku sedang butuh uang kan? Iya, kan belum punya pasta gigi. Memang sekarang sedang akhir bulan, sepi penumpang.”

“Tetapi…”

“Tetapi kenapa?’

“Kenapa untuk hari ini, di hati kecilku timbul perasaan bersalah? Mendadak juga aku teringat masa laluku. Ya semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku. Umur orang kan siapa yang tahu.”

“Jangan bicara begitu Kang.”

**

Dua hari kemudian, hari sudah cukup siang, Herman masih saja diam di kamar. Herman sesekali meraung saat nyut-nyut di satu giginya terasa.

“Kau sih, dua hari tidak menggosok gigi, jadinya gigi sakit.” Iros ngomel.

Herman membalas dengan menahan sakit. “Kan aku ingin hemat. Nunggu sampai awal bulan, saat banyak penumpang, baru beli pasta gigi.”

“Iya, tapi kan ini akibatnya. Ya sudah, aku akan ke warung membeli obat. Kau pun bangun, paksakan saja untuk mencari penumpang, supaya tidak begitu terasa sakit giginya.”

Iros pergi ke warung terdekat, berjarak sekitar seratus meter. Herman pun bangun dengan memegangi pipi kanannya menuju dapur. Motor dikeluarkan ke teras depan yang sempit. Mesinnya dihangatkan.

Seraya mendengarkan suara mesin, Herman memegangi kedua pipinya. Sudah banyak bulu yang tumbuh. Dagu dan leher juga dipeganginya, ternyata sama, bulu-bulu sudah cukup lebat.

“Sudah waktunya aku bercukur,” Herman berkata pada dirinya sendiri.

Tanpa memadamkan mesin motor, Herman mengambil alat cukur yang tergolek di bawah kusen jendela muka rumah.

Seperti biasa, spion motor dijadikan cermin. Tertampaklah wajahnya yang kusut, terlihat lebih tua dari umurnya yang sekarang 45 tahun.

Serutan pertama, dimulainya di pipi kanan. Herman mengeluh. “Ya, silet ini sudah tumpul. Mau beli yang baru, mana uangnya? Kan aku harus berhemat.” Meskipun begitu, diteruskannya memaksakan menyerut, hingga di pipi kanan dan di pipi kirinya tak tersisa lagi bulu-bulu.

Serutan terus berlanjut di dagu bawah dan di dagu atas, lalu menyerut kumis—yang sebagiannya sudah berwarna putih.

Saat hendak menyerut bulu-bulu di leher, Herman mendadak ragu: silet sudah tumpul, apakah ini akan baik-baik saja? Ah, tapi barusan juga hasil serutan, lancar saja, meskipun hasilnya tidak secepat dengan silet tajam.

Alat cukur mulai ditempelkan di leher kiri, serutan mulai dilakukan. Berlembar-lembar bulu pun berjatuhan. Usai berkali-kali menyerut, di leher kiri pun bersih, tak ada lagi bulu.

Menyerut kini akan beralih ke leher sebelah kanan. Serutan pertama agak tertahan, ya karena silet sudah tumpul. Herman memaksakan menyerut dengan lebih menekan silet ke dalam kulit.

“Ah!” Herman tiba-tiba memekik, serutan silet mengenai lehernya. Darah pun menetes, mengucur, mengenai bajunya.

Iros, pun tiba pula di teras depan—pulang dari warung—langsung menjerit mendapati suaminya sedang mengaduh-aduh seraya memegangi lehernya yang penuh darah.

Jeritan Iros terdengar tetangga-tetangga, juga Pak RT yang rumahnya berhadapan dengan Herman. Pak RT gegas menolong, dengan mobil pick upnya membawa Herman ke Puskesmas. Iros dan beberapa orang tetangga ikut serta.

Tiba di Puskesmas, Herman dibawa ke ruang UGD.

Beberapa saat kemudian, dokter jaga Puskesmas menemui Iros. Katanya, “Herman selamat, goresan silet tidak dalam, tidak mengenai arteri carotis. Tadi Pak RT gesit, langsung membawa ke sini, jadi tidak banyak darah yang keluar. Kalau banyak darah yang keluar, entahlah..”

Bandung, Juni 2022

***

Gandi Sugandi. Penulis adalah alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan PHermangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.

***

(13)

Lelah Digantung

Kau menundukkan kepala seakan tidak ada daya. Tangan kananmu langsung meraih teh manis dingin. Tiga tegukan cukup menyegarkan kerongkonganmu yang kering sejak tadi.

Oleh: LIA LAELI MUNIROH, 29 Desember 2022

Sedikit pun kau tak memedulikan peluh yang membintik di wajahmu. Sepeda kumbang yang kau kayuh terpaksa kau hentikan saat mendekati jembatan. Kau khawatir terjerumus pada kayu-kayu yang mulai tak utuh. Kedua tanganmu memegang setang sepeda. Dengan sekuat tenaga kau menaikkan sepeda itu menaiki jembatan gantung penghubung dua kampung.

Sesekali kedua matamu tertuju ke dasar sungai yang berjarak sepuluh meter ke bawah. Suara air sungai seolah menjadi penghibur jiwamu. Isi tempurungmu masih memikirkan kepala sekolah baru. Ucapannya begitu menusuk ruang hatimu. Kau mengakui kelemahanmu. Lebih dari dua dekade kau bolak balik melewati jalan setapak. Pengabdianmu seolah tak ada harganya. Tiba-tiba kau disuruh berhenti mengajar.

Air jernih di dasar sungai sudah tak terlihat. Kau baru sampai di ujung jembatan yang membentang lebih dari sepuluh meter. Kerudungmu berkibar terbawa desau semilir angin yang menerpa wajahmu. Kau mengusap keringat. Hampir satu jam kau berjalan. Warung Bi Mun selalu menjadi tempatmu melepas dahaga sebelum kau melanjutkan perjalananmu menuju rumah.

”Wajahmu kok murung, Mar?”

Kau baru saja meletakkan sepedamu di bawah pohon kersen. Kau selalu menyandarkannya di sana. Baru saja pantatmu menyentuh bangku kusam.

”Aku disuruh berhenti ngajar oleh kepala sekolah baru. Katanya aku gaptek dan ….”

Kau tidak melanjutkan ucapanmu. Sudut matamu mulai mengembun. Kau memang tampak akrab dengan Bi Mun. Hampir tiap hari kau selalu singgah ke warungnya sebelum pulang ke rumah.

”Apa benar? Kepala sekolah itu tak punya hati, apa?”

Ucap Bi Mun sambil menyimpan segelas teh dingin di atas meja. Mereka duduk saling berdampingan.

Kau menundukkan kepala seakan tidak ada daya. Tangan kananmu langsung meraih teh manis dingin. Tiga tegukan cukup menyegarkan kerongkonganmu yang kering sejak tadi. Isi tempurungmu masih terus memikirkan ucapan kepala sekolah muda yang baru diangkat. Gaya dan sikapnya yang meninggi membuat Marni tidak betah lagi di sekolah. Padahal, ia adalah guru paling lama mengajar di sana.

Kau kembali meraih gelas yang tinggal berisi air teh setengahnya. Sementara Bi Mun, menatapmu dengan penuh tanya. Dari sudut matamu menggelinding bulir bening menuruni sisi pipimu. Kau mengusapnya dengan ujung hijabmu yang tak lagi cerah.

”Kau menangis, Mar?”

Bi Mun meraih kedua tangan Marni. Seakan merasakan kesedihan yang melanda, Bi Mun mencoba mencari tahu masalah Marni. Baginya ia adalah guru paling sabar mendidik anak-anak kampungnya. Bi Mun tahu betul bagaimana Marni mengajar dengan sabar, terlebih anak kelas satu yang belum bisa membaca dan berhitung. Anak Bi Mun hingga cucunya yang kelas dua turut diajari oleh Marni.

”Aku akan dikeluarkan kayaknya, Bi.”

Bi Mun penasaran dengan kepala sekolah yang baru.

”Bukannya negara yang berhak menghentikan Guru mengajar, bukan kepala sekolah?”

”Negara juga tidak peduli nasibku, Bi.”

”Sabar aja. Nanti juga ada di pengangkatan pegawai.”

”Udah capek aku ikut testing, Bi. Hampir dua puluh tahun tetap saja gaji kecil.”

Bi Mun memalingkan muka. Ia semakin paham apa yang dirasakan Marni. Hatinya ikut teriris. Puluhan Tahun mengajar tanpa ada harganya. Terlebih datang kepala sekolah baru yang menekan akan mengeluarkannya dari sekolah. Tentu Marni tidak terima. Hanya karena Marni gaptek. Memang karena kemajuan teknologi semua guru dituntut harus peka dengan kemajuan. Sementara Marni masih mengajar dengan metode lama.

”Yowis, Bi. Jangan cerita siapa pun. Aku pulang dulu.”

Bi Mun mengangguk. Dadanya ikut sesak menyaksikan Marni memegangi sepeda kumbangnya. Bi Mun tahu persis siapa Marni. Anak yatim yang di sekolahan oleh pak haji Kosim hingga ia dapat mengajar sekolah dasar di kampungnya. Ia menikah dengan seorang kepercayaan pak haji Kosim. Namun, berpuluh tahun mengabdi belum ada tanda-tanda ia akan diangkat jadi pegawai negeri. Langkahnya pelan meninggalkan warungnya hingga punggungnya tak terlihat lagi di belokan.

***

Mentari belum menetas, Bi Mun sudah bergegas membuka warungnya. Setiap pagi selalu ramai didatangi para pelanggannya. Orang-orang yang hendak ke sawah singgah terlebih dahulu di warungnya meski sekadar minum kopi dan pisang goreng. Pun para guru di sekolah dasar dan pegawai kelurahan sering nongkrong di warungnya barang sejenak. Bi Mun terkenal dengan pisang goreng lampenengnya yang pulen. Hampir tiga hari Bi Mun terganggu pikirannya. Batang hidung Marni belum pernah tampak. Atau sekadar lewat ke depan warungnya. Tak pernah terlihat.

Dari balik jajanan yang tergantung pada tali rapia. Bi Mun menelisik di antara para pelanggannya. Tebakannya benar. Orang yang sedang menyantap pisang gorengnya adalah Kurdi suami Marni. Bi Mun gegas keluar warungnya lalu menarik baju Kurdi pelan. Kurdi yang sedang menikmati pisang goreng seketika terkejut. Kurdi memahami kode Bi Mun untuk mengikutinya ke belakang warung.

Di atas sebuah bangku yang terbuat dari tiga batang bambu mereka duduk berdampingan.

”Marni ke mana, Bibi jarang melihatnya lewat mengajar.” Tanpa basa basi Bi Mun langsung menyemprot Kurdi dengan pertanyaan.

”Ada di rumah. Ia ingin berhenti mengajar.”

”Kenapa?” Bi Mun pura-pura tidak tahu masalahnya.

”Katanya disuruh kepala sekolah baru tidak perlu mengajar lagi. Aku sih senang aja Bi. Ada bojo di rumah. Biar aku pulang gawe ada yang siapin makan. Ngajar juga gajinya tidak seberapa. Lebih gede gaji babu di rumah Pak Haji Kosim.”

”Sayanglah … sudah ngajar puluhan tahun, kok malah berhenti. Siapa tahu ada pengangkatan pegawai. Kasih semangat bojomu, Di.”

”Jangan mimpi, Bi. Jaman sekarang engak ada yang gratis jadi pegawai. Kalo harus nyogok juga kami engak bakalan mampu.”

”Lah, jangan nyogok, Di.”

”Ya, habis bagaimana? Udah ya Bi. Aku mau kerja ke tempat Pak Haji Kosim. Takut kena semprot kalo terlambat datang. Aku ngutang dulu hari ini. Kopi sama dua pisang goreng.”

Bi Mun mengangkat kedua alisnya sambil geleng-geleng kepala menatap Kurdi berlalu meninggalkannya. Kasian Marni, batinnya.

***

Lia Laeli Muniroh,Pegiat literasi dan penikmat sastra. Tulisannya tersebar di beberapa buku antologi cerpen dan media massa seperti Kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, dan Cendana.com. Domisili di pesisir pantai Pangandaran, Jawa Barat.

***

(13)

Tarian Kelelawar Biru

Abu Hasaant tidak berusaha menyelamatkan penduduk yang terluka. Ia malah mengumpulkan selongsong peluru yang ditembakkan tentara tzahal.

Oleh: RISDA NUR WIDIA, 31 Desember 2022

/1/ Tangisan Sebutir Peluru

Semua orang di Rafah, wilayah sekitar Gaza, mengenal baik Abu Hasaant. Ia orang baik, tapi sering berpikiran tak masuk akal setelah putrinya, Ammal, terkena peluru nyasar seorang Tzahal di suatu siang. Dari kejadian itu, setiap kali selesai serangan mendadak dari Tzahal ke permukiman penduduk, Abu Hasaant akan datang memeriksa tempat serangan. Di sana Abu Hasaant tidak berusaha menyelamatkan penduduk yang terluka. Ia malah mengumpulkan selongsong peluru yang ditembakkan tentara Tzahal.

Orang-orang di Distrik Rafah tidak mengerti mengapa peluru-peluru itu dikumpulkannya. Padahal selongsong itu tidak laku dijual di pasar loak mingguan yang tidak jauh dari kamp-kamp pengungsian Nusseirat.

”Apa gunanya mengumpulkan selongsong peluru kosong?” Ismail pernah bertanya kepada Abu Hasaant. ”Kau hanya memenuhi dirimu dengan sampah.”

”Ini bukan sampah,” jawab Abu Hasaant. ”Ini harapan.”

”Harapan?” Ismail kebingungan. ”Harapan bagaimana?”

”Harapan yang disalah gunakan manusia,” lanjut Abu Hasaant.

”Kau gila!” Ismail sedih melihat kawannya itu.

”Sulit menjelaskannya kepadamu,” Abu Hasaant menjawab dengan senyum. ”Aku ingin mengurus ceceran harapan ini, lalu menguburnya.”

”Jadi kau mengubur peluru-peluru itu layaknya manusia?” tanya Ismail lagi.

”Oh, terserah apa yang akan kau katakan nanti,” pekik Abu Hasaant. ”Tapi aku sering mendengar mereka menangis.”

Ismail tidak peduli dengan penjelasan Abu Hasaant. Ismail menganggap kalau Abu Hasaant sudah senewan seperti yang sering dikatakan oleh penduduk Distrik Rafah.

Ismail berlalu dengan mengumpat-umpat melihat tindakan Abu Hasaant yang konyol. Sedangkan Abu Hasaant tenang mengumpulkan ceceran selongsong peluru, sambil menahan pedih di hatinya mendengarkan tangisan pilu para selonsong dan mata peluru.

/2/ Permintaan Maaf Sebutir Peluru

Tidak ada satu orang pun yang percaya bahwa ia sering mendengar peluru-peluru itu menangis. Pertama kali Abu Hasaant menyadari kalau peluru itu juga memiliki perasaan seperti manusia terjadi setelah putrinya tertembak secara tidak sengaja tak jauh dari Masjid Abu Alif Rafah. Putrinya waktu itu baru saja pulang dari toko kue yang berada di Jalan Al-Imam Ali, setelah sebelumnya membeli kue baklava. Putrinya tertembak di bagian dada.

Dokter yang mengurus tubuh Amal berhasil mengeluarkan peluru tersebut. Cuma dokter itu tidak mampu menyelamatkan nyawa anaknya dari kehabisan darah dan kerusakan organ.

”Tuhan lebih mencintai putrimu untuk menghuni surga,” jelas si dokter.

Abu Hasaant segera menangis mendengar putrinya meninggal. Bahkan tangisan itu tidak berhenti setelah pemakaman putrinya selesai di kompleks makam Al-Hikmah.

Abu Hasaant sangat terpukul dengan kematian anaknya. Ia merasa bersalah tidak mengantarkan anaknya untuk mencari kue kesukaannya tersebut—karena sebenarnya si anak sempat minta diantarkan, tapi Abu Hasaant malah sibuk mengecat dinding rumahnya.

Setelah sepanjang hari mengikuti upacara pemakaman anaknya, Abu Hasaant mengurung dirinya di kamar. Di tengah rasa sepi hatinya, Abu Hasaant mendengar tangisan lain dari dalam sakunya.

”Apakah benar peluru ini menangis?” Abu Hasaant kebingungan. ”Aku salah dengar?”

”Kau bisa mendengar tangisanku?” tanya si peluru.

Abu Hasaant tercenung cukup lama dengan kejanggalan itu. Apalagi kini peluru itu berbicara dengannya.

Abu Hasaant seketika berpikir: kesedihan membuatnya gila. Ia pun segera meletakkan peluru itu dengan hati-hati di depannya. Kemudian Abu Hasaant menampar wajahnya sebanyak tiga kali.

”Apakah aku benar-benar bisa mendengarkan peluru ini menangis?” Abu Hasaant bingung.

”Ya tangisan itu adalah tangisanku,” sahut si peluru. ”Jadi kau bisa mendengarkan suaraku?”

”Aku bisa mendengarkannya,” Abu Hasaant merasa berhalusinasi.

”Maafkan aku,” segera peluru itu memekik keras. ”Maafkan aku telah membunuh anakmu. Tapi aku tak pernah ingin membunuhnya.”

Peluru itu kemudian menceritakan kepada Abu Hasaant apa yang sebenarnya terjadi.

Peluru itu memang sengaja ditembakkan untuk menciptakan keributan di tengah keramaian pada Jalan Al-Imam Ali di tengah pasar tradisional Al-Burjh. Salah seorang Tzahal yang waktu itu ditugaskan untuk menyamar menjadi masyarakat sipil, menembakkan secara serampangan peluru tersebut, hingga akhirnya mengenai Amal. Si bandit kemudian pergi dengan mobil kapsul hitam bersama kawannya.

”Aku memang diciptakan untuk membunuh,” ungkap si peluru. ”Tapi aku tidak pernah ingin membunuh.”

”Kau tidak bersalah.” Abu Hasaant tiba-tiba mengatakan itu. Padahal hatinya sangat sedih. ”Manusialah yang bersalah. Mereka berperang demi kepentingan pribadinya.”

Peluru itu sekali lagi meminta agar Abu Hasaant memaafkannya. Abu Hasaant segera mengabulkan permintaan itu.

”Tangan manusialah menciptakan kehancuran,” desis Abu Hasaant begitu murung.

”Dan tidak ada yang salah dari seluru benda ciptaannya.”

Peluru itu menangis cukup lama dengan Abu Hasaant. Tangisan mereka terdengar begitu menyedihkan bagi siapa saja yang mendengarnya dari luar pintu apartemen Abu Hasaant.

Setelah cukup lama mereka menangis, si peluru meminta kepada Abu Hasaant untuk menguburnya di suatu tempat agar dapat istirahat dengan tenang. Selain itu, si peluru juga meminta kepada Abu Hasaant untuk mengubur peluru-peluru lainnya bila kelak ia bertemu di suatu tempat.

”Dengan menguburnya, semua rasa bersalah dari kekejaman yang telah kami ciptakan dapat sedikit teredam,” jelas si peluru. ”Jadi mohon kabulkanlah permintaanku ini.”

Abu Hasaant mengangguk dan melakukannya.

/3/ Peluru dan Kepak Kelelawar

Hari berikutnya, setelah Abu Hasaant mengubur peluru yang membunuh anaknya, secara ajaib dari gundukan kuburan peluru itu keluar seekor kelelawar bercahaya biru. Kelelawar itu terbang ke langit Gaza.

”Apa aku tidak salah lihat?” desis Abu Hasaant. ”Peluru itu berubah menjadi kelelawar.”

Dari kejadian tidak masuk akal tersebut, Abu Hasaant mulai mengumpulkan selongsong atau mata peluru sisa peneyerangan yang ditemukannya secara tak sengaja. Demikianlah malam itu adu tembak antara Tzahal dan kelompok perjuangan lokal di dekat kompleks apartemennya kembali terjadi.

Memasuki pukul 12 malam, rentetan tembakan mulai sayup terdengar. Tidak segaduh sebelumnya. Tapi suara-suara menyedihkan lain dari para peluru mulai terdengar.

”Aku mulai mendengarkan tangisan peluru,” desis Abu Hasaant. ”Pasti ada ratusan peluru yang secara terpaksa membunuh seseorang malam ini.”

Sebuah peluru tiba-tiba nyasar mengenai kaca apartemen Abu Hasaant. Ia kemudian mendengar sayup-sayup pekik tangisan dari peluru itu. ”Kau baik-baik saja bersamaku,” tenang Abu Hasaant.

”Aku sumber petaka!” peluru itu merengek. ”Dunia ini hancur karena aku.”

”Tidak,” Abu Hasaant menenangkan. ”Kau adalah harapan manusia yang disalahgunakan.”

Setelah menunggu sekitar satu jam, hingga Abu Hasaant sendiri tertidur di kolong kamarnya, pertempuran dua kubu itu berakhir. Abu Hasaant pun pelan-pelan mulai keluar dari apartemennya. Ia mencoba mengais-ngais peluru yang dapat dijangkaunya dengan mudah di sekitar apartemen.

”Seharusnya para pasukan itu sudah pergi meninggalkan tempat ini,” Abu Hasaant tetap memasang sikap hati-hati. ”Malam ini aku akan menolong kalian.”

Abu Hasaant saksama mencari mata peluru atau selonsong peluru di bawah kakinya. Setiap kali Abu Hasaant menemukannya, ia selalu mendengar tangisan dan kutukan sesal.

”Aku telah membunuh orang,” tangisan sebuah peluru. ”Aku membunuhnya.”

Abu Hasaant menghampiri sisa mata peluru itu. Ia kemudian berusaha menghiburnya.

”Kau adalah sosok baik,” lerai Abu Hasaant. ”Kau tidak pernah salah.”

Ia dengan lembut memasukkan mata peluru itu ke kantong merah yang selalu dibawanya ke mana-mana.

Setelah kantong itu penuh dengan selongsong atau mata peluru, Abu Hasaant membawanya pulang. Namun malam itu, tanpa disadari oleh Abu Hasaant, ada sesuatu yang menunggu nasibnya. Seorang mata-mata zionis yang sudah membaca kisah hidupnya di koran lokal Knesset, berusaha mencari tahu perbuatan Abu Hasaant.

”Ada yang mengikutimu,” kata salah satu peluru dari kantung merahnya. ”Mereka mungkin ingin berbuat jahat kepadamu.”

Abu Hasaant yang mengetahui segera berlari menuju apartemennya. Mata-mata yang mengikutinya kaget. Si mata-mata akhirnya menembak mati Abu Hasaant.

/4/ Para Peluru Mengantar Abu Hasaant ke Surga

Sepanjang malam, mayat Abu Hasaant hanya dibiarkan teronggok—setelah tertembak—tanpa ada yang mengetahuinya. Anjing-anjing liar bahkan sempat ingin memakannya. Seluruh peluru yang dikumpulkan Abu Hasaant segera melindunginya dan menangis histeris mengetahui Abu Hasaant mati.

”Dunia ini bukanlah tempat bagi orang-orang sepertinya,” kata setiap peluru di sana.

”Ia lebih pantas di surga.”

”Kita harus mengantarkannya ke surga,” tambah para peluru lain. ”Kita harus menempatkannya di dekat Tuhan.”

Selonsong dan mata peluru yang jumlahnya puluhan seketika menjadi kelelawar bercahaya biru. Kelelawar itu syahdan merubung mayat Abu Hasaant, hingga tubuh itu menjadi serpihan abu berwarna biru yang perlahan-lahan hanyut diembus angin ke langit dengan para kelelawar. (*)

***

Risda Nur Widia. Kini sedang kuliah S-3 di Pendidikan Bahasa Indonesia UNY. Buku kumpulan cerpen tunggal Berburu Buaya di Hindia Timur (2020).

***

 

(14)

Teror Kenapa

Cerita itu saya tulis setelah nguping berita yang didengarkan istri saya dari “Youtube” tentang transplantasi wajah dan kepala yang sedang ditekuni RRC yang ingin unggul di segala aspek.

Oleh: PUTU WIJAYA, 27 Desember 2020

Setelah membunuh musuh, aku merasa bertanggung jawab untuk merawat bayi yang ditinggalkannya. Orok itu tidak harus menanggung dosa orangtuanya. Aku setuju dengan Kahlil Gibran yang membelajarkan kita melihat anak bukanlah milik kita, tapi titipan Tuhan. Lalu kulindungi, kurawat, kutumbuhkan, kukembangkan dan kubelajarkan anak- itu di tempat terbaik yang tak akan mungkin diinjaknya kendati pun orang tuanya berusaha setengah mati.

Alhamdulillah ia cemerlang, siap jadi orang dengan prospek yang sangat meyakinkan. Ia nampak bahagia dan aku pun bangga. Hanya ada bisul bernanah di batinku yang hampir pecah. Aku merasa berdosa. Aku tak berhak membutakan mata calon bunga bangsa itu selamanya. Aku baru puas tuntas kalau sudah berterus-terang menceritakan siapa sebenarnya dia dan siapa sejatinya aku.

Setelah 25 tahun mengunci misteri, pada suatu hari aku ajak dia sarapan pagi. Lalu kubuka kedokku. Sambil meletakkan pistol di atas meja. Senjata yang dulu kupakai menghabisi orangtuanya. Dengan sebuah peluru di dalamnya yang bisa ia tembakkan ke kepalaku, aku kira itu hadiah yang pantas. Karena aku telah membunuh orang yang tak bersalah. Kemudian aku paparkan secara rinci dosaku. Semua terkuras sehingga aku merasa plong.

Aku tahu ia akan meledak terkejut tetapi aku siap. Tak ada yang lebih membahagiakan dari berhasil mampu, berani menelanjangi semua dosa tanpa ada yang memaksa. .Seperti kembali dilahirkan, setelah pengakuan habis itu, aku merasa segar. Ekstase. Tapi apa yang kemudian terjadi begitu aneh. Setelah mendengar pengakuanku, putera musuhku dan kini putraku, diam lama sekali.

Ketika kemudian menatapku, ya Tuhan, aku tak pernah melihat pandangan mata yang begitu pedih. Dan itu ganjaran yang sangat setimpal dengan dosaku.

Aku sudah tahu, katanya dengan suara bergetar.

Aku terkejut.

Tahu?

Ya, aku tahu, Pa. Aku sudah tahu.

Kemudian air mata menetes deras di pipinya.

Aku sudah tahu, Papa, aku sudah tahu. Tapi kenapa Papa bilang itu padaku?

Aku tersirap. Sebelum aku bisa menjawab, dia meraih pistol lalu menembak kepalanya sendiri.

PAIJO

Paijo memiliki wajah keren dan tubuh yang ideal. Yang tak dimilikinya hanya keberuntungan hidup. Anaknya 5, masih remaja semua. Seperti bapaknya anak Paijo semua memiliki wajah dan tubuh kelas satu. Tapi sama dengan bapaknya, masa depan kelimanya gelap.

Paijo jadi stres. Untung ia buka Youtube tentang transplantasi wajah dan kepala. Ia jadi dapat inspirasi. Dengan tabungan hasil narik becak 3 bulan, ia pasang iklan menawarkan wajah dan tubuhnya untuk ditransplantasi asal biaya hidup dan pendidikan kelima anaknya sampai semua lulus S1 ditutup.

Tak terduga melihat tampang dan potongan Paijo seabrek peminat menjawab. Hanya malangnya, peminat merasa wajah dan tubuh Paijo walau selangit, sudah agak ketuaan. Mereka ingin wajah dan tubuh remaja, yang sesuai dengan anak mereka yang akan memakainya. Mengenai teken prestasinya buat pendidikan sampai S1, no problem.

Paijo jadi bingung sekali. Setelah seminggu mengalami tekanan batin sampai beratnya amblas 10 kg, malam itu Paijo mengumpulkan kelima anaknya. Ia ajak bicara dan bercanda sampai jauh malam, untuk memilih anak yang mana yang akan dijadikannya pahlawan untuk menyelamatkan yang lain.

Besok pagi adalah hari penentuan. Sampai dinihari ia tidak tahu yang mana pilihannya. Dan akhirnya ia tertidur kecapaian, tanpa mengetahui kelima anaknya juga sudah tahu mereka sedang dites untuk dipilih. Bahkan juga sudah punya inspirasi yang akan mereka laksanakan sebelum fajar.

Cerita itu saya tulis setelah nguping berita yang didengarkan istri saya dari “Youtube” tentang transplantasi wajah dan kepala yang sedang ditekuni RRC yang ingin unggul di segala aspek. Tapi di endingnya saya berdebat keras dengan diri saya sendiri. Apa Paijo akhirnya akan asal tunjuk salah satu anaknya demi menyelamatkan empat lainnya atau anaknya membunuh Paijo. Lalu pesan moralnya apa. Apa hanya bikin teror dan menjaring banyak peminat seperti yang dilakukan stasiun TV. Saya tak punya nyali untuk memutuskan. Akhirnya saya berhenti di situ dan menyerahkan keputusan pada pembaca. Lalu tidur. Subuh saya terbangun. Setelah berdebat kembali, saya ambil keputusan sebagai berikut:

Tidak seorang pun dari kelima anak Paijo itu rela salah satu dari mereka jadi korban. Meskipun dimuliakan dengan gelar pahlawan.

“Kami memang berlima tetapi satu. Kami harus tetap terus satu berlima.”

Sebelum fajar bangkit, hanya dengan mengenakan pakaian yang melekat di tubuhnya kelimanya kabur meninggalkan rumah dengan sebuah pesan:”Jaga kesehatan, Pak. Kami semua sayang. Bapak. Jangan cemaskan kami, kami akan berjuang.”

HOAKS

Sebagai Wakil Warga, aku setuju pada komitmen “pamit-mati”. Aku bukan menggantikan warga, tapi mengabdi warga. Pamrih pribadiku sudah dibasmi, aku seratus persen membela kepentingan warga. Karena itu, ketika meledak kabar di Dusun X ada ayam ajaib yang bisa bicara dan memberikan hoki bisa jadi mendadak kaya, aku langsung mau bertindak. Sebab itu pasti hoaks. Tapi karena urusan numpuk sebagai Wakil Warga, rapat ini-itu, studi banding ke sana-kemari, setahun misi pembersihanku baru terlaksana.

Supaya bisa menangkap tangan basah, aku berangkat malam. Subuh tiba dan langsung mau melabrak rumah hoaks itu. Tapi antrean sudah 1 Km. Warga bisa ngamuk kalau aku nyerobot masuk. Aku tahan emosi dan pasang strategi. Kalau mereka tahu aku WW, aku takut mereka cepat menghilang. Setelah 3 hari menunggu, akhirnya aku dapat giliran masuk ketemu ayam keparat itu di dalam sebuah kamar yang didandani dramatis.

Aku tak bisa menahan marahku. Kewarasan/kebenaran harus ditegakkan! Aku dekati ayam itu dan cekek sampai mampus. Langsung keluar dan kabur. Di tengah jalan pulang, entah kenapa mobilku mogok. Terpaksa bermalam. Esok paginya sebelum berangkat pulang, aku berak di kali. Tiba-tiba hanyut bangkai seekor ayam. Entah kenapa bangkai ayam itu nyangkut dekat pantatku. Ketika aku selidiki, ternyata itu ayam yang kucekek kemarin.

Aku tertawa puas terbahak-bahak. Misiku membebaskan warga dari tahyul, berhasil. Tapi dalam perjalanan pulang, aku terkejut. Dusun super minus di lepitan bukit kering kerontang itu, sudah berubah. Jalanan beraspal, sepanjang jalan banyak penginapan dan rumah makan. Bahkan ada hotel bintang lima sedang dibangun.

Jalanan ramai kendaraan mengangkut wisatawan yang ingin dapat hoki dari ayam ajaib itu. Ternyata Dusun X jadi makmur dan penduduknya yang miskin kini rata-rata punya penghasilan. Mentalku jadi terteror. Sampai di rumah sudah banyak wartawan menunggu. Aku juga sudah dicanangkan akan diwawancarai TV. Setelah merenung dalam, aku bikin pernyataan.

“Di luar dugaan kita, Dusun X maju karena penduduknya sudah bosan miskin. Wisata kuliner dan keramahan penduduknya membuat mereka maju. Tentang ada hoaks ayam ajaib, itu mungkin ekspresi keirian dusun lain melihat Dusun X begitu maju!”

Pernyataanku membuat Dusun X makin malangit. Maka datanglah godaan setan. Istriku mengadu, Kepala Desa Dusun X diam- diam datang memberikan amplop tebal. Aku jadi ngamuk.

Kembalikan teriakku, kesetanan.

Istriku kaget.

Lho, kok dikembalikan, 1 M Bang!

Aku terkejut, 1 M?

Ya, Bang! Satu M!

Suara istriku gemetar. Aku tambah marah.

Gila! Kenapa hanya satu, bukan tiga atau lima M?

Jkt, 2018/19

*****

Putu Wijaya,  lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, dan lakon.

*****