Kumpulan 12 Cerpen, November 2022

(1)

Perempuan yang Menunggu Hujan

Perempuan itu tersenyum. Terkikik lagi. Air menetes dari rambut dan bulu matanya. Dia mengelap tetesan air hujan itu dengan punggung tangannya sambil tetap terus berjalan.

Oleh: RIDA K LIAMSI, 27 November 2022

Setiap langit mendung dan tebal, perempuan itu pergi ke ujung pelantar rumahnya. Dia duduk menatap langit, menunggu hujan turun sambil mendengar suara gemuruh ombak.

Dia berharap hujan segera turun dan ingin merasakan tajamnya jarum air menerpa kepalanya, tubuhnya. Jarum air hujan yang membangkitkan endapan memori di kepalanya. Begitu jarum hujan itu menyentak akar rambutnya, pikirannya seperti mesin akan membangkitkan sensasi kenangannya.

Tubuhnya terasa berdenyar dan seperti ada geliat halus merayapi energi hidupnya. Dia akan segera memejam matanya, dan merasakan sensasi jarum hujan itu menjelajah pembuluh darahnya.

Malamnya dia akan demam dan mengigau. Tapi besok pagi, dia akan bangun dengan penuh ceria. Bernyanyi di kamar mandi dan di meja makan. Dan di jalanan menuju tempat kerjanya.

Dulu, dulu sekali, saat hujan sore, jarum hujan itulah yang mempertemukannya dengan lelaki itu. Lelaki yang dia tak pernah tahu namanya, kecuali lelaki itu adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Lelaki yang senyum dan tatapan matanya teduh, yang menurutnya, satu-satunya lelaki yang pernah menggetarkan hatinya.

Lelaki itu sedikit lebih tua darinya, tapi sangat tampan. Mereka selalu berpapasan di jalan. Lelaki itu selalu tersenyum. Melambaikan tangannya. Dan entah mengapa, setelah beberapa kali berpapasan dan berbalas senyum, dia merasa ingin terus bertemu, tiap hari. Ingin menyapanya meski dia takut jika sapaannya diabaikan. Dia takut nanti akan ditertawakan. Karena itu, dia membiarkan saja wajah tampan, berwibawa itu, mengendap di hatinya. Membiarkannya jadi mimpi-mimpi dalam tidur. Membiarkan jadi semacam gairah yang tersembunyi, yang bangkit dari senyum, anggukan kepala, dan lambaian tangan.

Satu ketika perempuan itu berjalan dalam hujan, hujan sore. Renyai. Rambutnya basah. Baju dan celana jinsnya juga sudah mulai lembap. Tiba-tiba lelaki itu berada dan berjalan di sisinya. Rambut dan tas punggungnya juga basah. Perempuan itu menoleh, menatap mata teduh lelaki itu, dan tersenyum.

”Mengapa tidak pakai payung?” lelaki itu menyapanya. Perempuan itu terkejut dan lelaki itu menatapnya. ”Tidak takut sakit?”

”Lupa bawa payung…. Gak apa-apa, nanti di rumah juga mandi.”

”Tapi hujan bisa bikin masuk angin.”

”Masuk angin? Saya suka. Soalnya ada kesempatan tidak masuk kerja, alasan sakit. Bosan juga kerja sepanjang hari, sepanjang minggu. Berdiri lagi.”

”Hemm kamu pramuniaga di mal seberang jalan raya itu kan. Seberang sekolah swasta itu kan?”

”Memangnya kenapa? Kamu gak suka sama pramuniaga?” perempuan itu mendelik dan terkikik.

”Siapa bilang gak suka. Saya suka kok. Pramuniaga itu murah senyum. Sepanjang hari tersenyum dan sabar. Bayangkan ada yang mau belanja, sudah bongkar-bongkar semua barang yang dipajang, lalu gak jadi beli. Tapi pramuniaga tetap aja tersenyum. Malah masih menyarankan untuk melihat lainnya,” kata lelaki itu sambil memeragakan gaya dan kelakuan si calon pembeli yang asyik memilih dan menawar.

Perempuan itu tersenyum. Terkikik lagi. Air menetes dari rambut dan bulu matanya. Dia mengelap tetesan air hujan itu dengan punggung tangannya sambil tetap terus berjalan. Dan lelaki itu juga terus berjalan di sampingnya.

Dari jalan aspal sampai ke jalan tanah, mereka bercakap-cakap. Tersenyum. Terkikik. Dan tak sadar kalau sudah tiba di ujung jalan tanah. Di sisi sebuah lapangan sepak bola yang sudah dipenuhi rumput. Alang-alang hijau yang ujung daunnya runcing dengan bunga bunga putih yang berombak.

”Ok, kita sudah di ujung jalan. Mau ke mana lagi? Ini kan sudah di ujung kampung….” Lelaki itu bertanya sambil menatap mata perempuan itu. Perempuan itu tersenyum. Mengibas rambutnya yang basah dan menjuntai di bahunya.

”Entah. Tapi saya kepingin duduk dalam hujan di lapangan bola itu. Kamu mau ikut duduk dan menikmati hujan? Atau mau pulang ? Silakan. Saya masih mau berhujan, supaya masuk angin. Supaya besok tidak kerja.” Perempuan itu tertawa memamerkan baris gigi putihnya. Sementara lipstiknya mulai luntur.

”Oh ya? Kalau begitu saya mau juga berhujan-hujan di lapangan ini. Ikut kamulah. Tapi, kamu harus cerita ya supaya hujannya gak terasa dinginnya.”

”Cerita? Tentang apa? Tentang pramuniaga?”

”Tentang apa saja. Asalkan tentang kamu.”

”Iiih, emang cerita tentang apa yang menarik dari perempuan yang sekolahnya cuma sampai SMA? Kamulah yang cerita. Kan punya pengalaman jadi guru. Kan katanya Sarjana Pendidikan juga? Katanya, perantau dari Jawa?”

Mereka duduk di rerumputan lapang bola itu. Sesekali di langit tampak kilat dan suara petir.

”Lapangan terbuka, dalam hujan, ada kilat, berbahaya. Bisa disambar petir,” kata lelaki itu.

”Ada tiang gawang. Lebih tinggi dari kita. Ada besi penghubung siku-sikunya. Petirnya akan menyambar besinya, bukan kita.”

Mereka tertawa. Dan terus berbicara. Tentang apa saja. Meski sesekali perempuan itu menggeletuk. Perempuan itu mulai kedinginan. Kemudian dia menggosok gosok telapak tangannya, mencari rasa hangat. Dan meniup-niup genggaman tangannya. Membuka telapak tangan dan mengusap mukanya untuk mengurangi rasa dingin.

”Kenapa? Dingin?” Lelaki itu kembali menatap perempuan itu. Tiba-tiba lelaki itu menyorongkan tangan kanannya. Menggenggam jari-jari perempuan itu. Membagi hangat tubuhnya.

Perempuan itu seperti terkejut. Menoleh dan tiba-tiba juga menggenggam jari-jari lelaki itu. Dia merasakan energi gairah menjalar melalui sentuhan dan rasa hangat yang menerobos pori-pori jarinya. Terus naik ke tubuhnya. Ke kepalanya, ke ubun-ubun. Ke helai rambut. Ke pikirannya yang mulai galau.

Lelaki itu mendekatkan tubuhnya. Merapatkan sampai bahu mereka bersentuhan. Dan perempuan itu merebahkan kepalanya ke bahu laki-laki itu. Lelaki itu memindahkan tangannya yang sebelah kiri mengganti tangannya sebelah kanan. Menggenggam jari-jari tangan perempuan itu. Kemudian lelaki itu memindahkan tangan kanannya, memeluk pinggang perempuan itu.

Tiba-tiba mendung pergi. Renyai beranjak teduh. Dan sayup-sayup terdengar suara azan magrib. Mereka terbangun. Merapikan pakaian. Berdiri. Meninggalkan lapangan sepak bola. Tanpa bicara. Saling menjeling. Saling tersenyum. Di ujung lapangan, di jalan tanah, di sebuah simpang, mereka berpisah. Saling melambai dan berjalan menyongsong malam yang turun.

Setelah itu mereka tak pernah lagi bertemu. Perempuan itu, setibanya di rumah, menggigil hebat dan jatuh sakit. Demam panjang dan mengigau. Meracau. Beberapa hari dia terkapar di tempat tidur. Setelah dua suntikan antidemam dari dokter, baru dia pulih. Dan begitu terbangun di pagi hari, dia ingat lelaki itu. Dia bergegas mandi, dan bersiap akan ke tempat kerjanya lagi. Ingin bertemu dan berpapasan lagi dengan lelaki itu.

Di meja makan dia mendengar cerita, lelaki itu, guru SMP sekolah swasta temannya tidur di rerumputan di lapangan bola, di bawah hujan itu, tewas. Rupanya, setelah berpisah, setelah hujan teduh, ketika berjalan pulang ke rumah kostnya, sebuah sepeda motor yang dikendarai seorang lelaki yang sedang fly, menabrak lelaki itu, yang rupanya juga sedang melamun dan berjalan terlalu ke tengah.

Lelaki yang sedang fly itu mati karena terpelanting dari sepeda motornya yang dipacu kencang, tapi lelaki itu pun juga terpelanting dan tercampak ke dalam parit. Tewas karena pendarahan di kepalanya.

Perempuan itu benar-benar merasa dunianya runtuh. Dia merasa kehilangan yang sangat. Tak sempat bicara dan kembali pingsan. Kembali demam dan meracau. Mengigau.

Semenjak itu, perempuan itu selalu menyendiri, tak mau bicara dengan siapa pun. Dia berhenti bekerja. Duduk di rumah sepanjang hari. Merasakan kehilangan dan kepedihan. Keseimbangan hidupnya terganggu. Takut tidur dan diganggu mimpi buruk.

Perempuan itu menelepon temannya, perempuan, sesama pramuniaga. Dan menceritakan yang dia cemaskan, dan apa yang terjadi di lapangan bola itu.

”Biasanya, kalau kita lagi stres, tertekan perasaan, sering haid kita terganggu. Terlambat satu dua hari,” temannya memberi tahu pengalamannya.

Memang lama-lama kesadarannya pulih. Atas desakan keluarganya, dia akhirnya menikah. Dengan lelaki yang sejak lama menaksirnya. Teman sekerja. Tapi tak sampai setahun mereka bercerai, karena suaminya itu, enggan diajaknya tidur di lapangan rumput di lapangan sepak bola dan bercinta di sana, di bawah siraman hujan.

”Gila kamu. Ini kan tempat terbuka dan orang bisa melihat kita melakukan apa-apa. Kan kita punya rumah. Punya ranjang. Mengapa mesti bermesraan di sini? Di tempat terbuka dan dalam hujan pula. Aneh kamu ini!” kata suaminya itu.

Kemudian perempuan itu ditinggalkannya sendiri di padang ilalang itu. Dan perempuan itu kecewa.

Di rumah mereka bertengkar hebat. Suaminya menuduhnya tidak perawan. Dan mempraktikkan seks bebas.

”Memangnya kenapa kalau tidak perawan?”

”Kamu sendiri, memangnya bujang tingting. Dari cara kamu meniduri aku, aku tahu kamu sudah biasa. Entah perempuan ke berapa aku ini yang kau tiduri. Jangan mau enaknya sendiri,” pekik perempuan itu.

Sejak malam itu, perempuan itu tidak mau lagi tidur dengan suaminya. Dia merasa tidak ada kenikmatan hidup sebagai suami istri. Hubungan yang hambar. Dia merasa dilecehkan. Dan tak lama kemudian mereka bercerai.

Perempuan itu kembali kesepian. Kembali menunggu mendung datang dan hujan turun. Tapi keluarganya tak tega melihat dia terus bersedih dan termenung. Meski mereka tetap tidak tahu penyebab mengapa perempuan itu terus menyendiri. Mereka kembali menyuruhnya bersuami. Terutama ibunya.

”Ibu sudah tua. Menikahlah. Ibu kepingin menimang cucu. Kamu kan masih muda dan tetap cantik. Kalau bersuami, kan ada juga tempat kita menumpang hidup,” kata ibunya.

”Untuk apa menikah lagi kalau tak ada kesamaan perasaan. Tak mau menerima kita apa adanya. Kita kan semua punya masa lalu? Adillah… jangan mau enak sendiri,” perempuan itu mencoba menolak saran ibunya.

”Tapi kan tak baik terus menjanda. Jadi buah bibir orang. Digosip di mana-mana.”

”Apa salahnya menjanda, kan tidak merugikan orang lain? Hidup lebih bebas, dan mengatur apa yang kita inginkan.”

”Tapi ibu tak kuat menghadapi semua itu. Ibu malu.”

”Malu? Memangnya aku ini satu-satunya janda di dunia? Zaman sekarang, tak ada pantangnya jadi janda. Dunia ini penuh janda. Kata teman-teman, menjadi janda itu adalah pemberontakan para perempuan,” perempuan itu terus berdebat dengan ibunya.

Tapi, karena ibunya terus menangis, akhirnya perempuan itu menikah lagi. Dengan lelaki pilihan ibunya. Tapi dia tetap hambar dan kecewa. Berkali-kali dia mengajak suami keduanya itu untuk pergi ke lapangan bola, saat hujan tiba. Mengajaknya berbaring, bermesraan. Dia ingin tidur dan bercinta di sana. Tapi suami keduanya ini pun menolak dan juga menuduhnya punya kelainan seks. Dan mereka bertengkar lagi, lalu bercerai lagi.

Perempuan itu kembali kesepian dan tiap sore kembali menunggu mendung datang, menunggu hujan renyai turun. Perempuan itu kembali berbasah-basah di pelantar. Tidur telentang di sana. Malamnya dia demam. Meracau. Tapi dia suka dan merasa kenikmatan yang luar biasa ketika jarum hujan itu menikam-nikam tubuhnya. Membentur ubun-ubunnya. Menggeranyangi akar-akar rambutnya yang panjang. Getaran gairahnya sampai terasa ke ujung-ujung rambut. Seperti tusukan helai-helai ilalang.

Ibunya meninggal. Perempuan itu menolak menikah lagi. Dia tetap bekerja sebagai pramuniaga. Pindah dari satu counter ke counter yang lain. Tapi tetap di mal di seberang sekolah swasta itu. Meskipun gajinya terkadang lebih rendah dari counter sebelumnya, karena produk yang dijaganya, juga berbeda.

Pulang bekerja, dia kembali berjalan menyusuri jalan yang dulu dia lalui dengan lelaki, guru sekolah swasta itu. Jika mendung dan hujan turun saat dia sedang berjalan pulang, sesekali dia akan bergegas dan setengah berlari menuju ke lapangan bola. Berbaring di atas rumpun ilalang dan tertidur di sana.

Hal yang paling sering, dia akan bergegas pulang ke rumahnya, dan berbaring di pelantar rumahnya. Tidur di bawah deraian hujan. Menikmati tikaman jarum hujan dan kemudian malamnya dia demam dan mengigau. Bermimpi seakan dia bercinta di lapangan terbuka, di bawah tikaman jarum hujan. Dan dia merasa seakan semua ilalang di padang rumput atau lantai papan di pelantarnya mengerang.

***

Rida K Liamsi, lahir 17 Juli 1943, seorang penyair, kini menetap di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.

 

(2)

Main Belakang

Pertemuan John Kardit dengan Marni tak terjadi begitu saja.

Oleh: GISTI KARTIKA, 26 November 2022

Semilir angin berembus. Dedaunan kering bergulir menyapu tanah. Pohon glodokan tiang berjejer rapi di antara ruas jalan. Kendaraan seperti mobil dan motor berlalu-lalang, mengisi setiap sudut kota yang padat dan penuh polusi. Di atasnya, terik mentari membakar sampai ke tulang. Meninggalkan jejak keringat di kulit setiap orang.

Seorang wanita muda tampak melintas ke seberang jalan. Mencari tempat berteduh untuk menghindari terik. Ia mengibas-ngibas ke wajahnya sebuah buku yang sedari tadi dipegang, tampak kegerahan. Adapun sebuah setelan kasual dikenakan di tubuhnya yang padat dan berisi. Ia baru saja selesai mengikuti perkuliahan di kampus.

Wanita muda itu berperawakan manis. Hidungnya mancung kulitnya putih. Walau ber-make up seadanya, tak sedikit pun mengurangi keindahan rupanya. Lalu, ia mengedarkan pandangan. Sedang mencari sosok yang ditunggu-tunggunya sedari tadi. Sejurus kemudian ia tampak kesal. ”Ondeh mana sih, Da John. Udah capek begini, belum juga datang.”

Usai berkata demikian, sebuah motor Supra butut berwarna hitam berhenti di depannya, dengan sosok lelaki berjaket hijau lengkap mengenakan helm berwarna senada, bila dilihat-lihat macam sopir Gojek menunggu penumpang. Ia mengklakson berulang kali. Meminta wanita muda itu untuk segera menghampiri.

”Dari tadi Marni tunggu Uda.”

”Maaf, tadi Uda ada sedikit urusan. Jangan kesal gitu, dong!”

”Gimana ndak kesal, udah capek, nih!”

”Sudahlah, cepat naik!”

Marni memandangi motor lelaki yang dipanggilnya Uda itu.

”Kenapa?”

”Mana motor Satria RX-King, Uda?”

”Uda tinggalkan di rumahmu.”

”Kenapa?”

”Tak mengapa. Ayolah naik, Marni! Panas ini.”

”Ya iya.”

Kedua sejoli itu segera melaju, membelah jalanan lenggang yang tak pernah tampak lengang. Meski hiruk pikuk bertebaran di sekeliling jalan, Marni tampak santai memeluk dari belakang sosok pria yang ada di depannya, yang sudah tiga bulan ini resmi menjadi tunangannya. Ketika berhenti di lampu merah, ia bahkan tak peduli dengan tatapan orang-orang. Tambah didekapnya erat-erat badan kekar lelaki yang bernama John Kardit itu.

“Marni, Uda malu dilihat orang. Jangan begitu!” John Kardit menepis tangan Marni dengan lembut. Ia betulan risih dengan sikap Marni yang kadang tak tahu tempat dan suasana.

“Uda ndak cinta pada Marni.” Marni semakin mendekap erat pelukannya, macam bocah kecil yang merajuk di atas motor. John Kardit sontak berdecak kesal. Ia mengembuskan napasnya gusar.

Sudah hampir dua tahun memadu kasih hingga berakhir bertunangan, sikap Marni tak pernah berubah. Meski cantik dan banyak yang suka, tetap saja ia memilih sosok dirinya yang miskin dan apa adanya. Bahkan, dulu ia sering menumpang hidup pada Marni. Katakanlah untuk sekedar makan sehari-hari, kadang sering dibuatkan dan diantarnya ke kontrakan. Seringkali ia merasa tak enak hati. Belum lagi masalah harga diri lelaki. Tapi, ia tak punya pilihan. Hidup di perantauan memang keras dan banyak cobaan. Orang tua di kampung tak sedikit pun memberikan bekal tujuan selain doa dan harapan. Beruntung ia bertemu sosok Marni yang hingga saat ini masih mendekapnya erat dan mencintai dirinya. Tapi…

Belum selesai dengan lamunannya, John Kardit dikejutkan dengan bunyi-bunyi klakson dari belakang. Pertanda lampu merah sudah hijau dan mesti jalan. Ia pun kembali melajukan motornya. Sesekali menambah kecepatan.

Sesampainya di rumah Marni, seorang wanita paruh baya menghampiri mereka berdua, menaruh segelas es teh dan sepiring agar-agar di atas meja. Mempersilakan dengan senyum ramahnya John Kardit untuk duduk sembari menunggu Marni berkemas mandi.

“John, perkawinan kalian sebentar lagi, sudah sampai mana persiapan kamu, nak?”

Sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal, John tampak enggan menjawab pertanyaan dari calon mertuanya itu.

“Yah, Mama sekedar bertanya.”

“Belum sampai mana-mana, Ma. Sebab kesibukan akhir-akhir ini di ladang sawit Papa…”

“Ondeh si pak tua itu memang ndak mengerti. Jelas-jelas calon menantunya mau kawin, masih saja disuruh ngurus-ngurus sawit. John, jangan banyak bermain di ladang sawit lagi, ya!”

Sudah hampir dua tahun memadu kasih hingga berakhir bertunangan, sikap Marni tak pernah berubah. Meski cantik dan banyak yang suka, tetap saja ia memilih sosok dirinya yang miskin dan apa adanya. Bahkan, dulu ia sering menumpang hidup pada Marni. Katakanlah untuk sekedar makan sehari-hari, kadang sering dibuatkan dan diantarnya ke kontrakan. Seringkali ia merasa tak enak hati.

Mama Marni tampak kesal. Sejurus kemudian ia kembali tersenyum ramah. John Kardit mendesah pelan, ia sedikit tak nyaman dengan kalimat terakhir Mama Marni. Sejenak ditatapnya segelas teh es yang bulir-bulir air sudah kelihatan di permukaan gelasnya itu. Betapa menggiurkannya di saat-saat cuaca terik begini. Tanpa ba-bi-bu John segera meneguknya. Merasakan kenikmatan yang teramat sangat mengalir membasahi kerongkongannya yang sedari tadi sudah kering.

Asyik dengan kegiatannya, Mama Marni kembali melontarkan pertanyaan. “John! Kalau nanti sudah menikah mau tinggal di mana? Mama, sih, berharapnya kalian tinggal di rumah Mama saja. John tahu, kan, Mama ndak bisa pisah dari Marni.”

John Kardit menaruh kembali gelas teh es yang sudah diteguknya itu. Ia memaksakan senyumannya di hadapan Mama Marni yang cerewetnya tak dapat terbendung. Belum lagi karakternya yang suka dipuji dan umbar kekayaan sana sini. Bila Marni juga demikian, tak sedikit pun ia betah melanjutkan hubungan ini hingga ke tahap pertunangan. Beruntungnya tidak.

Sejenak ditatapnya Mama Marni lekat-lekat. Memang, wanita paruh baya itu suka berlebihan perihal penampilan. Bahkan, di dalam rumah saja ia tak segan memakai semua koleksi baju mahal yang dibelinya. Ber-make up pun juga tak seadanya, tak seperti Marni. Hampir tiga tahun ia menjalin hubungan dengan keluarga Marni. Jelas mengetahui sisi-sisi lain keluarga ini. Bila kedua orang tuanya tampak glamor dan menonjol, maka Marni tak demikian. Bila kedua orang tuanya makan dengan sesendok kaviar di pagi hari, maka Marni hanya makan dengan sebakul beras ketan putih ditambah tumis sayur kangkung dan ikan teri. Sungguh perbedaan yang tak dapat terperikan. Hampir-hampir John Kardit berpikir bila Marni bukan darah daging dari kedua pasutri itu. Namun, tentu saja pemikiran itu tidaklah benar.

Sebetulnya, sebagai perempuan muda yang masih cantik dan perawan, hampir tak ditemukan celah pada Marni. Hampir tak punya alasan setiap pria mengapa mesti meninggalkan dirinya. Selain cantik ia juga sederhana. Tulus menerima orang-orang rendahan seperti dirinya. Belum lagi, Marni berasal dari keluarga yang berada. Papa Marni seorang tuan tanah sekaligus pemilik lima hektar ladang sawit yang berpusat di daerah Pesisir pulau Sumatera. Belum lagi latar belakang keluarga Mama Marni yang sukses berdagang kain hingga ke pulau Jawa. Semestinya mereka bermenantukan orang kaya yang potret kehidupannya juga setara. Tak seperti dirinya yang dahulu diterima dalam keadaan kucel dan tak memiliki apa-apa.

Singkat cerita, pertemuan John Kardit dengan Marni tak terjadi begitu saja. Saat ia pertama kali menginjakkan kaki di ibu kota, tak sengaja dilihatnya sosok wanita muda hendak melompat ke bawah jembatan dekat perempatan jalan. Walau awalnya tak merasa memiliki urusan, ia berkeyakinan bila wanita itu masih memiliki keluarga yang tak ingin ia berbuat demikian. Langsung saja sekuat tenaga ia berlari, menahan tangan wanita itu keras-keras agar tak terjatuh dari jembatan yang di bawahnya adalah rel kereta api. Ia angkat segera wanita itu. Orang-orang yang tadinya tak memperhatikan jadi berkerumun menyaksikan.

John Kardit menatap wanita muda itu. Bibirnya tampak pucat dan matanya sayu. Sejurus kemudian ia menangis tersedu-sedu di pelukannya, tampak stres dan butuh sandaran.

“Adiak, kenapa Diak? Saya tahu Adiak mau bunuh diri. Astaghfirullah Diak, ndak boleh seperti itu! Merusak harga diri dan kepercayaan Tuhan…” John Kardit tampak panik menenangkan wanita muda yang masih saja tersedu-sedu itu. Di sela-sela tangisannya, ia menatap padanya.

“Tak ada gunanya saya hidup…”

“Kenapa begitu, Diak?”

“Orang yang saya cintai berkhianat. Lelaki brengsek itu!” Tangisannya semakin pecah dan mengundang bisik-bisik orang sekitar yang berkerumun namun tak berniat menolong. Manusia di kota-kota memang tak ada otak. Batin John emosi. Tak lama berselang, sebuah mobil sedan mengkilat menepi di sana. Keluarlah dua orang dengan tergesa-gesa. Si wanita menangis histeris dan si lelaki tampak khawatir. Mereka merangkul wanita muda itu dengan perasaan berkecamuk. Lelaki itu menatap John Kardit dengan penuh keputusasaan. “Terima kasih sudah menyelamatkan anak kami.”

Saat itulah pertama kali John Kardit bertemu dengan Marni dan kedua orang tuanya. Ia sendiri dapat melihat betapa mereka merasa sangat berhutang budi. Bila ia tak segera menyelamatkan, tak akan dilihatnya lagi cahaya rembulan satu-satunya di kehidupan mereka. Hancurlah hati kedua orang tua yang membesarkan Marni dengan keringat dan darah air mata.

Seusai kejadian itu, Papa Marni banyak berkenalan dengan John Kardit. Menawarkannya untuk meminta apa saja yang ia butuhkan guna membalas budi dan kebaikan. Walau awalnya menolak, John Kardit kemudian berpikir bila tak ada salahnya menerima tawaran itu. Ia tak muluk-muluk. Meminta ingin dipekerjakan sebagai pekerja kasar saja di perusahaan Papa Marni. Orang tua itu tampak keberatan. Tak lama, ia berkeputusan bila John Kardit bekerja sebagai supir pribadinya saja. Ia yakin orang miskin polos seperti John Kardit tak akan macam-macam. Benar saja, selama ia bekerja dengan keluarga Marni, tak sekalipun ia malas-malasan apalagi mengecewakan. Kerjanya bersih dan memuaskan. Ia tak pandai menjilat pada majikannya dan hanya bekerja sesuai yang diperintahkan.

Tak hanya loyal pada kedua orang tua Marni, John Kardit juga dekat dengan wanita muda itu. Pasalnya, ia saban hari mengantar Marni ke kampus seusai mengantar Papa Marni bekerja. Dari rutinitas itulah mereka sering bertemu dan saling bertukar cerita. Selayaknya seorang yang lebih tua dari Marni, ia sering menasehati Marni perihal ada banyak hal yang mesti disyukuri dalam hidup ini. Termasuk mengikhlaskan orang tercinta yang tak dapat lagi dimiliki. Menurut cerita-ceritanya, ia tahu Marni sangat lemah pada lelaki. Ibarat kata, ia rela memberikan segalanya demi orang yang ia cintai dapat hidup bahagia. Oleh sebab itulah, ia akan sangat tersakiti bila dikecewai.

Seiring berjalannya waktu, begitu cepat Marni mengagumi sosok John Kardit. Baginya, tak ada lelaki setulus dirinya. Ia jatuh dalam perangkap cinta seorang lelaki kampung yang tadinya tak memiliki apa-apa. Ia terang-terangan mengatakan bahwa ia memiliki perasaan itu di dalam hati. Bahkan, ia meminta John Kardit untuk bersedia menjadi kekasih hatinya. John Kardit yang tak percaya drama-drama semacam sinetron itu terpaku tak percaya. Walau sejujurnya ia juga menaruh hati pada Marni, tapi ia tak berani sampai sejauh itu. Pasalnya, kedua orang tua Marni sangat ketat dan protektif. Algojonya saja berdiri kanan kiri di dekat pagar rumahnya saban hari. Ia takut bila nanti dipukuli dan diinterogasi.

Tapi, tanpa diduga kedua orang tuanya sangat menyetujui hubungan mereka. Baginya, John Kardit sudah dianggap layaknya anak sendiri. Perihal menjaga kesetiaan pada Marni, tentu tak diragukan lagi. Oleh sebab itu, ia akhirnya dengan senang hati menjalani.

Setelah diresmikan memadu kasih, hubungan keduanya berjalan dengan normal. Bahkan sangat menguntungkan bagi John Kardit. Bagaimana tidak? Ia mendapatkan semua yang diinginkan. Sedan Suzuki Baleno, RX-King, kontrakan layak huni dan lain-lain didapatkannya dengan cuma-cuma. Bahkan, ia tak lagi bekerja sebagai supir pribadi tuan tanah itu, melainkan sebagai tangan kanannya dalam mengurusi lima hektar ladang sawit. Tak hanya itu, ia juga membelikan rumah baru di kampung untuk kedua orang tuanya. Ibarat kata, kehidupannya sangat berbalik 180 derajat sebab tercebur ke dalam ladang kekayaan keluarga Marni hanya dengan menarik hati anak perempuannya yang cantik. Tapi, sebab berbuat demikian, hingga sekarang ia tak bisa hidup dengan tenang. Alasannya…

“Uda sudah telpon Amak dan Apak di kampung?”

Marni dan John berdiri di halaman belakang, memandang ke arah kolam ikan milik keluarga itu. Sesekali memberi makan dengan melempar segenggam pelet, lalu berjalan beriringan sembari bercakap-cakap perihal perkawinan mereka yang mesti segera dilaksanakan.

Marni berterus-terang tak ingin menunggu sampai wisuda. Ia tak sabar membangun rumah tangga dengan sosok John Kardit yang begitu dicintainya. Seperti tak ada lelaki lain lagi di muka bumi ini. Tapi, memang cinta dapat membutakan hati dan pikiran. Bisa saja itu yang sedang terjadi pada Marni saat ini.

“Belum, Marni.”

“Kenapa belum?”

“Tak sempat Uda melakukannya. Sibuk mengurusi sawit.”

“Halahh sudahlah, Da. Dari kemarin alasan begitu terus. Uda niat ndak, sih, menikahi Marni? Masa menelepon saja tidak bisa…”

“Kamu ndak mengerti, Marni! Ini bukan masalah menelepon untuk memberitahu atau tidaknya…”

“Lalu?”

John Kardit termenung sesaat. Ia tampak memikirkan kata-kata apa yang selanjutnya mesti diucapkan. Marni di depannya ini memang cantik dan memikat, tapi sebetulnya ia sangat manja dan kadang bertindak tidak dewasa. Apakah ia akan mengerti bila ia panjang lebar menjelaskan dengan kata-kata?

“Karena saya ragu.” Akhirnya John Kardit mengeluarkan kata-kata itu dengan susah payah di bibirnya. Bisa ditebak ekspresi Marni langsung berubah seketika. John yang melihat itu mengusap wajahnya gusar. Ia tampak frustasi. Marni yang tak mengerti mencoba menahan emosinya. Ia mendekat pada John Kardit.

“Ragu? Tak apa, perasaan semacam itu pastilah suka melanda orang yang mau kawin…” Ucap Marni dengan memaksakan senyumannya. Sebetulnya, ia tak benar-benar memaklumi. Dadanya sesak. Ia tak berharap kata-kata seperti itu keluar dari bibir John Kardit. Ia pikir selama ini lelaki itu juga ingin segera mempersuntingnya sebagai istri. Marni melanjutkan ucapannya. “Bila Uda ragu sebab status keluarga kita yang berbeda, maka itu tidaklah tepat dijadikan sebagai sebuah keraguan.”

John Kardit menangkup wajah Marni dengan kedua tangannya. “Tidak. Bukan begitu, Marni. Saya …”

“Apa?”

Hembusan angin kala itu mendukung keironisan situasi dan bergetarnya suara Marni. Entah mengapa ia tak siap mendengar lanjutan ceritanya. Dalam hati yang paling dalam, hari itu adalah sebuah momen terakhir ia dapat melihat sosok John Kardit yang bertahun-tahun sudah menyembuhkan luka di hatinya. Selama bersama, tak sekalipun ia menemukan kebohongan pada diri John Kardit. Hanya saja, akhir-akhir ini ia tak mengerti mengapa John Kardit sering menghindari pertemuan dengannya dan terlalu sibuk di ladang sawit.

Ia sudah sering tersakiti, bahkan hampir bunuh diri. Ia pikir bersama John Kardit adalah yang terakhir kali. Tapi, ia tak mau cepat menyimpulkan. Siapa tahu lelaki di depannya ini punya alasan lain.

Marni segera menepis tangan John Kardit dari wajahnya, untuk kemudian ia genggam erat di dada. Sangat erat. Ia melepaskan sejenak sikap kekanak-kanakan dan emosionalnya.

“Tak apa, Uda. Beritahu saja! Marni siap mendengarkan. Bukankah selama ini kita sudah sering bersama?!”

Marni tersenyum tulus dan menelusuri wajah John Kardit dengan telapak tangannya. Dalam hati ia berpikir wajah yang tak begitu tampan ini sudah sejak lama berhasil memikat hatinya. Tak sudi bila ia lepaskan begitu saja. Keyakinan akan segera bersama begitu mengakar di dalam nuraninya. Entah ia buta cinta entah nelangsa, ia tak pernah mau memperdulikan hal itu. Yang jelas, John Kardit sekarang ada di dalam genggamannya. Ia banyak bertumpu hidup selama ini pada ia dan kedua orang tuanya. Tak mungkin ia bertindak sampai di luar harapan seperti meninggalkan dirinya sebab memiliki perempuan lain di luar sana.

“Tapi, bila Uda tak berniat memberitahu alasannya sekarang tak mengapa. Marni siap menunggu kapan saja…”

“Tidak. Saya akan memberitahu sekarang juga. Agar semuanya jelas dan tak berakhir kecewa.”

Marni melepas genggamannya. Tiba-tiba muncul perasaan tak enak. Kali ini ia tak bisa sabar menunggu. Tapi, ia juga tak siap bila sesuatu itu adalah kata-kata yang tak ingin ia dengar seumur hidup.

“Saya banyak berhutang budi padamu dan kedua orang tuamu, Marni.”

“Tak masalah, lupakan itu…”

“Tolong dengarkan saja! Saya belum selesai bicara.”

“Maaf, lanjutkan!”

“Siapa yang tak menyukai dirimu. Kamu cantik dan sederhana,”

John Kardit sekali lagi berjalan mendekati Marni. Ia menelusuri bibirnya. Menatap lekat-lekat wajah cantik itu. Walau kali ini tatapannya tak sama seperti sejak pertama kali mereka memadu kasih, terlihat sayu dan putus asa. Seolah begitu berat beban yang hendak dipikul setelahnya bila mengungkapkan alasan di balik keraguannya.

“Ada apa ini, Da. Langsung saja!” Air mata Marni tiba-tiba tumpah. John Kardit bahkan belum mengucapkan hal inti yang hendak disampaikan.

“Saya ingin berkata jujur padamu, tapi di lain sisi saya takut kejujuran itu membuat saya kehilangan segalanya. Tidakkah kamu mengerti…”

“Gila. Bagaimana bisa saya mengerti bila kamu setengah-setengah begitu! Cepat katakan saja kejujurannya!”

“Saya cinta padamu. Sangat cinta. Kamu pikir cuma-cuma saya sembuhkan luka di hatimu itu, ha? Tidak! Tapi, saya tak ingin hidup dalam penyesalan suatu hari nanti.”

Marni frustasi. Ia menjambak rambutnya sendiri. Melihat John Kardit yang tampak gusar dan tak kunjung menjelaskan inti keraguan, ia semakin tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Keraguan apa? Penyesalan dan kejujuran apa? Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan di kepalanya bagai hujan kerikil yang menggoreskan banyak luka. Tunggu, semestinya ia tak ikut frustasi. Semestinya ia bisa menenangkan John Kardit dan perlahan-lahan mengatakan kejujuran yang hendak disampaikannya itu, bukan?

Tiba-tiba John Kardit menggenggam tangan Marni erat. Seperti mendapatkan pencerahan entah dari mana, sekali lagi ia telusuri wajah Marni dengan serius dan lekat-lekat. Hal itu membuat Marni sedikit takut dan mundur ke belakang. Siapa yang ia lihat di depan matanya saat ini tak seperti orang yang ia cintai selama ini.

“Begini saja, Marni. Bagaimana bila kita pergi dari sini dan membawa sejumlah uang…”

“Apa? Kamu gila, Da!”

“Tidak, aku tidaklah gila. Brengsek, ini demi keselamatan cinta kita berdua…”

“Kamu mengataiku brengsek?” Marni menghempas tangan John Kardit. Ia benar-benar tak mengerti setan apa yang tengah merasuki tunangannya itu. Tak sekalipun selama ini ia berkata kasar padanya.

“Oh, sayang, tidak seperti itu…” John tampak putus asa. Ia yang tadinya berjalan mendekati Marni, tiba-tiba langkahnya jadi terhenti. Ia mengusap wajahnya sekali lagi. Kali ini, ia tampak kesusahan mengendalikan emosinya. Ia terdiam selama beberapa saat. Kepalanya tertunduk ke bawah. Marni yang menyaksikan itu tampak bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada tunangannya. sejurus kemudian,

John Kardit mengangkat kepalanya. Ia kembali menatap mata Marni. “Sebetulnya, saya dalam keadaan bahaya…” John mengambil napasnya perlahan baru kemudian melanjutkan. “…Papamu tak akan pernah menyetujui hubungan kita.”

“Mengapa demikian, Uda?” Mendengar itu Marni buru-buru menghampiri John Kardit. Dibelainya wajah tunangannya itu dengan lembut. “Benarkah Papa tak menyetujui hubungan kita?”

“Benar.”

“Sebab kenapa?”

“Sebab di belakangmu, saya berhubungan dengan perempuan lain yang sering saya temui di ladang sawit. Beliau baru mengetahuinya kemarin sore dari koleganya. Pastilah ia akan membunuh saya.”

Hampir-hampir jantungnya berhenti berdetak. Sekali lagi ia berusaha mencerna apa yang baru saja disampaikan John Kardit. Betapa kalimat yang baru saja diucapkannya itu berhasil menghancurkan hatinya. Seolah sisi-sisi warna dalam sukmanya dianulir oleh warna hitam yang mendominasi. Tapi, ia masih saja tak ingin segera menaruh percaya. Ia mesti bertanya sekali lagi.

“Kamu bercanda, Da?”

“Tidak. Itulah kejujurannya. Sebab itu saya ragu mengawinimu…”

“Tidak, kamu juga takut, bukan?”

“Benar.”

Marni terpekur sesaat. Bibir dan tubuhnya bergemetar hebat.

“Apa kamu membuat keturunan dengan wanita itu?”

“Tidak.”

“Tak masalah, itu tak berarti apa-apa…”

“Apa kamu gila?”

“YA SAYA GILA BRENGSEK!!”

Air mata Marni tumpah. Ia berteriak di hadapan John Kardit. Ia tak kuasa menahan kesakitan hatinya. Ternyata apa yang selama ini menjadi ketakutannya beneran terjadi. Tapi, di sisi lain ia sungguh cinta pada John Kardit. Walau ia marah, ia tak akan sudi melepaskan lelaki itu. Ia tak akan rela kehilangan orang yang ia cintai lagi sebab perselingkuhan. “Ayo kita kabur saja jika begitu!” Marni menggenggam tangan John Kardit erat. Ia tersenyum dengan linglung. Meski ia mencintai Papanya, ia juga tak ingin kekasihnya mati begitu saja. John yang melihat itu seketika tersenyum tulus ke arah Marni. Benar saja, Marni tak mungkin marah apalagi meninggalkannya.

Ia yang tadinya takut seperti kembali mendapatkan keberanian. Lepas ini ia akan pergi jauh bersama Marni, membawa serta harta dan sisa kebahagiaan yang dimiliki.

Tapi, tatkala berbalik pergi, nahas sebuah pistol api ditodong ke arah wajah John Kardit. Marni yang melihat itu sontak syok dan terpaku di tempat. Pistol itu dipegang oleh Papa Marni sendiri, si tuan tanah yang wajahnya sudah tegang dan penuh amarah.

John Kardit yang sudah siap dengan apa yang akan menimpanya memejamkan mata. Menghirup hembusan udara yang mungkin saja hal terakhir yang dapat dirasakannya. Namun, belum sempat Papa Marni menarik pelatuk, sebuah suara menghentikan aksinya.

“Hentikan, Pa!”

Mama Marni berdiri di sana. Ia berjalan mendekat pada orang-orang yang tengah berseteru hebat itu. Matanya tampak sangat basah oleh air mata, hitam dan kelam. Seolah habis menangis histeris di kesendirian. Rambutnya terurai berantakan. Tak dilihat lagi sosok wanita paruh baya yang glamor dan percaya diri menebar kecantikan.

“Mengapa tak kau tembak saja dirimu sendiri, brengsek?”

Marni dan John Kardit luar biasa terkejut dengan ucapan Mama Marni. Tak terkecuali si tuan tanah, ia segera menurunkan pistol yang ada di tangannya. Ia memandang tak percaya pada istri sekaligus ibu dari anak perempuan satu-satunya itu.

“Apa pula maksudmu? Lelaki ini main wanita di belakang anak kita!”

“Kau marah karena wanita itu juga selingkuhanmu, kan?” Bibir Mama Marni bergemetar, ia seperti tak sanggup melanjutkan ucapannya. “…bahkan kau menghamilinya!”

Seketika semua orang terdiam. Dalam keheningan yang menikam itu, hanya terdengar suara kicauan burung perkutut yang terbang di atas mereka semua, seolah sedang menyaksikan pertunjukan kemelut kisah keluarga ini.

John Kardit berdiri di posisinya, terpaku tak percaya. Selama ini, ia pikir dirinya lah yang jahat dan berkhianat di keluarga ini. Kenyataannya, ada yang lebih tak berperasaan dan tega menyakiti anak istri sendiri. Marni yang mendengar itu semakin diburu perasaan berkecamuk. Ia tambah tak mengerti dengan drama kehidupannya. Mengapa tak satupun lelaki yang dicintainya memiliki kesetiaan. Sejurus kemudian ia tersungkur di tanah, memejamkan mata dan mengeluarkan setetes air mata yang warnanya tak lagi bening seperti sebelumnya.

***

Gisti Kartika. Berasal dari negeri sejuta pesona, Pesisir Selatan Sumatera Barat. Aktif menulis sejak duduk di bangku SMP. Beberapa kali mengikuti lomba kepenulisan, seperti menulis puisi, cerpen, resensi buku, dan lain-lain. Saat ini, tengah menempuh pendidikan S1 Sastra Indonesia di Universitas Negeri Padang. Semasa kuliah ini, aktif mengirimkan karya cerpen ke dalam sebuah kompetisi menulis. Beberapa di antaranya meraih juara. Selain itu, sebuah karya beritanya (jurnalistik) pada tahun 2021 lalu sudah terbit di laman Bengkel Literasi Rakyat Sumbar, berada di bawah naungan surat kabar Rakyat Sumbar. Adapun sebuah puisi juga berhasil terbit di sana.

 

(3)

Rumah

Ada apa dengan perasaanku beberapa bulan ini? Ke mana perginya buncahan perasaan di awal pernikahan kami.

Oleh: TRIANA RAHAYU, 24 November 2022

Putaran roda mobil memasuki halaman rumah bergaya tropis dengan fasad depan dipenuhi rimbun pergola dan lampu taman yang menyala redup. Aku hampir tak percaya, mobil Jeep hitam yang sangat kukenal telah terparkir di dalamnya. Menyisakan ruang untuk mobilku terparkir di sampingnya.

Dari dalam rumah seorang perempuan paruh baya keluar dengan tergopoh-gopoh. Begitu melihatku, dia tersenyum, sambil membungkukkan sedikit posisi tubuhnya.

”Bre pulang jam berapa, Mbok?” tanyaku sambil menutup pintu mobil.

”Sore tadi, Mbak. Kelihatannya Mas Bre kurang enak badan. Wajahnya pucat. Dari tadi hanya mengurung diri di kamar dan belum makan malam, bahkan belum menyapa Ciko, kura-kura kesayangannya di halaman belakang.”

Kulirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Pukul sembilan malam. Berarti saat Bre mengirimkan pesan singkat yang belum juga kubalas, hingga detik ini, dia telah berada di rumah dari perjalanan singkatnya merambah pedalaman Papua. Kepulangan yang lebih cepat dari jadwal yang dijanjikannya.

Kulangkahkan kaki dengan cepat, memasuki ruang tamu. Singgah sebentar di ruang tengah. Menapaki anak tangga demi anak tangga yang berderit halus saat diinjak. Menuju satu ruangan di lantai dua rumahku dengan pintu kayu yang tertutup rapat.

Di depan pintu langkahku terhenti. Entah kenapa mendadak hatiku ragu untuk memasuki kamarku sendiri. Tepatnya, menemui lelaki yang ada di dalam sana. Terakhir kali kami berkomunikasi lewat saluran telepon seminggu yang lalu, dan mengakhiri dengan suasana tegang. Tapi… informasi yang disampaikan Mbok Asih mengenai kondisi lelaki itu menggerakkan jemariku untuk memutar handel pintu dan mendorongnya perlahan.

Mendadak aku terpaku. Apa yang kutemukan di atas ranjang membuat keningku berkerut kencang. Belum pernah kulihat Bre tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuh. Itu bukan Bre Bramasta yang kukenal. Ada apa dengan Bre? Kulangkahkan kaki dengan cepat, mendekatinya.

Pelan…. Sangat pelan, mata Bre yang terpejam perlahan terbuka. Menyadari kedatanganku dia tersenyum tipis. Namun, tubuh itu tak bergerak. Menatap sayu dari balik selimut. Ada yang berusaha diredam, namun tak dapat disembunyikan. Perasaan cemas mendadak menyerangku. Keadaan Bre menjadi fokus perhatianku. Kuraba keningnya cepat. Aku terlonjak. Benar-benar tak percaya.

”Bre… kamu kenapa?” Jantungku mendadak berdegub kencang.

”Bagaimana kabarmu, Kiran?” tanya Bre pelan dengan vibrasi yang terdengar jelas.

Dia masih saja berusaha membuat kondisinya terlihat wajar dan biasa.

”Kamu sakit? Kita ke dokter ya!” Aku benar-benar panik.

”Tidak perlu, aku sudah minum obat,” jawabnya lemah.

”Bre … jangan bandel!” Nada suaraku meninggi. Kuraba sekujur tubuhnya. Panas! Namun Bre terlihat menggigil kedinginan.

”Aku baik-baik saja!”

Aku menggeleng kuat. Menatapnya tak percaya. Puluhan kali Bre melakukan perjalanan. Mendaki puncak-puncak tertinggi, menyusuri urat-urat bumi, sampai melebur dalam kehidupan hutan yang masih perawan, dari dalam negeri sampai ke belahan bumi yang lain, baru kali ini Bre pulang dengan kondisi yang sungguh-sungguh membuat hatiku trenyuh. Padahal… dia hanya pergi ke Papua. Tempat yang sudah sering sekali dikunjunginya.

Tiba-tiba saja Bre menarik tanganku. Menggenggamnya dengan erat di antara panas dingin yang menggigilkan tubuhnya. Menatapku lemah.

”Tolong… peluk aku!” Pintanya.

Tubuhku mematung.

”Hanya itu yang kuinginkan, Kiran!” tatapnya memohon.

Hatiku langsung melesak. Entah kenapa, aku selalu luluh setiap mata sehangat langit senja itu menatapku dengan cara memohon. Padahal, kekecewaan yang belakangan ini sering kutunjukkan padanya, secara jelas, menguatkan hatiku untuk tidak gampang jatuh lagi pada tatapan itu. Bagai terhipnotis, tubuhku malah jatuh dan berbaring di ranjang. Menyusup masuk ke dalam selimut. Memeluknya dari belakang.

”Aku langsung pulang menemuimu begitu mendarat di bandara!” ucapnya memberi penjelasan, tanpa kuminta. ”Apa kau senang Kiran?”

Aku hanya diam. Sepertinya, Bre sedang berusaha mencairkan suasana tegang yang sering terjadi di antara kami akhir-akhir ini, walau jarak sering memisahkan kami. Protes yang sering kulayangkan padanya, beberapa bulan terakhir ini, akhirnya ampuh membawanya untuk langsung menemuiku hari ini. Terlalu sering aku merasa diabaikan. Acapkali aku merasa sendiri. Ya… aku hanya ingin dia meluangkan lebih banyak waktu bersamaku. Permintaan sederhana, tapi, entah kenapa, sulit sekali bagi Bre untuk mengabulkannya. Tidak seperti di awal-awal masa pernikahan kami.

”Aku merindukanmu!” ucap Bre, menyadari ada jeda panjang di antara kami. Ditariknya lenganku. Menenggelamkan tubuhnya lebih dalam, merapat dalam dekap pelukku. ”Apa kau merindukanku, Kiran?”

”Ya…,” jawabku, namun hanya di hati saja. Kurasakaan tubuh ini ikut menahan rasa sakit yang sama, untuk alasan yang berbeda.

Ada apa dengan perasaanku beberapa bulan ini? Ke mana perginya buncahan perasaan di awal pernikahan kami, mendorong troli bersama menyusuri lorong-lorong supermarket, berdebat hanya untuk memilih merek mie instan favorit. Sungguh, aku perempuan yang begitu lemah hanya dengan perhatian-perhatian kecil dari lelaki.

”Kebahagiaanmu semu Kirana!” Selalu itu yang Ibu ucapkan saat kukatakan, aku bahagia hidup bersama Bre, dan meminta Ibu untuk sekali saja membuka pintu hatinya, melihat bagaimana Bre memperlakukanku sebagai perempuan yang dicintainya.

”Secara fisik dia memang terlihat kaku dan jarang tersenyum. Mungkin sebagai arkeolog dia terlalu sering bermain-main dengan benda purbakala, hingga wajahnya selalu terlihat serius. Tapi dia begitu lembut dan penuh kasih saat memperlakukanku, Ibu!” jawabku waktu itu.

”Itu karena lelaki itu sudah berpengalaman,” bantah Ibu. ”Kamu masih muda Kiran, berpendidikan, pekerjaanmu juga bisa menghidupi dirimu sendiri. Hidupmu tidak tergantung padanya. Harusnya kau bisa memilih lelaki yang tepat.”

Aku hanya bisa mengusap dada. Begitu sulit meluluhkan perempuan berhati sekeras karang yang telah membesarkanku seorang diri, untuk menerima lelaki yang telah menikahiku, secara diam-diam, tiga tahun yang lalu, dan meletupkan bara di hati Ibu.

***

Mendadak aku dikejutkan oleh sebuah ciuman. Mendarat tepat di bagian atas kepalaku, dari belakang. Memutus rantai konsentrasiku. Mataku yang terpejam seketika menyalang. Tubuhku yang sedang bersila di atas matras, menghadap kolam koi kecil di halaman belakang, langsung bereaksi. Memutar kepala beberapa derajat, dan menemukannya.

Bre berdiri tepat di belakangku. Kemeja warna khaki dan celana dengan warna senada telah melekat di tubuhnya.

Aku mengernyitkan kening.

Bre membungkukkan badan.

”Aku mau ke kantor,” ucapnya pelan, hati-hati sekali, tepat di telingaku.

”Oh no, Bre…” Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. Membalikkan badan.

Secara fisik dia memang terlihat kaku dan jarang tersenyum. Mungkin sebagai arkeolog dia terlalu sering bermain-main dengan benda purbakala, hingga wajahnya selalu terlihat serius. Tapi dia begitu lembut dan penuh kasih saat memperlakukanku, Ibu!

Menatapnya tajam. Satu jam yang lalu, saat aku meninggalkannya di kamar, dia masih tertidur dengan pulas. Kesehatannya masih belum pulih benar. Aku dapat mendeteksi itu. Tapi sekarang, wajah di hadapanku ini tampak berseri-seri dengan semangatnya. ”Tunda dulu! sampai kondisimu benar-benar pulih,” pintaku memohon.

”Aku bosan. Sudah beberapa hari di rumah saja. Berdiam diri di kamar, menonton televisi, justru membuatku bertambah sakit.”

”Kali ini tolong dengarkan aku!” Pintaku sekali lagi. Ritual yoga yang sedang kulakukan benar-benar buyar.

”Aku janji tidak akan lupa minum obat tepat waktu.” Mimik wajahnya seperti anak kecil yang sedang merengek pada ibunya untuk dibelikan mainan.

Aku mengalah. Sejak sakit, sikap Bre berubah sedikit manja. Sesuatu yang belum pernah ditunjukkannya selama ini. Bre yang selalu berbicara lugas dan tegas setiap menjadi pembicara di seminar-seminar keilmuannya. Yang bersikap kaku dan pelit tersenyum, bertingkah seperti bukan dirinya. Tapi entah kenapa aku justru suka dengan perubahan itu. Terutama karena dia jadi punya banyak waktu untukku. Apa mungkin rasa sakit bisa mengubah sifat dan kebiasaan seseorang.

Aku bangkit dari duduk. Bersamaan dengan suara ponsel berbunyi. Bre mengeluarkan benda itu dari saku celananya.

Kulirik ponsel Bre, sebaris nama memanggil-manggil di layar ponsel itu. RUMAH!

”Oh ya… selepas jam kantor aku juga akan pulang ke rumah. Aku rindu pada Brina dan Bryan!”

Ponsel itu kemudian diletakkannya di telinga. Sambil menjawab telepon, Bre berjalan meninggalkanku. Suaranya terdengar sangat bersemangat. Sebesar semangat yang ditunjukkan oleh langkah-langkah kakinya yang bergerak menjauh dariku.

Aku tercenung, menatap kepergiannya dalam diam.

Mendadak terngiang kembali kata-kata Ibu.

”Kamu hanya persinggahan baginya Kirana. Sejauh apa pun seorang lelaki pergi, dia pasti akan kembali ke rumahnya, tempat di mana istri sah dan anak-anaknya menunggu. Seperti ayahmu yang kembali ke istri pertamanya setelah puas bemain hati bersama Ibu, hingga kau terlahir ke dunia. Apa kau ingin mengulang kesalahan yang pernah Ibu lakukan?”

Gerimis kecil mendadak menggenang di mataku.

Triana Rahayu, lahir di Langsa, Aceh, dan kini berdomisili di Bogor, Jawa Barat. Penulis merupakan alumnus Institut Pertanian Bogor. Karyanya telah terbit di sejumlah media cetak dan daring, seperti majalah Femina, majalah Kartini, tabloid Nova, koran Media Indonesia, dan Cendana News.

 

(4)

Bulan Ketujuh Kalender Lunar

Tiap tahun pada puncak bulan ketujuh kalender lunar, ada beragam sesajen. Kendati ritual digelar sampai tengah malam, ada saja arwah-arwah jahil yang berulah usil atau terang-terangan mengganggu keseimbangan dua dunia.

Oleh: SUNLIE THOMAS ALEXANDER, 20 November 2022

SETIAP bulan ketujuh kalender lunar, hantu-hantu akan dihidupkan lagi di kota kecil kami. Oleh adat dan keyakinan juga bakti ala konfusian.

Maka daging babi, ayam, ikan atau udang, juga buah-buahan, kue, tiga sloki teh dan lima sloki arak pun tertata di atas meja sesajen untuk mereka yang sudah mati. Semuanya senantiasa tersaji dalam jumlah ganjil di teras atau pekarangan rumah lantaran jumlah genap hanyalah untuk yang masih bernafas saja.

Mereka yang sudah meninggal lama seperti kakek-nenekku pun bakal kembali bertandang dari alam roh. Hari baik kiranya untuk menjenguk anak-cucu yang masih berjuang di dunia fana. Tentu tak kasatmata, hanyalah asap dupa dan doa tulus keluarga semata yang mengantar mereka datang dan pergi.

Lalu setelah mereka kenyang bersantap hidangan dunia yang dirindukan, dibakarlah uang akhirat serta pakaian dan sepatu kertas dalam tempayan. Ya, agar sekembali ke alam baka nanti mereka tak kekurangan uang dan sandang. Atau anak-cucu di dunia akan mendapat malu. Dicap tak berbakti karena menelantarkan arwah orangtua dan leluhur. Akibatnya bisa saja fatal: bakal seret rezeki si anak atau cucu durhaka!

Pernah aku bertanya kepada ibuku, ”Benarkah semua hidangan itu bisa disantap oleh orang mati?” dan ”Apakah pakaian dan sepatu kertas yang dibakar itu sungguh-sungguh dapat diterima oleh Kakek-Nenek?”

”Apa maksud kau tanya begitu?” jawab ibuku dengan mata melebar. Namun ayahku kemudian menjelaskan sambil mengulum senyum.

”Orang-orang mati itu hanya bisa menyantap saripati makanan, Nak. Dan tentu saja barang-barang di dunia fana ini baru bisa mereka gunakan kalau sudah mengabu,” kata ayahku. ”Sudahlah, kau tak usah terlalu banyak tanya. Aku juga tidak tahu kenapa begitu.”

Aku jadi membayangkan betapa semringahnya wajah arwah kakek dan nenekku dengan pakaian dan sepatu baru mereka. Kubayangkan pula mereka—yang hanya pernah kulihat dalam foto kusam hitam-putih—bersendawa keras. Panjang sekali doa yang diucapkan Ibu setiap mengajakku membakar dupa di depan meja sesajen. Dimohonnya agar arwah Kakek dan Nenek selalu memperhatikan keluarga dari alam sana, membantu kelancaran rezeki, juga menjaga diriku.

Hanya saja, aku si anak badung selalu celingak-celinguk melirik buah-buahan yang tersaji di atas meja. Apel, jeruk, pir yang besar-besar itu memang begitu menggoda kendati kotor oleh abu dupa. Rasanya tak sabaran aku menunggu sembahyang selesai untuk melahapnya.

”Hei, yang sopan kalau sedang di depan kakek-nenekmu! Kualat baru tahu rasa!” tegur ibuku galak. Memerah wajahnya setiap kali memergoki ulahku.

***

YA, setiap bulan ketujuh kalender lunar, hantu-hantu selalu dihidupkan lagi di kota kecil kami. Di rumah kami maupun di rumah para tetangga, nama-nama mereka yang telah mati akan ditulis lagi dalam aksara Han di atas kertas merah persegi panjang yang dilekatkan pada dua batang dupa dan ditancapkan dalam guci-guci kecil atau kaleng yang dibungkus kertas merah. Tentu aku belum mengerti Hanyu kala itu. Namun Ayah yang menulisnya, dengan sabar memberi tahuku mana nama Kakek dan mana Nenek.

“Laki-laki selalu di sebelah kanan. Nah, ini huruf marga keluarga kita. Kalau marga nenekmu hurufnya seperti ini,” tunjuknya padaku lalu memintaku menancapkan kertas-kertas nama itu ke dalam dua buah kaleng mentega yang telah disusun rapi di kepala meja.

Karena keluarga kami cuma menjamu arwah Kakek-Nenekku saja, kami tak menyiapkan banyak sesajen seperti para tetangga. Sebagai putra tertua, Paman Liu Kong-lah yang ketiban kewajiban sembahyangi arwah kedua buyutku. Keluarga Paman bahkan harus menyiapkan tiga pasang sesajen: untuk arwah Kakek-Nenek, kakek-nenek buyutku, dan kedua orangtua istrinya.

Alangkah beruntungnya arwah-arwah yang masih punya sanak-keluarga di dunia, pikirku. Sementara banyak arwah tak bersanak yang luntang-lantung sebagai hantu telantar. Haus dan lapar, berkeliaran tanpa tempat pulang setiap bulan ketujuh tiba. Kadang nekat mereka mencuri hidangan dari meja sesajen arwah lain, ya dari rumah ke rumah.

Karena itu bertempat di halaman kelenteng yang luas, setiap tahun pada puncak bulan ketujuh kalender lunar, beragam sesajen akan disajikan secara berlimpah di atas lapak-lapak kayu bagi para arwah malang tak berumah tak bersanak itu. Agar mereka tak lagi menjadi arwah penasaran dan mengganggu baik yang hidup maupun yang mati.

Ya hari ke-14 bulan ketujuh: festival para hantu, hari raya orang mati. Lihatlah bagaimana orang-orang kaya berlomba-lomba bersedekah. Berebutan mereka mencari pahala dengan mendermakan uang, berton-ton beras, berkarung buah dan sayur-mayur, hingga berpeti-peti bir untuk menjamu arwah-arwah itu. Sebab, kata ibuku, tak cuma para fakir miskin, jompo, dan anak-anak yatim di dunia fana yang berhak menerima santunan, tetapi juga para arwah di alam baka!

Sebuah replika kapal layar dari kertas dan bambu pun dibuat untuk mengantar para tamu yang tak kasatmata itu pulang-pergi antara dua alam. Kapal hantu itu megah dan indah, teronggok di tengah halaman kelenteng. Tampaknya dibuat dengan telaten oleh tangan-tangan yang cukup terampil. Paling tidak, setiap diajak ayahku melihat ritual Chiong Si Ku, aku selalu terpana melihat kapal layar berukuran besar itu.

”Semoga arwah-arwah itu mengingat budi baik kita, tak lagi mengusik, justru membantu kelancaran rezeki,” tukas Paman Cen, seorang teman Ayah yang ikut menyumbang 100 kilogram beras, demikian kuingat suatu ketika. Waktu itu, ayahku hanya tersenyum saja.

Namun terkadang, kendati ritual telah digelar sampai tengah malam, ada saja arwah jahil yang masih mengganggu keseimbangan dua dunia. Itu sebabnya sebuah boneka Thai Se Ja, dewa akhirat, akan dibuat dan didirikan di tengah gelaran sesajen untuk mengawasi semua hantu yang datang ke perjamuan agar mereka tak berbuat onar. Boneka itu menjulang tinggi dengan pakaian kebesaran seorang raja. Wajahnya hitam menakutkan, dengan lidah merah terjulur panjang dan sepasang mata melotot besar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang kuas dan di tangan kirinya terbuka sebuah buku tebal.

”Itu namanya kitab kehidupan,” jelas ayahku, ”Berisi semua nama yang masih bernyawa. Kalau ajal kita sudah sampai, nama kita akan dicoretnya dari kitab itu.”

Aku terbelalak menatap wajah boneka kertas yang angker itu.

***

AH, benarkah arwah-arwah itu memang begitu nyata berkeliaran di sekitar kita?

Kenakanlah semua pakaianmu dalam posisi serba terbalik dan duduklah di bawah tangga dengan berpayung daun keladi. Jika perlu cukur bulu alismu, niscaya kau akan melihat hantu-hantu itu dalam berbagai wujud, dari yang rupawan sampai yang paling mengerikan. Berhati-hatilah dengan yang mati berdarah, karena mereka tak cuma suka menampakkan dirinya dalam kondisi pada saat mati, namun juga suka menjamah manusia.

Itu kata Botak Ho, tetangga sebelah rumah kami yang sehari-hari berdagang buah di pasar. Tentu tak ada orang yang begitu konyol mau ikuti sarannya, apalagi sampai mencukur bulu alis. Tanpa berpakaian terbalik di bawah tangga pun, suatu malam bulan ketujuh—begitulah pengakuannya—dengan mata kepalanya sendiri ia melihat sepiring ayam sesajen melayang-layang di depan jendela kamarnya.

”Sumpah! Awalnya aku juga tak percaya! Tapi setelah kuamati, itu benar-benar ayam sesajen!” ceritanya kepada para tetangga, termasuk ayahku. Aku dan beberapa anak yang menguping langsung tercengang. Ada yang percaya tapi agaknya lebih banyak yang tidak, mengingat reputasi Botak Ho yang suka omong besar.

”Dasar pembual! Kenapa ia tak mengaku ada kepala babi sesajen menguik dalam kelambunya sekalian?!” tukas ayahku sinis. Tentu saja di belakang Botak Ho.

Namun terlepas benar tidaknya kesaksian Botak Ho itu, tiga hari kemudian kompleks rumah kami benar-benar heboh. Bukan terjadi penampakan hantu, tetapi berbagai sesajen lenyap dari atas meja sembahyang di pekarangan sejumlah rumah saat sembahyang Chit Ngiat Pan sedang berlangsung! Ada yang kehilangan ayam dan daging babi, ada juga yang kehilangan buah-buahan dan kue, bahkan botol arak. Ibuku sendiri kehilangan senampan besar daging babi, padahal ia baru sepuluh menit tinggalkan meja sembahyang karena adikku menjerit-jerit minta dibuatkan susu. Kejadian ini berlangsung saat aku sudah agak besar, sudah duduk di bangku kelas satu SMP.

Ai, maling keparat dari mana yang berani-beraninya mencuri di siang bolong? Yang lebih tak masuk akal lagi: mencuri sesajen sembahyang, makanan dan minumannya hantu!

”Sudah aku bilang, belakangan ini banyak arwah penasaran gentayangan tapi kalian tidak percaya!” tukas Botak Ho dengan wajah berbinar-binar. Suaranya terdengar penuh kemenangan.

”Arwah gentayangan gundulmu!” umpat ayahku tak bisa menahan jengkel, membuat satu-dua tetangga terkekeh. Wajah Botak Ho jadi merah padam, langsung ia berbalik badan dengan mulut berkomat-kamit tanpa suara. Dan selepas itu selama beberapa waktu tak terdengar lagi ia bicarakan hal yang aneh-aneh.

Namun dua minggu kemudian ketika sejumlah tetangga kami akhirnya memutuskan memanggil thaipak dan para thung se untuk ”membersihkan rumah”, Botak Ho kembali terlihat begitu sibuk. Dengan gesit ia memperkenalkan dan menghubungi para perantara dewa itu, seolah-olah dirinya yang paling tahu thaipak mana saja yang ilmunya paling masin dan siapa saja thung se yang dewanya paling ampuh di seluruh daerah Belinyu.

Tentu, seperti katanya, ia tak perlu diberi imbalan apa-apa atas bantuannya. Hanya saja orang-orang jadi tidak enak hati jika tidak membeli buah-buahan jualannya yang diperlukan untuk sesajen.

Begitulah, pada penghujung bulan ketujuh itu, dewa-dewa dan thaipak kung pun diundang ke alam fana untuk mengusir para arwah yang suka mengganggu. Ini tentunya tontonan yang amat menarik bagiku dan anak-anak sebaya lainnya, demikian pula bagi sebagian orang dewasa. Terpukau-pukau kami menyaksikan bagaimana dewa-dewa yang merasuki tubuh para thung se pengikutnya itu memainkan jurus-jurus toya, tombak, dan pedang. Dan terkikiklah kami ketika melihat para thaipak kung tertatih-tatih dengan tongkatnya menuju altar.

Setelah air berisi mantra dewa disemburkan oleh para thaipak dan thung se, dan setelah bermacam phu ditempel di ambang pintu, apakah para arwah jahil memang berhasil dihalau dari pintu-pintu rumah dan toko?

Ah, hanya kurang-lebih seminggu usai ritual Tatung itu dilaksanakan di sejumlah kelenteng dan rumah, Kim San istri muda Botak Ho yang baru berusia 22 tahun berlari keluar ke jalan sambil menjerit-jerit histeris dengan badan berbelitkan selembar handuk.

”Di-i cermiin… Di-dia menatapku di cermin kamar mandi,” terbata-bata perempuan cantik itu menjelaskan saat ia berhasil ditenangkan oleh sejumlah ibu-ibu tetangga.

”Siapa yang menatapmu itu?” tanya ibuku sambil mengelus-elus punggungnya. Wajah Kim San tampak seputih kertas, sekujur tubuhnya gemetaran.

”Mendiang istri pertama Kakak Ho! Mulutnya hitam berbusa!” jawabnya dengan mata melebar lalu menggerung keras.[]

Yogyakarta, Juli 2012/ September 2022

Catatan:

– Chiong Si Ku (bahasa China-Hakka): Ritual menjamu arwah-arwah tak bersanak-keluarga yang dilaksanakan pada setiap perayaan Chit Ngiat Pan (Hari ke-14 bulan ke-7 Imlek). Upacara ini diakhiri dengan perebutan sembako, sayur-mayur, buah-buahan, dan daging. Karena itu di Bangka, orang-orang Melayu sering menyebut upacara ini sebagai Sembahyang Rebut.

– Thaipak (bahasa Hakka): Dapat dimaknai sebagai sejenis ”dukun”. Biasanya ditujukan untuk orang-orang China yang mampu mengobati berbagai penyakit akibat gangguan makhluk halus. Tetapi sering kali mereka juga dijadikan sebagai tempat untuk meminta petunjuk judi oleh para penggila lotre. Para thaipak ini juga pelakon ritual tatung (di Bangka lebih dikenal sebagai lok thung) yang disebut sebagai thung se.

– Thung Se (bahasa Hakka): Orang-orang tertentu yang dipilih oleh para dewa sebagai perantara. Pelakon ritual Tatung.

– Thaipak Kung (bahasa Hakka): Dewa-dewa (atau lebih tepatnya roh-roh suci) yang memilih para thaipak sebagai perantara. Disebut thaipak kung (harfiah: kakek-paman besar) karena mereka adalah para pertapa tua.

– Phu (bahasa Hakka): Kertas kuning persegi panjang yang ditulisi dengan mantra dewa (bahasa Mandarin: Hu).

***

Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977. Sudah menerbitkan lima buku kumpulan cerpen. Bukunya Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu memperoleh Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud RI Tahun 2020 untuk kategori Kritik Sastra/Esai. Cerpennya ”Keluarga Kudus” meraih penghargaan Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2021.

***

 

(5)

Ngidam Babi

Matahari sedang garang-garangnya. Titik kulminasi. Siang kerontang, orang-orang kampung waswas. Segera memasuki rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebagian nekat, melihat dari balik pintu, atau pun mengintip.

Oleh: KARTIKA CATUR PELITA, 19 November 2022

Seekor babi hutan, besar dan hitam, terseok memasuki perkampungan. Sepasang matanya menyalang seperti mengancam. Sepasang taring tajam panjang menebarkan kengerian. Si babi hutan semakin jauh memasuki perkampungan. Dalam waktu sekejap, perihal keberadaan babi tersiar ke ratusan warga, menebar suasana panas dan mencekam.

Matahari sedang garang-garangnya. Titik kulminasi. Siang kerontang, orang-orang kampung waswas. Segera memasuki rumah, menutup pintu dan jendela rapat-rapat. Sebagian nekat, melihat dari balik pintu, atau pun mengintip. Mengawasi dan memantau keberadaan babi hitam yang berkeliaran di jalanan kampung. Seseorang pemberani memotret, dan menyebarkan gambar babi ke orang-orang kampung.

“Babi dari mana? Bukankah perkampungan ini jauh dari hutan?”

“Babi kesasar, eh tersesat kali.”

“Seperti mencari sesuatu. Mungkin ia mencari kawannya.”

“Babi ngepet mungkin, Kang. Kepagian pulang.”

“Babi siluman atau babi asli kita baru tahu kalau sudah tertangkap.”

“Siapa berani menangkap babi? Kalian lihat tubuh dan taringnya. Seram.”

“Kita tembak saja!”

“Jangan! Kalau kita tembak dan ternyata si babi jelmaan orang, itu sama saja kita sudah membunuh orang.”

“Babi siluman kagak mati kena tembak.”

“Kata siapa, Cong? Konon kalau kita pakai peluru emas, babi siluman ataupun orang yang pakai ilmu kebal bisa mampus!”

“Kita pasang perangkap saja. Kita tangkap babi hidup-hidup!”

“Bagaimana cara bikin perangkap babi?”

“Aku dulu pernah diajak berburu babi. Aku masih ingat cara bikin….”

Orang-orang bersatu, bahu membahu membuat perangkap. Babi terperosok dalam kandang jebakan. Babi tertangkap. Babi tiada berdaya. Orang-orang bersorak. Beramai-ramai menghabisi si babi. Si babi disembelih, dagingnya dibagi-bagi. Untuk pesta.

***

Keesokan harinya, seorang perempuan muda memasuki perkampungan. Langkahnya tertatih, terhuyung. Matahari sedang garang-garangnya membakar tanah basah sisa hujan semalam. Si perempuan asing memilih berhenti. Lelah. Gundah.

Pada sebuah pos ronda ia berteduh. Aku merasakan bau suamiku di daerah sini, dekat dari sini, gumam si perempuan muda berpipi tirus, berambut panjang lurus. Berperawakan tinggi lencir. Wajahnya terlihat ayu, tapi ia terlihat lelah. Tak bisa dipungkiri. Berhari-hari ia mencari jejak sang suami. Demi apa pun aku harus menemukan dan menyelamatkan suamiku, batinnya. Si perempuan layu hendak membaringkan tubuh, melepas lelah, ketika seorang pemuda menghampiri, melarangnya. “Jangan tidur di situ, Mbak. Kotor. Tempat babi disembelih.”

“Babi?”

Si perempuan tersengat. Ia buru-buru bangun.

“Mbak sepertinya orang jauh. Kelihatan lelah.”

“Saya…”

“Minumlah dulu air ini, Mbak.” Pemuda memberikan sebotol minuman. Perempuan hanya minum seteguk, parasnya menyiratkan kekhawatiran. “Babi itu… apa maksudmu, Nak?”

“Kemarin siang seekor babi kesasar masuk kampung ini. Babi dijebak, masuk perangkap. Babi ditangkap, dibunuh, dijadikan pesta semalam suntuk.”

“Pesta babi?”

“Ya. Tapi saya tidak ikutan. Saya muslim, haram makan daging babi.”

“Semalam yang dibunuh… babi hutan atau babi putih, peliharaan?”

“Babi hutan. Hitam. Besar dan bertaring. Seram. Tapi aneh, saat penduduk memburu babi itu, si babi seperti ketakutan. Tak bisa melawan. Taring seperti hanya untuk pajangan. Jangan-jangan taring palsu, hahaha.” Si pemuda yang tengah tertawa betapa tak tahu bahwa paras perempuan asing di hadapannya, tiba-tiba berubah memerah, seperti menahan marah. Sesaat saja. Detik berikutnya si perempuan terlihat nelangsa, gambaran seorang ibu yang tengah membutuhkan pertolongan. Suaranya terdengar seperti orang merintih kesakitan, memerlukan obat penyembuh luka.

“Oh, bisakah kau membantuku, Nak. Aku sedang hamil dan ngidam babi. Suamiku sudah beberapa hari pergi berburu babi ke hutan. Demi memenuhi ngidamku. Suamiku tidak pulang-pulang. Aku menyusulnya, mencari jejaknya. Tapi belum ketemu. Berhari-hari aku berjalan kaki, antara mencari suamiku dan memenuhi ngidam jabang bayiku. Nak, bisakah kau carikan aku sepotong daging, darah, ataupun sehelai bulu babi demi ngidamku.”

“Kau ngidam babi?”

“Iya, Nak. Tolong carikan sepotong daging. Jika pun tak ada, boleh darah. Atau jika tak ada darah, bulu babi yang baru saja dibantai warga bisa kau berikan padaku. Kau mau menolongku, kan, Nak?”

“Baiklah,” si lelaki muda merasa jatuh iba. “Aku kan mendatangi rumah kerabatku yang semalam ikut pesta babi.”

“Ya. Aku akan tetap di sini. Menunggumu sampai kembali, Nak.”

***

Si teruna tampan pergi. Si perempuan yang mengaku ngidam babi termenung di pos ronda. Tadi dia merasa mengantuk. Sekarang rasa lelah dan kantuk entah telah terbang ke mana. Harapan bahwa suaminya bisa ditemukan, memicu gairah hidupnya. Terbayang sosok jantan cinta pertamanya. Mereka menikah atas nama cinta, meskipun terlahir sama-sama orang tak berpunya. Malangnya terlahir miskin dan dipandang sebelah mata. Ia dan suami sepakat mengubah nasib. Seorang kawan mengenalkannya pada juru kunci Bukit Babi.

Mereka mengadakan perjanjian pesugihan babi ngepet. Menukar nyawa demi harta duniawi. Kelak bila tiba saatnya menjadi tumbal siluman babi. Sejoli suami-istri yang bosan hidup dalam kemiskinan pun menyetujui. Maka, sang juru kunci yang merangkap sebagai dukun memberi ilmu ajian babi ngepet pada mereka. Dengan memiliki ilmu malih rupa, setiap membaca rapal, mereka akan berubah wujud menjadi siluman babi. Siluman babi jantan dan betina. Siluman babi berkeliling, mencuri harta warga. Berlaksa kala mereka berhasil. Sial, petaka datang. Malam itu, si istri lupa mematikan lampu, dan si babi jantan kebingungan pulang.

Oh, bisakah kau membantuku, Nak. Aku sedang hamil dan ngidam babi. Suamiku sudah beberapa hari pergi berburu babi ke hutan. Demi memenuhi ngidamku. Suamiku tidak pulang-pulang. Aku menyusulnya, mencari jejaknya. Tapi belum ketemu. Berhari-hari aku berjalan kaki, antara mencari suamiku dan memenuhi ngidam jabang bayiku. Nak, bisakah kau carikan aku sepotong daging, darah, ataupun sehelai bulu babi demi ngidamku.

“Jika si babi dibunuh, dibantai, bahkan dicacah orang, aku bisa menghidupkannya lagi.” Tergiang pesan sang juru kunci Bukit Babi.

“Benarkah, Ki?” tanyanya saat itu.

Secepat kilat si juru kunci menebaskan pedang di leher si babi jantan-jelmaan suaminya. Babi pun roboh ke tanah, mati. Si perempuan tercekat. Belum pulih dari keterkejutan saat sang juru kunci mendekati bangkai babi, mengusap leher babi yang menganga. Diusapnya. Ajaib, si babi bangkit, hidup lagi. Luka di lehernya sembuh, tanpa meninggalkan bekas luka.

“Apa maksudnya ini, Ki?”

“Jika kalian terluka, bahkan mati, aku bisa menghidupkan kalian lagi asalkan bisa membawakan sepotong daging, tulang, atau helai bulu babi.”

***

Si perempuan termenung di pos ronda. Hatinya tak tenang, namun ia masih punya harapan. Mungkinkah babi yang ditangkap warga memang penjelmaan suaminya? Oh, jika kenyataan begitu, apa gunanya ia hidup jika orang tercinta telah tiada? Ah, tapi ia masih punya harapan. Juru kunci bisa menghidupkan suaminya. Asal ia bisa memenuhi syaratnya. Semoga lelaki muda bisa mendapatkan sepotong daging babi, setetes darah, atau sehelai bulu babi pun tidak mengapa.

Si perempuan muda mengelus perutnya. Oh, anakku, mungkinkah kau lahir tanpa seorang ayah? Oh, suamiku yang tampan kembalilah. Lupalah kau aku sedang hamil dan ngidam? Aku ngidam babi, tapi hanya babi penjelmaanmu. Hanya kau lelakiku yang mengerti aku dan membuatku bahagia. Sekarang mengapa kau tega meninggalkanku. Bukan, bukan salahmu, tapi keteledoranku, mengapa malam itu aku tertidur dan lupa menjaga nyala lilin.

Oh, suamiku maafkanlah aku. Aku kan menebus dosa. Aku kan berjuang agar kau hidup lagi, kembali bersamaku. Hidup membesarkan anak kita.

“Mbak….” suara itu memintas lamunan. Oh, dia sudah datang suamiku. Dia yang menolongku.

“Ya. Mana daging dan darah babinya. Agar ngidamku terwujud dan anakku tak ngiler. Kau berhasil membawanya untukku? Jika tak daging atau darah babi, mungkin bulu atau tulang babi….”

Si pemuda muncul, tertegun mendengar si perempuan yang sangat mendamba ngidam babi, hingga ia sesaat tercekat diam. Beberapa saat baru si teruna perlahan berkata-kata. “Maafkan, aku sudah mencari daging babi, tulang, bulu, tidak ada yang tersisa, bahkan tak ada yang menyimpannya. Dini hari tadi hujan turun lebat, sungai meluap. Orang-orang membuang sisa pesta ke sungai. Kau bisa menyusuri sungai, mencarinya. Jika beruntung, kau menemukannya. Mengapa kau tak ngidam yang lain saja. Babi itu jorok dan haram!”

Si pemuda hanya bermaksud bercanda. Si perempuan muda murka, malih rupa, wujudnya berubah menjadi babi betina yang mengerikan!

***

Kota Ukir, 02 November 2022

Menulis prosa dan puisi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Founder komunitas Akademi Menulis Jepara(AMJ). Buku karyanya Perjaka, Balada Orang_orang Tercinta, Perempuan yang Ngidam Buah Nangka, dan Karimunjawa Love Story. Buku terbarunya jelang terbit, Hujan Beras.

 

(6)

Kematian yang Indah

Dokter yang telah menjadi sahabatku sejak kecil itu lekas datang. Setelah memeriksa keadaanku, ia bilang aku tidak mati.

Oleh: KETUT SUGIARTHA, 17 November 2022

Pagi itu mendadak gaduh gara-gara tubuhku didapati terbujur kaku di atas tempat tidur. Seisi rumah panik. Mereka mengira telah terjadi sesuatu yang buruk pada diriku. Namun, agaknya mereka tidak yakin kalau aku sudah mati. Karena itu mereka buru-buru memanggil dokter yang tinggal tidak jauh dari rumah.

Dokter yang telah menjadi sahabatku sejak kecil itu lekas datang. Setelah memeriksa keadaanku, ia bilang aku tidak mati. Sialnya, ia minta keluargaku segera membawaku ke rumah sakit. Sial kukatakan karena aku paling tidak suka rumah sakit. Tempat itu sudah jadi momok bagiku sejak aku mengalami hal yang sangat tidak menyenangkan ketika dirawat di sana beberapa waktu yang lalu. Itu membuatku acap mengeluh dan bahkan tidak jarang mengatakan lebih baik mati saja.

Aku tahu kalau kemudian ada segelintir orang menganggapku tidak waras. Mereka bilang aku sudah kelewat akrab dengan kematian. Mereka tidak bisa disalahkan. Belakangan aku memang getol bicara tentang kematian pada setiap kesempatan. Pernah kukatakan bahwa aku sudah siap untuk mati dan aku menginginkan, kalau mungkin, kematian yang indah dan tak terduga seperti kematian Lahiri Mahasaya. Dalam Autobiography of a Yogi Paramahansa Yogananda mengungkapkan, yogi yang adalah guru dari gurunya itu mengakhiri hidupnya dengan penuh kesadaran dalam posisi duduk bersila beberapa menit setelah selesai memberikan ceramah.

Aku tidak ingin kematian yang begitu lamban sebagaimana dikeluhkan Arie Smith dalam ePilog-nya Putu Fajar Arcana. Tidak beda dengan pelukis Belanda yang tutup usia di Bali itu, aku juga mengharapkan kematian yang tidak lamban biar tidak terlalu membebani keluarga yang kutinggalkan.

Untuk itu mesti kusiapkan uang secukupnya. Aku tidak ingin keluarga yang kutinggalkan sampai berutang setelah kematianku. Asal tahu saja, orang Bali seperti diriku membutuhkan biaya kematian yang hampir setara dengan biaya hidup untuk beberapa bulan. Tentu beda dengan orang berada yang bisa menghabiskan uang yang dapat membiayai hidup bertahun-tahun.

Mungkin ada yang bertanya, tidakkah aku takut menghadapi kematian? Dulu pernah. Saking takutnya aku bahkan berharap dapat hidup selama mungkin alih-alih hanya ingin hidup seribu tahun lagi seperti Chairil Anwar. Akan tetapi, sejak menyandang sebutan manusia lanjut usia dan menyadari diri tidak cukup berguna lagi bagi orang lain, maka kematian mulai menjadi bagian dari cita-cita. Menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu dengan penuh harapan, apalagi setelah mengetahui bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.

Aku telah membaca beberapa kitab yang membuatku tahu dan percaya bahwa kehidupan dan kematian itu bagian dari siklus dari tiada ke ada dan dari ada ke tiada. Demikian terus berproses menuju kesempurnaan. Beberapa sistem kepercayaan menyebutnya tumimbal lahir. Dan bila kelak aku dilahirkan kembali di planet bernama Bumi ini, aku berharap akan menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Aku ingin menjadi orang yang lebih bermartabat. Menjadi orang yang berjiwa besar dalam menghadapi segala tantangan hidup. Menjadi orang yang dicintai banyak orang meski tetap dinyinyiri orang-orang iri hati. Tidak gampang marah dan memperlakukan bawahan seenaknya jika aku punya kekuasaan. Tidak seenaknya membunuh orang yang mengetahui rahasiaku, dan seterusnya. Pendeknya, aku ingin menjadi orang yang mendekati sempurna.

Sayangnya tidak ada yang dapat menjamin semua keinginan mulia itu akan bisa terwujud. Tidak usah muluk-muluk dan tidak usah terlalu jauh. Merealisasikan keinginan untuk mati saja, seperti saat ini, tidaklah gampang. Tetapi aku tidak boleh menyerah. Cita-cita harus terus diperjuangkan.

Agaknya ada yang salah dengan upaya yang telah kulakukan. Sepertinya kepasrahanku dalam menerima kematian belum total. Dengan kata lain masih ada bagian dari diriku yang masih menginginkan kehidupan. Jika konflik seperti ini masih ada, bagaimana upayaku bisa membuahkan hasil?

Upaya pertama yang langsung berhasil memang jarang ada. Maka dari itu aku tidak akan membiarkan kegagalan membuat langkahku surut. Seperti orang-orang sukses di bidang apa pun, aku juga harus percaya bahwa setiap kegagalan adalah anak tangga menuju keberhasilan. Seperti orang jatuh yang bangkit kembali, aku harus melakukan yang lebih baik dari sebelumnya.

Tidak masalah jika kematianku tidak seindah kematian Lahiri Mahasaya. Toh aku bukan beliau yang dengan sesuka hati dapat menghentikan napas dan denyut jantung. Mati sebagai orang Bali dengan cara yang kupilih sudah begitu indah bagiku.

Bukankah mati sebagai orang Bali saja sudah indah? Itu keindahan. Keindahan yang tercipta dari penyelenggaraan upacara ngaben yang berbalut seni budaya unik sehingga menjadi tontonan para turis. Di tempat lain, kematian seseorang pada umumnya merupakan peristiwa duka yang patut diratapi, tetapi ini beda. Malah dirayakan. Makanya tidak perlu heran kalau almarhum mantan Menteri Parwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave berpesan sebelum wafat agar upacara kematiannya diselenggarakan di Bali.

Agar aku tidak dibawa ke rumah sakit, harus kutunjukkan kepada keluargaku bahwa aku baik-baik saja. Maka perlahan kubuka mata dan kuregangkan tubuh mirip kucing sedang menggeliat, tak peduli apa pun reaksi mereka.

Kubiarkan hidupku mengalir sebagaimana biasa sebelum kuputuskan mempraktekkan lagi cara meraih kematian yang telah menjadi obsesiku. Kupilih malam hari saat orang-orang sudah lelap dibuai mimpi agar tidak ada yang mengganggu.

Perlahan kubaringkan tubuh di atas tempat tidur. Tanganku terjulur lurus di sisi kanan dan kiri tubuh meniru postur yoga yang disebut savasana. Napas yang masuk dan keluar kuatur sehalus mungkin sambil merapal mantra yang dirahasiakan para guru.

Kubayangkan kondisi santai mulai mengalir dari ujung-ujung jemari kaki, terus perlahan merambat naik melewati kedua telapak kaki, pergelangan, betis dan lutut. Lalu menjelajahi paha dan ujung-ujung jemari tangan, lanjut naik ke selangkangan dan pergelangan kedua tangan, merayapi bokong dan perut bagian bawah.

Perasaan mengambang mulai terasa ketika aliran itu mencapai wilayah dada. Kupikir keinginanku akan segera terwujud. Maka kubiarkan proses itu berlanjut, melampaui leher dan wajah. Saat mulai menyentuh dahi, tubuhku terasa seringan awan. Aku merasa begitu bahagia. Tak pernah aku mengalami sensasi seperti itu sebelumnya. Seakan punya sayap aku melayang meninggalkan tubuhku yang terbaring damai di atas tempat tidur.

Kunikmati pengalaman baru itu dengan berputar-putar di sekitar kamar. Kuamati tumpukan buku referensi di dekat laptop di atas meja sambil tersenyum sebelum kudekati rak buku di sisi dinding yang tidak dapat menampung semua buku yang kumiliki, mirip dengan rak buku di ruang tamu yang jarang dipakai menerima tamu. Kucoba menyudul langit-lagit kamar tetapi kepalaku tidak meyentuh apa-apa. Setelah itu pandanganku tertancap pada jam dinding. Jarumnya yang pendek menunjuk angka tujuh…

Tiba-tiba ada yang menggedor jendela kamarku dengan keras. Aku melesat kembali ke dalam tubuhku dan terpikir olehku bahwa aku akan gagal lagi. Ada saja yang menghalangi, umpatku dalam hati.

Sambil menahan perasaan kesal kuabaikan gedoran di jendela yang tak kunjung berhenti. Rupanya mereka jengkel karena tidak kupedulikan sehingga gedoran itu dibuat semakin keras sampai menggetarkan tempat tidurku.

“Bangun…! Cepat keluar…! Gempa…!”

Teriakan itu membuat mataku terbeliak dan seketika teringat pada bencana gempa bumi beruntun yang pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Waktu itu aku sedang bertugas di ujung timur Pulau Bali. Aku dan teman-teman sekantor sepakat untuk melakukan sesuatu yang berbeda pada hari Minggu itu. Kami memutuskan bergabung dengan kelompok relawan yang datang ke desa-desa terpencil untuk memeriksa keadaan dan siap memberikan pertolongan jika diperlukan. Aku ingat bagaimana kami mengeluarkan seorang perempuan tua yang tubuhnya gepeng tertindih kerangka dan atap rumah yang rubuh. Keadaannya sangat mengenaskan.

Tentu saja aku tidak mau mati seperti itu. Karenanya serta-merta kutinggalkan tempat tidur dan cepat menuju pintu. Setelah pintu terbuka, kulihat orang-orang di luar pada memandangku dengan tatapan aneh.

_____________

Ketut Sugiartha tinggal di Tabanan, Bali. Esai, puisi, cerpen dan novel yang ditulisnya dimuat di berbagai media cetak dan daring. Telah menerbitkan 13 buku tunggal dan 3 buku bersama meliputi kumpulan cerpen dan novel.

 

(7)

Manusia Kelelawar

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah Kiran di sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di pekarangan rumah mereka.

Oleh: DAMHURI MUHAMMAD, 13 November 2022

Bila orang-orang yang datang untuk berguru ke rimba Cempaya menginginkan kesaktian semacam kebal senjata atau tahan bacok, ia tiba hanya dengan keinginan remeh belaka. Tak terobsesi menjadi centeng pasar, penguasa terminal, apalagi pemimpin gerombolan preman berdasi. Lantaran satu keperluan mendesak, ia ingin punya ketangguhan dalam membendung kantuk. Ia ingin kebal dari serangan kantuk, baik yang datang di siang bolong maupun yang tiba di ujung malam.

”Kau bisa mampus bila menolak tidur!” cemooh Asar Munawar, murid yang sudah berbilang bulan menghuni rimba Cempaya demi cita-cita menjadi begundal kebal di kota yang jauh.

”Tuan Guru di sini spesialis ajian tahan pelor. Datang dari mana kau, anak muda?” tanya Ngku Taubat, semacam asisten yang bertugas menyeleksi murid-murid baru.

”Ia berasal dari satu perkampungan di selatan, yang kini sudah porak-poranda setelah digulung banjir bandang, Ngku!” Sodiq Solihin segera menyambar, seperti juru bicara saja bagi anak muda berkeinginan ganjil itu.

”Kantuk itu keajaiban yang sempurna dari Tuhan. Derajatnya hanya satu tingkat di bawah maut. Sebaiknya kau tidak nekat menghadang kehendak Tuhan,” begitu nasihat Ngku Taubat.

Anak muda itu diam saja, sembari menengadah ke langit-langit dangau reyot, tempat peristirahatan Ngku Taubat. Malam sudah larut. Obrolan mereka hanya ditimpali oleh kesiur angin dari lembah di sisi kiri rimba Cempaya.

”Namanya Kiran, Ngku! Tapi kami memanggilnya Betmen, lantaran ia mengaku hanya punya tenaga di malam hari,” kata Sodiq Solihin, berusaha memecah kesunyian. Lagi-lagi, Betmen tak berselera untuk bicara. Hanya sedikit mengangguk sambil menatap wajah Ngku Taubat.

Semula Kiran bergabung dengan Sodiq Solihin Cs di dangau berlantai bambu yang seolah-olah disediakan untuk para murid, padahal aslinya hanya tempat berteduh terbengkalai yang sudah lama ditinggalkan peladang. Di malam-malam awal itulah Kiran memperlihatkan alasan yang absah perihal kemauan kerasnya untuk menguasai ajian tahan ngantuk. Dalam setiap tidur, ia diserang mimpi buruk yang itu-itu saja, hingga ia tak bisa lagi memilah mana yang mimpi dan mana yang nyata. Hari-hari Kiran mengalami mimpi buruk seperti kebiasaan membasuh muka saban pagi.

Adegannya bermula dari perjalanan menyeberang kali sambil menggandeng Hayatunnufus, kekasih pujaannya, pada sebuah senja yang mendung. Beberapa langkah sebelum sampai di seberang, arus besar tiba-tiba menggelosor saja dari hulu. Kiran dan Nufus kuyub dalam hujan yang tak tanggung-tanggung besarnya. Kedalaman kali meningkat hanya dalam beberapa tarikan napas. Nufus terombang-ambing. Tak berselang lama, ia terlepas dari pegangan tangan Kiran.

Selepas teriakan yang samar, tubuh Nufus timbul-tenggelam digulung arus. Kiran bergegas mengejar. Menggapai-gapai sekuat tenaga. Semakin dikejar, arus bagai semakin lekas menyeret tubuh kekasihnya. Dalam hujan yang tak kunjung reda, penampakan Nufus makin jauh, makin samar, lalu hilang di kejauhan. Itulah awal mula bencana yang melanda kampung halaman Kiran. Air bah muncul dari mana-mana, melibas apa saja, hingga satu kampung binasa bagai dalam sekejap mata.

”Nufus, Nufus, Nufuuuuuus…. Kenapa bukan aku saja yang tenggelam?”

”Kenapa bukan aku saja yang mati?”

Begitu igauan berulang-ulang dalam setiap tidur Kiran. Saat igauan itu muncul, napasnya sesak parah, tubuhnya mandi peluh. Itu sebabnya Kiran hendak menemukan jalan gaib guna menaklukkan kantuk, agar ia tidak lagi jatuh dalam tidur berisi mimpi mengerikan itu.

”Bila tiap malam kau bikin heboh begini, kami bisa mampus lantaran tak cukup tidur,” protes Asar Munawar.

”Jadi, kau akan mengigau setiap malam?” tanya Sodiq Solihin.

Betmen tetap saja diam. Sekadar memperlihatkan tatapan merasa bersalah pada komplotan penghuni dangau usang itu.

”Kau bikinlah dangau sendiri. Jauh-jauh dari sini, kalau bisa!” bentak Asar Munawar.

Esok paginya, Kiran menghilang dari rimba Cempaya. Ia bertolak ke utara, ke arah rimba tak bernama. Disebut tak bernama karena belum terjamah tangan manusia dan tentu belum ada yang menamainya. Di sanalah ia membangun dangau baru dengan tiang, dinding, dan atap seadanya. Dalam kesendirian itu Kiran teringat kembali keinginan Nufus untuk melarikan diri dari dunia ramai. Lebih-lebih, sejak ia menjadi perhatian lantaran hubungannya dengan Kiran, laki-laki yang jauh dari harapan ayah-ibunya.

”Apa yang kau banggakan dari laki-laki yang hidup dari upah bongkar-muat truk batu kali?” tanya ibunya suatu ketika.

”Begitu banyak orang-orang mapan yang ingin melamarmu, tapi kau masih bertahan saja dengan si kunyuk itu….”

Sedemikian lamanya Nufus bertahan dari macam-macam penawaran (termasuk modus-modus perjodohan terselubung), tak terasa usianya sudah lanjut saja. Pada setiap keramaian dalam acara kumpul-kumpul keluarga di hari raya misalnya, tanya-tanya nyinyir sanak saudara tentang rencana menikah membuat ia senantiasa berbasa-basi. Pokoknya setiap bertemu keramaian, Kiran bagai dikepung oleh kenyinyiran yang memuakkan. Lebih memuakkan lagi mata-mata curiga atau bisik-bisik tetangga bahwa ia sudah berada di ambang masa kedaluarsa.

”Segeralah menikah! Sebelum jatahmu disambar yang muda-muda.”

Maka, Kiran menyatakan permusuhan dengan keramaian. Apa pun bentuknya. Baginya, keramaian adalah derita yang tak ada obatnya, bahaya paling laten dalam hidup kesehariannya.

”Aku ingin hidup di rimba. Bersamamu, Kiran!”

”Mari kita menjadi bagian dari masyarakat kera!”

Kini impian Nufus itu sudah terwujud. Tapi yang menikmati hidup tanpa keramaian itu hanya Kiran seorang. Itu pun terjadi secara kebetulan, dalam petualangan panjangnya mencari kesaktian agar tak mempan dihantam kantuk. Alih-alih beroleh kesaktian, Kiran malah terjebak di rimba tak bernama ini.

”Di sinilah aku kini, Nufus. Hidup sendirian di kedalaman rimba. Hidup yang dulu pernah kau dambakan.”

”Kalau saja arus besar itu tidak menghanyutkanmu, tentulah kita sudah membangun bahtera rumah tangga di kesenyapan level dewa ini.”

”Andai kau masih hidup, aku masih berharap kita dapat berjumpa pada suatu masa. Tapi jika kau sudah tiada, singgahilah aku sebagai arwah. Itu saja sudah cukup membahagiakan bagiku.”

Akibat terlalu sering dilanda mimpi buruk yang membuat tubuhnya mandi peluh, di punggung Kiran tumbuh sepasang sayap. Di malam-malam selanjutnya, kepalanya perlahan-lahan menciut, matanya berubah menjadi hitam yang mencekam. Lalu, pada suatu malam gelap bulan, tubuh Kiran sempurna sebagai kelelawar. Metamorfosa itu membuat Kiran makin mudah untuk bertahan hidup. Saban malam ia kelayapan, menggerogoti aneka macam buah dari pohon yang melimpah-ruah. Setelah kenyang sempurna, sebelum terbit fajar, kelelawar itu pulang ke dangau, lalu melungkar sebagai manusia, sebagai Kiran, yang tentu saja tidurnya akan kembali disesaki adegan-adegan tragik sebelum Hayatunnufus hanyut terseret arus.

Di malam-malam tertentu, ketika tubuhnya menciut sebagai kelelawar, ia terbang ke kawasan hutan Cempaya, tempat Sodiq Solihin dan Asar Munawar berguru ajian kebal senapan. Di sana ia menggerogoti tandan demi tandan pisang di lahan tak bertuan yang dirawat Ngku Taubat. Begitu juga pepaya yang tumbuh liar di sekitar dangau Sodiq Solihin Cs.

”Sebagai manusia, kalian bisa mengusirku. Tapi sebagai Betmen, aku bisa menumpang makan di sarang kalian. Maka, rasakan ini!” gumam Kiran sambil mengunyah-ngunyah pepaya matang di gelap malam.

Tidak lama Kiran hidup dalam keberlimpahan di hutan tak bernama. Kemarau panjang yang membuat pohon-pohon langkas dan tidak lagi berbuah mendesak manusia kelelawar segera bermigrasi ke tempat-tempat yang lebih menjanjikan kehidupan. Daripada mati kelaparan, Kiran berkeputusan untuk melakukan perjalanan jauh, meninggalkan dangau kecilnya dengan segenap keharuan.

Setelah berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung yang lain, sampailah Kiran di sebuah kawasan yang sebagian besar warganya punya tanaman berbuah di pekarangan rumah mereka.

”Barangkali di sinilah aku bisa menyambung hidup,” ungkapnya saat melihat sebatang pohon Jambu dengan buah yang rata-rata sudah ranum.

Cukup menggoda dan mengundang selera, hingga Kiran berencana bakal hinggap di sana sekali waktu. Sebelum meninggalkan hutan tak bernama, Kiran tidak tahu bahwa di dunia luar, orang-orang sedang giat berburu kelelawar. Sebab, menurut mereka, dari hewan keparat itulah virus berbahaya berasal. Virus yang sudah beranak-pinak dalam waktu sangat cepat itu telah merenggut banyak nyawa, sebagaimana bencana yang dulu memusnahkan hampir seisi kampung halaman Kiran.

Suatu malam, saat melubangi jambu matang di pohon yang sudah lama diincar, sebutir peluru bersarang di ubun-ubun Kiran. Kepalanya retak. Salah satu sayapnya sobek parah.

”Kukirim kau ke neraka!” teriak si pemburu dari teras rumahnya, sambil menengadah ke pohon jambu itu.

Teriakan yang hampir bersamaan dengan terkaparnya seekor kelelawar jantan, tak jauh dari posisi berdiri perempuan bernama Hayatunnufus.

”Ia kesakitan. Hantam dengan satu peluru lagi, Sayang! Agar tuntas penderitaannya,” kata Hayatunnufus pada si pemburu, yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Dalam posisi menelentang dengan napas satu-satu, kelelawar itu menatap wajah Hayatunnufus. Aktor utama mimpi buruknya selama belasan tahun. Seorang pemburu bertangan dingin telah mengantarkan Kiran pada cinta-hidup, sekaligus cinta-matinya….

Damhuri Muhammad, cerpenis dan kolumnis. Pengajar di Universitas Darma Persada, Jakarta. Tinggal di Depok, Jawa Barat, lahir di Padang, 1 Juli 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Buku fiksi terkininya Anak-anak Masa Lalu (2014). Buku nonfiksi terbarunya, Takhayul Milenial (2020).

Nadjib Amrullah, lahir di Tuban 19 April 1968. Sejak kecil gemar melukis. Bakatnya dia kembangkan di FSRD Senirupa UNS sampai selesai. Sudah 10 kali berpameran tunggal. Selain pernah mengikuti Bienalle Langkawi Malaysia juga pernah duduk di kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur. Karyanya banyak di koleksi kolektor dalam dan luar negeri. Sekarang tinggal di Studio Najib Amrullah Jenu Tuban, Jawa Timur.

 

(8)

Langit Merah Gegunung

Suara jangkrik yang setiap malam ia dengar malam itu terasa berbeda. Dengan perasaan was-was Risman menengok ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya hanyalah ilalang tinggi dan beberapa pohon pisang, jambu, dan mangga.

Oleh: TSALAISYE, 12 November 2022

Risman tak menyangka, malam ketika ia pergi membeli minyak goreng di warung menjadi malam yang penting. Begitu pentingnya hingga seluruh warga, terutama warga laki-laki, berkerumun di halaman rumah Pak RW hanya untuk mendengarkan jawaban Risman. Risman dan ibunya duduk di beranda rumah Pak RW. Di lingkaran itu ada Pak RW dan beberapa lelaki lain. Mereka semua orang penting di Desa Gegunung. Mereka menanti jawaban Risman.

“Man, bener yang kamu lihat itu orang ini?” Kata Pak RW sambil menunjuk seorang lelaki yang duduk di hadapan Risman. Risman merasakan badannya gemetar. Panas dingin menyergap sekaligus. Berkali-kali pertanyaan itu bertubi-tubi menyerangnya. Bibirnya masih kaku. Ditatapnya laki-laki yang sedang duduk di hadapannya. Lengan kanan dan kiri lelaki itu dipegangi oleh dua warga. Laki-laki itu memandanginya dengan mata yang bergetar. Risman hanya menelan ludah. Sementara Suratih, istri laki-laki itu pun duduk dengan air mata yang terus mengucur di sekitar pipi keriputnya.

“Coba Nang, diingat-ingat lagi. Yang kamu lihat semalam itu Mang Dakip?“ kata ibunya sambil menepuk halus punggung Risman. Risman kembali menelan ludah. mencoba mengingat kembali peristiwa malam itu.

***

Suara jangkrik berderik di sepanjang jalan pulang. Bagi sebagian orang, suara jangkrik membawa kesan syahdu tersendiri. Mereka bahkan suka mendengarkan nyanyian jangkrik sebagai pengantar tidur. Tapi bagi sebagian yang lain, suara jangkrik tak ubahnya seperti suara yang membuat bulu kuduk merinding. Terlebih lagi mendengarkannya di tengah jalanan gelap. Begitu pula yang dirasakan Risman. Suara jangkrik yang setiap malam ia dengar malam itu terasa berbeda. Dengan perasaan was-was Risman menengok ke kanan dan ke kiri. Dilihatnya hanyalah ilalang tinggi dan beberapa pohon pisang, jambu, dan mangga.

Risman menghela napas, masih setengah jalan lagi hingga ia mengakhiri jalanan gelap itu. Di ujung sana terlihat cahaya dari lampu depan rumah Mang Komar. Risman memantapkan hatinya, menanggalkan ketakutannya. Kini Risman tak lagi melihat ke kanan dan kiri. Pandangannya lurus ke depan memandang cahaya dari lampu depan rumah Mang Komar. Langkah kakinya terasa berat, meski begitu ia tetap melangkah. Ia kesal pada ibunya yang selarut itu masih saja memintanya membeli minyak goreng di warung.

Jalanan gelap itu hampir habis. Langkah Risman semakin terasa ringan. Tinggal beberapa langkah lagi sampai depan rumah Mang Komar. Setelah rumah Mang Komar, jalanan sudah dipenuhi rumah-rumah penduduk sehingga Risman sudah tak perlu lagi was-was. Tepat sebelum mengakhiri jalanan gelap itu, Risman mendengar suara barang berat yang terjatuh. Suara itu mengingatkan Risman pada suara karung beras yang dijatuhkan oleh seseorang. Risman menengok ke kanan. Dilihatnya deretan pohon pisang tak bergeming sedikitpun. Risman menengok ke kiri. Dilihatnya kumpulan ilalang setinggi lututnya. Tak bergeming pula. Hanya suara jangkrik yang masih berderik kencang. Bulu kuduknya berdiri. Tengkuk dan pundaknya menjadi terasa berat dan semakin lama semakin terasa panas. Risman yakin telinganya mendengar suara itu tetapi matanya tak dapat membuktikkannya. Lalu ia memaksakan diri meneruskan langkahnya. Susah payah ia melangkah. Dan baru saja dua langkah ia maju, ia mendengar suara lagi. Bukan suara barang jatuh. Kali ini suara yang didengarnya seperti suara orang yang sedang menyeruput kuah mie instan. Risman sedikit lega. Mungkin saja Mang Komar malam-malam sedang makan mie instan di depan rumah. Ia percepat langkahnya.

“Mang Ko–“ belum selesai ia hendak menyapa Mang Komar, badannya kaku melihat sesuatu di depan matanya. Dilihatnya seseorang yang dibalut dengan kain hitam sedang duduk bersimpuh dan menjilati sandal kecil milik anak Mang Komar. Kain hitam itu membalut tubuh dengan sempurna. Bahkan di kepalanya terdapat ikatan yang serupa dengan pocong. Orang dengan kain hitam itu, menghentikan aktivitasnya. Kepalanya perlahan memutar ke arah Risman. Menyadari hal itu, Risman sekuat tenaga berusaha untuk menggerakan badannya. Sekilas Risman seperti melihat wajah yang dikenalnya. Ia ingat wajah dengan tompel di dagu sebelah kiri itu hanya milik Mang Dakip. Tapi, Risman tak peduli. Ia kabur dari tempat itu dengan berlari sekuat tenaga.

Sampai di rumah Risman menceritakan kejadian itu ke ibunya. Lengkap dengan wajah Pocong Ireng bertompel di dagu yang mirip dengan Mang Dakip. Kabar itu bersambung dari mulut ke mulut. Dalam waktu setengah hari, seluruh warga Gegunung telah mendengarnya.

Memang sudah berbulan-bulan ini, Desa Gegunung mendapati teror Pocong Ireng. Teror ini sangat meresahkan warga. Setiap sandikala, hampir seluruh warga memasukkan barang-barang pribadi seperti sandal, handuk, dan peralatan lainnya ke dalam rumah. Tujuannya agar barang-barang itu terhindar dari jilatan Pocong Ireng. Jilatan Pocong Ireng itu dipercaya membuat pemilik barang akan sakit bahkan mati. Beberapa orang yang dicurigai korban Pocong Ireng sudah berjatuhan. Dari anak-anak hingga kakek-nenek. Mereka mengalami tubuhnya memar-memar tiba-tiba tanpa sebab dan musabab. Kemudian mereka mati hanya dalam hitungan hari.

Para warga bergantian datang ke rumah Risman. Mereka menanyakan langsung perihal peristiwa semalam.

“Ah yakin nggak kamu, Man? Yang kamu lihat itu Mang Dakip?”

“Ya..Yakin, aku lihat tompel di dagunya!”

“Astagfirullah! Amit-amit!”

Baca juga: Jasa Perancang Skenario Hantu Kejahatan

Sebenarnya kabar Mang Dakip dalang dari teror Pocong Ireng sudah tidak mengagetkan lagi. Warga memang sudah lama mencurigai Mang Dakip. Kecurigaan warga Gegunung tidak tanpa alasan. Semua ini berawal dari Suratih, istri Mang Dakip mengatakan kalau ia tidak akan sembahyang sebelum menjadi kaya raya. Tak lama setelah perkataan istri Mang Dakip itu, tiba-tiba lembaran uang yang selama ini dikumpulkan oleh Mang dakip dan istrinya lenyap dimakan rayap. Hampir seluruh bagian uang habis dimakan rayap dalam semalam. Istrinya tidak kuat menerima kejadian itu. Ia depresi. Tidak tahan menghadapi depresi istrinya, Mang Dakip pergi entah ke mana.

Tidak ada yang tahu kepergiaan Mang Dakip. Suratih pun bungkam ketika orang-orang menanyakan keberadaan Mang Dakip. Baru pada bulan kelima, Mang Dakip kembali. Kedatangan Mang Dakip disambut bahagia oleh Suratih. Kabarnya Mang Dakip membawa sekarung uang. Uang itu yang membuat senyum istrinya langsung mengembang meski ditinggal lima bulan. Uang itu mula-mula dibelikan baju-baju baru, peralatan rumah, dan peralatan elektronik. Semakin lama, Mang Dakip mulai terlihat membeli sawah dan tanah. Puncaknya adalah membangun rumah baru. Rumah Mang Dakip bak rumah konglomerat di tengah-tengah rumah warga yang masih tergolong sederhana. Bagi warga Gegunung rumah itu seperti rumah-rumah yang biasa dilihatnya di sinetron. Rumah itu terlalu besar untuk ditinggali hanya Mang Dakip dan istrinya. Tak lama setelah Mang Dakip menyulap rumahnya itu, teror Pocong Ireng merajalela.

Selama ini warga merasa geram karena tidak bisa mengadili Mang Dakip. Yang bisa dilakukan hanya menghindari tatapan dan berbicara dengan lelaki paruh baya itu. Begitu pula dengan ibu-ibu. Mereka memilih menghindari Suratih ketika berbelanja di warung. Beberapa warga ingin menghujaninya dengan pukulan ketika Mang Dakip lewat. Namun itu tidak dilakukannya karena satu alasan. Tidak ada bukti. Kejadian yang dialami Risman seolah menjadi gayung bersambut bagi warga. Terutama bagi warga yang keluarganya meninggal mendadak. Mereka menyeret Mang Dakip dan istrinya ke rumah Pak RW tak lebih dari sehari setelah malam kejadian yang dialami Risman itu.

***

“Iya, itu Mang Dakip, Ma.” Suara Risman lirih tetapi mampu menembus kerumunan orang-orang pada saat itu. Memasuki gendang telinga mereka. “Dakip! Asu!” Teriak seorang lelaki yang baru saja mendapat lelayu. Dilemparnya bongkahan batu yang diam-diam digenggamnya sedari tadi. Batu itu tepat mengenai punggung Mang Dakip. Mang Dakip menjerit. Seperti sebuah komando, lemparan batu pertama disusul oleh lemparan batu dari orang-orang lain. Orang-orang di beranda rumah Pak RW terbirit-birit menyelamatkan diri. Risman dan ibunya berlari ke dalam rumah Pak RW. Di pelukan ibunya, Risman menangis. Ia mendengar teriakan dari luar memekakkan telinganya. Bocah lima belas tahun itu tak pernah menyangka ucapan di mulutnya akan membawa petaka.

Malam itu angin bergemuruh dari barat. Deretan pohon bambu berdenyit. Langit malam itu berwarna kemerahan. Langit Desa Gegunung seolah mengerti suasana yang pas untuk menggambarkan perasaan warganya malam itu. Malam itu, anak kecil tak berani tidur sendiri. Bahkan untuk sekadar memejamkan mata pun mereka tak bernyali. Mereka hanya meringkuk di dalam pelukan ibunya. Dalam pelukan itu, anak-anak merasakan detak jantung ibunya sangat kencang. Para ibu memeluk dan mengusap-usap punggung anaknya, sementara mulutnya bersenandung tetembangan dengan sangat lirih. Mereka sengaja memelankan suara agar tetap waspada. Telinga dan matanya terus mengawasi apa yang terjadi di luar. Tak seperti biasa, tak ada suara derik jangkrik. Malam itu, langit berwarna merah, seperti kobaran api dalam amarah.

***

Keesokan paginya, untuk pertama kali Desa Gegunung menjadi topik utama dalam koran. Beberapa koran lokal menuliskan judul yang kompak: Sepasang Suami Istri Dituduh Melakukan Pesugihan Tewas Dihakimi Massa.

***

Tsalaisye, lahir pada 29 Maret 1994. Lulusan S-1 Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini bekerja di bidang Bahasa dan Sastra sambil sesekali melirik jendela mencari inspirasi menulis.

 

 

(9)

Jasa Perancang Skenario Hantu Kejahatan

Arwahku melayang tidak tentu arah. Hingga aku bertemu makhluk menyeramkan yang memperkenalkan dirinya Raja Iblis. Ia tahu aku dulu semasa hidup adalah penulis skenario.

Oleh: HERUMAWAN PA, 10 November 2022

Kalian para orang awam tidak tahu enaknya menjadi perancang skenario hantu untuk bikin kejahatan. Dapat kiriman uang kertas palsu yang banyak dan rupa kembang setaman. Tidak perlu panggung untuk perancang skenario hantu, karena dialah yang menciptakan panggung itu.

Selama ini mungkin yang kalian tahu, perancang skenario hanya ada film atau sinetron saja. Kalian salah. Perancang skenario juga ada di dalam dunia hantu. Dia tidak hanya menuliskan cerita, menciptakan panggung tapi lebih dari itu. Dia bisa ikut bermain di dalam skenario hantunya. Dia terlibat emosional dalam alur ceritanya. Bahkan terkadang, dia rela mengaburkan suatu fakta demi keuntungan pribadi.

Mungkin yang kalian tahu, penulis skenario hantu itu hanya orang baik-baik dan pintar saja. Kalian lagi-lagi salah. Arwah orang jahat dan bodoh sekalipun bisa menjadi perancang skenario hantu hebat, bahkan membuat alur cerita yang lebih viral.

Contohnya aku. Sekarang umurku dua ratus lima puluh tahun. Aku ini dulunya seorang penulis skenario yang mati muda. Mengakhiri hidup karena desakan pekerjaan menulis skenario tanpa henti. Tiada waktu untuk beristirahat. Stres dan depresi kurasakan. Lalu kuminum banyak obat tidur. Dan aku pun tidur panjang dalam keabadian.

Arwahku melayang tidak tentu arah. Hingga aku bertemu makhluk menyeramkan yang memperkenalkan dirinya Raja Iblis. Ia tahu aku dulu semasa hidup adalah penulis skenario. Lalu memperkerjakanku di rumah yang ia sebut Dunia Iblis, di mana kejahatan selalu menang, aku ditunjuknya sebagai perancang skenario hantu spesialis kejahatan besar dan terencana. Pelangganku adalah arwah penjahat-penjahat besar, kelas kakap yang sudah mati tapi masih penasaran kenapa semasa hidupnya kejahatan yang dilakukan tidak pernah sempurna apalagi menang.

Perancang skenario hantu sepertiku tidak butuh panggung untuk eksis. Karena akulah tokoh di balik layar. Dan aku yang membuat panggungnya.

Kebanyakan arwah para penjahat besar, kelas kakap selalu menuntut kejahatan yang sempurna. Dan itu memacu adrenalinku merancang skenario hantu kejahatan agar tidak sampai diketahui, atau minimal lama diketahui dan dibongkar oleh Aparat Penegak Hukum Dunia Hantu.

Aku tidak mempercayai istilah “Tidak ada kejahatan yang sempurna”. Karena itu omong kosong bagiku. Tidak selaras dengan pekerjaanku yang memastikan kejahatan terjadi seolah sempurna setidaknya selama sekian tahun atau hingga masa kedarluasa tiba.

Plot-plot cerita kejahatan kususun rapi dalam berlembar-lembar halaman skenario hantu kejahatan yang kuketik memakai mesin tik tua di atas meja. Di situ juga, kuberitahu bagaimana alur cerita saat menbuat pembelaan, alibi palsu, pelenyapan barang bukti dan saksi secara halus maupun kejam.

***

“Skenario hantu kejahatan apa ini? Masa aku harus menyingkirkan teman dekatku sendiri di dunia nyata.” Pelanģgan setiaku, arwah seorang pria setengah baya dengan setelan jas mahal keheranan setelah membaca seperempat halaman skenario hantunya. Ia dulu meninggal, bunuh diri karena kasus suap dan korupsinya terbongkar. Tidak mau anak dan istrinya ikut terseret, ia pilih gantung diri.

“Ini kejahatan yang sempurna, Pak. Semuanya kan demi bisnis yang sudah lama Bapak jalankan juga.”

“Tapi warga dunia hantu sekarang pintar-pintar, kamu lupa ya.”

“Pintar dan sok pintar, itu beda. Tahu dan sok tahu itu juga tidak sama.”

“Maksudmu?”

“Pintar yang berlebihan membuat kita sulit membedakan fakta atau bukan.”

“Cerdas kamu. Bagaimana dengan Aparat Penegak Hukum Dunia Hantu? Mereka selalu merecoki dan menganggu bisnis yang sedang kujalankan.”

“Semuanya ada di skenario hantu yang saya tulis ini. Bapak tinggal menjalankannya dan jangan lupa minta bantuan doa dari penjahat-penjahat dunia nyata.” Dia tertawa keras.

“Para penjahat dunia nyata? Kenapa mereka harus dilibatkan sih?”

“Apa ada yang salah?”

“Tidak ada untungnya melibatkan nama mereka dalam suatu aksi kejahatan di dunia hantu.”

“Tapi itulah yang harus kita lakukan. Karena dari mereka, kita mendapatkan kekuatan, The Power Of Evil.” Dia mengangguk pelan kemudian tampak berdoa.

“Jadi berapa harga skenario hantu kejahatan yang kamu tulis ini?” Dia berkata selesai berdoa, tidak sabar ingin membeli skenario hantu kejahatan yang kutulis.

“Tidak mahal. Hanya dua ratus lima puluh juta rupa uang kertas palsu dan rupa kembang setaman.” Matanya langsung melotot.

“Kenapa semahal itu? Skenario hantu kejahatan yang dulu kamu jual kepadaku harganya tidak lebih dari seratus juta uang kertas palsu dan rupa kembang setaman.”

“Itu kan dulu. Saat bisnis Istri dan Anak Bapak di dunia nyata belum berkembang dan semaju saat ini.” Dia mengangguk. Kemudian memberikan koper yang dibawanya kepadaku. Aku langsung memasukkannya ke dalam laci meja kerjaku.

“Tidak dibuka dulu.”

“Tidak perlu. Saya percaya. Kita kan sudah lama kerja sama, sudah ada seabad lebih. Saya yang merancang skenario hantu kejahatan saat bisnis Bapak dulu sedang ada gangguan yang harus segera disingkirkan. Sedangkan Bapak tinggal membayar dan melaksanakannya. Bapak tidak perlu capek-capek berpikir. Dan Anak Istri Bapak bisa lolos dari tuntutan kasus pembunuhan berencana dengan hukuman mati.” Dia tersenyum.

“Kamu yakin skenario hantu kejahatan ini akan berhasil seperti yang dulu?”

“Asal Bapak melaksanakan semuanya, tidak menambahi tidak mengurangi, pasti tidak akan ketahuan.” Dia mengangguk kemudian menjabat tanganku.

“Jangan lupa doanya ya biar skenario hantu kejahatannya sukses nanti. Ini yang terakhir aku datang ke sini. Setelah ini aku ingin jadi baik lalu terbang ke Surga.” Aku mengangguk. Tidak tampak kekagetan di wajahku. Sudah sering kudengar pelanggan skenarioku berkata begitu. Ada yang pura-pura. Ada yang hanya bercanda.

Kupandangi kepergiannya mengendarai mobil hantu berwarna hitam, keluar dari tempat kerjaku. Entah kenapa aku merasa ini terakhir kali melihatnya.

***

Hari berganti, bulan berlalu. Abad baru menjelang. Pelangganku kian bertambah. Mereka tampaknya terkesan dengan rancangan skenario hantu kejahatan yang kubuat, membuat mereka tidak pernah ditangkap Aparat Penegak Hukum Dunia Hantu sehingga tidak sekalipun merasakan penjara hantu atau hanya sebentar saja di bui padahal yang kejahatan yang dilakukan tergolong berat. Aku terus memeras otakku. Mencari formula ampuh membuat skenario hantu kejahatan.

Di sela-sela kesibukanku, kudengar dia pelanggan setiaku benar-benar pensiun jadi arwah jahat. Aku kaget dan bertanya-tanya mengapa dia tidak melakukan skenario hantu kejahatan yang kujual kepadanya? Aku mencari tahu penyebabnya.

Kenyataan yang kudapatkan sungguh di luar perkiraanku. Temannya di dunia nyata yang aku skenariokan dia singkirkan lewat dunia hantu ternyata ketahuan menghamili anak perempuannya yang diam-diam lama berpacaran. Dia tidak tega melihat anaknya lahir tanpa seorang ayah. Dia tidak ingin putri satu-satunya jadi bahan cibiran dan gunjingan tetangga kanan kiri. Dia pun mengalah, pilih jadi arwah baik demi bisnisnya aman dan putrinya bahagia.

Apakah rancangan skenario hantu kejahatan yang kubuat dikatakan gagal? Terkadang aku berpikir seperti itu. Tapi aku pastinya akan berkata berhasil. Karena selama ini tidak ada yang ditangkap, tidak ada yang di bui, dan tidak ada lagi menganggu bisnisnya. Semua sesuai tujuan awal rancangan skenario hantu kejahatan untuknya.

Yogyakarta, 17 Oktober 2022

***

Herumawan Prasetyo Adhie, seorang pejalan kaki yang memilih naik trans Jogja atau becak ketika lelah melanda, juga pemerhati sepak bola dan suka sekali menulis apapun. Mulai artikel sepak bola, cerita remaja, cerita pendek, cerita lucu hingga cerita misteri (mistik/seram). Beberapa karya cerpen saya pernah dimuat di Apajake.com. Bangka Pos, Banjarmasin Pos, Harian Analisa Medan, Harian Rakyat Sultra, Majalah Story, Majalah Kuntum, Minggu Pagi, Koran Merapi Pembaruan, Koran Pantura, Inilah Koran, Kedaulatan Rakyat, Harian Jogja, Harian Joglosemar, dan Republika.

 

(10)

Mbah Diman Terbang Bersayap Malam*)

Sejak dia tinggal di situ, rumah tampak bersih, mungkin memang dibersihkan, tetapi juga karena sesuatu yang aku tidak tahu. Suasana rumah ibu yang semula dingin, muram, sekarang terasa lebih hangat, lebih bersenyum.

Oleh: AHIMSA MARGA. 6 November 2022

Aku tidak tahu kapan persisnya dia memasuki hidupku.

Pada suatu hari bertahun-tahun lalu, setelah nyekar menjelang nyadran, aku mendapatinya duduk di ambin di sudut ruang tamu rumah ibuku.

“Budhe, ini Mbah Diman,” ujar Pardi, anak tetangga yang dianggap mendiang ibuku sebagai cucunya. Aku menitipkan rumah ibu kepada Pardi dan keluarganya, untuk dijaga dan dirawat. “Saya minta maaf, lancang, tidak bilang sama Budhe dulu. Tapi boleh ya Mbah Diman tinggal di sini sekalian jaga rumah.”

Tubuh tua itu sedikit membungkuk, lalu kedua telapak tangannya ditangkupkan, memandangku dengan tatapan teduh.

Menurut Pardi, diizinkan tinggal di rumah itu adalah berkah bagi Mbah Diman, setelah beberapa tahun harus pindah dari tempat satu ke tempat lain di rumah-rumah mereka yang katanya kerabat. Ketika tak ada lagi yang mau menampungnya, Mbah Diman tidur di pos-pos ronda. Tapi bagiku, kehadirannya adalah berkah. Kuyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini.

Mbah Diman berusia lebih 70 tahun, berperawakan kecil. Tubuhnya hampir tak berdaging, hanya kulit berbalut tulang. Meski demikian, dia terlihat sehat, wajahnya segar dan selalu terseyum. Dia hidup sendiri.

Aku tidak tahu bagaimana dan mengapa nasib melemparnya sedemikian keras. Tapi dari selentingan, dan kemudian secara sepintas-sepintas kudengar langsung, Mbah Diman menghuni beberapa penjara sejak tahun 1968. Dia memang tidak sampai dilempar ke Pulau Buru, tetapi kondisi penjara di mana pun waktu itu, untuk tahanan politik seperti dia, tetaplah jahanam.

***

Mbah Diman terlihat senang kalau aku datang, dan selalu mengucapkan terima kasih karena mau menjenguknya. Padahal aku cuma mampir dan tak ingin berlama-lama.

Tapi yang aneh, sejak dia tinggal di situ, rumah tampak bersih, mungkin memang dibersihkan setiap hari, tetapi juga karena sesuatu yang aku tidak tahu. Suasana rumah ibu yang semula dingin, muram, sekarang terasa lebih hangat, lebih bersenyum.

Mbah Diman berbicara dalam bahasa krama halus, atau krama inggil, kadang ngoko halus atau ngoko inggil, leksikon bahasa yang digunakan dalam strata sosial masyarakat tradisional Jawa untuk menghargai lawan bicaranya.

Suatu hari dia memberitahu, “Ndhuk, Mbah sering membersihkan kamar ibumu. Boleh kan….”

Ah.. betapa lamanya tak pernah kusentuh kamar itu.

“Mbah berani masuk kamar itu karena ibumu yang minta kamarnya dibersihkan,” sambungnya sebelum sempat kujawab.

Aku tertegun.

Kupandangi wajahnya dengan mata berkaca-kaca, bukan karena urusan kamar ibu, tetapi karena dari wajah itu aku melihat kilasan gambar tentang hidupnya.

Dia seperti membaca pikiranku.

“Mbah tidak apa-apa, Ndhuk. Terimakasih sekali sudah boleh numpang di sini.”

Dia melanjutkan, “Hidup ini cuma harus dijalani, tidak usah banyak tanya karena banyak hal tidak butuh jawaban.”

Aaah… aku seperti mendengar suara ibuku.

Tapi aku bergeming, malah terus berusaha memenuhi rasa ingin tahuku.

Mbah tidak marah pada nasib? Tidak benci pada mereka yang jahat pada Mbah?

“Lha buat apa, Ndhuk..” jawabnya, terkesan ringan dengan nada suara rendah. “Wong nandur, ngundhuh, utang, mbayar.” Yang menanam, menuai, yang utang harus bayar, katanya. “Mungkin, entah kapan, Mbah juga pernah nandur barang jelek, pernah utang tapi ngemplang, enggak pernah bayar… Semua harus dibayar, Ndhuk, kapan pun waktunya.”

Dia terkekeh…

Dialog kami tak langsung menyentuh masa lalunya, tetapi justru memasuki wilayah kedalaman dari berbagai peristiwa yang menguras seluruh dirinya, hingga tak satu pun tanya tersisa. Aku tak mau menyinggung derita fisik dan jiwa yang dia terima selama di penjara. Aku sudah membaca dan mendengar banyak hal tentang itu dari berbagai sumber.

“Mbah sedih?”

Pertanyaan tolol itu, entah kenapa, meluncur begitu saja dari mulutku.

“Senang-susah itu hanya istilah Ndhuk. Seperti pagi dan sore, fajar dan senja, panas dingin… semua itu kelengkapan hidup, terus berputar, tidak ada yang tetap. Semua hanya ada pada satu kedipan mata. Jadi, mau direndahkan, dihina, dicerca, ibaratnya dilempar kotoran, ya wis, tak tampa wae, saya terima saja. Mbah hanya menjalani yang harus dijalani. Tidak kurang, tidak lebih.”

***

Entah mulai kapan terbersit keinginan untuk selalu menjumpainya. Secara perlahan, aku merasa menemukan ibuku dalam sosok renta itu.

Meski dadaku selalu berpasir setiap kali menyimaknya, mata batinku semakin terang benderang.

Tak pernah kutanyakan padanya tentang kehidupan pribadinya. Namun, menilik tata krama dan olah kata yang digunakan, tak sulit menengarai, dia bukan orang biasa.

Pernah suatu saat, tanpa memberitahu, aku datang begitu saja. Ketika wajah sejuk itu muncul dari balik pintu, kudengar denting piano dari sepotong Spring Waltz nya Chopin, sebelum dia buru-buru minta izin masuk ke kamarnya, dan… musik lembut itu segera disapu denyut sepi di ruang tamu.

“Kok dimatikan Mbah? Saya suka…”

Mbah Diman hanya tersenyum.

Saat itu, entah mengapa, dia mau berkisah tentang pengalamannya menjadi tukang sapu halaman di sebuah biara tua. Seorang romo mengajaknya bekerja di situ dan memberinya tempat tinggal karena Mbah Diman tidak tahu harus pergi ke mana setelah menyelesaikan ‘hukuman’ tanpa pengadilan itu. Dia tidak mau kedatangannya menjadi bahaya bagi keluarganya.

“Cukup lama Ndhuk,” gumamnya, ketika kutanya berapa lama dia bekerja di sana. Kubiarkan telingaku menangkap gema dari derak seikat lidi yang menyentuh tanah, menyapu daun-daun kering yang terus berguguran dari pohon-pohon besar.

Mbah Diman dengan tekun melakukan pekerjaan itu dari hari ke hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun; seperti menjalani meditasi panjang tanpa jeda dalam lelaku. Bagi dia, waktu bukanlah hitungan, atau pagar pembeda kemarin dan sekarang, tetapi langkah.

Mbah Diman hidup dari bekerja membantu orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Dia tak pernah minta bayaran, tetapi banyak tetangga mengiriminya ubi kayu, gembili, kimpul, karena Mbah Diman hanya makan umbi-umbian dan dedaunan tanpa garam. Dia tidak merokok, tidak minum kopi, teh, gula, hanya air panas. Dia jengah ketika kusebut pilihan itu sebagai ‘puasa’ atau ‘tirakat’.

“Cuma kebiasaan, Ndhuk. Ngleremaken ingkang wonten ngriki,” ujarnya sambil menaruh kedua telapak tangannya ke dada. Menenangkan yang di dalam sini, katanya.

Aaahhh… ternyata ‘perang besar’ itu terus berlangsung di dalam dirinya entah sudah berapa puluh tahun. Aku tak mampu merabanya lebih jauh.

Semalam aku bermimpi, menjumpainya di suatu padang yang sangat lapang.

Dia tampak segar. Wajahnya bersih, berseri. Aku lupa dia bicara apa, kecuali, “Ndhuk, gaman hidup ini hanyalah tekad untuk terus berjalan ke depan, menempatkan yang sudah lewat, di belakang. Ilmunya pasrah, berserah. Mantranya keadilan dari Sang Pemberi Hidup, Pangeran Ingkang Paring Gesang.”**)

Sebuah kereta sudah menunggunya.

“Terimakasih sekali sudah bersedia menampung Simbah. Simbah berangkat ya. Andum slamet, Ndhuk…”

Kereta melesat. Aku tergeragab bangun, subuh. Mataku basah.

Selama beberapa pekan ini tak kudengar kabar Mbah Diman. Semoga dia baik-baik saja. “Bulan depan aku datang, Mbah…,” bisikku.

Pagi itu, seperti biasa, kubuka Whatsapp.

Dari Pardi, “Budhe, Mbah Diman sampunkondur, semalam, pukul 23.55.”***

Tangerang Selatan, 14 Oktober 2022

*) Judul ini terinsipirasi oleh Mazmur Tanggapan Kitab Ayub

Ndhuk adalah panggilan dari orang tua kepada anak atau cucu yang dikasihi.

Nyadran, ritual menjelang puasa dalam tradisi Jawa

**) Diadaptasi dari piwulang RM Sosrokartono.

Ahimsa Marga adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior yang pada masanya dikenal gigih memperjuangkan hak asasi manusia, terutama bagi anak, perempuan, dan kelompok yang dimarjinalkan. Tahun 2003, ia menerima penghargaan Yap Thiam Hien, sebuah penghargaan di bidang edukasi HAM yang pertama diterima oleh wartawan di Indonesia.

 

(11)

Mama Pia

Sophia dan Bapa Aleks memutuskan menikah. Mereka adalah pasutri paling romantis.

Oleh: SAVERINUS DOSOM, 5 November 2022

Mama Pia nama yang sering dipanggil oleh Bapa Aleks kepada istri yang dikasihinya. Meski nama Mama Pia yang sebenarnya adalah Shopia. Namun, Bapa Aleks lebih memilih memanggil nama Pia sebagai bentuk cinta kepada sang istrinya.

Shopia dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Ia dilahirkan dari pasangan yang sederhana beberapa puluh tahun yang lalu. Berkat usaha kedua orangtuanya, ia dapat menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA), yang pada zamannya merupakan pendidikan yang lumayan tinggi. Hanya karena ekonomi yang tidak mendukung, ia diminta meninggalkan cita-citanya demi membantu orangtuanya di rumah. Mau bagaimana lagi Shopia harus menguburkan mimpinya untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Karena dalam keluarganya, mereka memiliki tanggungan yang cukup berat.

Setelah beberapa tahun kemudian ia bertemu dengan kekasihnya, Bapa Aleks, dan pada akhirnya mereka memutuskan menikah. Mereka adalah pasutri yang paling romantis. Mereka saling mencintai, mengasihi satu sama lain.

Dulu selama masih muda, Mama Pia sering melawan teman laki-laki yang sering mengejek teman perempuan sekampungnya. Ia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap sesama kaum perempuannya karena kaum perempuan sering mendapatkan sesuatu yang tidak adil di dalam kehidupan bermasyarakat. Dari sifatnya itu, ia sering dipanggil Kartini Muda oleh sahabatnya.

Sejak SMA, Shopia selalu aktif dalam mengikuti organisasi-organisasi perempuan di sekolah. Dari situ, Kartini Muda ini memiliki mimpi yang sangat besar untuk mengubah cara pandang dari kaum laki-laki, di mana perempuan itu hanya taat kepada laki-laki saja. Ia sering membantah hal itu. Ia selalu berpikir bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Namun, hanya karena kebudayaan yang masih melekat pada kehidupan mereka sehingga kebudayaan yang menjadi patokan dari kehidupan mereka. Terpaksa Kartini Muda itu merelakan untuk mengubur mimpinya itu, meski sulit untuk ia lakukan.

***

Berkat dari perkawinan mereka 25 tahun yang lalu, kini mereka dianugerahi empat buah hati. Anak sulung namanya Inda, kedua Danil, ketiga Safry, dan yang keempat namanya Sasi. Kedua pasutri ini selalu menjaga buah hati mereka dengan penuh cinta. Mereka selalu meluangkan waktu di tengah kesibukan pekerjaan untuk mendampingi dan mendidik buah hati mereka. Sehingga buah hati mereka menjadi anak yang baik dan memiliki prestasi yang sangat baik di sekolah ataupun di dalam masyarakat. Buah hati mereka sering dianggap menjadi teladan bagi anak-anak lain sekampungnya.

Mama Pia memang memiliki watak yang cukup keras, tegas, berani, dan disiplin. Meskipun demikian, hati Mama Pia sangat lembut kepada siapa saja. Sehingga banyak kaum perempuan sering mengaguminya, sedangkan suaminya orang yang sangat rendah hati dan pendiam.

***

”Mama Pia?” sapa Bapa Aleks dengan ramah.

“Ada apa Pa, ko pagi begini tumben ya panggil mama dengan lembut.”

”Saya sering panggil mama dengan sopan loh, setiap saat dan setiap waktu,” jawab Bapa Aleks sambil tersenyum.

”He-he-he… Bapa ada-ada saja.”

”Bapa hanya mau tanya, apakah besok mama ikut dalam pertemuan di rumahnya Pa RT?” lanjutnya lagi.

”Oh… tentu Mama ikut dong, teman-teman mama juga pada ikut semua loh. Kami telah sepakat di group WA para ibu-ibu di lingkungan kita”.

”Oh….” sambil Bapa Aleks berjalan menghampirinya.

”Ma… kalau sampai di rumahnya Pa RT jangan ribut loh,”

Ia menatap suaminya dengan heran.

”Ko Bapa bilang begitu, bukannya Bapa mendukung Mama jika Mama menyampaikan pendapat saat pertemuan, ini demi kebaikan kita semua loh Pa, lebih khusus untuk kami kaum ibu,” jawab Mama Pia sedikit kecewa.

Ia sangat kesal dengan suaminya. Lalu ia berjalan menuju ruang makan untuk menyiapkan segala sesuatu untuk anak-anaknya sebelum berangkat ke sekolah dan suaminya berangkat ke bengkel tua milik mereka yang terletak di ujung kampung.

”Mungkin Bapa benar loh, tapi toh Mama tidak senang dengan keputusan Pa RT dan kepala keluarga lainya dalam pertemuan selama ini, yang lebih mengedepankan kaum pria dibandingkan dengan kami kaum perempuan di lingkungan ini. Setidaknya pendapat kami harus diterima. Sudah puluhan tahun kita selalu terikat dengan kebudayaan. Mama bukan mau menghilangkan cara atau kebiasaan kita, tetapi mama hanya ingin mengubah cara pandang kita di era yang baru ini.” Sambil Mama Pia menyiapkan makanan di atas meja.

Suasananya hening. Bapa Aleks hanya tersenyum mendengar kata yang barusan Mama Pia ucapkan.

”He-he-he… sungguh pikiran Mama bagus, mencerahkan hati dan pikiran saya. Aku juga tersinggung loh mungkin selama ini saya sering mengabaikan pendapatnya Mama,” jawab Bapa Aleks.

”He-he-he… bukan begitu sih Pa. Bagi Mama, Papa orang yang terbaik,” jawabnya sambil tersenyum.

”Ma! Dari tadi debat apa sih?” tanya Sasi dengan bingung.

Mereka pun serentak diam.

”Mama dan Bapa hanya bahas soal kerja di bengkel.”

”Pasti bukan,” kata Sasi.

”Tadi pagi, Bapa hanya kasih tahu Mama bahwa besok Bapa ada pekerjaan yang banyak di bengkel,” lanjut Bapa Aleks.

”Ohh…,” jawab Sasi lega.

Sebelumnya, kedua pasutri ini tidak ingin jika permasalahan rumah tangga diketahui anak mereka. Karena mereka takut jika anak mereka tahu apa yang mereka alami dan tentu itu akan mengganggu konsentrasi mereka.

***

Bapa Aleks tidak melarang Mama Pia mengikuti pertemuan itu. Ia hanya takut nama istri yang dikasihinya terus menjadi bahan pembicaraan dari orang lain. Memang banyak juga yang senang dengan pendapat Mama Pia. Tetapi, masih ada yang tidak sependapat dengannya. Beberapa hari yang lalu ia mendengar gosip yang tidak enak tentang istri tercintanya oleh tetangga. Itulah yang membuat ia marah.

Menurut tetangganya Mama Pia sering melawan atau mengomentari pendapat Ketua RT, Pa Simon. Sehingga Pa Simon tidak suka dan marah padanya. Pa Simon adalah ketua RT yang dipilih dua tahun lalu. Pemilihan itu juga bukan dilakukan secara demokratis dari para warga. Hanya karena umurnya yang jauh berbeda dengan yang lain, akhirnya laki-laki tua itu ditunjuk untuk menjabat sebagai ketua RT di lingkungan St Yosef. Sebelumnya ia memiliki jabatan yang dianggap penting dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti ketua adat. Semenjak ia mulai menjabat ketua RT, banyak warga di lingkungannya sangat marah padanya. Karena, ia memiliki watak yang keras. Sering mengkritik dan mengomentari kehidupan rumah tangga orang lain.

Dari situlah Mama Pia berpikir mengomentari pendapatnya yang tidak baik. Sering ia katakan bahwa, ”Perempuan itu hanya untuk mengurus anak dan bekerja di dapur, mereka juga tidak bisa berada di ruang publik.” Pendapat inilah yang membuat Mama Pia merasa kesal.

Malam pun tiba wanita yang berambut keriting itu tidak bisa memejamkan mata. Pikirannya terus mengambang. Niat yang dulu selama masa mudanya kini hadir lagi dalam pikirannya. Ia tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan pendapatnya. Ia terus berpikir bagaimana caranya ia mengomentari Pa Simon dan kepala keluarga lainnya.

”Ko Mama belum tidur?”

Mama Pia hanya membalikkan badannya sambil ia menatap suaminya tanpa menjawab pertanyaannya.

Bapa Aleks pun tambah bingung. Entah apa yang dipikirkan oleh istrinya. Ia hanya curiga, mungkin ia sedang merindukan Danil yang kuliah di Maumere.

”Mama pikir apa sih?” tanyanya lagi.

”Tidak Pa, Mama hanya pikir untuk pertemuan besok.”

”Oh… tapi kan Mama harus tidur.”

Keesokan harinya pun tiba, Mama Pia mempersiapkan diri untuk mengikuti pertemuan itu. Semua warga berjalan menuju rumah Pa RT yang megah itu.

Pertemuannya berlangsung begitu lama. Mereka telah membahas banyak hal. Di ujung pertemuan itu, Pa Simon membuka kesempatan untuk memberikan usulan dari kaum perempuan. Dari situ mereka mengutus Mama Pia untuk menyampaikan pendapat.

”Aduh… si cerewet lagi yang menyampaikan pendapat,” bisik Pa RT.

Mendengar perkataan itu, Bapa Aleks sangat marah. Ia terus berusaha untuk mengendalikan amarahnya itu. Demi menjaga situasi pertemuan itu. Karena pengalaman sebelumnya, setiap kali pertemuan pasti berujung ricuh. Dengan tegas Mama Pia berdiri untuk menyampaikan pendapatnya.

”Apakah kami, kaum perempuan, bukan manusia?” tanya Mama Pia dengan muka serius.

”He-he-he… para ibu hanya mengurus anak!” jawab Bapa Retno yang sependapat dengan Pa Simon. Semua yang hadir pun ikut tertawa, tetapi sebagiannya masih serius.

”Kami sering dianggap tidak penting dalam ruang publik. Apakah kami dilahirkan hanya untuk melahirkan? Apakah kami tidak mempunyai hak untuk berpendapat?” Suasananya semakin hening.

”Kami juga memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat,” lanjut Mama Meri, tetangga Pa RT.

”Kita harus menghormati kebudayaan kita, sejak dahulu kami sebagai kaum Adam memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat!” jawab Pa Simon dengan muka merah.

”Justru itu yang saya tidak setuju, kebudayaan diciptakan oleh manusia sendiri, bukan kebudayaan yang menciptakan manusia. Kita harus mengubah cara pandang kita di zaman sekarang, dan kita juga harus terbuka satu sama lain antara pria dan wanita. Khusus juga untuk anak-anak kita sebagai generasi yang akan datang.” Semua yang hadir pun tersenyum dengan pendapat Mama Pia.

”Saya setuju dengan pendapat Shopia,” jawab Bapa Aleks.

”Saya setuju,” jawab masyarakat yang hadir.

Para kaum ibu pun tersenyum. Kaum laki-laki juga ikut tersenyum.

Mau bagaimana lagi, Pa Simon dan kepala keluarga lainya tidak bisa mempertahankan pendapat mereka. Sejak saat itulah mereka memutuskan tidak mengabaikan pendapat dari kaum perempuan, dan mereka berusaha mengubah cara pandang mereka tentang kaum perempuan.

Mama Pia tersenyum lega. Kerinduan telah menjadi kenyataan.

***

”Siapa sih yang memberi nama Shopia kepada Mama?” tanya Danil anak kedua mereka yang saat ini masih dalam proses pendidikan calon imam Katolik di Maumere.

”Maksudnya apa Frater,” jawab Mama Pia sambil tersenyum.

”Mama tahu enggak arti dari kata Shopia?”

”Ah… mama tahu dari mana, yang memberi nama Mama kan nenek kalian.”

”He-he-he… nenek dulu pintar ya, memberi nama kepada Mama sesuai dengan sifat Mama,” jawab Danil sambil tersenyum.

”Mama, menurut apa yang telah saya belajar kata Shopia itu orang yang mencintai kebijaksanaan,” lanjutnya lagi.

”Oh… berarti Mama orang bijaksana, ya,” jawabnya sambil tertawa.

”Bukan, Mama hanya seorang pemarah,” jawab Bapa Aleks sambil tersenyum.

Suasana mereka pun tampak bahagia. Maumere, 3 Oktober 2022.

***

Saverinus Dosom, lahir di Raca-Manggarai Barat pada 24 September 2001. Sekarang, penulis masih menekuni belajar filsafat di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero-Maumere. Selain belajar filsafat, penulis gemar membaca cerpen dan karya sastra lainya.

 

(12)

Tukang Pijat dan Seorang Tamu Berpeci Garuda

Dilihat dari penampilannya, tidak ada yang istimewa dari tamu itu. Namun, yang membuat Ji Jupri senang, tamu itu datang dari Madura, kampung halamannya dulu.

Oleh: ACH. ROFIQ, 3 November 2022

Ji Jupri sangat senang saat kedatangan tamu dari Madura. Tamu itu datang bersama sopirnya dengan mengendarai sebuah mobil yang catnya sudah seperti kaki yang terkena penyakit kutu air. Ketika turun dari mobil, tamu itu dikawal oleh dua lelaki berbadan tegap yang berpakaian resmi, seperti satpam, tapi serba hitam. Ia berjalan agak sedikit timpang, tapi ia tak terlihat kesakitan, ramah, tersenyum sopan.

Tamu itu berpakaian sederhana: baju batik lengan pendek, sarung kotak-kotak, dan peci hitam berlambang Garuda. Dan, sepertinya Ji Jupri pernah mengenal orang-orang itu, tapi Ji Jupri bimbang, takut salah orang. Siapakah gerangan?

Dilihat dari penampilannya, tidak ada yang istimewa dari tamu itu. Ia hanya tamu biasa: sama seperti tamu-tamu lain di setiap harinya. Namun, yang membuat Ji Jupri senang, tamu itu datang dari Madura, kampung halamannya dulu. Ji Jupri sudah teramat rindu pada ”Pulau Garam” itu. Tapi, ia tidak bisa pulang, jika pulang, sama saja ia seperti sedang bertelanjang di tengah keramaian orang.

Setelah menyilakan tamu dan tiga orang yang menyertainya itu duduk di teras rumahnya: berkumpul dengan tamu-tamu yang lain, Ji Jupri langsung menawarinya untuk dipijat duluan, mendahului beberapa tamu lain yang datang lebih awal.

”Sampeyan boleh pijat duluan,” bisik Ji Jupri, takut terdengar tamu-tamu yang lain.

”Kasihan yang datang lebih awal, Ji!” balas tamu dari luar kota itu sambil tersenyum.

Ji Jupri mengangguk paham lantas pamit. Ia masuk ke dalam gubuk yang terbuat dari anyaman bambu yang tak jauh dari teras rumahnya itu. Di gubuk itulah ia memijat tamu-tamu dan meraup pundi-pundi penghasilan.

Memang, setiap hari tidak kurang dari sekitar lima belas tamu yang datang untuk berpijat pada Ji Jupri. Tamu-tamu itu datang dengan berbagai keluhan. Mulai dari sakit pinggang, salah urat, hingga patah tulang.

Dari pendapatan memijat itu, Ji Jupri telah pergi haji bersama istrinya tahun lalu.

”Ji Jupri cuma tukang pijat, mana mungkin bisa pergi haji? Apa jangan-jangan…?” sangka Jekpar, tetangga Ji Jupri, suatu waktu di warung kopi.

”Jangan buruk sangka! Siapa tahu memang dari hasil memijat, Ji Jupri kan memang ramai pelanggan!” sanggah Burhan.

Menurut desas-desus yang beredar juga, saat di Mekkah, Ji Jupri tidak bisa melihat Ka’bah, hanya istrinya yang bisa melihat. Dan, setiap Ji Jupri memakan nasi, tubuhnya mendadak gatal-gatal yang disertai biduran, kulitnya serupa kerak nasi. Itu sebabnya Ji Jupri harus memakan roti: makanan khas negara Timur Tengah itu yang tidak cocok dengan sebagian perut orang Indonesia, termasuk orang Madura. Tidak hanya itu, saat kaki Ji Jupri menginjak jalan raya, jalan raya itu terasa panas seperti lahar.

Kabar itu disampaikan oleh Ji Aspar, warga desa sebelah yang kebetulan satu kloter pemberangkatan dan satu rombongan dengan Ji Jupri. Namun, Ji Jupri membantah kabar itu. Ji Jupri bilang, Ji Aspar hanya bercanda. Sementara itu, istrinya memilih bungkam.

Dulu, delapan tahun lalu, sebelum menjadi tukang pijat, Ji Jupri adalah Sekretaris Desa Kotempa. Ia menjabat selama satu periode. Pada saat itu, ia menjabat secara otomatis. Sebab, Sakib, temannya, berhasil menang telak atas Ji Ra’op, musuh bebuyutan Ji Jupri, saat pilkades. Biaya yang dikeluarkan Ji Jupri mencapai tiga ratus juta. Uang itu Ji Jupri dapatkan dari penjualan empat ekor sapi dan juga mobilnya.

Sementara sisanya, Ji Jupri pinjam ke salah satu bank. Tujuannya tidak lain hanya untuk memuluskan jalan Sakib menjadi Kepala Desa Kotempa, termasuk membeli suara rakyat dan menyogok panitia. Tapi, sebelum itu, Ji Jupri sudah membuat kesepakatan dengan Sakib: jika Sakib berhasil menang, maka dirinya harus dijadikan sekretaris desa dan semua program, proyek, serta keputusan-keputusan harus berada di tangan Ji Jupri. Dan, Sakib setuju. Yang ada di pikiran Sakib saat itu hanyalah: menjadi kepada desa adalah sebuah kehormatan dan kebanggaan yang mustahil dimiliki seorang pemulung sampah seperti dirinya.

Beberapa bulan setelah menjabat sebagai sekretaris desa, Ji Jupri membeli sebuah mobil. Ia mendadak menjadi orang kaya. Dan, ia benar-benar memegang kendali kekuasaan Desa Kotempa itu. Seolah-olah Ji Jupri adalah kadesnya. Sementara Sakib hanyalah bayangan belaka.

Tiga tahun kemudian, suatu hari, seluruh aparat desa, termasuk Ji Jupri, didemo oleh masyarakat di balai desa. Demonstrasi itu dimotori oleh tiga mahasiswa yang baru menyelesaikan studi S1-nya di Surabaya.

Ketiga mahasiswa itu berdiri di barisan paling depan. Salah satu dari mereka memegang toa sebagai orator.

”Saudara-saudara, bagaimana kami akan diam, bagaimana kami akan tertidur setelah melihat, mendengar, mengawasi bahwa desa ini pelan-pelan telah dihancurkan oleh oknum-oknum perangkat desa yang tak berperikemanusiaan!” suara orator itu seperti bunyi petir. Ia tak gentar meski di depannya berjejer aparat kepolisian yang lengkap dengan pistolnya.

”Betul…,” sambut demonstran dengan suara seperti deru truk yang sedang berusaha melintasi jalanan menanjak.

”Jalan-jalan rusak tak terurus, beras miskin turun tidak tepat sasaran, yang miskin makin kelaparan, yang kaya makin kekenyangan. Sementara, balai desa itu berdiri dengan megah, seolah istana negara!”

”Betul…,”

”Kami muak dengan tingkah para koruptor yang telah merusak moral, merusak etika, dan pastinya mencederai nilai-nilai Pancasila!”

”Betul…,”

”Jangan pernah mengatakan kemakmuran! Jangan pernah mengatakan keadilan! Jangan pernah mengatakan Pancasila! Jika masih saja membombardir rakyat yang miskin, menginjak-injak hak rakyat, menyetubuhi kebenaran, mencabuli aturan seenaknya dan melahap uang rakyat!”

”Betul…,”

”Wahai perangkat desa yang terhormat! Kami turun ke jalan sebagai anak bangsa yang peduli pada rakyat yang telah disakiti oleh oknum-oknum perangkat desa dengan teramat parah. Kami ingin menuntut keadilan, ingin membela hak rakyat sampai tetes darah penghabisan!”

”Betul…,”

”Sekali bendera dikibarkan, hentikan ratapan dan tangisan! Salam keadilan!”

”Salam!” sambut demonstran dengan kompak.

”Jika kalian tidak keluar dalam hitungan waktu satu menit, maka akan kami acak-acak balai desa ini!” ancam orator itu sambil menuding balai desa. Keringatnya bercucuran, matanya memerah, tapi semangatnya tak pernah pudar sedikit pun.

”Betul…,”

”Satu langkah re-vo-lu-si…,” orator itu mengisyaratkan untuk menyerbu balai desa karena si perangkat desa tak kunjung keluar meski telah diberi waktu satu menit.

Suasana semakin riuh, demonstran mencoba menerobos yang membuat aparat kepolisian kewalahan untuk menghalau.

Tak lama setelah itu, akhirnya Ji Jupri, sekretaris desa, keluar menemui ketiga mahasiswa itu. Ji Jupri meminta untuk damai dan mengumbar beberapa janji. Akhirnya ketiga mahasiswa itu setuju lantas bubar.

Beberapa hari setelah demonstrasi itu, ketiga mahasiswa itu tiba-tiba hilang, tak terekam jejaknya. Berbagai media cetak maupun online tak pernah memberitakannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Ada yang mengatakan ketiga mahasiswa itu ditahan, ada juga yang mengatakan pergi merantau. Tapi, beberapa hari berselang, Ji Jupri menjelaskan kepada rakyat bahwa ketiga mahasiswa itu baik-baik saja. Mereka sedang melanjutkan studi S2-nya di luar negeri lewat jalur beasiswa. Dan, dirinyalah yang mengurus dan menanggung semuanya. Mendengar pernyataan itu, masyarakat bangga terhadap Ji Jupri. Ji Jupri menjelma menjadi seorang pahlawan dadakan.

Singkat cerita, setelah sampai di akhir periode, Ji Jupri meminta Sakib untuk tidak mencalonkan diri lagi. Ji Jupri akan maju sendiri sebagai calon kepala desa. Musuhnya tetap sama seperti saat pilkades sebelumnya, yaitu Ji Ra’op.

Akhirnya, setelah penghitungan suara, Ji Jupri kalah tipis dari Ji Ra’op. Ji Jupri gagal menjadi kepala desa. Sebab kekalahan itu, Ji Jupri seperti kehilangan arah, tiba-tiba saja ia menceraikan istrinya, mungkin karena depresi. Ji Jupri tidak kuat menahan malu, Ji Jupri juga tidak sudi tinggal di desa yang dipimpin Ji Ra’op. Ji Jupri bersumpah bahwa ia tidak akan menginjakkan kaki lagi di Pulau Madura. Ia memutuskan untuk pergi ke Pulau Jawa, tepatnya di Banyuwangi. Untungnya, ia masih menyimpan uang ratusan juta. Di Banyuwangi, ia memiliki tempat tinggal setelah menikah dengan seorang janda tak beranak, hingga takdir menuliskannya menjadi tukang pijat, seperti sekarang ini.

Setelah sekitar 4 jam menunggu, setalah semua tamu selesai dipijat, tamu muda dari luar kota itu masuk ke dalam gubuk itu. Sementara, ketiga orang yang menyertainya menunggu di luar. Salah satunya ada yang tertidur.

”Silakan lepas baju dan tidur tengkurap, Nak!” pinta Ji Jupri pada tamu dari luar kota itu sambil menuangkan sedikit minyak urut ke tangannya yang sudah seperti kulit pohon kelapa.

Tamu dari luar kota itu mengangguk.

”Dari Sumenep berapa jam ke sini, Nak?” tanya Ji Jupri setelah tamu dari luar kota itu tidur tengkurap di depannya.

”Kurang lebih 10 jam, Ji.”

”Lumayan lama, Nak.”

Dahi Ji Jupri mengerut setelah melihat pergelangan kaki bagian kanan tamu itu sedikit bengkak.

”Ini kenapa bisa begini, Nak?” tanya Ji Jupri kemudian.

”Keseleo, Ji, saat menyiram semangka di sawah, kemarin,” jawab tamu itu.

Ji Jupri mengangguk-angguk dan mulai memijat dengan hati-hati.

”Sampeyan petani semangka ya, Nak?” tanya Ji Jupri sambil memijat.

”Enggak sih, itu cuma pekerjaan sampingan, Ji.”

”Oh, memangnya kerja apa, Nak?”

”Pelayan rakyat, Ji.”

”Maksudnya?”

”Bupati, Ji! Bupati Sumenep.”

Mendengar itu, Ji Jupri tiba-tiba menghentikan pijatannya. Ia terkejut, matanya terbelalak seolah ingin keluar dari kelopaknya.

”Sampeyan seorang bupati, Nak?!” Ji Jupri semakin dibuat tercengang.

”Alhamdulillah, Ji,” jawab tamu itu dengan santainya.

”Terus, kenapa masih…?”

Belum selesai, suara Ji Jupri langsung dipotong oleh tamu muda yang ternyata seorang bupati itu.

”Kenapa saya masih memakai mobil tua? Ya, karena saya nyaman, Ji! Bupati tidak mesti hidup mewah! Jika untuk kepentingan pribadi, demi Allah saya tidak pernah menggunakan fasilitas atau uang negara, Ji! Terus kenapa saya masih menyiram semangka? Ya, karena ingin membantu kakek dan nenek saya. Di waktu kosong, saat libur kantor, saya sempatkan untuk membantu mereka menyiram semangka. Di sanalah saya bisa berkumpul dan berbicara langsung dengan masyarakat. Seru, Ji! Serius!” tutur tamu itu panjang lebar.

Mulut Ji Jupri menganga, ia masih tercengang dan tak habis pikir pada tamu itu. Ingatan tentang apa yang ia lakukan saat menjadi perangkat desa dulu hadir otomatis di benaknya: ia menggelapkan dana proyek jalan ratusan juta, menyelewengkan raskin ke kantong pribadi dan perbuatan-perbuatan keji lainnya.

”Jangan bercanda, Nak! Masak sekelas bupati masih menyiram semangka?!” tanya Ji Jupri kemudian.

”Sungguh, Ji! Jangankan menyiram semangka, semangka busuk pun saya pernah memakannya,” balas tamu itu sambil menoleh ke arah Ji Jupri.

”Memakan semangka busuk?!” Bibir Ji Jupri mendadak seperti kain kafan yang bergetar.

Kenapa saya masih memakai mobil tua? Ya, karena saya nyaman, Ji! Bupati tidak mesti hidup mewah! Jika untuk kepentingan pribadi, demi Allah saya tidak pernah menggunakan fasilitas atau uang negara, Ji! Terus kenapa saya masih menyiram semangka? Ya, karena ingin membantu kakek dan nenek saya. Di waktu kosong, saat libur kantor, saya sempatkan untuk membantu mereka menyiram semangka. Di sanalah saya bisa berkumpul dan berbicara langsung dengan masyarakat.

Tamu itu mengangguk.

”Ke-ke-kenapa makan semangka busuk?!” Ji Jupri terlihat kaku.

”Karena memakan semangka busuk jauh lebih beradab ketimbang memakan uang rakyat! Si pemakan masih jauh lebih mulia ketimbang koruptor!”

Mendengarnya, dada Ji Jupri bergemuruh, hatinya seperti ditusuk paku karat, napasnya tersengal-sengal. Ia bungkam seperti batu. Antara sadar dan pingsan ia tak menentu.

”Sampeyan tahu, Ji? Dulu, saya pernah menjadi orator saat berdemo di salah satu desa di Sumenep. Aparat desanya ada yang tidak beres, Ji. Ada yang korupsi. Kejamnya, Ji, setelah itu saya disekap dan dikurung.”

***

Ach Rofiq, santri aktif PP Annuqayah dan Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Sumenep, Jawa Timur.